Anda di halaman 1dari 12

PENERAPAN TEORI KOGNITIVISME DALAM PEMEROLEHAN

BAHASA PERTAMA ANAK USIA 0-3 TAHUN

Rishfa Karbella
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember
Rishfakarbella1101@gmail.com

Abstrak: Proses pemerolehan dapat diartikan sebagai proses penguasaan bahasa yang
dilakukan anak secara murni, dalam mendapatkan bahasa pertamanya. Hal tersebut
dilakukan oleh anak secara berurutan sesuai fase usia anak tersebut, dengan melalui
berbagai macam cara. Dapat kita ketahui bahwa seorang anak akan memperoleh bahasa
pertamanya secara cepat. Pada masa pemerolehan bahasa pertama, seorang anak lebih
memperhatikan fungsi komunikasi dan bentuk bahasanya. Pada hakikatnya pemerolehan
bahasa anak memilki ciri kesinambungan, yaitu sesuai dengan kemampuan seorang anak
dalam merangkai satu kesatuan huruf menjadi kata, yang pada akhirnya menjadi
gabungan beberapa kata. Dalam hal ini erat hubungannya dengan kemampuan kognitif
anak. Kaitannya dengan hal tersebut adalah dalam pemerolehan bahasa pertama seorang
anak bergantung pada fase kinerja kognitifnya. Misalnya saja pada fase awal
pemerolehan bahasa, seorang anak yang berusia 0-1 tahun terakhir masih lebih kepada
menangkap informasi melalui panca indera. Namun pada fase berikutnya yaitu pada usia
1-3 tahun, seorang anak sudah mulai berusaha mengaplikasikan objek melalui lisan,
walaupun struktur kata yang diucapkan masih belum sempurna. Hal tersebut dapat dilihat
melalui metode eksperimental pada subjek yang diteliti, yaitu proses pemerolehan bahasa
pada anak.

Kata-kata kunci : Bahasa pertama, kognitivisme, metode eksperimental, proses berfikir,


pemerolehan bahasa.

PENDAHULUAN
Komunikasi antar manusia sangat penting dilakukan, dalam hal berkomunikasi tentunya
kita menggunakan bahasa. Bahasa merupakan keterampilan yang dimiliki setiap orang mulai dari
sejak lahir. Menggunakan bahasa yang baik dan benar pada jaaman sekarang ini telah menjadi
rutinitas sehari-hari, walaupun tidak semua orang mampu melakukannya. Manusia dibekali
kemampuan menerima informasi sejak dalam kandungan sampai lahir ke dunia, baik melalu
panca indera ataupun kemampuan berbahasa secara spontan. Pada dasarnya biasanya ketika anak
masih dalam kandungan, ia akan menerima suatu informasi atau rangsangan dari ibunya. Baik
berupa sentuhan maupun perkataan-perkataan. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat kita lihat
secara langsung. Melainkan melalui fase perkembangan kognitif anak.
Perkembangan bahasa pada anak berkaitan erat dengan pemerolehan bahasa pertama
pada anak. Karena dalam hal ini, proses yang terjadi pada anak dalam mengola informasi yang
didapatkan menjadi acuan penting bagi orang dewasa atau seorang ibu memahami seberapa
mampunya anak dalam berfikir. Walaupun lahir tanpa bahasa, seorang anak terlah memiliki
berbagai macam kosa kata, yang akan ia aplikasikan dengan sewajarnya dalam banyak lingkup
osisal yang berbeda-beda ketika berusia 2-3tahun.dalam hal ini yang menjadi panduan seorang
anak mengokohkan berbagai kosa kata dan aturan gramatikal serta fonologi penyampaiannya
adalah orang terdekatnya (keluarga). Mungkin menjadi pertanyaan mengapa bahasa menjadi
tolak ukur dalam perkembangan seorang anak, karena pada hakikatnya menurut Kridalaksana
(dalam Chaer, 2003:32) menegaskan bahwa bahasa adalah sistem lambang yang arbiter yang
digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri. Sehingga sangat jelas bahwa bahasa merupakan alat efektif dalam
berkomunikasi dengan baik.
Pemerolehan bahasa menurut Kiparsky (Tarigan, 1986:243) dijelaskan bahawa bahasa
merupakan suatu proses yang dipergunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan rangkaian
hipotesis yang semakin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau
tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai dia
memilih, berdasarakan suatu ukuran atau dari bahasa tersebut. Dari penjelasan Kiparsky tersebut
dapat kita lihat secara nyata dalam kehidupan anak sehari-hari. Dimana pada tahap awal, seorang
anak mendengar atau melihat bunyi-bunyi bahasa yang ada disekitarnya tanpa disuruh atau
disengaja. Hal itu akan berkembang terus menerus tahap demi tahap sesuai dengan kemampuan
intelegasi dan lingkungan sekitarnya. Sehingga dapat diartikan bahwa pemerolehan bahasa
adalah proses seorang anak dalam belajar dan kemudian mampu dalam berbahasa.
Proses pemerolehan bahasa yang terjadi pada anak menyangkut pada proses mental, cara
belajar, dan cara berfikir dalam menerima segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa. Hal
tersebut dapat dilihat bagaimana seorang anak mengamati, berfikir, mengingat dan memecahkan
masalah yang ada dalam menerima stimulus yang didapat. Sehingga seorang anak dalam proses
tersebut juga dapat membandingkan stimulus satu dengan stimulus yang lainnya. Dari
pemahaman tersebut teori yang digunakan dalam proses pemerolehan bahasa anak yaiu teori
kognitivisme. Teori ini menitikberatkan pada aspek psikologi. Menurut Ertmer dan Newby
(1993) sebagaimana dikutip PakarKomunikasi.com (2017), menyatakan bahwa para ahli
kognitivisme menginginkan untuk menyelesaikan masalah dalam pembelajaran pelajar dengan
melihat bagaimana informasi tersebut diterima, disusun, disimpan, dan diambil oleh pikiran,
khususnya pembelajaran terhadap pemerolehan bahasa anak. Dari tahap-tahap pemerolehan
tersebut, dilakukan dengan berbagai metode.
Paparan ini bertujuan untuk menyajikan bagaimana proses mental atau berfikir seoarang
anak dalam pemerolehan bahasanya, yang melalui pengamatan langsung berdasarkan tahapan
usia anak yang dimiliki. Paparan ini juga diharpkan sebagai bahan diskusi dan refleksi bagi para
pembaca, terutama pada komponen-komponen proses seorang anak sejak lahir sampai usia 3
tahun dalam memperoleh bahasa pertamanya.

METODE
Masalah pada paparan ini dikaji melalui metode eksperimental dan teori kognitivisme
yang menjadi salah satu acuan dalam mengamati proses berfikir atau kognitif seorang anak
dalam memperloh bahasa. Dalam penyajian kali ini metode yang diterapkan, juga
menitikberatkan pada bahasa dan mental sorang anak. Sehinggan psikolinguistik juga akan
menjadi tumpuan pada pemaparan ini. Hipotesis-hipotesis yang ada juga akan membantu dalam
pengamatan kali ini. Seperti, hipotesis Nurani, Tabularasa, dan yang terakhir kesemestaan
kognitif.

PEMBAHASAN
Konsep Umum Teori Kognitivisme

Dasar pemikiran manusia dalam teori kognitivisme yaitu rasional atau masuk akal. Pada
teori ini pemerolehan pengetahuan manusia berdasarkan pemikirannya sendiri. Dalam teori ini,
kognisi seseorang mempunyai pengaruh besar terhadap pemerolehan pengetahuan atau
informasi. Kognisi dapat diartikan sebagai kemampuan mental manusia dalam mengenal,
mempelajarai, mengamati, dan menilai sesuatu hal. Teori kognitif ini lebih menekankan pada
proses belajar seseorang, bagaimana cara orang itu berfikir dan menangkap informasi dari
lingkungan sekitar. Belajar dalam hal ini tidak hanya tetang stimulus dan respon, melainkan
belajar melibatkan proses berfikir. Dapat diketahui bahwa belajar merupakan bentuk bekerjanya
sistem yang ada pada manusia, seperti panca indera dan kemampuan berfikir. Penilaian
kemampuan berfikir seseorang tidak hanya dapat dilihat dari perubahan tingkah lakunya saja.
Akan tetapi, bagaimana cara seseorang tersebut menangkap apa yang terjadi disekitarnya. Dalam
teori ini proses belajar dialakukan secara terus-menerus antara individu dan lingkungan sekitar.

Menurut Jean Piaget (1954) dikutip dari laman (http://muhardin1995.blogspot.com


/2015/05/teori-belajar-kognitivisme.html) menjelaskan bahwa perkembangan kognitif anak
terdiri atas beberapa tahap. Dalam hal pemerolehan bahasa ibu, Piaget mengemukakan bahwa
anak itu disamping meniru-niru juga aktif dan kretaif dalam menguasai bahasa ibunya.
Kemampuan menguasai bahasa itu didasari oleh adanya kognisi, kognisi tersebut memiliki
fungsi dan struktur. Dimana fungsi itu bersifat genetik, yaitu dibawa sejak lahir. Dalam hal ini
genetik tersebut berkaitan dengan mekanisme bilogis dari perkembangan sistem saraf. Sistem
saraf tersebut berkaitan dengan usia seseorang. Sedangkan struktur kognisi itu bisa berubah-ubah
sesuai kemampuan dan upaya setiap individu. Kaitannya dengan belajar, Piaget membedakan
proses tahapan perkembanagan bahasa anak melalui 3 tahapan, yaitu tahap asimulasi, akomadasi,
dan ekuiblirasi. Asimulasi merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baru ke
dalam struktur kognitif. Akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam
situasi yang baru. Sedangkan ekuiblirasi merupakan proses yang berkesinambugan antara
asimilasi dan akomodasi. Sehingga antara proses penerimaan informasi sampai penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari, menjadi seimbang dan saling terkait. Piaget juga menjelaskan
bahwa dari proses tersebut harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang terbagi
dalam 4 tahap, yaitu sebagai berikut :

1) Tahap sensomotorik (anak usia 0-2 tahun), yang memiliki ciri pokok perkembangannya
melalui tindakan yang dilakukannya. Seperti, melihat dirinya berbeda dengan objek
sekitarnya, mencarai rangsangan melalui sinar lampu dan suara, memperhatikan sesuatu
lebih lama, mendefnisikan sesuatu dengan memanipulasinya, memperhatikan objek
sebagai hal yang tetap lalu ingin mengubahnya.
2) Tahap preoperasional (anak usia 2-7/8 tahun), yang memiliki ciri pokok
perkembangannya melalui penggunaan simbol atau bahasa tanda, dan mulai
berkembangnya konsep-konsep intuitif. Preprosional pada tahap ini dimulai sejak usia 2-
4 tahun yang memiliki kriteria seperti, self counter semakin menonjol, dapat
mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar, tidak mampu memusatkan perhatian pada
objek yang berbeda, mampu mengumpulkan barang sesuai dengan kriteria, dan dapat
menyusun benda secara berjajar. Selanjutnya yaitu tahap intuitif yang dimulai sejak usia
4-7/8 tahun yang memiliki keriteria seperti, anak dapat membentuk kategori objek, anak
dapat mengetahui hubungan secara logis, anak dapat bertindak sesuai dengan ide yang
dimiliki, anak dapat memiliki prinsip-prinsi dengan benar.
3) Tahap operasional konkret (anak usia 7-12 tahun), yang memiliki ciri pokok anak sudah
dapat berfikir secara logis.
4) Tahap operasional formal (anak usia 11-18 tahun), yang memiliki ciri pokok anak dapat
berfikir secara abstrak dan logis dengan menggunakan presepsi “kemungkinan”. Seperti,
bekerja secara sistematis dan efektif, mampu menganalisis secara kombinasi yaitu
mampu merumuskan beberapa kemungkinan, berfikir secara proporsional, dan mampu
menarik kesimpulan tujuan secara mendasar pada satu isi.

Ciri-ciri kognitivisme

Dari pemaparan pengertian teori kognitivisme menurut Piaget di atas, dapat ditarik
beberapa ciri khas yang dimiliki teori yang mengutamakan proses belajar ini, yaitu sebagai
berikut :

1) Teori kognitivisme lebih mengedepankan proses mental.


2) Pada teori ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh presepsi dan pemahamannya
dalam situasi tertentu.
3) Teori ini juga menekankan pada gagasan, bahwa bagian-bagian pada setiap situasi
saling keterkaitan.
4) Pada teori kognitivisme ini juga lebih menekankan pada proses belajar daripada hasil
belajar.
5) Pada teori ini pula lebih membebaskan seorang anak dalam berfikir mandiri.

Dari ciri-ciri di atas, tentunya teori kognitivisme ini juga memiliki kelebihan dan
kelemahan. Kelebihan dari teori ini adalah membuat anak menjadi kreatif dan mandiri dalam
proses belajar, sedangkan kelemahan yang dimiliki pada teori ini adalah pada dunia pendidikan
tidak bisa menyeluruh pada semua tingkatan. Jadi, harus sesuai dengan kebutuhan pembelajaran
yang ada. Karena apabila diterapkan pada tingkat lanjut, akan terjadi kesulitan yang disebabkan
oleh kurangnya pemahaman pada anak atau siswa pada prinsip intelegasi yang ada pada teori ini.

Pemerolehan Bahasa Pada Anak

Pemerolehan bahasa pada anak terjadi apabila ada kerja sama dari berbagai komponen
yang ada di dalam otak. Pada masa pemerolehan bahasa ini, anak akan lebih mengarah pada
fungsi komunikasinya. Pada dasarnya semua anak dapat memperoleh satu bahasa alamiah atau
biasa dikenal sebagai bahasa ibu. Menurut Chomsky (dalam Chaer, 2003:167) menjelaskan
bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang anak memperoleh bahasa pertamanya. proses
tersebut adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kompetensi merupakan kemampuan
seoarang anak dalam tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) yang dilakukan
secara tidak sadar. Karena kompetensi ini sudah dibawa sejak lahir. Walapun demikian,
kompetensi itu harus perlu adanya bimbingan agar anak dapat memiliki performansi yang baik
dalam berbahasa. Performansi sendiri diartikan sebagai kemampuan anak dalam berbahasa. Di
dalam performansi terdiri atas dua proses utama yaitu, proses pemahaman dan proses penerbitan
kalimat-kalimat. Pada proses pemahaman ini anak akan mengamati dan memahami apa yang dia
dengar, setelah itu masuk kepada proses penerbitan dimana pada tahap ini anak akan
menghasilkan kalimat-kalimatnya sendiri.

Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan perkembangan anak, dalam hal ini
mencakup perkembangan motorik, sosial, serta kognitif pralinguistik. Lingkungan sekitar juga
menjadi salah satu faktor terbentuknya bahasa pertama pada anak. Oleh karena itu, dengan
adanya perkembangan performansi berbahasa pada anak. Pertama kali lahir, anak akan
mendapatkan bahasa pertama sesuai dengan identitas sosialnya. Dengan melalui bahasa pertama
yang diperolehnya, anak akan belajar menjadi masyarakat sosial. Melalui bahasa pertama, anak
akan mengungkapkan perasaan, pendirian, dan apa yang dia inginkan. Namun, tidak dapat
diterima oleh sebagian masyarakat. Karena dalam bermasyarakat dia tidak bisa mengungkapkan
secara gamblang apa yang dia rasakan. Apabila seorang anak mengungkapkan apa yang dia
rasakan dengan menggunakan bentuk gramatikal yang benar, berarti dia benar-benar menguasai
bahasa pertamanya. Untuk menguasai bahasa pertama, seorang anak harus bisa memahami
situasi dan kondisi lingkungan sekitar sebelum dia mengemukakan apa yang dirasakan. Unsur
situasi dan kondisi tersebut meliputi, waktu, tempat, sebab akibat, dan deiktis.

Tahap-tahap Pemerolehan Bahasa Pertama

Dalam mendapatkan bahasa pertama, seorang anak tidak langsung bisa secara utuh atau
sempurna dalam penerimaan bahasanya. Tentunya ada beberapa tahapan yang terjadi, menurut
sebagian para ahli yang dikutip dari laman (http://myharefa.blogspot.com/2016/07/babi-
pendahuluan-a.html) yang diunggah pada tanggal 14 Juli 2016, menyatakan bahwa ada beberapa
tahapan yang terjadi pada masa pemerolehan bahasa pertama anak. Tahapan-tahapan tersebut
sebagai berikut :

1) Vokalisasi Bunyi
Pada usia 6 minggu, bayi akan mengeluarkan bunyi-bunyi yang hampr mirip dengan
bunyi vokal dan konsonan. Seperti, menangis, berteriak, dan merengek. Bunyi-bunyi
itulah yang disebut sebagai bunyi prabahasa atau vokalisasi. Setelah melalui proses
vokalisasi, pada usia 5-6 bulan, seorang anak mulai bisa mengoceh. Pada tahap ocehan
ini, anak sudah sudah mampu menggabungkan antara vokal dan konsonan. Biasanya pada
tahap celoteh ini, anak mengikuti apa yang dikatakan oleh orang dewasa. Misalnya, kata
“ma-em” menjadi “mam-mam”. Tahap celoteh ini begitu penting bagi seorang anak,
karena anak akan belajatr bunyi-bunyi ujaran yang benar dan menghilangkan bunyi
ujaran yang salah.
2) Tahap Satu Kata
Pada usia 15-18 bulan anak akan mengucapkan ujaran-ujaran yang tergabung dari
beberapa bentuk bunyi vokal dan konsonan, yang menjadi satu kata tunggal dan mengacu
pada objek yang dia temui. Pada tahap ini anak akan belajar mengaitkan antara yang dia
ucapkan dengan maknanya. Misalnya, kata “mam” yang memiliki arti bahwa dia mau
makan.
3) Tahap dua kata
Pada usia 18-20 bulan anak sudah mulai mengucapkan dua kata. Pada tahap ini ujaran
yang dilontarkan anak dapat dipahami maknanya, sedangkan pada tahap satu kata masih
belum sepenuhnya dipahami maknanya. Misalnya, “Ma, mamam” dan “papa ikut”. Pada
tahap ini pula anak sudah mulai belajar “subjek+predikat”, akan tetapi pada presepsinya
hanya “kata benda+kata benda”. Misalnya, “enak nasi” yang berarti nasi itu enak.
4) Ujaran Telegrafis
Pada usia 2-3 tahun anak sudah bisa mnegujarkan ujaran ganda dan membentuk kalimat.
Pada tahap ini, anak sudah mampu berbicara dengan baik seperti orang dewasa. Pada
tahap ini pula, anak sudah mendapatkan banyak kosa kata baru dalam kegiatannya sehari-
hari.

Metode Eksperimental dalam Pemerolehan Bahasa Anak

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kata eksperimen adalah percobaan yang
bersistem dan berencana. Dalam hal ini dapat didefinisikan bahwa eksperimental merupakan cara
penelitian dengan memberikan faktor atau treatment pada subjek yang dituju. Pada pemerolehan
bahasa anak yang menganut pada teori kognitivisme ini, yaitu dengan memperhatikan proses
belajar anak dalam memperoleh bahasa pertamanya, sehingga dalam melihat proses tersebut
dengan menggunakan metode eksperimental ini juga sangat diperlukan. Pada metode ini, yang
mencangkup pemerolehan bahasa yaitu eksperimental psikolinguistik. Eksperimental
psikolinguistik ini dibagi menjadi beberapa pengamatan. Pengamatan yang pertama yaitu
eksperimen pada saat waktu reaksi, seberapa cepat seorang anak menerima merespon
rangsangan yang diberikan. Contoh dari eksperimen waktu reaksi ini yaitu, subjek diberi
rangsangan bunyi lalu disuruh menyebutkan kata yang menyangkut bunyi tersebut, yang kedua
yaitu eksperimen menunjukkan sesuatu, contohnya yaitu sujek diminta mendengarkan kalimat-
kalimat yang didalamnya terdapat fonem-fonem yang disamarkan, dimana nanti subjek disuruh
menunjuk fonem-fonem yang hilang tersebut, yang ketiga eksperimen interpretasi input
linguistik yang terdiri atas kegiatan membayangi, memotong kalimat, dan kalimat kabur, yag
keempat yaitu eksperimen penyimpanan leksikal dan penggunaannya, yang kelima yaitu
eksperimen ingatan. Pada eksperimen-eksperimen tersebut dalam pemerolehan bahasa pada anak
yaitu, dilakukannya hanya menggunakan beberaa ekserimen, yaitu eksperimen menunjukkan
sesuatu dan eksperimen penyimpanan leksikal dan penggunaannya, misalnya memberikan kata
pancingan pada anak berupa kata yang belum sempurna, yang selanjutnya anak akan meneruskan
bagian kata yang belum sempurna itu menjadi sempurna.
Penerapan Teori Kognitivisme Dalam Pemerolehan Bahasa Pada Anak Usia 0-3 Tahun

Adapun penerapan teori kognitivisme dalam pemerolehan bahasa pada anak usia 0-3
tahun ini tidak jauh berbeda dari apa yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu lebih
memperhatikan bagaimana proses seorang anak dalam memperoleh bahasanya. Proses tersebut
dibagi menjadi 3 tahapan, tahap pertama yaitu pada (1) usia 0-1 tahun, (2) usia 1-2 tahun, (3)
usia 2-3 tahun.

(1) Pada usia 0-1 tahun


Menurut pendapat Atchison (dalam Harras dan Andika : 2009:50-56) yang dikutip pada
laman (https://repository.usd.ac.id/6172/2/101224043_full.pdf) ditulis oleh Yosep
Trinowismanto, menyatakan bahwa stadia akuisisi berkaitan dengan performansi
linguistik. Performansi linguistik ini merupakan tahap awal seorang anak mendapatkan
bahasanya. Contoh dari performansi linguistik pada usia 0-1 tahun ini seperti menangis,
mendekur,meraban, dan pola intonasi. Berikut penjelasan dari masing-masing contoh
tersebut, yang pertama menangis. Menangis pada tahap ini dapat dikatakan sebagai kode
pada bayi yang memiliki makna ingin makan, minum, buang air kecil, buang air besar,
dan karena dia kesakitan. Yang kedua yaitu mendekur, pada tahap ini biasanya seorang
bayi sulit dipahami maksud yang diinginkan, karena pada tahap ini bayi hanya
mengeluarkan bunyi-bunyi vokal saja. Yang ketiga yaitu meraban, pada tahap meraban
ini dapat dilakukan pada bayi usia 0-6 bulan, dimana pada tahap ini bunyi konsonan
mulai terbentuk seperti bunyi “aauuuuaa…auuuahaa” pada bunyi tersebut konsonan “h”
mulai terikut dengan bunyi vokal “a dan u”. Yang ketiga yaitu pola intonasi, tahap ini
terjadi pada usia 8-9 bulan akan menirukan bunyi yang diujarkan oleh ibunya, dengan
melalui pendengarannya. Pada tahap ini pula, anak sudah mulai bisa menirukan apa yang
dia dengar dari orang dewasa sekitarnya. Pada tahap pola intinasi ini, seorang anak sudah
memasuki tahap belajar asimilasi, yaitu proses penyesuaian pengetahuan baru dengan
struktur kognitif. Karena pada tahap awal ini, kemampuan berfikir anak akan berjalan
dengan melalui faktor lingkungan sekitarnya.
(2) Pada usia 1-2 tahun
Pada tahap ini terjadi beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu tuturan satu kata, tahap
kedua tuturan dua kata, dan tahap ketiga infleksi kata. Pada tahap tuturan satu kata,
terjadi pada usia 12-18 bulan. Dimana anak sudah mulai mengujarkan satu kata yang
menunjukan pada benda-benda tertentu, dan pada tahap ini anak akan mengulang bunyi
yang sama pada objek yang sama. Misalnya, anak mengatakan “baaaaa…baaaa” yang
diutarakan pada satu objek. Yang selanjutnya yaitu pada tahap dua kata, pada tahap ini
anak sudah mulai mengulang kata dan menambah kata, karena pada infleksi kata seorang
anak telah mendapat banyak kosakata yang disimpan dalam otaknya, namun tidak bisa
dikeluarkan dengan sempurna, dimana pada hal tersebut anak sudah mulai bisa
menggabungkan beberapa bentuk vokal dan konsonan, contohnya munculnya bunyi “ma-
ma”, yang dia tau bahwa kata ma-ma yang dimaksud adalah seorang perempuan yang
biasa menyuruhnya untuk memanggil mama, dengan melalui alat inderanya dia melihat
wujud dari ibunya seperti apa yang akan dia sebut dengan ujaran
mama. Lalu pada tahap ini anak memasuki tahap belajar akomodasi. Dimana anak sudah
mulai dapat menyesuaikan struktur kognitifnya dengan pengetahuan baru. Dalam hal ini,
pengetahuan tersebut mencakup pada pola berfikir anak terhadap lingkungan sekitar.
anak akan dapat membedakan suatu objek atau sasaran sekitar dengan kemampuan
kognitifnya.
(3) Pada usia 2-3 tahun
Pada tahap ini anak sudah mencapai satu kata dengan vokal dan konsonan yang berbeda.
Misalnya, anak sudah bisa mengucapkan kata “cicus layi-layi” yang artinya “tikus lari-
lari”. Dapat diketahui bahwa pada usia 3 tahun, anak akan mengokohkan bunyi vokal dan
konsonannya dengan latar belakang kemampuan yang dia miliki. Kemampuan itu yang
biasa disebut dengan sebuah perangkat atau sistem pada kognitif masing-masing
individu. Dengan adanya kemampuan kognitif pada anak tersebut, tahap belajar yang
terjadi adalah equiblirasi. Dimana pada tahap tersebut anak akan mulai menyeimbangkan
antara mental setelah proses asimilasi. Lebih jelasnya adalah bahwa pada usia 3 tahun ini
anak sudah bisa menyeimbangkan antara kemampuannya dalam berbicara yang dilandasi
dengan berbagai kosakata yang belum sepurna, bersamaan dengan rasa ingin tahunya
pada faktor sekitar.
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa teori kognitivisme merupakan
teori yang menganut sistem kemampuan kognitif dalam belajar. Proses belajar menjadi tujuan
utama dalam proses pemerolehan bahasa pada anak. Pemerolehan bahasa pada anak
dimaksudkan pada anak usia 0-3 tahun, dimana pada proses pemerolehan tersebut memiliki
beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat dengan menggunakan metode
eksperimental. Dimana metode tersebut lebih mengarah pada bagaimana cara kita mengamati
proses belajar anak, dengan melalui kemampuan mental yang terjadi pada anak. Dari proses-
proses itulah pemerolehan bahasa pada anak usia 0-3 tahun dalam teori kognitivisme ini, menjadi
tahap awal dalam perkembangan kemampuan komunikasi pada anak.


DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik : Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi keempat. Jakarta: Gramedia

Diditlinguist.blogspot.com/2013/05/metode-penelitian-pemerolehan-bahasa.html.Metode
Pemerolehan Bahasa Anak, diakses pada Rabu 8 Mei 2013

Muhardin1995.blogspot.com/2015/05/teori-belajar-kognitivisme.html.TeoriBelajar
Kognitivisme, diakses pada Minggu 10 Mei 2015
Tarigan, Henry Guntur. 1977. Linguistik Konstraktif. Bandung : FKSS,IKIP

Anda mungkin juga menyukai