Anda di halaman 1dari 8

Nama : DHIA RAHMADANI

NIM : 23330002

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Delfi Eliza.M.Pd

Mata Kuliah : Bahasa dan Studi Sosial Anak Usia Dini

Program Studi : Pendidikan Anak Usia Dini

Ketepatan dalam memahami perkembangan bahasa anak menurut teori

Nativisme, behaviorisme, kognitifisme) dan perkembangan bahasa ( artikulasi, kata,


kalimat), melalui mini research.

A. Pengertian Bahasa Anak

Bahasa adalah alat untuk berfikir, mengekspresikan diri dan komunikasi. Bahasa
merupakan alat berkomunikasi dengan orang lain dan kemudian berlangsung dalam suatu
interaksi sosial. Manusia dapat mengenal dan memahami dirinya, sesama, dan lingkungan
hidupnya yaitu melalui bahasa, pengembangan kemampuan berbahasa pada taman kanak-
kanak agar anak didik mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungannya. Kemampuan
berbahasa adalah kemampuan yang sudah ada pada setiap individu untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekitar dan masih diperlukannya interaksi dari orang lain agar kemampuan
berbahasa anak semakin meningkat (Hakim, M. 2022).

B. Perkembangan Bahasa Anak

1. Usia 12—18 bulan


Setelah melalui tahap perkembangan bahasa bayi, pada usia 12—18 bulan, kemampuan
komunikasi anak semakin baik.
Memasuki umur 1 tahun ini, anak sudah mengerti dan mengikuti arahan atau perintah satu
langkah, seperti saat Anda memintanya maju ke depan.
Ia pun sudah dapat merespons lawan bicaranya dengan gerak tubuh. Misalnya dengan
mengangguk atau menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan.
Meski belum terlalu jelas, sebagian besar anak usia 15 bulan sudah dapat mengucapkan 3—6
kata dengan arti. Pada usia 18 bulan, kosakatanya telah mencapai 5—50 kata.
Kata-kata yang diucapkan umumnya berupa nama orang yang dikenal, benda di sekitar, hingga
anggota tubuh.
Pada akhir masa ini, anak sudah bisa menyatakan sebagian besar keinginannya dengan kata-
kata.
2. Usia 18—24 bulan
Perkembangan bahasa anak pada usia ini semakin melesat. Bahkan, IDAI menyebut,
anak pada masa ini mengalami ledakan bahasa. Hampir setiap hari si Kecil memiliki kosakata
baru.
Ia pun dapat membuat kalimat yang terdiri dari dua kata, seperti “Mama sakit” atau “naik
mobil”. Ia juga sudah mulai memahami dan mengikuti perintah dua langkah. Misalnya “ambil
bolanya dan berikan kepada Mama.”
Berkembang dari usia sebelumnya, pada masa ini pun anak akan senang mendengarkan cerita.
Sekitar 50% bicaranya juga sudah dapat dimengerti oleh orang lain.
3. Usia 2—3 tahun
Anak usia 2 tahun sudah mampu mengucapkan kalimat yang terdiri dari 2—3 kata dan
terdengar lebih jelas.
Bahkan, mendekati usia 3 tahun, kalimat yang disusunnya sudah terdiri dari tiga kata atau
bahkan lebih.
Melansir Kids Health, sejak usia 30 bulan, tahapan perkembangan bahasa anak usia dini ini
sudah mulai menggunakan konsep subjek, seperti penggunaan aku, kamu, dan kita.
Ia pun mulai menggunakan kalimat tanya, dapat menyebutkan nama dan kegunaan benda-
benda yang sering ditemui, mengenal warna, serta senang bernanyi dan bersajak.
Pada masa ini pun, anak sudah dapat melakukan percakapan timbal-balik dengan Anda. Orang
lain pun sudah bisa memahami hampir semua kata yang diucapkannya.
4. Usia 3—5 tahun
Mulai memasuki usia 3 tahun, anak sudah dapat menyebutkan nama, umur, dan jenis
kelaminnya.
Ia pun sudah mulai menggunakan kalimat panjang (lebih dari empat kata) saat berbicara.
Pembicaraannya pun sudah dapat dimengerti sepenuhnya oleh orang lain begitu memasuki usia
4 tahun.
Pada rentang usia ini, si Kecil umumnya tertarik mendengarkan cerita dan percakan di
sekitarnya. Bahkan, ia pun sudah mampu bercerita dengan lancar dan cukup tentang hal-hal
yang dialaminya.
Saat bercerita, ia sudah mulai menggunakan kalimat dengan kata-kata karena, jika, jadi, atau
kapan. Bahkan, saat berusia 5 tahun, kalimat yang dibuatnya semakin lengkap, memiliki
subjek, predikat, dan keterangan yang tepat.
Melansir University of Michigan Health, pada usia ini pun anak telah memahami dan bisa
mengikuti tiga instruksi sekaligus, seperti “masuk ke kamar mandi, cuci tangan, dan keringkan
dengan handuk.”

C. Teori Behaviorisme

Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh
adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas
pun dapat diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan
kesadaran terhadap perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut hubungan stimulus -
respons. Menurut Skinner, perilaku verbal adalah perilaku yang dikendalikan oleh akibatnya.
Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan. Kekuatan serta frekuensinya
akan terus dikembangkan. Bila akibatnya hukuman, atau bila kurang adanya penguatan, perilaku
itu akan diperlemah atau pelan-pelan akan disingkirkan. Implikasi teori ini ialah bahwa guru
harus berhati-hati dalam menentukan jenis hadiah dan hukuman. Guru harus mengetahui benar
kesenangan siswanya. Hukuman harus benar-benar sesuatu yang tidak disukai anak, dan
sebaliknya hadiah merupakan hal yang sangat disukai anak. Jangan sampai anak diberi hadiah
menganggapnya sebagai hukuman atau sebaliknya, apa yang menurut guru adalah hukuman bagi
siswa dianggap sebagai hadiah (Mansur dkk 2021).

D. Teori Nativisme

Istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa


ditentukan oleh bakat. Bahwa setiap manusia dilahirkan sudah memiliki bakat untuk
memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh dukungan dari
berbagai sisi.( Sakmono, N 2020)) membuat proposisi bahwa bahasa itu merupakan perilaku
khusus manusia 2 dan bahwa cara pemahaman tertentu, pengkategorian kemampuan, dan
mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan ditentukan secara biologis. Chomsky dalam
(Marianti dkk 2021) mengemukakan bahwa belajar bahasa merupakan kompetensi khusus
bukan sekedar subset belajar secara umum. Cara berbahasa jauh lebih rumit dari sekedar
penetapan Stimulus- Respon. Chomsky dalam ( Triyandi dkk, 2023) mengatakan bahwa
eksistensi bakat bermanfaat untuk menjelaskan rahasia penguasaan bahasa pertama anak dalam
waktu singkat, karena adanya LAD. Mc. Neil (Rahnang dkk 2023) mendeskripsikan LAD itu
terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:

a. Kemampuan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain.


b. Kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalamvariasi yang beragam.

c. Pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang
tidak mungkin.

d. Kemampuan untuk mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk sistem


yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang diperoleh.
Chomsky dalam (Triyandi dkk 2023) mengemukakan bahwa bahasa anak adalah sistem yang
sah dari sistem mereka.

E. Teori Kognitivisme

Menurut teori ini perkembangan bahasa harus berlandaskan pada atau diturunkan dari
perkembangan dan perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia.
Dengan demikian urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan urutan-
urutan perkembangan bahasa dirinya. Menurut aliran ini kita belajar disebabkan oleh
kemampuan kita menafsirkan peristiwa atau kejadian yang terjadi di dalam lingkungan. Titik
awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan
struktur dalam bahasa yang didengar di sekelilingnya. Pemahaman, produksi, komprehensi
bahasa pada anak dipandang sebagai hasil dari proses kognitif anak yang secara terus menerus
berubah dan berkembang. Jadi stimulus merupakan masukan bagi anak yang berproses dalam
otak. Pada otak terjadi mekanisme mental internal yang diatur oleh pengatur kognitif,
kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif tadi. Dapat dikemukakan bahwa
pendekatan kognitif menjelaskan bahwa:

a. Dalam belajar bahasa, bagaimana kita berpikir.

b. Belajar terjadi dan kegiatan mental internal dalam diri kita

c. Belajar bahasa merupakan proses berpikir yang kompleks. Laughlin dalam (Casillas,
M. 2023) berpendapat bahwa dalam belajar bahasa seorang anak perlu proses pengendalian
dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pendekatan kognitif dalam belajar bahasa lebih
menekankan pemahaman, proses mental atau pengaturan dalam pemerolehan, dan memandang
anak sebagai seseorang yang berperan aktif dalam proses belajar bahasa.

F. Teori Konstruktvisme

Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada
dijelaskan secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh
didapatkan dari pengalaman. Namun demikian, dalam membangun pengalaman siswa harus
memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya, menguji ide-ide tersebut melalui
eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk mengamati dan membandingkan
fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain dalam kehidupan mereka. Selain itu juga
guru memainkan peranan penting dalam mendorong siswa untuk memperhatikan seluruh
proses pembelajaran serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan. Dalam rangka
kerjanya, ahli konstruktif menantang guru- guru untuk menciptakan lingkungan yang inovatif
dengan melibatkan guru dan pelajar untuk memikirkan dan mengoreksi pembelajaran (Rinaldi
dkk 2023). Untuk itu ada dua hal yang harus dipenuhi, yaitu:

1) Pembelajar harus berperan aktif dalam menyeleksi dan menetapkan kegiatan


sehingga menarik dan memotivasi pelajar,

2) Harus ada guru yang tepat untuk membantu pelajar-pelajar membuat konsep-konsep,
nilai-nilai, skema, dan kemampuan memecahkan masalah 5 Teori ini muncul diilhami oleh
perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi Humanisme. Sesuai pendapat yang
dikemukakan oleh McNeil (1977) “In many instances, communicative language programmes
have incorporated educational phylosophies based on humanistic psikology or view which in
the context of goals for other subject areas has been called ‘the humanistic curriculum’.

Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah


kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang diterapkan di
Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini menekankan
pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama antar seluruh siswa didik.
Humanistic curiculum menekankan pada pola pikir, perasaan dan tingkah laku siswa dengan
menghubungkan materi yang diajarkan pada kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup siswa.
Teori ini menganggap bahwa setiap siswa sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang
berbeda dalam mempelajari bahasa. Tujuan utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan
kemampuan siswa agar bisa berkembang di tengah masyarakat. The deepest goal or purpose is
to develop the whole persons within a human society. (Martins dkk, 2023) Sementara menurut
Fraida Dubin dan Elita Olshtain (1992- 76) pengajaran bahasa menurut teori humanisme, sbb:
1) Sangat menekankan kepada komunikasi yang bermakna (meaningful communication)
berdasarkan sudut pandang siswa. Teks harus otentik, tugas-tugas harus kommunikatif,
Outcome menyesuaikan dan tidak ditentukan atau ditargetkan sebelumnya.

2) Pendekatan ini berfokus pada siswa dengan menghargai existensi setiap individu.
3) Pembelajaran digambarkan sebagai sebuah penerapan pengalaman individual dimana siswa
memiliki kesempatan berbicara dalam proses pengambilan keputusan.

4) Siswa lain sebagai kelompok suporter dimana mereka saling berinteraksi, saling membantu
dan saling mengevaluasi satu sama lain.

5) Guru berperan sebagai fasilitator yang lebih memperhatikan atmosphere kelas dibanding
silabus materi yang digunakan.

6) Materi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan siswa.

7) Bahasa ibu para siswa dianggap sebagai alat yang sangat membantu jika diperlukan untuk
memahami dan merumuskan hipotesa bahasa yang dipelajari.
PETA KONSEP
DAFTAR PSUTAKA

Hakim, M. (2022). PENGARUH ALIRAN NATIVISME DAN ALIRAN BEHAVIORISME


TERHADAP PENGUASAAN BAHASA ANAK USIA DINI 3; 0—5; 0 (Studi Paud
Bustanul Athfal Kec. Singgaran Pati Kota Bengkulu TA.
2021/2022). Lateralisasi, 10(01), 1-9.

Manshur, A., & Jannah, R. N. (2021). Pemerolehan Bahasa Anak Usia 3-4 Tahun Di Desa
Tegalrejo Banyuwangi Dalam Kajian Psikolinguistik. Jurnal PENEROKA: Kajian Ilmu
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1(02), 239-247.

Sakmono, N. D. (2020). Digitalisasi Sastra Lisan sebagai Media Pendidikan Kesehatan dan
Karakter dalam Pembelajaran Daring di Era New Normal pada Pendidikan Anak Usia
Dini. NUSRA: Jurnal Penelitian Dan Ilmu Pendidikan, 1(2), 96-102.

Marianti, Z., Herdiana, H. R., & Mulyani, S. (2023). Pemerolehan Bahasa Anak Usia 4-6
Tahun Melalui Smartphone Berbasis Android (Pengembangan Bahan Ajar Pemerolehan
Bahasa Anak Usia Dini). Diksatrasia: Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, 7(2), 334.

Triyandini, T., Sanaya, N. N. A., & Anggarini, R. Y. (2023). TEORI NATIVISME,


EMPIRISME, DAN KONVERGENSI DALAM PENDIDIKAN. FKIP e-
PROCEEDING, 138-144.

Rahnang, R., Aditya, F., Merna, M., & Lidya, L. (2023). Traditional Game Module
Development: An Alternative To Stimulate Early Childhood Language
Development. Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam, 6(1), 139-158.

Casillas, M. (2023). Learning language in vivo. Child Development Perspectives, 17(1), 10-
17.

Rinaldi, P., Pasqualetti, P., Volterra, V., & Caselli, M. C. (2023). Gender differences in early
stages of language development. Some evidence and possible explanations. Journal of
Neuroscience Research, 101(5), 643-653.

Martins, Q. P., Gindri, B. D. F. S., Valim, C. D., Ferreira, L., & Patatt, F. S. A. (2023). Hearing
and language development in children with brainstem implants: a systematic
review. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology, 88, 225-234.

Anda mungkin juga menyukai