Anda di halaman 1dari 50

PEMEROLEHAN BAHASA DAN AKSARA LAMPUNG PADA ANAK

Dosen Pengampu:

1. Dr. Farida Aryani, M.Pd


2. Dr. As. Rakhmad Idris, Lc., M.Hum
3. Lisa Misliani, M.Hum

Disusun Oleh
Nesa Saputri (2023045006)

PRODI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA & KEBUDAYAAN LAMPUNG


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini

untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Pembelajaran Bahasa dan Aksara

Lampung. Makalah ini disusun untuk mendeskripsikan tentang “Pemerolehan Bahasa dan

Aksara Lampung Pada Anak” .

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam

penulisan makalah ini khususnya Bapak Dr. As. Rakhmad Idris, Lc., M.Hum dan Ibu Lisa

Misliani, M.Hum. yang telah membimbing penulis dengan sabar demi terselesaikan makalah

ini. Penulis berharap makalah yang sederhana dapat menjadi tambahan bagi pembaca yang

ingin mempelajari lebih jauh tentang “Pemerolehan Bahasa dan Aksara Lampung Pada

Anak” .

Demikian sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga tulisan

sederhana ini semoga dapat diterima dan bermanfaat bagi semua pembaca. Khususnya bagi

mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Kebudayaan Lampung untuk meningkatan

pengetahuan dan pengembangan keterampilan demi terciptanya pendidik professional.

Atas semua ini saya mengucapkan terimakasih bagi segala pihak yang telah ikut

membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Margakaya, Oktober 2021

Nesa Saputri

2
DAFTAR ISI

Halaman

COVER.................................................................................................................................................i

KATAPENGANTAR..........................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah..........................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................6
1.3 Tujuan Masalah........................................................................................................7

II PEMBAHASAN

2.1. Pemerolehan Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2)..........................................8


2.2. Teori-Teori Tentang Pemerolehan Bahasa Pertama (B1)..............................................22
2.3. Strategi Pemerolehan Bahasa Pertama (B1)........................................................26
2.4. Pemerolehan Bahasa Pertama Pada Anak...........................................................27
2.5. Dampak Pemerolehan Bahasa Pertama (B1).......................................................30
2.6. Teori Belajar Bahasa Kedua (B2).........................................................................31
2.7. Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua (B2)...........................................................32
2.8. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Kedua (B2)..........33
2.9. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembelajaran Bahasa Kedua (B2)........36
2.10. Pemerolehan Bahasa Kedua (B2).......................................................................37
2.11. Teori Perkembangan Bahasa (B1) dan (B2) Pada Anak..................................39
2.12. Perkembangan Akuisi Bahasa............................................................................41
2.13. Tahap-Tahap Perkembangan Bahasa...............................................................42
2.14. Implementasi Dalam Kehidupan Sehari-hari...................................................45

III PENUTUP

3.1. Kesimpulan .......................................................................................................................47


3.2. Saran ................................................................................................................................47

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Komunikasi antara satu orang dengan yang lain itu sangat penting. Hal yang paling

penting dalam berkomunikasi yaitu menggunakan bahasa. Maksud dan tujuan berbahasa

adalah menyampaikan informasi seluas-luasnya dengan jelas sebagai kebutuhan seseorang

dengan yang lainnya. Setiap orang dibekali untuk berbahasa ketika masih dalam kandungan.

Secara tidak langsung ketika dalam kandungan seseorang tersebut mendapatkan informasi

yang dirangsang oleh ibunya. Orang dewasa selalu terpesona pada perkembangan bahasa

yang terjadi pada anak-anak. Meskipun lahir tanpa bahasa, pada saat mereka berusia 3 atau 4

tahun, anak-anak secara khusus telah memperoleh beribu-ribu kosakata, sistem fonologi dan

gramatika yang kompleks, dan aturan kompleks yang sama untuk bagaimana cara

menggunakan bahasa mereka dengan sewajarnya dalam banyak latar sosial. Bahasa menurut

Kridalaksana (dalam Chaer 2003:32), bahasa adalah sistem lambang yang arbiter yang

digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan

mengidentifikasikan diri. Sedangkan definisi lain bahasa adalah alat komunikasi yang efektif

antar manusia dalam berbagai macam situasi. Bahasa dapat digunakan dalam penyampaian

gagasan ide dari pembicara ke pendengar atau penulis ke pembaca. Bahasa merupakan alat

perantara dalam proses interaksi manusia dengan manusia lain. Meskipun bahasa tidak pernah

lepas dari manusia, namun belum ada angka pasti berapa jumlah bahasa di dunia (Crystal,

dalam Chaer, 2003: 33). Bahasa berhubungan dengan kebudayaan manusia, dimana

kebudayaan manusia muncul setelah bahasa lahir dan ada pula yang berpendapat bahwa

bahasa merupakan pusat dari sebuah kebudayaan. Bahasa dipandang sebagai produk sosial

atau produk budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan. Sebagai

produk sosial atau budaya, bahasa adalah wadah aspirasi sosial, perilaku masyarakat, dan

4
wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai

bahasa itu (Sumarsono, 2002: 20). Bahasa dan kebudayaan selalu terealisasi secara

bersamaan, maksudnya ketika belajar bahasa asing maka terlebih dahulu mengenal

kebudayaannya sehingga terjadi timbal-balik di dalamnya. Apabila tidak ada jalinan antara

belajar bahasa dan kebudayaan mengakibatkan proses belajar bahasa atau kebudayaan tidak

maksimal.

Bahasa berkembang searah perkembangan zaman, dan orang tua pun harus

memperhatikan pembela-jaran bahasa anak-anaknya tersebut. Apabila orang tua sukses

mengenalkan bahasa pertama yang baik pada anak, tentunya perkembangan bahasa anak

selanjutnya akan signifikan dan berbeda dengan anak-anak yang kurang pengenalan dari

orang tuanya. Pembelajaran bahasa kedua berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada

waktu seorang anak-anak mempelajari bahasa kedua setelah dia mempelajari bahasa

pertamanya (Dona Aji K. dan Nuryani, 2013:179). Bahasa merupakan sebuah sistem

lambang bunyi yang bersifat arbitrer sekaligus konvensional. Bahasa pertama dan bahasa

kedua memiliki tingkat kebutuhannya masing-masing dalam komunikasi, baik secara lisan

maupun tulisan. Pengunaan istilah bahasa pertama (B1) perlu dibedakan dengan istilah

bahasa ibu. Bahasa pertama mengacu pada bahasa yang dikuasai anak sejak lahir sedangkan

bahasa ibu mengacu pada bahasa yang dikuasai oleh ibu si anak (sejak lahir). Orang dewasa

selalu terpesona oleh hampir perkembangan bahasa yang ajaib pada anak-anak. Meskipun

sepenuhnya lahir tanpa bahasa, pada saat mereka berusia 3 atau 4 tahun, anak-anak secara

khusus telah memperoleh beribu-ribu kosakata, sistem fonologi dan gramatika yang

kompleks, dan aturan kompleks yang sama untuk bagaimana cara menggunakan bahasa

mereka dengan sewajarnya dalam banyak latar sosial. Proses pemerolehan dan penguasaan

bahasa anak-anak merupakan satu perkara yang cukup menakjubkan bagi para penyelidik

dalam bidang psikoliguistik. Bagaimana manusia memperoleh bahasa merupakan satu isu

5
yang amat mengagumkan dan sukar dibuktikan. Berbagai teori dari bidang disiplin yang

berbeda telah dikemukakan oleh para pengkaji untuk menerangkan bagaimana proses ini

berlaku dalam kalangan anak-anak. Memang diakui bahwa disadari ataupun tidak, sistem-

sistem linguistik dikuasai dengan pantas oleh individu anak-anak walaupun umumnya tiada

pengajaran formal.

Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak

dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari

bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota

penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya

dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang

dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai

lain dalam masyarakat. Pembahasan mengenai bahasa kedua (B2) tidak terlepas dari

pembahasan mengenai bahasa pertama (B1). Bahasa kedua diperoleh setelah penguasaan

bahasa pertama. Pemerolehan bahasa kedua berbeda dengan pemerolehan bahasa pertama.

Perbedaan ini terletak dari proses pemerolehannya. Penguasaan B1 melalui proses

pemerolehan sedangkan penguasaan B2 melalui proses pembelajaran. Pembelajaran B2

dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal hanya dengan cara sengaja dan

sadar. Hal ini berbeda dengan pemerolehan bahasa pertama yang sifatnya alamiah serta

dengan cara tidak sengaja dan tidak sadar. Pengajaran bahasa kedua sudah ada sejak

berabad yang lalu dan selalu berubah seiring perjalanan waktu. Perubahan ini disebabkan

oleh banyak hal seperti pandangan terhadap hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa.

Perbedaan pandangan ini memengaruhi tujuan pembelajaran bahasa. Steinberg (2013:190)

menyatakan bahwa metode pengajaran bahasa kedua dapat dilihat dari beberapa hal seperti :

fokus pengajaran bahasa, pengajaran makna, pengajaran tata bahasa. Kita dapat melihat

pembelajaran bahasa kedua dari sudut pandang psikolinguistik, yaitu yang berhubungan

6
dengan Language Acquisition (Penerimaan Bahasa). Menurut Steinberg (1999:203), terdapat

dua faktor di dalam penerimaan bahasa kedua, yaitu faktor psikologis dan faktor sosial.

Dalam faktor psikologis, kita harus mempertimbangkan proses intelektual yang

berhubungan dengan struktur dan aturan tata bahasa, memori, yang mana berperan sangat

penting dalam terjadinya pembelajaran, dan gerak, yang mencakup penggunaan artikulator

untuk berbicara (lidah, bibir, pita suara, dan lain-lain). Pada proses intelektual, terdapat dua

cara dalam mempelajari struktur dan aturan bahasa kedua: seseorang dapat menjelaskannya

kepada kita (eksplikasi/dengan penjelasan) atau dengan cara menemukannya sendiri

(induksi). Perkembangan bahasa anak-anak pula bermaksud pemerolehan bahasa ibu anak-

anak berkenaan. Namun, terdapat juga pandangan lain yang mengatakan bahwa terdapat dua

proses yang terlibat dalam pemerolehan bahasa dalam kalangan anak-anak yaitu

pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa. Bayi-bayi yang baru lahir sudah mulai

mengecam bunyi-bunyi yang terdapat di sekitarnya. Pemerolehan bahasa dalam bentuk yang

paling sederhana bagi setiap bayi bermula pada waktu bayi itu berumur lebih kurang 18

bulan dan mencapai bentuk yang hampir sempurna ketika berumur lebih kurang empat

tahun. Pemerolehan bahasa bermaksud penguasaan bahasa oleh seseorang secara tidak

langsung dan dikatakan aktif berlaku dalam kalangan kanak-kanak dalam lingkungan

penelitian ini bermaksud mengakaji pemerolehan bahasa pertama pada anak usia 0 s.d 3

tahun.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pemerolehan Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2) Pada Anak ?
1.3. Tujuan Pembahasan
2. Mengetahui Bagaimana Pemerolehan Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2)
Pada Anak ?

7
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pemerolehan Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2)

1. Pengertian Perolehan Bahasa


Menurut Dardjowidjojo (2008) istilah pemerolehan dipakai untuk
menerjemahkan bahasa Inggris, aquesition yang diartikan sebagai proses penguasaan
bahasa secara alami dari seorang anak saat ia belajar bahasa ibunya. Menurut Chaer
dan Agustina (2014). Pemerolehan bahasa kedua atau bilingualisme adalah rentangan
bertahap yang dimulai dari menguasai bahasa pertama (B1) ditambah mengetahui
sedikit bahasa kedua (B2), lalu penguasaan B2 meningkat secara bertahap, sampai
akhirnya menguasai B2 sama baiknya dengan B1. Menurut Akhadiah, S., dkk dalam
(1997:2.2) pemerolehan bahasa kedua adalah proses saat seseorang memperoleh
sebuah bahasa lain setelah lebih dahulu ia menguasai sampai batas tertentu bahasa
pertamanya. Dari pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian
pemerolehan bahasa kedua yaitu proses dimana seseorang telah menguasai bahasa
pertamanya terlebih dahulu kemudian memperoleh bahasa kedua yang sama baiknya
dengan bahasa pertama. Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang
berlangsung di dalam otak anak-anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau
bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa.
Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang
anak-anak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya.
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu proses yang diperlukan oleh
anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang semakin bertambah rumit
ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali
terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai ia memilih berdasarakn suatu
ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang baik serta paling sederhana dari
bahasa. Lebih jelasnya pemerolehan bahasa diartikan sebagai suatu proses yang
pertama kali dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan bahasa sesuai dengan
potensi kognitif yang dimiliki dengan didasarkan atas ujaran yang diterima secara

8
alamiah. Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu proses yang
diperlukan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang semakin
bertambah rumit ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang
mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai ia memilih
berdasarakn suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang baik proses anak
mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan
pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (Bl) anak terjadi bila anak
yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa
pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada
bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri
kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu
kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Ada dua pengertian
mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan
yang mendadak. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual,
yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Menurut Sigel dan Cocking (2000:5), pemerolehan bahasa merupakan proses
yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan
ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan
sederhana dari bahasa yang bersangkutan. Pemerolehan bahasa umumnya
berlangsung dilingkungan masyarakat bahasa target dengan sifal alami dan informal
serta lebih merujuk pada tuntutan komunikasi. Berbeda dengan belajar bahasa yang
berlangsung secara formal dan artifisial serta merujuk pada tuntutan pembelajaran
(Ricardo Schutz, 2006:12). Pemerolehan bahasa merupakan ambang sadar pemeroleh
bahasa biasanya tidak sadar bahwa ia tengah memperoleh bahasa, tetapi hanya sadar
akan kenyataan bahwa ia tengah menggunakan bahasa untuk komunikasi. Schutz
menambahkan hasil dari pemerolehan bahasa yakni kompetensi yang diperoleh juga
bersifat di ambang sadar. Si pemeroleh pada umurnya tidak sadar tentang kaidah
bahasa yang diperolehnya. Pemerolehan bahasa merupakan satu proses perkembangan
bahasa manusia. Lazimnya pemerolehan bahasa pertama dikaitkan dengan
perkembangan bahasa kanak-kanak manakala pemerolehan bahasa kedua bertumpu
kepada perkembangan bahasa orang dewasa (Language Acquisition: On-line).
Perkembangan bahasa kanak-kanak berkenaan pula dengan pemerolehan bahasa ibu
anak-anak berkenaan. Namun terdapat juga pandangan lain yang mengatakan bahwa
terdapat dua proses yang terlibat dalam pemerolehan bahasa dalam kalangan anak-

9
kanak yaitu pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa. Dua faktor utama yang
sering dikaitkan dengan pemerolehan bahasa ialah faktor nurture dan faktor nature.
Namun, para pengkaji bahasa dan linguistik tidak menolak kepentingan tentang
pengaruh faktor-faktor seperti biologi dan lingkungan sekitar.
Kajian-kajian telah dijalankan untuk melihat bahwa manusia memang sudah
dilengkapi dengan alat biologi untuk kebolehan berbahasa seperti yang didakwa oleh
ahli linguistik Noam Chomsky dan Lenneberg ataupun kebolehan berbahasa ialah
hasil dari pada kebolehan kognisi umum dan interaksi manusia dengan sekitarannya.
Mengikut Piaget, semua kanak-kanak sejak lahir telah dilengkapi dengan alat nurani
yang berbentuk mekanikal umum untuk semua kebolehan manusia termasuklah
kebolehan berbahasa. Alat mekanisme kognitif yang bersifat umum digunakan untuk
menguasai segala-galanya termasuk bahasa. Bagi Chomsky dan Miller pula, alat yang
khusus ini dikenali sebagai Language Acquisition Device (LAD) yang fungsinya sama
seperti yang pernah dikemukakan oleh Lenneberg yang dikenali sebagai “Innate
Prospensity for Language”. Bayi-bayi yang baru lahir sudah mulai mengecap bunyi-
bunyi yang terdapat di sekitarnya. Menurut Vygotsky (2006:22), pemerolehan bahasa
pertama diperoleh dari interaksi anak dengan lingkungannya, Walaupun anak sudah
memiliki potensi dasar atau piranti pemerolehan bahasa yang oleh Chomsky disebut
language acquisition device (LAD), potensi itu akan berkembang secara maksimal
setelah mendapat stimulus dari lingkungan. Pemerolehan bahasa dibedakan menjadi
pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa
pertama terjadi jika anak belum pernah belajar bahasa apapun, lalu memperoleh
bahasa. Pemerolehan ini bisa satu bahasa atau monolingual FLA (first language
a,cquisition), bisa dua bahasa secara bersamaan atau berurutan (bilingual FLA).
Bahkan bisa lebih dari, dua bahasa (multilingual FLA).
Proses pemerolehan terjadi secara alamiah, tanpa sadar, melalui interaksi tak
formal dengan orang tua dan/atau teman sebaya, tanpa bimbingan. Proses belajar
terjadi secara formal, disengaja, melalui interaksi edukatif, ada bimbingan, dan
dilakukan dengan sadar. Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2) didapat
bersama-sama atau dalam waktu berbeda. Jika didapat dalam waktu yang berbeda,
Bahasa Kedua (B2) didapat pada usia prasekolah atau pada usia Sekolah Dasar.
Bahasa Kedua (B2) dapat diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa
Kedua (B2). Jika diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama, Bahasa Kedua dipelajari
melalui proses belajar formal; jika didapat di lingkungan Bahasa Kedua, Bahasa

10
Kedua didapat melalui interaksi tidak formal, melalui keluarga, atau anggota masya-
rakat Bahasa Kedua. Pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan
cara anak-anak.Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka.
Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak
selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk
berkomunikasi. Untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat
dilakukan dengan  belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang
dewasa hanyadapat mempelajarinya. Namun, pada dasarnya Orang-orang dewasa juga
dapatmemanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti
yangdipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat
padaorang dewasa. Selain pembedaan pemerolehan dan pembelajaran yang
dikemukakan di atas,Sofa (2008) juga memberikan batasan pembedaan pada
pemerolehan dan pembelajaran dalam lima hal sebagai pemerolehan: memiliki ciri-
ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama,seorang anak penutur asli,
sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secaraformal, secara bawah sadar,
sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja. bahasa kedua seperti memungut bahasa
kedua, sedangkan pembelajaran mengetahui bahasa kedua, mendapat pengetahuan
secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahuan secara eksplisit,
pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaranmenolong
sekali. Terdapat dua cara pemerolehan bahasa kedua, yaitu pemerolehan bahasa kedua
secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah.
a. Pertama, pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan
menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria
yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang
guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya.
b. Kedua, pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan
bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari
pengajaran atau pimpinan,guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap
individu memperoleh bahasa keduadengan caranya sendiri-sendiri.
Interaksi menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan
bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara
alamiahatau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari,
dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja. Keberhasilan belajar
bahasa kedua, menurut Steinberg (2001:238), dipengaruhioleh strategi

11
yang digunakan pembelajar, yakni (1) verifikasi, adalah mengecek apakah
hipotesis mereka tentang bahasa tersbut benar, (2) pemrosesan induktif,
yakni menyusun hipotesis tentang bahasa kedua dengan dasar pengetahuan
mereka pada bahasa pertama,(3) alasan deduktif, yakni menggunakan
logika umum dalam memecahkan masalah, (4) praktik, yakni kegiatan
mengulang, berlatih, dan menirukan, (5) memorasi ataumengingat, yakni
strategi mnemonic dan pengulangan untuk tujuan
menguatkan penyimpanan dan pengambilan (storage and retrieval), (6)
monitoring, yakni beranimembuat kesalahan dan memberi perhatian pada
bagaimana pesan diterima oleh petutur.

Setelah menguasai bahasa pertama atau merupakan proses seseorang


mengembangkan keterampilan dalam bahasa kedua atau bahasa asing.
Pemerolehan melibatkan berbagai kemampuan seperti sintaksis, fonetik, dan
kosa kata yang luas. Biasanya, pemerolehan bahasa merujuk pada
pemerolehan bahasa pertama yang mengkaji pemerolehan anak terhadap
bahasa ibu mereka. Jadi bisa dipahami bahwa jika pemerolehan yang biasanya
digunakan pada bahasa pertama digunakan pada bahasa kedua, maka
pemerolehan bahasa kedua memiliki arti sebuah proses manusia dalam
mendapatkan kemampuan untuk menghasilkan, menangkap, serta
menggunakan kata secara tidak sadar, untuk berkomunikasi. Melibatkan
kemampuan sintaksis, fonetik, dan kosa kata yang luas pada selain bahasa
ibu/pertama, yaitu bahasa kedua, ketiga, keempat, dst., atau sering disebut
bahasa target (Target Language). Senada dengan uraian Rod Ellis
sebelumnya, seorang Professor di departemen kebahasaan Universitas
Auckland New Zealand menyebutkan bahwa, pemerolehan bahasa kedua
dapat merujuk pada bahasa apapun, yang dipelajari setelah bahasa Ibu.
Dengan kata lain pemerolehan bahasa kedua dapat pula disebut sebagai bahasa
ketiga, keempat, dst. Tapi hal ini dibantah oleh para ahli kebahasaan
(Linguistics), Noam Chomsky misalnya, menganggap bahwa pemerolehan
bahasa, hanya diperuntukkan pada bahasa pertama (Bahasa Ibu), tidak pada
bahasa kedua ataupun bahasa selanjutnya, sebab menurutnya bahasa adalah
bawaan manusia sejak lahir, “Language is innate to man”. Maka dari itu,
pendapatan bahasa secara tidak sengaja, hanya terdapat pada masa kanak-

12
kanak yang masih mengalami pertumbuhan dan pematangan, bukan
diperuntukkan bagi bahasa kedua. Singkatnya, istilah pemerolehan hanya
cocok digunakan untuk bahasa pertama tidak pada bahasa kedua. Untuk
bahasa kedua istilah yang cocok adalah pembelajaran bukan pemerolehan.
Terlepas dari kesamaan atau tidak, dalam istilah ini, bisa disimpulkan bahwa
pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua tidak
memiliki kesamaan tetapi memiliki beberapa/sedikit kesamaan, “the child
second language order of acquisition was different from first language order,
but different groups of second language acquirers showed striking
similarities”. Hal ini diamini pula oleh David Nunan, seorang pakar bahasa
dari Hongkong University. Ia menambahkan, pemerolehan bahasa di atas, baik
bahasa pertama ataupun bahasa kedua, akan berujung pada penggunaan
lingkungan pembelajaran bahasa, sebab lingkunganlah yang menjadikan
pelajar terus mengasah kemampuannya dalam berkomunikasi serta
kemampuan kebahasaan lainnya. Secara sederhana lingkungan itu sendiri,
terbagi menjadi dua jenis: pertama, formal (formal environment) dan yang
kedua adalah informal (informal environment). Lingkungan akan disebut
formal, manakala lingkungan tersebut terjadi dalam forum resmi, seperti
pembelajaran bahasa yang terjadi di dalam kelas “found for the most part in
classroom”, kursus dst. Lingkungan ini memberikan kepada pelajar berupa
sistem bahasa (pengetahuan unsur-unsur bahasa) atau wacana bahasa
(keterampilan berbahasa), tetapi itu semua tergantung kepada tipe
pembelajaran atau metode yang digunakan oleh pengajar. Sedangkan
lingkungan akan disebut informal, ketika lingkungan tersebut terjadi secara
alami, memberikan komunikasi secara alami. Ini bisa juga dipahami, bahwa
lingkungan tersebut tidak hanya berkutat di dalam kelas yang monoton, tetapi
mencangkup lingkungan secara keseluruhan.Oleh Karena itu lingkungan
informal ini memberikan porsi lebih banyak wacana bahasa daripada sistem
bahasa. Contohnya seperti sistem asrama yang sering kita kenal ataupun yang
agak asing kita dengar seperti homestay.

Pemerolehan Bahasa Kedua Menurut Stephen Krashen seperti yang telah


dipaparkan Noam Chomsky, bahwa anggapan tentang pemerolehan bahasa bisa
terjadi pada pelajar dewasa atau pada bahasa kedua, adalah mustahil terjadi, dan

13
cenderung berandai-andai. Sebab pemerolehan bahasa hanya bisa didapat oleh
mereka yang masih belajar bahasa Ibu. Jadi menurutnya, bila pemerolehan bahasa
ini masih dianggap pantas disematkan bagi pelajar dewasa, itu sama saja dengan
memaksakan kehendak. Menarik untuk diperhatikan, pendapat Noam Chomsky di
atas disanggah oleh seorang tokoh linguistik modern, Stephen Krashen. Krashen
berpendapat bahwa istilah pemerolehan bahasa tidak melulu digunakan untuk
bahasa pertama (bahasa Ibu) saja, istilah pemerolehan juga mungkin disematkan
pada bahasa kedua. Selanjutnya Krashen membagi menjadi dua konsep, inti
perbedaan dalam belajar bahasa yaitu:
a. Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition)
Pemerolehan bahasa adalah pendapatan bahasa yang mengacu pada
proses alami, melibatkan manusia dengan belajar bahasa secara tidak sadar.
Pemerolehan bahasa merupakan produk dari adanya interaksi nyata antara
pelajar dengan orang-orang di lingkungan bahasa target, di mana pelajar
sebagai pemain aktif. Hal ini mirip dengan anak yang belajar bahasa ibu
mereka. Proses ini akan menghasilkan keterampilan fungsional dalam bahasa
lisan tanpa tuntutan pengetahuan teoritis, dengan kata lain pelajar memiliki
upaya untuk mengembangkan keterampilan untuk berinteraksi dengan orang
asing serta menciptakan situasi komunikasi secara alami (natural
communication situation)38 agar dapat memahami bahasa mereka, tanpa
adanya tuntutan untuk menguasai teori. Sedangkan pembelajaran terlihat
seperti kegiatan yang bersifat pribadi dan tertutup, sangat berbeda dengan
pemerolehan yang berujung pada pengembangan komunikasi, kepercayaan
diri pelajar. Sebagai contoh ketika seorang remaja yang tinggal di luar negeri
selama satu tahun menjalani program pertukaran pelajar, mereka
mendapatkan kefasihan lebih asli, dan memiliki pengucapan yang lebih baik,
daripada mereka yang belajar bahasa di dalam kelas, karena sifatnya yang
informal dan alami.
b. Pembelajaran Bahasa (Language Learning)
Pembelajaran bahasa sering disebut sebagai pendekatan tradisional, dan
saat ini, pendekatan ini masih sangat umum dipraktikkan oleh sekolah-
sekolah di seluruh penjuru dunia. Perhatian pembelajaran difokuskan pada
bahasa dalam bentuk tertulis. Tujuannya adalah agar pelajar memahami
struktur dan aturan bahasa, membedahnya serta menganalisisnya, selain itu

14
diperlukan usaha intelektual dan penalaran deduktif kepada para pelajar.
Mudahnya, pendekatan dalam bentuk pembelajaran, memiliki ciri :
a. mengesampingkan komunikasi, komunikasi di anggap tidak begitu
penting.
b. teknik belajar mengajar hanya bersandar pada silabus, hal ini akan
memberi kesan kaku dan kurang imajinatif.
c. banyak berkutat hanya pada teori, aturan-aturan kebahasaan
(Grammatical Rules) 41 dan tidak dibarengi dengan praktik.
d. guru memiliki otoritas utama, pelajar hanya sebagai participant,
bergerak secara pasif.
e. pelajar hampir tidak pernah menguasai penggunaan struktur dalam
percakapan.

Lima ciri di atas berimbas pada tidak terbangunnya pengetahuan yang


menghasilkan keterampilan praktis dalam memahami dan berbicara pada
bahasa, padahal yang diharapkan adalah kebalikannya. Upaya pelajar
mengumpulkan pengetahuan tentang bahasa akan berbuah menjadi rasa
frustasi yang dirasakan para pelajar, sebab pelajar hanya dilibatkan untuk
menerima informasi tentang bahasa saja, serta mengubah informasi tersebut
menjadi pengetahuan lewat upaya intelektualnya, kemudian menyimpannya
dengan cara menghafal, hal ini akan membuat pelajar menjadi kurang akrab
dengan bahasa itu sendiri. Dari framework inilah, Krashen melahirkan lima
hipotesis, hipotesis ini diterbitkan pertama kali olehnya pada tahun 1980an.
Hingga saat ini trobosan lima hipotesis Stephen Krashen sangat fenomenal
dan populer hingga mempengaruhi sebagian penduduk/ masyarakat
Amerika utara. Selain itu hipotesis ini juga turut mempengaruhi dalam
pembelajaran bahasa termasuk di dalamnya isu yang sangat kontroversial
dalam pemerolehan bahasa kedua secara teori maupun praktik.

Hipotesis yang terkenal tersebut adalah:

1. Hipothesis Pemerolehan – Pembelajaran


Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hipotesis ini
mengacu kepada bagaimana bahasa kedua sebagai sebuah sistem yang
deperoleh atau dipelajari. Sistem yang diperoleh mengandung maksud

15
bahwa bahasa dikuasai melalui proses bawah sadar (unconscious
mind). Dalam bukunya yang berjudul “Principle and Practice in
Second Language Acquisition”, Krashen menekankan bahwa
pemerolehan adalah proses tidak sadar “Acquisition is a subconscious
procces”. Lebih rincinya, Krashen menjelaskan bahwa, pelajar tidak
akan menyadari bahwa ia belajar bahasa, tetapi mereka hanya
meyadari bahwa mereka sedang berkomunikasi. Singkat kata,
pemerolehan bahasa terjadi ketika pelajar berkomunikasi dan terus
berkomunikasi secara natural/alami, tidak terfokus kepada aturanaturan
kebahasaan “not consciously aware of the rules”. Sedangkan
pengkoreksiannya/evaluasinya juga terjadi secara alami sesuai dengan
konteksnya. Selanjutnya, kemampuan pendapatan bahasa ini tidak
akan musnah dengan bertambahnya usia atau pada masa pubertas, “…
the ability to pick up the language does not disappear at puberity”
walaupun sudah berusia dewasa, pemerolehan masih sangat mungkin
dilakukan dan terjadi. Malahan Krashen menganggap bahwa proses
pemerolehan akan sangat kuat bila diterapkan sewaktu dewasa.
Berbeda dengan sebelumnya, sistem yang dipelajarai (pembelajaran)
mengandung maksud kebalikannya, yaitu bahasa dikuasai melalui
proses sadar, hal ini diamini oleh Krashen, ia berpendapat bahawa
istilah belajar merujuk kepada pengetahuan secara sadar “…. The term
(learning) henceforth to refer to conscious knowledge of second
language”. Dengan kata lain bahasa dikuasai melalui proses dan
pengkondisian yang terjadi secara formal, seperti belajar di kelas,
kursus dll dengan mengetahui aturan kebahasaan, sinonom kata, dan
belajar secara kontekstual. Adapun pengoreksiannya terjadi dengan
melakukan latihan-latihan dan pembiasaan. Hal-hal yang telah tersebut
tadi, akan berguna pada pelajar sebagai sensor ucapan-ucapan mereka
sebelum memproduksi kata. Tapi sekali lagi, Krashen memihak proses
pemerolehan sebagai proses belajar bahasa yang meyakinkan, sebab
menurutnya maksud inti dari mempelajari bahasa adalah kebisaan
pelajar dalam berkomunikasi bahasa target, dan pemerolehan
menghasilkan komunikasi yang sangat baik.
2. Hipotesis pemantauan (Monitor Hypothesis)

16
Maksud dari hipotesis ini adalah, setiap manusia dalam proses
internal bahasa memiliki monitor yang berfungsi sebagai editing serta
pengoreksi. Contohnya dalam belajar bahasa Arab terdapat pemakain
ism mu’annats dan mudzakkar, monitor akan muncul dalam pikiran
seseorang untuk mempertimbangkan kapan pelajar menggunakan Hadza
atau Hadzihi. Hipotesis monitor berpendapat bahwa pemerolehan dan
pembelajaran digunakan dengan cara yang sangat kompleks dan spesifik.
Biasanya pemerolehan memulai dengan membuat para pelajar
berucap/berbicara bahasa kedua (bahasa target) dan bertanggung jawab
atas kefasihan dalam berbicara “acquisition “initiates” our utterances in
a second language and is responsible for our fluency”. Sedangkan
belajar memiliki hanya satu fungsi, yaitu sebagai monitor atau editor
“Learning has only one function, and that is as a Monitor.” Walaupun
dimasukkan di dalamnya permainan (games) atau belajar sambil
bermain, tetap saja ia hanya melakukan perubahan dalam ucapan.

3. Hipotesis Alamiah (Natural Hypothesis Order)

Dalam hipotesis ini Krashen menyatakan bahwa struktur bahasa


diperoleh dengan urutan ilmiah yang dapat diperkirakan, beberapa
struktur tertentu cenderung muncul lebih awal dari struktur yang lain
dalam pemerolehan bahasa. Contohnya ada pada Struktur fonologi, dalam
struktur fonologi anak cenderung memperoleh vokal-vokal seperti (a)
sebelum akhirnya menyentuh vokal (i) dan (u). Konsonan depan lebih
dahulu dikuasai oleh anak daripada konsonan belakang. Urutan alamiah
seperti ini tidak saja terjadi pada masa kanak-kanak tapi juga terjadi pada
masa dewasa.

4. Hipotesis Masukan (Input Hypothesis)

Hipotesis ini menjelaskan bahwa pembelajaran bahasa kedua dinggap


akan terjadi jika siswa yang mendapatkan informasi/ pengetahuan setingkat
lebih tinggi dari pada yang telah dikuasainya. Dengan kata lain pelajar
harus mendapatkan setingkat hal baru yang belum diketahuinya. Hipotesis
ini memiliki rumusan (i+1). (i) memiliki maksud sabagai input sedangkan
(1) memiliki maksud sebagai kompetensi setingkat dari sebelumnya. Jika

17
(i+2) maka pelajar akan merasakan kesulitan dalam belajar bahasa, beda
lagi jika (i+0) pelajar akan malas belajar, sebab pembelajaran dilakukan
dengan pengetahuan sebagai input yang sudah dikuasai oleh siswa.

5. Hipotesis Efektif Filter (Effective Filter Hypothesis)

Dalam hipotesis ini Stephen Krashen menjelaskan bahwa setiap


manusia memiliki saringan efektif atau yang biasa disebut dengan
(Effective Filter). Saringan inilah yang memberikan rasa takut, malu pada
seorang pelajar. Seorang pelajar bahasa yang memiliki motivasi tinggi,
kepercayaan tinggi, dan kecemasan lebih rendah, akan lebih mungkin untuk
berhasil dalam pemerolehan bahasa, tapi sebaliknya jika pelajar bahasa
tidak memiliki beberapa hal yang telah tersebut diatas dalam dirinya maka
terwujudlah sebuah variabel emosional yang positif. Selanjutnya, menurut
Krashen, saringan/filter ini akan menghambat siswa menerima/
mereproduksi bahasa. Contohnya jika ada seorang pelajar tidak suka
dengan belajar bahasa Arab, maka saringan/filter pada pelajar tersebut akan
semakin menyempit, begitu pula jika benci terhadap pengajar, diolok-olok,
jika pelajar melakukan kesalahan dalam berbahasa. Hal ini nantinya akan
menjadi problem pelajar, sebab perkembangan psikologisnya yang semakin
peka terhadap lingkungannya.

Pemerolehan bahasa kedua dimaknai saat seseorang memperoleh sebuah


bahasa lain setelah terlebih dahulu ia menguasai sampai batas tertentu bahasa
pertamanya (bahasa ibu). Ada juga yang menyamakan istilah bahasa kedua
sebagai bahasa asing. Khusus bagi kondisi di Indonesia, istilah bahasa pertama
atau bahasa ibu, bahasa asli atau bahasa utama, berwujud dalam bahasa daerah
tertentu sedangkan bahasa kedua berwujud dalam bahasa Indonesia dan
bahasa asing. Tujuan pengajaran bahasa asing kadang-kadang berbeda dengan
pengajaran bahasa kedua. Bahasa kedua biasanya merupakan bahasa resmi di
negara tertentu, oleh karenanya bahasa kedua sangat diperlukan untuk
kepentingan politik, ekonomi dan pendidikan. Terdapat perbedaan dalam
proses belajar bahasa pertama dan bahasa kedua.
Proses belajar bahasa pertama memiliki ciri-ciri:
1. belajar tidak disengaja

18
2. berlangsung sejak lahir
3. lingkungan keluarga sangat menentukan
4. motivasi ada karena kebutuhan
5. banyak waktu untuk mencoba bahasa
6. banyak kesempatan untuk berkomunikasi.
Pada proses belajar bahasa kedua terdapat ciri-ciri:
1. belajar bahasa disengaja, misalnya karena menjadi salah satu mata pelajaran di
sekolah
2. berlangsung setelah pelajar berada di sekolah
3. lingkungan sekolah sangat menentukan
4. motivasi pelajar untuk mempelajarinya tidak sekuat mempelajari bahasa
pertama. Motivasi itu misalnya ingin memperoleh nilai baik pada waktu
ulangan atau ujian.
5. waktu belajar terbatas
6. pelajar tidak mempunyai banyak waktu untuk mempraktikan bahasa yang
dipelajari.
7. bahasa pertama mempengaruhi proses belajar bahasa kedua
8. umur kritis mempelajari bahasa kedua kadang-kadang telah lewat sehingga
proses belajar bahasa kedua berlangsung lama.
9. disediakan alat bantu belajar
10. ada orang yang mengorganisasikannya, yakni guru dan sekolah.
Strategi Belajar Bahasa Kedua :
Dalam kaitannya dengan proses belajar bahasa kedua perlu diperhatikan beberapa
strategi yang dapat diterapkan. Stern (1983) menjelaskan ada sepuluh strategi
dalam proses belajar bahasa, yaitu:
1. strategi perencanaan dan belajar positif
2. strategi aktif, pendekatan aktif dalam tugas belajar, libatkan siswa Anda secara
aktif dalam belajar bahasa bahkan melalui pelajaran yang lain.
3. strategi empatik, ciptakan empatik pada waktu belajar bahasa.
4. strategi formal; perlu ditanamkan kepada siswa bahwa proses belajar bahasa
ini formal/terstruktur sebab pendidikan yang sedang ditanamkan adalah
pendidikan formal bukan alamiah.
5. strategi eksperimental; tidak ada salahnya jika Anda mencoba-coba sesuatu
untuk peningkatan belajar siswa anda.

19
6. strategi semantik, yakni menambah kosakata siswa dengan berbagai cara,
misalnya permainan (contoh: teka-teki); permainan dapat meningkatkan
keberhasilan belajar bahasa.
7. strategi praktis; pancinglah keinginan siswa untuk mempraktikan apa yang
telah didapatkan dalam belajar bahasa, Anda sendiri harus dapat menciptakan
situasi yang kondusif di kelas.
8. strategi komunikasi; tidak hanya di kelas, motivasi siswa untuk menggunakan
bahasa dalam kehidupan nyata meskipun tanpa dipantau, berikan
pertanyaanpertanyaan atau PR yang memancing mereka bertanya kepada
orang lain sehingga strategi ini terpakai.
9. strategi monitor; siswa dapat saja memonitor sendiri dan mengkritik
penggunaan bahasa yang dipakainya, ini demi kemajuan mereka.
10. strategi internalisasi; perlu pengembangan/pembelajaran bahasa kedua yang
telah dipelajari secara terus-menerus/berkesinambungan.
Selanjutnya Rubin (dalam Stern, 1983) menyebutkan ciri-ciri pelajar yang baik
ketika melakukan proses belajar bahasa:
1. ia mau dan menjadi seorang penerka yang baik (dapat menerka bentuk yang
gramatikal dan yang tidak gramatikal)
2. suka berkomunikasi
3. kadang-kadang tidak malu terhadap kesalahan dan siap memperbaikinya;
belajar setelah berbuat salah
4. suka mengikuti perkembangan bahasa
5. praktis, tidak terlalu teoritis.
6. mengikuti ujarannya dan membandingkannya dengan ujaran yang baku, ini
baik untuk pelafalan.
7. mengikuti perubahan makna sesuai konteks sosial.
2. Proses Pemerolehan Bahasa
Stren dalam Akhadiah, S., dkk (1997:2.2) menyamakan istilah bahasa kedua
dengan bahasa asing. Tetapi bagi kondisi di Indonesia perlu membedakan istilah
bahasa kedua dengan bahasa asing. Bagi kondisi di (first languange) yang berwujud
bahasa daerah tertentu, bahasa kedua (second languange) yang berwujud bahasa
Indonesia atau bahasa asing (foreign languange). Bahasa kedua biasanya merupakan
bahasa resmi di negara tertentu. Oleh karena itu bahasa kedua sangat diperlukan untuk
kepentingan politik, ekonomi, dan pendidikan. Dalam Chaer dan Agustina (2014)

20
menerangkan bahwa pada umumnya bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah
bahasa daerahnya masing-masing karena bahasa Indonesia baru dipelajari ketika anak
masuk sekolah dan ketika ia sudah menguasai bahasa ibunya. Dibandingkan dengan
pemerolehan bahasa pertama, proses pemerolehan bahasa kedua tidak linear. Menurut
Krashen dalam Akhadia, S.,dkk (1997:2.3) untuk anakanak, bahasa kedua adalah hal
yang lebih banyak dipelajari daripada diperoleh. Bila dilihat dari proses dan
pengembangan bahasa kedua ada dua cara yang dijelaskan oleh hipotesis pembedaan
dan pemerolehan dan belajar bahasa yaitu:
 Cara pertama dalam pengembangan bahasa kedua adalah pemerolehan bahasa yang
merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak mengembangkan
kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Hasil atau akibat pemerolehan bahasa,
kompetensi yang diperoleh bawah sadar. Cara-cara lain memberikan pemerolehan
termasuk belajar implisit, belajar informal dan belajar alamiah. Dalam bahasa
nonteknis sering disebut pemerolehan "memunggut"bahasa.
 Cara kedua dalam pengembangan bahasa kedua adalah dengan belajar bahasa,
yang mengacu pada pengetahuan yang sadar terhadap bahasa kedua, mengetahui
kaidah-kaidah, menyadari kaidah-kaidah dan mampu berbicara mengenai kaidah-
kaidah itu yang oleh umum dikenal dengan tata bahasa. Beberapa sinonim
mencakup pengetahuan formal mengenai suatu bahasa atau belajar eksplisit.
Beberapa pakar teori belajar bahasa kedua beranggapan bahwa anak-anak
memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan
tetapi hipotesis pemerolehan-belajar menuntut orang-orang dewasa juga memperoleh,
bahwa kemampuan memungut bahasa tidak hilang pada masa remaja. Hipotesis diatas
dapat menjelaskan perbedaan pemerolehan dan belajar bahasa, Krashen dan Terrel
dalam Akhadiah, dkk (1997:2.3) menegaskan perbedaan keduanya dalam lima hal
yaitu sebagai berikut:
a. Pemerolehan memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama
seorang anak penutur asli sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara
formal.
b. Pemerolehan dilakukan secara bawah sadar sedangkan pembelajaran adalah proses
sadar dan disengaja.

21
c. Pemerolehan seorang anak atau pelajar bahasa kedua belajar seperti memungut
bahasa kedua sedangkan dalam pembelajaran seorang pelajar bahasa kedua
mengetahui bahasa kedua.
d. Dalam pemerolehan pengetahuan didapatkan secara implisit sedangkan dalam
pembelajaran pengetahuan didapatkan secara eksplisit
e. Pemerolehan pengajaran secara formal tidak membantu kemampuan anak
sedangkan dalam pembelajaran pengajaran secara formal hal itu menolong sekali.
3. Tipe Pemerolehan Bahasa
Ellis dalam Chaer (2002:242) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran
bahasa yaitu tipe naturalistik dan tipe formal dalam kelas. Pertama, tipe naturalistik
bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan pembelajaran berlangsung
didalam lingkungan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat bilingual dan
multilingual tipe naturalistik banyak dijumpai. Belajar bahasa menurut tipe
naturalistik ini sama prosesnya dengan pemerolehan bahasa pertama yang
berlangsungnya secara ilmiah, sehingga pemerolehan bahasa yang dihasilkan antara
anak-anak dan dewasa berbeda. Kedua, yang bersifat formal berlangsung di dalam
kelas dengan guru, materi dan alat-alat yang sudah dipersiapkan, pembelajaan bahasa
dalam tipe ini dilakukan dengan sengaja atau sadar, pembelajaran bahasa bersifat
formal seharusnya lebih baik daripada pembelajaran yang dilakukan secara
naturalistik, tapi pada kenyataanya tidak, terdapat berbagai penyebab atau faktor yang
mempengaruhinya dalam proses pembelajaran bahasa. Nurhadi (dalam Chaer
2002:144) meskipun studi tentang metodologi belajar bahasa kedua (atau bahasa
asing) telah sedemikian lama dengan biaya yang cukup besar, tetapi belum banyak
mengubah cara orang belajar bahasa.

2.2. Teori-teori tentang Pemerolehan Bahasa Pertama

a. Teori Behaviorismea oleh B.F. Skinner


Teori behaviorisme menyo-roti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati
langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Perilaku
bahasa yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi
ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian,
anak belajar bahasa pertamanya. Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan
bilangkali untuk barangkali. Sudah pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa

22
saja yang mendengar kata tersebut. Apabila sutu ketika si anak mengucapkan
barangkali dengan tepat, dia tidak mendapat kritikan karena pengucapannya sudah
benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap
rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.
Adapun isi teori behavio-risme dalam perolehan bahasa pertama :
1. Teori Behaviorisme mula-nya adalah teori belajar dalam psikologi yang telah
muncul sejak 1940-an s/d awal 1950-an dan John B. Watson dianggap sebagai
pelopor utama dalam teori ini.
2. Otak bayi waktu dilahirkan sama sekali seperti kertas kosong/piring kosong
(tabularasa/blank slate), yang nanti akan diisi dengan pengalaman-
pengalaman.
3. Bagi mereka istilah bahasa menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki
dan digunakan, dan bukan sesuatu yang dilakukan. Itulah sebabnya mereka
menyebutnya dengan Verbal Behavior (perilaku verbal) yang kemudian
konsep-konsep tersebut tertuang dalam bukunya B.F. Skinner yang berjudul
Verbal Behavior (1957).
4. pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak da-lam perilaku berbahasa
adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang
diamati dan dialami manusia.
5. Kemampuan berbicara danmemahami bahasa oleh anakdiperoleh melalui
rangsang-an dari lingkungannya dan anak dianggap sebagai penerima pasif
dari teka-nan lingkungannya, tidak memiliki peranan yang aktif didalam
proses perkembangan perilaku verbalnya.
6. Mereka juga tidak meng-akui penguasaan anak terhadap kaidah bahasa dan
kemampuannya untuk mengabsrakkan ciri-ciri penting dari bahasa di
lingkungannya. Namun adapun ketika anak berbicara itu disebabkan oleh
keberhasilan lingkungan yang membentuk anak itu
7. Mereka juga tidak meng-akui kematangan si anak dalam perkembangan peme-
rolehan bahasa, tetapi proses perkembangan sama sekali ditentukan oleh
lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya. Ada-pun perkembangan
bahasa dipandang sebagai kemaju-an dari penerapan prinsip stimulus-respon
dan proses imitasi (peniruan)
8. Kekurangannya: teori ini tidak mampu menjelaskan proses pemerolehan
bahasaitu sendiri dan faktor kreatifitas dalam penggu-naan bahasa serta bagai-

23
mana kompetensi bahasa digunakan untuk membuat dan memahami kalimat-
kalimat baru yang belum pernah didengarnya.
9. Dalam kaitannya dengan belajar B2, Lado (1964), mengatakan bahwa
seseorang yang memulai belajar B2 cendrung akan menggunakan kebiasaan-
kebiasaan (kaidah) yang dibentuk pada B1-nya, sehingga kebiasaan itulah
yang terbawa ketika belajar B2.
10. Itulah sebabnya teori Behaviorisme sering dikaitkan dengan hipotesis analisis
kontrastif (suatu metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk
melihat/mencari persamaan dan perbedaan antara kedua bahasa atau lebih).
Jadi, jika ada kemiripan B1 dan BT/B2, maka anak akan memperoleh struktur
BT/B2 dengan mudah, tetapi jika sebaliknya maka anak akan menemui
kesulitan.
11. Jadi bagi kaum behaviorism bahwa belajar bahasa dan perkembangannya
hanyalah persoalan bagaimana meng-kondisikan anak dengan cara “imitation,
practice, reinforcement, and habitua-tion”, yang merupakan lang-kah
pemerolehan bahasa.
12. Dalam pengajaran bahasa, behaviorisme mengem-bangkan metode drill atau
memperbanyak latihan baik dalam bentuk lisan atau tulisan.
b. Teori Nativisme oleh chomskyb
Chomsky merupakan pe-nganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat
dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia.
Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa
adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan
yang sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peran kecil
di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang
relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data yang
cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa. Menurut aliran ini,
bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil dapat dikuasai
dalam waktu yang singkat melalui “peniruan”. Nativisme juga percaya bahwa setiap
manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa
(language acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan
diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar.
Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti
bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya. Semua anak yang normal dapat belajar

24
bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak
lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat
c“makanan” sebagaimana biasanya sehingga alat ini tidak bisa mendapat bahasa
pertama sebagaimana lazimnya seperti anak yang dipelihara oleh serigala (Baradja,
1990:33). Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam
waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga
memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi
bahasa.
c. Teori Kognitivisme
Menurut teori ini, bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan
salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif.
Bahasa distrukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada
perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan
perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa. Hal ini tentu saja
berbeda dengan pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari
perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks,
abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh
secara alamiah. Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah
perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan
berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya
memahami dunia melalui indranya. Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara
langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti bahwa benda
memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan simbol untuk
mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian
berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.
d. Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme ber-anggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan
hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa.
Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan “input”
dan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD
sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat
menguasai bahasa tertentu secara otomatis. Sebenarnya, menurut hemat penulis,
faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan bahasa pertama oleh sang anak sangat
mempengaruhi. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa

25
si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai
penemuan seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa
sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang
dimaksud adalah kecerdasan berbahasa.. Akan tetapi, yang tidak dapat dilupakan
adalah lingkungan juga faktor yang memperngaruhi kemampuan berbahasa si anak.
Banyak penemuan yang telah membuktikan hal ini.
e. Mekanisme perolehan bahasa
1. Imitasi, dalam perolehan bahasa terjadi ketika anak menirukan pola bahasa
maupun kosa kata dari orang-orang yang signifikan bagi mereka, biasanya orang
tua atau pengasuh.
2. Pengkondisian,Mekanisme ini diajukan oleh B.F Skinner. Mekanisme
pengkondisian atau pembiasaan terhadap ucapan yang didengar anak dan
diasosiasikan dengan objek atau peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu kosakata
awal yang dimiliki oleh anak adalah kata benda.
3. Kognisi sosial, Anak memperoleh pemahaman terhadap kata (semantik) karena
secara kognisi ia memahami tujuan seseorang memproduksi suatu fonem melalui
mekanisme atensi bersama. Adapun produksi bahasa diperolehnya melalui
mekanisme imitasi.
d. Proses Pemerolehan Bahasa Pertama
a. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintak-
sis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak
sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan
sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa.
b. Performansi adalah kemam-puan anak menggunakan bahasa untuk berkomunika-
si. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan
prosespenerbitan kalimat-kalimat.Proses pemahaman melibat-kan kemampuan
mengamati atau mempersepsi kalimat- kalimat yang didengar, sedangkan proses
penerbi-tan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kali-mat sendiri.
2.3. Strategi Pemerolehan Bahasa Pertama (B1)
Anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa pada umumnya menggunakan 4
strategi:
1. Strategi meniru/imitasi
2. Strategi produktivitas
3. Strategi umpan balik

26
4. Prinsip operasi

Strategi pertama adalah meniru/imitasi. Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa


adalah strategi produktivitas. Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam
pemerolehan bahasa melalui sarana komunikasi linguistik dan nonlinguistik (mimik,
gerak, isyarat, suara dsb). Strategi ketiga adalah strategi umpan balik, yaitu umpan
balik antara strategi produksi ujaran (ucapan) dengan responsi. Strategi keempat adalah
apa yang disebut prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman,
”Gunakan beberapa prinsip operasi umum untuk memikirkan serta menggunakan
bahasa.

2.4. Pemerolehan Bahasa Pertama Pada Anak

Bila kita mengamati perkembangan kemampuan berbahasa anak, kita akan


terkesan dengan pemerolehan bahasa anak yang berjenjang dan teratur. Pada usia satu
tahun anak mulai mengucapkan kata-kata pertamanya yang terdiri dari satu kata yang
kadang-kadang tidak jelas tetapi sesungguhnya bermakna banyak. Contoh anak
mengucapkan kata “makan”, maknanya mungkin ingin makan, sudah makan, lapar
atau mungkin makanannya tidak enak, dsb. Pada perkembangan berikutny mungkin
anak sudah dapat mengucapkan dua kata, contoh, “mama masak”, yang maknanya
dapat berarti: ibu masak, ibu telah masak, atau ibu akan masak sesuatu. Demikian
seterusnya hingga umur enam tahun anak telah siap menggunakan bahasanya untuk
belajar di sekolah dasar, sekaligus dengan bentuk-bentuk tulisannya. Uraian di atas
adalah contoh singkat bagaimana seorang anak menguasai bahasa hingga enam tahun.
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal itulah
yang disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Jadi pemerolehan bahasa pertama
terjadi bila anak pada awal kehidupannya tanpa bahasa kini telah memperoleh satu
bahasa. Pada masa perolehan bahasa tersebut, bahasa anak lebih mengarah pada
fungsi komunikasi daripada bentuk atau struktur bahasanya. Anak akan mengucapkan
kata berikutnya untuk keperluan komunikasinya dengan orang tua atau kerabat
dekatnya. Gracia (dalam Krisanjaya, 1998) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa
anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian
kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang
lebih rumit (sintaksis). Kalau kita beranggapan bahwa fungsi tangisan sebagai awal
dari kompetensi komunikasi, maka ucapan kata tunggal yang biasanya sangat

27
individual dan kadang aneh seperti: “mamam” atau “maem” untuk makan, hal ini
menandai tahap pertama perkembangan bahasa formal. Untuk perkembangan
berikutnya kemampuan anak akan bergerak ke tahap yang melebihi tahap awal tadi,
yaitu anak akan menghadapi tugas-tugas perkembangan yang berkaitan dengan
fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Ada dua pandangan mengenai
pemerolehan bahasa (McGraw dalam Krisanjaya, 1998). Pertama pemerolehan bahasa
mempunyai permulaan mendadak atau tiba-tiba. Kebebasan berbahasa dimulai sekitar
satu tahun ketika anak-anak menggunakan kata-kata lepas atau terpisah dari simbol
pada kebahasaan untuk mencapai aneka tujuan sosial mereka. Pandangan kedua
menyatakan bahwa pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang
muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial dan kemampuan kognitif pralinguistik.
Khusus mengenai hubungan perkembangan kognitif dengan perkembangan bahasa
anak dapat disimpulkan 2 hal :
1. jika seorang anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata
bahasa yang teratur rapi tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak
telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik.
2. penutur bahasa harus memperoleh kategori-kategori kognitif yang mendasari
berbagai makna ekspresif bahasa alamiah, seperti: waktu, ruang, kausalitas dan
sebagainya. Lenneberg salah seorang ahli teori belajar bahasa yang sangat
terkenal (1969) mengatakan bahwa perkembangan bahasa bergantung pada
pematangan otak secara biologis. Pematangan otak memungkinkan ide
berkembang dan selanjutnya memungkinkan pemerolehan bahasa anak
berkembang. Terdapat banyak bukti, manusia memiliki warisan biologis yang
sudah ada sejak lahir berupa kesanggupannya untuk berkomunikasi dengan
bahasa, khusus untuk manusia.
Bukti yang memperkuat pendapatnya itu, antara lain: Kemampuan berbahasa
sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti
bagian otak tertentu yang mendasari bahasa.
1. Tingkat perkembangan bahasa anak sama bagi semua anak normal.
2. Kelainan hanya sedikit berpengaruh terhadap keterlambatan perkembangan
bahasa anak.
3. Bahasa tidak dapat diajarkan kepada makhluk lain.
4. Bahasa bersifat universal, setiap bahasa dilandasi unsur fonologi, semantik
dan sintaksis yang universal.

28
Apakah ada peran pematangan otak dalam perkembangan ide dan pikiran
manusia, sampai saat ini masih diperdebatkan, tetapi hampir semua ahli teori
belajar bahasa meyakini bahwa sewaktu seorang bayi lahir dia telah dikaruniai
dengan semua perlengkapan dasar otak dan fungsi-fungsi yang diperlukan untuk
perkembangan otak dan pikirannya. Dengan demikian pertalian antara
pertumbuhan otak dan perkembangan pikiran, termasuk bahasa anak
kemungkinan hasil rangsangan pertumbuhan otak atau sebaliknya. Lebih jauh
Steinberg (1990) seorang ahli psikolinguistik, menjelaskan perihal hubungan
bahasa dan pikiran. Menurutnya sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak
dibangun sedikit-demi sedikit apabila ada rangsangan lingkungan sekitarnya
sebagai masukan atau input. Input ini dapat berupa apa yang didengar, dilihat dan
apa yang disentuh anak yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan
sekitar anak yang mereka alami. Lama-kelamaan pikirannya akan terbentuk
dengan sempurna. Apabila pikiran telah terbentuk dengan sempurna dan apabila
masukan bahasa dialami secara serentak dengan benda, peristiwa, dan keadaan
maka barulah bahasa mulai dipelajari. Lama kelamaan sistem bahasanya lengkap
dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuklah. Sebagian dari
sistem bahasanya adalah sistem pikirannya karena makna dan semantik bahasa
yang digunakan adalah ide yang merupakan bagian dari isi pikirannya . Sistem
pikiran dan bahasa bergabung melalui makna dan ide. Walaupun masih terdapat
perbedaan tentang teori pemerolehan bahasa anak, tetapi kita semua meyakini
bahwa bahasa merupakan media yang dapat dipergunakan anak untuk
memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama dan nilai-nilai lain yang hidup di
masyarakat.. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan perkembangan
sosial anak dan karenanya erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial.
Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau
gramatikal, belum berarti ia telah menguasai bahasa pertama.
Agar seorang anak dapat disebut menguasai bahasa pertama ada beberapa unsur
penting yang berkaitan dengan perkembangan kognitif anak, yaitu pemahaman
tentang waktu, ruang, modalitas, sebab akibat yang merupakan bagian penting
dalam perkembangan kognitif penguasaan bahasa ibu seorang anak. Sejak bayi,
anak telah berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Jika Anda memperhatikan
seorang ibu, ayah atau keluarga yang memiliki seorang bayi, pada umumnya
mereka sudah sejak awal mengajak bicara pada bayi dan memperlakukan bayi

29
tersebut seolah-olah sudah dapat berbicara. Pola bicara mereka sudah dua arah,
orang tua berusaha menanggapi setiap reaksi bayi dan bertindak seolah-olah reaksi
bayi tersebut ada maknanya dan perlu ditanggapi. Melalui bahasa khususnya
bahasa pertama, seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. Dengan
demikian bahasa ibu (bahasa pertama) menjadi salah satu sarana bagi seorang
anak untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, pendirian, gagasan, harapan, dan
sebagainya. Anak belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima
anggota masyarakatnya dan ia tahu bahwa tidak selalu ia dapat mengungkapkan
perasaannya secara gamblang. Ujaran-ujaran yang dituturkan secara salah dari
seorang anak masih dapat dimaklumi, tetapi ia harus sudah mulai belajar bahwa
ada norma budaya tertentu yang harus diperhatikan, yang berubah sesuai
kemajuan zaman. Ada ciri lain yang khas dari seorang anak ketika sudah masuk
sekolah dasar yaitu keinginan yang kuat untuk menyatu dengan anggota
masyarakat sekelilingnya, khususnya dengan anak sebayanya. Kalau anak-anak
sebayanya menggunakan kata-kata seperti: asyik, oke,bo, mah, tea, bokap, nyokap
dan sebagainya, maka dengan segera istilah-istilah itu akan digunakannya juga.
2.5. Dampak perolehan bahasa pertama
Orang tua dan lingkungan mempunyai andil besar terhadap pemerolehan
bahasa yang akan dipelajarinya di lembaga formal. Dijelaskan dalam aliran
behavioristik Tolla dalam Indrawati dan Oktarina bahwa proses penguasaan
bahasa pertama dikendalikan dari luar, yaitu oleh rangsangan yang disodorkan
melalui lingkungan. Sementara Tarigan dalam Indrawati dan Oktarina
mengemukakan bahwa anak mengemban kata dan konsep serta makhluk social.
Tarigam memadukan bahwa konsep pemerolehan belajar anak berasala dari
konsep kognetif serta perkembangan sosial anak itu sendiri. Adapun
perkembangan sosial itu sendiri idak terlepas dari faktor orang-orang yang
kehadirannya ada di lingkungan diri anak. Orang-orang yang dimaksud adalah
teman, saudara dan yang paling dekat adalah kedua orang tua yaitu ayah serta
ibunya. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh kedua orang tua
sebagai orang yang pertama kali dekat dengan diri anak ketika menerima bahasa
pertama sangat berdampak terhadap anak dalam tahapan pemerolehan bahasa
kedua. Pemerolehan bahasa pertama anak adalah bahasa daerah karena bahasa
itulah yang diperolehnya pertama kali. Perolehan bahasa pertama terjadi apabila
seorang anak yang semula tanpa bahasa kini ia memperoleh bahasa. Bahasa

30
daerah merupakan bahasa pertama yang dikenal anak sebagai bahasa pengantar
dalam keluarga atau sering disebut sebagai bahasa ibu (B1). Bahasa ibu yang
digunakan setiap saat sering kali terbawa ke situasi formal atau resmi yang
seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bagi anak, orang
tua merupakan tokoh identifikasi. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika
mereka meniru hal-hal yang dilakukan orang tua. Anak serta merta akan meniru
apa pun yang ia tangkap di keluarga dan lingkungannya sebagai bahan
pengetahuannya yang baru terlepas apa yang didapatkannya itu baik atau tidak
baik. Citraan orang tua menjadi dasar pemahaman baru yang diperolehnya sebagai
khazanah pengetahuannya artinya apa saja yang dilakukan orang tuanya dianggap
baik menurutnya. Apapun bahasa yang diperoleh anak dari orang tua dan
lingkungannya tersimpan di benaknya sebagai konsep perolehan bahasa anak itu
sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan orang tua dalam berbahasa di
dalam keluarga (bahasa ibu) sangat dicermati anak untuk ditirukan. Anak bersifat
meniru dari semua konsep yang ada di lingkungannya.
2.6. Teori Belajar Bahasa Kedua (B2)
Teori belajar bahasa kedua (B2) berasal dari dunia barat, dan B2 yang terlibat
dalam teori ini adalah bahasa Inggris. Untuk dapat menerapkan teori tersebut, kita
perlu bersikap lebih arif bahkan kalau mungkin menciptakan teori berdasarkan
pengalaman kita. Dalam hal ini, B2 itu adalah bahasa Indonesia (BI) yang sudah
banyak dibahas orang, apalagi teori-teori itu pun kebanyakan berasal dari dunia
barat yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan kita di Indonesia. Dengan
beberapa pertimbangan, istilah pertama dipakai untuk belajar B2 dan istilah kedua
dipakai untuk bahasa ibu (B1). Faktanya, belajar selalu dikaitkan dengan guru,
kurikulum, alokasi waktu, dan sebagainya, sedangkan dalam pemerolehan B1
semua itu tidak ada. Ada fakta lain bahwa dalam memperoleh B1, anak mulai dari
nol; dalam belajar B2, pembelajar sudah memiliki bahasa. Belajar bahasa adalah
proses penguasaan bahasa, baik pada bahasa pertama maupun bahasa kedua. Dalam
pemerolehan bahasa pertama, perlu diketahui yaitu seorang anak tidak dengan tiba-tiba
memiliki tata bahasa B1 dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya. Bahasa
pertama diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati
tata bahasa dari bahasa orang dewasa.
Pengetahuan dalam hal bahasa pertama ini dikuasi secara tidak formal sejak berusia
awal delapan belas bulan. Selain itu, proses pemerolehan ini diterima secara tidak

31
langsung melalui ibu/bapak, keluarga dan masyarakat sekeliling. Ketidakpahaman
anak tersebut merupakan tanggung jawab penuh orang dewasa khususnya orang
tua yaitu untuk meluruskan apa yang tidak pahami tersebut, dimana permerolehan
bahasa itu dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Di saat inilah orang tua diperlukan
untuk membimbing agar pemerolehan bahasa anak-anak berkembang, dengan cara
memperhatikan pergaulan dan interaksi anaknya. Anak-anak mampu menyerap
bahasa kedua dengan baik dan lebih cepat dari pada orang dewasa, karena
kemampuan anak untuk mengucapkan bahasa kedua dengan aksen yang benar
terjadi di usia 2 atau 3 tahun kemudian bahasa kedua anak juga menurun sesuai
dengan usia, dengan penurunan tajam terutama terjadi setelah usia sekitar 10
sampai 12 tahun. Para peneliti banyak yang sepakat bahwa pada hakikatnya proses
kognitif dan kebahasaan dalam kemampuan bahasa kedua bagi anak-anak sama
dengan strategi yang digunakannya dalam kemampuan bahasa pertama
(Simanjuntak, 1987:45).
Pada hakikatnya, proses pemerolehan bahasa itu pada setiap anak sama, yaitu melalui
pembentukan dan pengujian hipotesis tentang kaidah bahasa. Pembentukan kaidah itu
dimungkinkan oleh adanya kemampuan bawaan atau struktur bawaan yang secara mental
dimiliki oleh setiap anak. Inilah yang disebut dengan alat pemerolehan bahasa (Language
Acquisition Device/LAD). Oleh karena itu, kalaupun orang dewasa hendak bersaing
dengan anak-anak dalam upaya pemerolehan bahasa kedua, jelas yang menunjukkan
adanya perbedaan antara pemerolehan bahasa orang dewasa dan anak-anak, karena
perbedaan antara hasil yang didapat oleh kanak-kanak dengan orang dewasa. Kanak-
kanak yang berada dalam masa kritis akan memperoleh kemampuan yang lebih
baik dibandingkan dengan orang dewasa yang bahasa pertamanya akan sudah
sangat ternuranikan sehingga mau tidak mau unsur bahasa pertamanya itu akan
cukup mempengaruhi usahanya dalam belajar bahasa kedua. Berdasarkan
urutannya, bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh anak setelah mereka
memperoleh bahasa lain. Bahasa yang diperoleh itu disebut sebagai B2 jika
bahasa yang diperoleh lebih dulu itu telah dikuasai dengan relatif sempurna. Jika
penguasaannya belum sempurna, bahasa yang diperoleh kemudian pun disebut
B1. Berdasarkan fungsinya dalam kehidupan pembelajar, B2 memegang peran
yang kurang kuat dibandingkan B1. Jika B1 digunakan untuk semua aspek
kehidupan, terutama yang bersifat emosional, B2 pada aspek-aspek tertentu saja.
Bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh anak setelah mereka memperoleh

32
bahasa lain (Harras dan Bachari, 2009:71). Pembelajaran bahasa kedua sendiri
merupakan fenomena yang muncul dalam suatu masyarakat yang multilingual,
dalam hal ini mengacu pada bahasa nasional atau bahasa kedua.
2.7. Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua (B2)
Ragam atau jenis pemerolehan bahasa dapat ditinjau dari lima sudut
pandangan, yaitu berdasarkan bentuk, urutan, jumlah, media, dan keasliannya.
Dalam pengertiannya semua istilah itu ternyata hampir sama. Di dalam literatur
keduanya sering dipakai berganti-ganti untuk maksud dan pengertian yang sama.
Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasa ibu,
bahasa utama, dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasa kedua, bukan
bahasa asli, bahasa asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah. Masih ada beberapa
istilah lagi yaitu bahasa untuk komunikasi luas, bahasa baku, bahasa regional,
bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa modern, dan bahasa klasik. Ditinjau dari
segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa yaitu pemerolehan bahasa pertama yaitu
bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehan bahasa kedua yang
diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, dan pemerolehan-ulang, yaitu bahasa
yang dulu pernah diperoleh kini diperoleh kembali karena alasan tertentu. Ditinjau
dari segi urutan ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan bahasa pertama dan
pemerolehan bahasa kedua. Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan yaitu
pemerolehan satu bahasa (di lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara
luas), dan pemerolehan dua bahasa di lingkungan yang terdapat lebih dari satu
bahasa yang digunakan secara luas). Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehan
bahasa lisan (hanya bahasa yang diucapkan oleh penuturnya), dan pemerolehan
bahasa tulis (bahasa yang dituliskan, oleh penuturnya). Ditinjau dari segi keaslian
atau keasingan dikenal pemerolehan, bahasa asli (merupakan alat komunikasi
penduduk asli), dan pemerolehan bahasa asing (bahasa yang digunakan oleh para
pendatang atau bahasa yang memang didatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari
segi keserentakan atau keberurutan (khususnya bagi pemerolehan dua bahasa)
dikenal pemerolehan (dua bahasa) serentak dan pemerolehan dua bahasa
berurutan. Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa yaitu
prospensity (kecenderungan), language faculty, (kemampuan berbahasa), dan
acces (jalan masuk) ke bahasa.
2.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Kedua (B2)

33
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua yaitu
sebagai berikut:
1. Faktor Usia
Anak-anak tampaknya lebih mudah dalam memperoleh bahasa baru,
sedangkan orang dewasa tampaknya mendapat kesulitan dalam memperoleh
tingkat kemahiran bahasa kedua. Anggapan ini telah mengarahkan adanya
hipotesis mengenai usia kritis atau periode kritis untuk belajar bahasa kedua.
Namun, hasil penelitan mengenai faktor usia dalam pembelajaran bahasa
kedua menunjukkan hal berikut :
a. Anak usia 5 tahun sudah memiliki kemampuan bahasa yang baik,
kalimatkalimat yang disampaikan sudah bisa dimengerti oleh orang lain.
Dalam percakapan ia sudah bisa menggunakan kata-kata yang
menghubungkan sebabakibat, seperti kata “ mungkin” ataupun “
seharusnya” (Tussolekha, R., 2015).
b. Dalam hal kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua, dapat
disimpulkan bahwa anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam
pemerolehan sistem fonologi atau pelafalan bahkan banyak diantara
mereka yang mencapai pelafalan seperti penutur asli; orang dewasa
tampaknya maju lebih cepat daripada anak-anak dalam bidang morfologi
dan sintaksis, paling tidak pada pemulaan masa belajar; anak-anak lebih
berhasil daripada orang dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat. Perbedaan
umur mempengaruhi kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua
pada aspek fonologi, morfologi dan sintaksis tetapi tidak berpengaruh
dalam pemerolehan urutannya. Munculnya berbagai variasi dalam
pemerolehan fonologi sebagian besar disebabkan oleh belum sempurnanya
alat ucap (Yanti, 2016).
2. Faktor Bahasa Pertama
Ellis (1986: 19) menyebutkan para pakar pembelajaran bahasa kedua pada
umumnya percaya bahwa bahasa pertama mempunyai pengaruh terhadap
proses penguasaan bahasa kedua pembelajar. Sedangkan bahasa pertama ini
telah lama dianggap menjadi pengganggu di dalam proses pembelajaran
bahasa kedua. Hal ini karena seorang pembelajar secara tidak sadar atau tidak
melakukan transfer unsurunsur bahasa pertamanya ketika menggunakan
bahasa kedua. Akibatnya terjadilah yang disebut interfensi, ahli kode, campur

34
kode, atau juga kekhilafan (error). Berdasarkan beberapa teori atau hipotesis
tertentu hal ini dapat dijelaskan yaitu sebagai berikut :
 Menurut teori stimulus-respon yang dikemukakan oleh kaum
behaviourisme, bahasa adalah hasil stimulus-respon. Maka apabila
seseorang ingin memperbanyak pengujaran, dia harus memperbanyak
penerimaan stimulus. Oleh karena itu, pengaruh lingkungan sebagai
sumber datanganya stimulus menjadi sangat dominan dan sangat
penting dalam membantu proses pembelajaran bahasa kedua. Selain
itu, kaum behaviourisme juga berpendapat bahwa proses pemerolehan
bahasa adalah proses pembiasaan. Oleh karena itu, semakin pembelajar
terbiasa merespon stimulus yang dating padanya, semakin
memperbesar kemungkinan aktivitas pemerolehan bahasanya. Jadi,
pengaruh bahasa pertama dalam bentuk transfer ketika berbahasa
kedua akan besar sekali apabila pembelajar tidak terus-menerus
diberikan stimulus bahasa pertama. Secara teoritis ini memang tidak
bisa dihilangkan karena bahasa pertama sudah dinuranikan dalam diri
pembelajar. Namun, dengan pembiasaan-pembiasaan dan penerimaan
stimulus terus-menerus dalam bahasa kedua, hal itu bisa dikurangi.
 Teori kontranstif menyatakan bahwa keberhasilan belajar bahasa kedua
sedikit banyaknya ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah
dikuasai oleh pembelajar sebelumnya. Berbahasa kedua merupakan
proses transfer. Maka, struktur bahasa yang sudah dikuasai banyak
mempunyai kesamaan dengan bahasa yang dipelajari akan terjadi
semacam permudahan dalam proses transfernya. Sebaliknya, jika
struktur keduanya memiliki perbedaan, maka akan terjadi kesulitan
bagi pembelajar untuk menguasi bahasa keduanyaitu.
3. Faktor Lingkungan
Lingkungan bahasa sangat penting bagi seseorang pembelajar untuk dapat
berhasil dalam mempelajari bahasa baru (bahasa kedua). Lingkungan bahasa
adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar sehubungan
bahasa kedua yang sedang dipelajari. Hal-hal termasuk dalam lingkungan
bahasa adalah situasi di restoran atau di toko, percakapan dengan kawan-
kawan, ketika menonton televisi, saat membaca koran, dalam proses belajar-

35
mengajar di dalam kelas, dan sebagainya. Kualitas lingkungan bahasa ini
merupakan suatu yang penting bagi pembelajar untuk memperoleh
keberhasilan dalam mempelajari bahasa kedua, berbahasa formal, Faktor yang
juga sangat berpengaruh dalam proses pemerolehan bahasa adalah fator
lingkungan (Kapoh, R. J., 2010). Menurut Baradja (1994:3-12) terdapat enam
faktor yang perlu diperhatikan secara cermat, yaitu tujuan, pembelajar,
pengajar, bahan, metode, dan faktor lingkungan. Meski demikin, faktor tujuan,
pembelajar, dan pengajar merupakan tiga faktor utama dari ketiga faktor ini
kemampuan bahasa kedua mengkonsentrasikan diri pada hal-hal yang
menyangkut pembelajar dan proses pembelajar.
2.9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Bahasa Kedua (B2)
Menurut Danny Steinberg (1999:203), ada dua faktor yang mempengaruhi
akuisisi bahasa kedua. Ada faktor psikologis dan sosial. Faktor psikologis dibagi
menjadi tiga; ada pengolahan intelektual, memori, dan keterampilan motorik.
Faktor sosial dibagi menjadi dua; ada situasi alam dan situasi kelas. Pengolahan
intelektual terlibat dalam penentuan struktur dan aturan tata bahasa. Hal ini dibagi
menjadi dua cara. Pertama adalah penjelasan dan yang kedua adalah induksi.
Istilah penjelasan dan induksi digunakan untuk menentukan apa jenis cara yang
kita gunakan untuk belajar struktur tata bahasa dan aturan. Uraian adalah
semacam cara di mana struktur dan aturan yang menjelaskan kepada peserta didik.
Di lain pihak, Knowles (dalam Sutton dan Hilles, 2001:386) memaparkan bahwa
karakteristik utama kedewasaan adalah kebutuhan dan kapasitas untuk menjadi
diri mengarahkan.
Dengan kata lain, orang dewasa akan, sampai batas tertentu, 'langsung' agenda
pembelajaran mereka sendiri. Mungkin, itu adalah alasan mengapa orang dewasa
juga lebih baik dalam penjelasan. Mereka tahu bagaimana harus bersikap untuk
belajar bahasa di dalam kelas atau ketika mereka diajarkan oleh orang lain yang
telah menguasai bahasa. Anak-anak memiliki kemampuan yang kuat dalam
imitasi, mereka dianggap tinggi di induksi, dan mereka belajar bahasa melalui
eksposur yang besar. Mereka berlatih untuk mendengarkan dan berbicara kata
baru atau mungkin ucapan bahwa mereka telah dengar sebelumnya. Kita tahu
bahwa keterampilan motorik hanya bisa dilatih dengan praktek. Hal ini tidak
mengherankan ketika anak-anak memiliki kemampuan yang lebih baik dalam
keterampilan motorik daripada orang dewasa. Faktor kedua adalah faktor sosial.

36
Hal ini dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah situasi alami dan yang
kedua adalah situasi kelas. Mengingat kematangan peserta didik, orang dewasa
dianggap lebih baik daripada anak-anak dalam situasi kelas. Tapi, mengingat
anak-anak dicirikan sebagai orang usia antara 1 sampai 12, kita dapat mengatasi
masalah tersebut dengan mengelola kelas yang mendukung perkembangan
psikologis mereka. Kita bisa membuat kelas yang kondusif bagi anak-anak. Kita
tahu bahwa saat ini, ada begitu banyak teknik dalam proses yang dapat kita
gunakan untuk mengakomodasi situasi tertentu mengajar. Selain faktor-faktor di
atas, berikut akan disajikan keberhasilan pembelajaran bahasa kedua yang turut
pula dipengaruhi oleh setidak-tidaknya enam faktor.
Hal ini adalah penjabaran dari du faktor di atas yang kemudian disusun
sebagai bagian tak terpisahkan dari keduanya. Pertama, faktor motivasi. Belajar
bahasa yang dilandasi oleh motivasi yang kuat, akan memperoleh hasil yang lebih
baik. Motivasi, dalam perspektif ini meliputi dorongan, hasrat, kemauan, alasan,
atau tujuan yang menggerakkan seseorang untuk belajar bahasa. Motivasi berasal
dalam diri individu, yang dapat digolongkan sebagai motivasi integratif dan
motivasi instrumen. Motivasi integratif berkaitan dengan keinginan untuk
menjalin komunikasi dengan penutur, sedangkan motivasi instrumen mengacu
pada keinginan untuk memperoleh prestasi atau pekerjaan tertentu. Kedua, adalah
faktor lingkungan, meliputi lingkungan formal dan informal. Lingkungan formal
adalah lingkungan sekolah yang dirancang sedemikian rupa, artifisial, bagian dari
pengajaran, dan diarahkan untuk melakukan aktivitas yang berorientasi kaidah
(Krashen, 2002:26). Lingkungan informal adalah lingkungan alami. Ketiga,
adalah usia. Anak-anak, menurut Lambert (1981:31) memiliki peluang untuk
mahir belajar bahasa. Mereka masih berada pada masa umur kritis berbahasa
(Allan & Pavio, 1981:73).
Dalam hal pelafalan, anak-anak memiliki peluang untuk berbicara secara
fasih, meskipun aturan berbahasa harus mereka bangun secara natural. Keempat,
adalah kualitas ajaran. Materi pembelajaran yang diajarkan secara natural
memberikan makna bagi anak dalam kehidupan sehari-hari. Di lain pihak, ajaran
yang disajikan secara formal membuat anak menguasai kaidah secara relatif cepat,
meskipun mungkin mereka tidak dapat mengeskpresikan penguasaannya dalam
komunikasi yang natural (Ellis, 1986:28). Kelima, adalah bahasa pertama. Jika
bahasa pertama memiliki kedekatan kekerabatan dengan bahasa kedua,

37
pembelajar mempunyai kemudahan mengembangkan kompetensinya. Meskipun
demikian, kemungkinan percampuran kode lebih mudah terjadi (Musfiroh,
2003:83). Keenam, adalah faktor intelligensi. Walaupun belum terbukti secara
akurat dan bertentangan dengan teori multiple intelligences, diduga tingkat
kecerdasan anak mempengaruhi kecepatan pemerolehan bahasa keduanya.
Menurut Lambert, anak-anak bilingual memiliki performansi yang secara
signifikan lebih baik daripada anak-anak monolingual, baik pada tes inteligensi
verbal maupun nonverbal (Lambert, 1981:154).
2.10.  Pemerolehan Bahasa Kedua (B2)
Chomsky yang berpandangan bahwa pemerolehan bahasa itu tidak didasarkan
pada nurture atau nature. Anak memperoleh kemampuan berbahasa seperti dia
memperoleh kemampuan berdiri dan berjalan. Anak tidak dilahirkan sebagai
piring kosong, tabula rasa, tetapi dia telah dibekali dengan sebuah alat, yaitu
Piranti Pemerolehan Bahasa (PPB) atau LAD. Piranti ini bersifat universal, artinya
anak mana pun mempunyai piranti ini. Ini terbukti dengan adanya kesamaan
antara satu anak dengan anak yang lain dalam proses pemerolehan bahasa mereka;
di mana pun juga anak melewati seperangkat proses yang sama dalam menguasai
bahasa mereka masing-masing. Nurture yaitu masukan yang berupa bahasa hanya
akan menentukan bahasa mana yang akan diperoleh anak, tetapi prosesnya itu
sendiri bersifat kodratif (innate) dan inner-directed. Dalam penelitian Santoso
yang berjudul Pemerolehan Bahasa Anak Usia Tiga Tahun dalam Lingkungan Ke
luarga diketahui bahwa :
1. berdasarkan panjang ayat anak usia tiga tahun dalam bertutur pada
umumnya mengucapkan kata-kata secara terpenggal dan penguasaan
bahasa yang dikuasai anak diperoleh melalui tahapan-tahapan tertentu.
2. anak umur tiga tahun sudah mampu menyusun kalimat dalam bertutur
meskipun masih sangat sederhana dan terbatas, dan
3. berdasarkan jumlah ujaran setiap giliran tutur dibuktikan anak tiga
tahun dalam bertutur hanya menjawab pertanyaan dari lawan tutur.
Jadi, dalam pemerolehan bahasa anak tidak serta-merta langsung dapat
berbicara, tetapi melalui tahap-tahap tertentu dari sederhana (urutan
satu suku kata) ke yang rumit (lebih dari dua kata).

38
Penelitian Martin Braine pada tahun 1963 (dalam Dardjowidjojo 2010:250)
menyimpulkan bahwa urutan dua kata yang dipakai anak ternyata mengikuti
aturan tertentu. Kata-kata tertentu selalu berada pada tempat tertentu pula dan ada
kata-kata yang tidak pernah muncul sendirian. Anak-anak yang diteliti membagi
dua kelompok kata: (1) kata-kata yang sering muncul, yang tidak pernah
sendirian, dan muncul pada posisi tertentu disebut pivot karena ujaran anak
berkisar pada kata-kata lain, dan (2) kata-kata yang jumlahnya lebih besar, yang
munculnya tidak sesering seperti yang ada pada (1), posisinya juga di mana saja,
dan bisa muncul sendirian disebut open. Pemerolehan Bahasa Kedua (B2) yaitu
Kemampuan Percakapan pengembangan kemampuan percakapan, anak juga
secara bertahap menguasai aturan-aturan yang ada. Struktur percakapan terdiri
dari tiga komponen, yaitu: (1) pembukaan, (2) giliran, dan (3) penutup. Secara
naluri anak akan tahu kapan pembukaan percakapan itu terjadi. Aturan main
dalam batang tubuh percakapan juga dikuasainya secara gradual. Dari penelitian
Pan dan Snow didapati bahwa umur 1;8 anak hanya menanggapi sekitar 33% dari
apa yang ditanyakan oleh orangtuanya. Prosentase ini naik menjadi 56,7% pada
umur 2;5-3;0. Begitu pula relevansinya; hanya sekitar 19% dari tanggapan anak
yang relevan dengan topik yang sedang dibicarakan (Owens dalam
Dardjowidjojo:267).

2.11. Teori Perkembangan Bahasa (B1) dan (B2) Pada Anak


Penelitian yang digunakan untuk meneliti perkembangan bahasa anak tentunya
tidak terlepas dari pandangan, hipotesis, atau teori psikologi yang dianut. Dalam
hal ini sejarah telah mencatat adanya tiga pandangan atau teori dalam
perkembangan bahasa anak. Dua pandangan yang kontroversial itu dikemukakan
oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangan nativisme yang berpendapat bahwa
perkembangan bahasa anak bersifat alamiah (nature), dan pandangan
behaviorisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada anak- anak
bersifat suapan (nurture). Pandangan ketiga muncul di Eropa dan Jean Piaget yang
berpendapat bahwa penguasaan bahasa adalah kemampuan yang berasal dari
pematangan kognitif, sehingga pandangannya pun disebut sebagai kognitivisme
(Chaer, 2009: 221).
a. Pandangan Nativisme atau Mentalisme

39
Nativisme atau mentalisme berpendapat bahwa selama proses pemerolehan
bahasa pertama, anak-anak sedikit demi sedikit membuka kemampuan
lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan. Pandangan ini tidak
menganggap lingungkannya memiliki pengaruh dalam pemerolehan bahasa,
melainkan menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis, sejalan
dengan yang disebut hipotesis pemberian alam. Kaum nativis berpendapat
bahwa bahasa sangat kompleks dan rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari
dalam waktu singkat melalui metode seperti peniruan. Jadi pasti ada beberapa
aspek penting mengenai sistem bahasa yang sudah ada pada manusia secara
alamiah (Chaer, 2009: 222). Chomsky (1965,1975) melihat bahasa itu bukan
hanya kompleks, tetapi juga penuh dengan kesalahan dan penyimpangan
kaidah pada pengucapan atau pelaksanaan bahasa. Manusia tidaklah mungkin
belajar bahasa pertama dari orang lain. Selama belajar meraka menggunakan
prinsip-prinsip yang membimbingnya menyusun tata bahasa. Menurut
Chomsky (1965) bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Binatang tidak
mungkin menguasai bahasa manusia. Pendapat ini landasi pada tiga asumsi.
Pertama, perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunakan (genetik), pola
perkembangan bahasa adalah sama pada semacam bahasa dan budaya, dan
lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam proses pematangan bahasa.
Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu singkat, anak berusia empat tahun
sudah dapat berbicara mirip dengan orang dewasa. Ketiga, lingkungan bahasa
si anak tidak dapat menyediakan data secukupnya bagi penguasaan bahasa
yang rumit dari orang dewasa. Menurut Chomsky anak dilahirkan dengan
dibekali “alat pemerolehan bahasa” Language Acquistion Device (LAD). Alat
ini merupakan pemberian biologis yang sudah diprogramkan untuk merinci
butir-butir yang mungkin dari suatu bahasa. LAD dianggap sebagai bagian
fisiologis dari otak yang khusus untuk memproses bahasa, tidak punya kaitan
dengan kemampuan kognitif lainnya.
b. Pandangan Behaviorisme
Kaum behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama
dikendalikan dari luar si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui
lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris menganggap kurang tepat
karena istilah bahasa itu menyiratkan suatu wujud, suatu yang dimiliki atau
digunakan, dan bukan sesuatu yang dilakukan. Padahal bahasa itu merupakan

40
suatu perilaku, diantara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu,
mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior), agar
tampak lebih mirip dengan perilaku lain harus dipelajari. Menurut Skinner
(1969) kaidah gramtikal atau kaidah bahasa adalah perilaku verbal yang
memungkinkan seseorang dapat menjawab atau mengatakan sesuatu. Namun,
kalau demikian anak dapat berbicara, bukan karena penguasan kaidah sebab
anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara
langsung oleh faktor di luar dirinya. Kaum behavioris tidak mengakui
pandangan bahwa anak menguasai kaidah bahasa dan memiliki kemampuan
untuk mengabstrakan ciri-ciri penting dari bahasa di lingkungannya. Mereka
berpendapat rangsangan dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan
berbahasa anak. Perkembangan bahasa mereka dipandang sebagai suatu
kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai ke
kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian S
– R (stimulus-respon) dan proses peniruan-peniruan.
c. Pandangan Kognitivisme
Ahli psikologi yang pertama kali membicarakan pandangan kognitivisme
adalah Slobin (1971). Slobin mengatakan bahwa seoarn anak itu lahir dengan
seperangkat prosedur dan aturan bahasa yang dinamakan Chomsky LAD.
Slobin mengatakan bahwa yang dibwa lahir bukanlah pengetahuan
seperangkat kategori linguistik yang semesta, seperti yang dikatakan oleh
Chomsky. Prosedur-prosedur dan aturan-aturan bahasa yang dibawa lahir
itulah yang memungkinkan seorang untuk mengolah data linguistik. Menurut
Slobin, perkembangan umum kognitif dan mental anak adalah faktor penentu
perolehan bahasa. Seorang anak belajar atau memperoleh bahasa pertama
dengan mengenal dan mengetahui cukup banyak struktur dan fungsi bahasa,
secara aktif ia burusaha untuk mengembangkan batas- batas pengetahuannya
mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan batas-batas
pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan
keterampilan bahasanya menurut strategi persepsi yang dimilikinya. Menurut
Slobin perolehan bahasa anak sudah diselesaikan pada usia kira-kira pada usia
3-4 tahun, dan perkembangan bahasa selanjutnya dapat mencerminkan
pertumbuhan kognitif umum anak itu. Jean Piaget (1954) menyatakan bahwa
bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu

41
daiatara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa
distrukturi oleh nalar; maka perkembangan bahasa harus berlandas pada
perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi, jadi
urutannya perkembangan kognitif menentukan perkembangan bahasa.
2.12. Perkembangan Akuisisi Bahasa

Perkembangan akuisisi bahasa berhubungan dengan kematangan

neoromuskularnya yang kemudian dipengaruhi oleh stimulus yang diperolehnya

setiap hari. Pada tahap awal tidak ada kontrol terhadap pola tingkah lakunya

termasuk tingkah lau berbahasa. Vokal anak dan otot-otot bicaranya bergerak

refleks. Pada bulan-bulan pertama otaknya berkembang dan mengatur

mekanisme syaraf sehingga dengan demikian gerakan refleks tadi sudah dapat

dikontrol. Refleks itu berhubungan dengan gerakan lidah, atau mulut. Misalnya

anak akan mengedipkan mata kalau cahaya berubah-ubah atau bibirnya akan

bergerak-gerak apabila sesuatu yang disentuhkan pada bibirnya (Pateda, 1990:

53). Dalam memikirkan perkembangan akuisisi bahasa ada baiknya

membedakan kematangan anak berbicara dan kematangan untuk mendengar

pembicaraan orang lain. Kematangan mendengarkan disebut dengan kematangan

menerima (receptive language skills), dan kematangan mengeluarkan bunyi

bahasa (expressive language skills) adalah kematangan untuk berbicara.

Kematangan menerima lebih dahulu daripada kematangan berbicara meskipun

dalam perkembangan selanjutnya kedua kematangan ini saling berhubungan

(Pateda, 1990: 54). Pada awal kelahirannya, anak belum dapat membahas

stimulus yang berasal dari manusia. Ia belum dapat membahas dengan kata-kata.

Ia hanya membalas dengan tertawa yang tentu saja diikuti oleh gerakan anggota

tubuhnya, misalnya tangan dan kaki. Pada usia 9 bulan ia mulai mereaksi dengan

kata-kata sederhana, kata-kata yang pernah ia dengar, kata-kata yang memiliki

42
frekuensi

2.13. Tahap-tahap Perkembangan Bahasa

Menurut Aitchison (dalam Harras dan Andika, 2009: 50-56), tahap

kemampuan bahasa anak sebagai berikut.

Tahap Prkembangan Bahasa Usia


Menangis Lahir
Mendekur 6 minggu
Meraban 6 bulan
Pola intonasi 8 bulan
Tuturan Satu Kata 1 tahun
Tuturan dua kata 18 bulan
Infleksi kata 2 tahun
Kalimat Tanya dan Ingkar 2,5 tahun
Konstruksi yang jarang dan kompleks 5 tahun
Tuturan yang matang 10 ahun

a. Menangis
Menangis pada bayi mempunyai beberapa makna, seperti tangisan untuk minta
minum, minta makan, tangisan karena kesakitan, dan sebagainya.
b. Mendekur
Mendekur sebenarnya sulit dideskpripsikan, karena bunyi yang dihasilkan mirip
dengan vokal, tapi hasil bunyi itu tidak sama dengan bunyi vokal yang
dihasilkan orang dewasa. Tampaknya dengan mendengkur si bayi melatih
peranti alat ucapnya.
c. Meraban
Secara bertahap, bunyi konsonan akan muncul pada waktu anak itu mendekur
dan ketika anak mendekati enam bulan, ia masuk pada tahap meraban. Secara
impresif anak menghasilkan vokal dan konsonan secara serentak.
d. Pola intonasi
Pada usia delapan atau sembilan bulan, anak mulai menirukan pola-pola
intonasi. Hasil tuturan anak mirip dengan yang dikatakan oleh ibunya. Anak
tampaknya mencoba menirukan percakapan dan hasilnya adalah tuturan yang

43
kadang-kadang tidak dipahami oleh orangtuanya atau orang dewasa yang lain.
e. Tuturan satu kata (Holofrases)
Antara umur satu tahun dan delapan belas bulan anak mulai mengucapkan
tuturan satu kata. Jumlah kata yang diperoleh bervariasi tergantung masing-
masing anak. Biasanya variasi berupa kata mama, papa, meong.
f. Tuturan dua kata
Pada tahap ini tuturan bersifat telegrafis, yaitu mengucapkan kata-kata yang
mengandung arti paling penting. Tuturan yang awalnya Ani susu berubah
menjadi Ani mau minum susu.
g. Infleksi kata
ecara gradual, kata-kata yang dianggap remeh atau tidak penting mulai
digunakan. Infleksi kata juga mulai digunakan. Kata-kata yang dianggap remeh
dan infleksi itu mulai merayap di antara kata benda dan kata kerja yang
digunakan oleh anak.
h. Kalimat tanya dan ingkar
Pada tahap ini anak sudah mulai memperoleh struktur kalimat yang lebih rumit.
Dalam bahasa Indonesia, anak mulai memperoleh kalimat tanya seperti apa,
siapa, dan kapan. Misalnya kalimat berbunyi apa ini?, siapa orang itu?, dan
kapan Ayah pulang? Sedangkan dalam kalimat ingkar biasanya berupa kalimat
kakak tidak nakal, ga mau makan, ini bukan punya adik.
i. Konstruksi yang jarang dan kompleks
Pada usia lima tahun, anak secara mengesankan memperoleh bahasa.
Kemampuan bahasa terus berlanjut meskipun agak lamban. Tata bahasa anak
berusia lima tahun berbeda dengan tata bahasa orang dewasa. Tetapi lazimnya
mereka tidak menyadari kekurangan mereka dalam hal itu.
j. Tuturan yang matang
Perbedaan tuturan anak dengan tuturan orang dewasa secara pelan- pelan akan
berkurang ketika usia anak itu semakin bertambah. Ketika usianya mencapai
sebelas tahun, anak mampu menghasilkan kalimat perintah yang setara dengan
kalimat perintah orang dewasa.
Menurut Pateda (1990: 42) terdapat beberapa teori yang digunakan
untuk meneliti perkembangan bahasa pada anak yaitu menurut Nababan (1988),
Clara dan W. Stern (1961), Aitchison (1976) dan menurut Lenne Berg (1975).
Perkembangan bahasa anak menurut Nababan terdiri dari empat tahap. Tahap I

44
Pengocehan (6 bulan), tahap II Satu Kata, Satu Frase (1 tahun), tahan III Dua
kata, Satu Frasa (2 tahun), tahap IV Menyerupai Telegram. Perkembangan
bahasa anak menurut Aitchison (dalam Harras dan Andika, 2009: 50-56) terdiri
dari sepuluh tahap. Umur 0,3 (mulai dapat meraban), umur 0,9 (mulai terdengar
pola intonasinya), umur 1,0 (dapat membuat kalimat satu kata), umur 1,3 (haus
akan kata-kata), umur 1,8 (menguasai kalimat dua kata), umur 2,0 (dapat
membuat kalimat empat kata, dapat membuat kalimat negatif, menguasai
infleksi, pelafalan vokal telah sempurna), umur 3,6 (pelafalan konsonan mulai
sempurna), umur 4,0 (penguasaan kalimat secara tepat, tetapi masih terbatas),
umur 5,0 (konstruksi morfologis telah sempurna), umur 10,0 (matang
berbicara). Pemerolehan bahasa oleh anak-anak dapat diketahui dengan
mengadakan penelitian mengenai bahasa anak itu sendiri. Penelitian ini penting
karena bahasa anak memang manarik untuk diteliti. Selain itu, hasil
penelitiannya pun dapat membantu mencari solusi pada aneka ragam masalah
serta dari hasil penelitian itu pula jelaslah bahwa fenomena pemerolehan bahasa
relevan bagi perkembangan teori linguistik Pertumbuhan dan perkembangan
berbeda pada setiap anak, tergantung banyak hal, mulai dari masa anak dalam
kandungan sampai dengan masa kelahiran hingga masa pertumbuhan dan
perkembangan setelah lahir. Faktor gen apakah pria dan wanitanya merupakan
orang-orang yang sehat, tidak membawa sifat keturunan yang kurang, sehat,
pada saat proses pembuahan dalam keadaan sehat pula. Perawatan dan
pemeliharaan selama masa kehamilan tetap terjaga, sehingga janin dalam rahim
tidak mengalami gangguan hingga proses persalinannya apakah normal atau
tidak. Selanjutnya adalah bagaimana proses perawatan dan pemeliharaan anak
oleh orangtuanya dalam masa tumbuh kembang. Proses pertumbuhan dan
perkembangan akan sampai pada interaksi dengan orang lain, umumnya pada
lingkungan di sekolah anak dan khususnya lingkungan di rumah terutama
interaksi dengan orangtua si anak. Interaksi pada anak umur 4 tahun sudah dapat
dilakukan melalui komunikasi dengan berbicara. Bagi orang tua yang tidak
terlalu memperhatikan perkembangan anak akan merasa heran apabila pada saat
berkomunikasi dengan mereka, si anak akan berbicara sesuatu yang belum
pernah di dengar. Perkembangan bahasa atau komunikasi pada anak merupakan
salah satu aspek dari tahapan perkembangan anak yang seharusnya tidak luput
dari perhatian para pendidik pada umumnya dan orang tua pada khususnya.

45
Pemerolehan bahasa oleh anak-anak merupakan prestasi manusia yang paling
hebat dan menakjubkan. Oleh sebab itulah masalah ini mendapat perhatian
besar. Pemerolehan bahasa telah ditelaah secara intensif sejak lama. Pada saat
itu kita telah mempelajari banyak hal mengenai bagaimana anak-anak berbicara,
mengerti, dan menggunakan bahasa, tetapi sangat sedikit hal yang kita ketahui
mengenai proses aktual perkembangan bahasa. Masa bayi atau balita (di bawah
lima tahun) adalah masa yang paling signifikan dalam kehidupan manusia.
Seorang bayi dari hari ke hari akan mengalami perkembangan bahasa dan
kemampuan bicara, namun tentunya tiap anak tidak sama persis pencapaiannya,
ada yang cepat berbicara ada pula yang membutuhkan waktu agak lama. Untuk
membantu perkembangannya, ibu dapat membantu memberikan stimulasi yang
disesuaikan dengan keunikan masing-masing anak. Sejalan dengan
perkembangan kemampuan serta kematangan jasmani terutama yang bertalian
dengan proses bicara, komunikasi tersebut makin meningkat dan meluas.
2.14. Implementasi dalam Kehidupan Sehari-Hari
Pemerolehan bahasa pada anak dipengaruhi banyak faktor, baik faktor
keturunan maupun lingkungan. Dalam kehidupan sehari-hari orang tua sering tidak
sadar terhadap perkembangan bahasa anaknya. Bahasa anak berkembang pesat
diusia balita atau dalam usia emas anak. Anak akan dengan gampang belajar
berbicara dan memperoleh kosakata, misalnya dengan diajari secara langsung oleh
orangtuanya, dengan menyimak ujaran-ujaran orang dewasa, dengan belajar
berbicara sendiri atau dengan mainan, berbicara dengan teman sebayanya, dan lain-
lain. Setiap anak mempunyai cara dan kemampuan yang berbeda dalam
pemerolehan bahasanya. Umur si anak dalam pemerolehan bahasa tidak menjadi
ukuran pasti. Misalnya, si A sudah dapat mengucapakan kata-kata sukar yang
terdiri dari lebih dari dua suku kata atau kata-kata yang mempunyai bunyi huruf /r/
pada usia 3,5 tahun, tetapi si B baru bisa mengucapkannya pada usia 4 tahun.
Perbedaan tersebut kadang dibanding-bandingkan oleh orangtua sehingga
cenderung memaksakan kehendak pada anaknya agar anak tersebut secepatnya bisa
berbicara tanpa memahami kemampuan dan kondisi anaknya.

46
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1. Simpulan
Dalam pembahasan ini penulis menemukan benang merah yang bila diurut secara
singkat, di antaranya adalah pembelajaran bahasa menurut Stephen Krashen terdiri
dari dua aspek inti. Pertama, pemerolehan (Acquisition) dan kedua, pembelajaran
(Learning). Pemerolehan memiliki maksud, pendapatan bahasa yang mengacu
pada proses alami, melibatkan manusia dengan belajar bahasa secara tidak sadar
Sedangkan pembelajaran perhatiannya difokuskan pada bahasa dalam bentuk
tertulis. Tujuannya adalah agar pelajar memahami struktur dan aturan bahasa. Hal
ini berlaku pada semua manusia berapapun usianya, apapun statusnya, dapat
melakukan hal tersebut. Selain itu Krashen juga memiliki Hypothesis dalam
pembelajaran bahasa. Krashen juga menyebutkan bahwa lingkungan berbahasa
menjadi faktor utama yang menjadikan bahasa kedua dapat diperoleh (didapat
secara tidak sadar) layaknya pada bahasa pertama.
3.2. Saran
Kita harus bisa memahami konsep pemerolehan bahasa guna memahami
bagaimana bahasa yang kita ketahui sekarang bisa kita peroleh. Walaupun kita

47
bisa memperoleh bahasa lebih dari satu bahasa tetapi kita harus bisa
menghindarkan pemerolehan bahasa yang mengakibatkan akulturasi bahasa yang
bersifat negatif.

DAFTAR PUSTAKA

Krisanjaya. 1998. Teori Belajar Bahasa, Pemerolehan Bahasa Pertama. Jakarta. IKIP
Jakarta.
Scot, Wendy. A dan Yretberg, H. Lisbeth.1990. Teaching English To Children. London, New
York. Longman.
Simanjuntak, Mangantar.1987.Pengantar Psikolinguistik Moden. Kuala Lumpur. Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
Steinberg, Danny D. 1990. Psikolinguistik Bahasa, Akal Budi, dan Dunia. Kuala Lumpur.
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung. Angkasa. 1988. Pengajaran
Pemerolehan Bahasa. Bandung. Angkasa.

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. 2009. Psikolinguistik Kajian
Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.

Krashen, Stephen. What is Academic Language Proficiency?,the article taken from research
paper Stephen Krashen University of Southern California.
Krashen, Stephen D. (2002). Second Language Acquisition and Second Language Learning.
California : Pergamon Press

48
Andika, Dutha Bachari dan Kholid A. Harras. 2009. Dasar-dasar Psikolinguistik. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia Press.

Pateda, Mansoer. 1990. Aspek-aspek Psikolinguistik. Flores-NTT: Nusa Indah

Arif, Syamsuddin. Definingand Mapping Knowledge in Islam. The article from postgraduate
seminar at Darussalam Institute of Islamic Studies Gontor Ponorogo
Baker, Colin and Sylvia Prysjones. 1998. Encyclopedia of Bilingualism, and Bilingual
Education. China: Multilingual Matters.
Bell, Roger T. 1976. Sociolinguistics, goal, Approaches and Problems.New York: St Martin
Press.
Borchert, Donald M. 2006. Encyclopedia of Philosophy 2nd Edition.Volume 9. United State
of America: Thomson Gale.
Brown, H Douglas. 2000. Pinciples of Language Learning and Teaching.fourth edition. New
York: Addison Wesley Longman Inc.
Chomsky, Noam. 1972. Syntactic Structure. Tenth printing. Paris: Mouton the Hague.
_____. 2004. Cartesian Linguistics A chapter in the History of Rationalist Thought. Third
Edition. New York: Cambridge University Press. _____. 2005. Language and Mind .Third
Edition. New York: Cambridge University Press.
Ellis, Rod. 1997. Second Language Acquisition. England: Oxford University Press. Garton,
Alison and Christ Pratt. 1989. Learning to be Literate, the Development of Spoken and
written language. New York: Basil Blackwell.
Hornby, A S. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, international new student’s
edition.fifth edition. New York: Oxford University Press.
Johnson, Keith. 2001. An Introduction to Foreign Language Learning and Teaching.
England: Pearson Education Limited. Johnson, Marysia. 2004. a Philosophy of Second
Language Acquisition. London: Yale University.
Krashen, Stephen. What is Academic Language Proficiency?,the article taken from research
paper Stephen Krashen University of Southern California.
Darjowidjojo, Soejono. 2008. Psikolinguistik: Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Ellis, Rod. 1990. Instructed Second Language Acquisition. Cambridge: Basil Blackwell, Inc
Akhadiah,S.,dkk. 1997. Teori Belajar Bahasa.Jakarta: Universitas Terbuka
Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Manusia Edisi
Kedua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Unika Atma Jaya.

49
50

Anda mungkin juga menyukai