Diana Yosita - Tugas Pertemuan 5 Ekologi Tumbuhan
Diana Yosita - Tugas Pertemuan 5 Ekologi Tumbuhan
Hutan PRIMER
1. Bagaimana peranan tropik yang terjadi dalam hutan primer terkait hukum termodinamika.
Jawab :
Hutan primer adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu
yang sesuai dengan kematangannya; serta dengan demikian memiliki sifat-sifat ekologis
yang unik. Adapun karakteristik hutan primer, yaitu:
Terdapat banyak pohon-pohon yang sudah tua.
Tunggul atau batang-batang yang telah mati masih berdiri tegak dan kokoh.
Adanya dominasi lapisan-lapisan tajuk atau kanopi hutan oleh pepohonan sembulan.
Akumulasi kayu-kayu yang telah mati dengan ukuran besar, salah satunya adalah batang-
batang rebah.
Di dalam suatu ekosistem hutan pada umumnya terjadi distribusi vertikal dari
produktivitas primer bersih, hal itu berhubungan dengan terjadinya distribusi vertikal dari
biomassanya. Produktivitas primer bersih memiliki kegunaan yang sangat penting untuk
memahami sebuah ekosistem karena hal itu dapat menggambarkan energi yang memiliki
produktivitas primer bersih rendah, akan menyokong organisme heterotrof yang jumlahnya
sedikit dibandingkan dengan ekosistem yang memiliki produktivitas primer bersih tinggi.
Tropik disebut juga aliran energi yaitu perpindahan energi dari satu tingkat ke tingkatan
berikutnya, proses perpindahan selalu terjadi pengurangan jumlah enegi setiap melalui
tingkat trofik. Berdasarkan Hukum Termodinamika 01, “Enrgi dapat diubah dari satu bentuk
energi ke bentuk eneri yang lain peranan tropik yang terjadi dalam hutan primer adalah
peristiwa perpindahan energi matahari ke daun atau tumbuhan yang berklorofil, daun yang
berklorofil tersebut akan mengubah energi matahari menjadi energi kimia yang biasa disebut
sebagai reaksi fotokimia, sehingga energi kimia berubah menjadi gula atau glukosa, glukosa
selanjutnya berubah menjadi karbohidrat pada tumbuh-tumbuhan. Perilaku energi di dalam
suatu ekosistem terjadi sama, seperti halnya yang terjadi di alam pada umumnya.
Hutan primer sering kali merupakan rumah bagi spesiesspesies tumbuhan dan hewan
yang langka, rentan atau terancam kepunahan, yang menjadikan hutan ini penting secara
ekologi. Meski demikian, keanekaragaman hayati di hutan primer bisa lebih tinggi atau lebih
rendah jika dibandingkan dengan hutan sekunder, bergantung pada berbagai kondisi lokal,
variabel lingkungan setempat, ataupun letak geografisnya. Penebangan hutan primer adalah
isu yang penting di banyak bagian dari dunia.
Analisis citra satelit terbaru pada jurnal Nature, 29 Juni 2014, menunjukkan, hutan primer
Indonesia tergerus hingga 6 juta hektar dalam periode 2000-2012. Laporan ditulis Belinda
Arunarwati Margono (Kementerian Kehutanan, yang juga peneliti di Department of
Geographical Sciences, University of Maryland, Amerika Serikat) dan Guru Besar
Universitas Maryland Matthew Hansen, dengan judul ”Primary Forest Cover Loss in
Indonesia over 2000–2012”. Tahun lalu, 14 November 2013, analisis spasial serupa oleh
Hansen dan koleganya dari 15 perguruan tinggi dan Google dimuat dalam jurnal Science.
Saat itu, angka deforestasi global ditaksir 2,3 juta kilometer persegi (230 juta hektar). Angka
itu setara dengan 68.000 lapangan sepak bola per hari dalam 13 tahun atau 50 lapangan bola
tiap menit. Untuk Indonesia, ia menghitung luas hutan hilang periode itu 15,8 juta hektar
dengan rata-rata peningkatan deforestasi 1.021 kilometer persegi (102.100 hektar). Angka
itu lebih tinggi dibandingkan dengan luas deforestasi versi Kementerian Kehutanan yakni
450.000 hektar.
Pada laporan terbaru di Nature tersebut, kenaikan deforestasi sekitar 47.600 hektar per
tahun. ”Pada tahun 2012, hutan primer Indonesia yang hilang diperkirakan lebih tinggi
dibandingkan dengan Brasil,” tulis laporan itu. Jika laporan itu benar, kebijakan moratorium
pemberian izin baru kehutanan di hutan primer dan lahan gambut yang dimulai Mei 2011 tak
berdampak seperti diinginkan. ”Beberapa pertanyaan mengenai moratorium pembawa
peningkatan deforestasi layak diinvestigasi,” kata dia. Dikonfirmasi laporan ini, William
Sabandar, Deputi Badan Pengelola REDD+, tak menampik hasil kajian itu merujuk fakta.
Badan Pengelola REDD+ terbuka dengan para peneliti mendiskusikan hasil kajian itu karena
bisa menjadi referensi pemerintah membuat metodologi seragam dalam penghitungan
deforestasi.