Anda di halaman 1dari 11

EKOLOGI LANJUT

KONSEP ANGGARAN ENERGI, EFISIEN EKOLOGI DAN


PRODUKTIVITAS (PRIMER DAN SEKUNDER)

MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas
matakuliah Ekologi Lanjut dibina oleh
Prof. Dr. Hj. Mimien Henie Irawati Al Muhdhar dan
Prof. Dr. Ir. Suhadi, M.Si

Oleh kelompok 2/offering C


Muhammad Khalil 170341864514
Ella Rahmawati Hamiatin 170341864572

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
OKTOBER 2017
KONSEP ANGGARAN ENERGI, EFISIEN EKOLOGI DAN
PRODUKTIVITAS (PRIMER DAN SEKUNDER)

A. Konsep Anggaran Energi


Menurut Blacwell dan Kendeigh (1980) energi didefinisikan sebagai
kemampuan untuk melakukan kerja. Hal-hal yang berkaitan dengan energi
dijelaskan melalui hukum termodinamika.
1. Hukum termodinamika I menyatakan bahwa energi dapat ditransformasikan
dari satu bentuk ke bentuk yang lain, tetapi energi tidak dapat dibuat dan
dirusak.
2. Hukum termodinamika II menyatakan tidak ada proses transformasi energi
yang berlangsung secara spontan tanpa ada sejumlah energi yang terlepas, atau
dengan kata lain proses transformasi energi tidak pernah efisien 100%.
Anggaran energi merupakan istilah yang berkaitan dengan arah
pemanfaatan energi yang berhasil ditambat oleh makhluk di dalam suatu ekosistem.
Makhluk hidup harus memasukkan sejumlah energi dari lingkungannya dan pada
suatu saat makhluk ini juga dapat melepaskan sejumlah energi ke dalam
lingkungannya. Bila masukan energi lebih besar dibandingkan keluaran energi,
maka makhluk hidup akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan atau
makhluk tersebut telah mengalami produktifitas (Kramadibrata, 1996) Darmawan
(2005) menjelaskan bahwa proses pemasukan energi (input) idealnya sudah tentu
lebih besar dari pada pengeluaran (output), jika energi yang keluar lebih besar dari
energi yang masuk dalam suatu organisme, maka tentu hal ini akan menimbulkan
ketidakseimbangan, sehingga mengakibatkan organisme tersebut akan kekurangan
energi (lemah).
Energi secara umum digunakan untuk dua tujuan yaitu kelangsungan hidup
dan untuk menjaga kelestarian jenisnya dalam jangka waktu yang tidak terbatas.
Kelangsungan hidup makhluk hidup dapat terjadi jika makhluk hidup menyisihkan
sejumlah energinya untuk keperluan memelihara kualitas hidup agar mampu
bersaing dan mengantisipasi faktor-faktor mortalitas seperti penyakit, parasit, dan
predator. Energi dipakai untuk memelihara kualitas hidup seperti melangsungkan
proses fisiologis tubuh, membentuk dan mengganti sel-sel tubuh yang telah rusak,
memproduksi hormone dan enzim, serta memproduksi sel-sel kekebalan tubuh.
Energi juga digunakan untuk menjaga kelestarian jenis makhluk hidup dengan cara
menyisihkan sebagian energinya untuk keperluan reproduksi yaitu membentuk sel-
sel kelamin dan hormon-hormon kelamin, melangsungkan perkembangan embrio,
memberi nutrisi pada embrio, dan makhluk hidup muda yang baru dilahirkan
(Sukarsono. 2009).
Blacwell dan Kendeigh (1980) memaparkan bahwa proses aliran energi
berlangsung dengan adanya proses rantai makanan. Tumbuhan dimakan oleh
herbivora, dengan demikian energi makanan dari tumbuhan mengalir masuk ke
tubuh herbivora. Herbivora dimakan oleh karnivora, sehingga energi makanan dari
herbivora masuk ke tubuh karnivora. Di alam rantai makanan itu tidak sederhana,
tetapi ada banyak, satu dengan yang lain saling terkait atau berhubungan sehingga
membentuk jaring-jaring makanan. Organisme-organisme yang memperoleh energi
makanan dari tumbuhan dengan jumlah langkah yang sama dimasukkan ke dalam
aras trofik yang sama.
Menurut Wirakusumah (2003) struktur trofik dapat digambarkan dalam
bentuk diagram yang kemudian dikenal sebagai piramida ekologi. Aras trofik I
(produsen) diletakkan sebagai dasar piramida, kemudian diatasnya adalah aras-aras
trofik yang berikutnya (herbivora, karnivora) sebagai konsumen primer, sekunder,
tersier dan seterusnya sampai ke tingkat yang tertinggi. Berikut ini adalah piramida
ekologi yang memiliki tiga macam tipe yaitu.
1. Piramida jumlah: yang menggambarkan jumlah individu pada masing-
masing aras trofik

Gambar 1. Piramida Jumlah Ekologi


2. Piramida biomassa: yang menggambarkan besarnya biomassa pada masing-
masing aras trofik. Biomassa dapat dinyatakan dalam satuan berat kering
atau berat abu.

Gambar 2. Piramida Biomassa Ekologi

3. Piramida energi: yang menggambarkan laju aliran energi atau produktivitas


pada setiap aras trofik, energi dapat dinyatakan dalam satuan kalori.

Gambar 3. Piramida Energi Ekologi


B. Efisiensi dalam Ekologi
Efisiensi ekologi merupakan perbandingan dari beberapa parameter aliran
energy di dalam dan antar tingkatan trofik, populasi, dan individu organisme.
Terdapat berbagai macam diantaranya adalah efisiensi fotosintesis, efisiensi
produksi, efisiensi pertumbuhan, efisiensi reproduksi dan efisiensi eksploitasi dan
efisiensi trofik.
Transfer energi dan biomasa yang terjadi pada suatu sistem trofik terdiri dari
tiga komponen: konsumsi, asimilasi, dan produksi; yang menentukan jumlah energi
dan biomasa yang ditransfer selama proses amakan dimakan (feeding event).
Semakin besar energi atau biomasa yang ditransfer, maka efisiensi trofiknya
semakin tinggi (Newton, 2007). Produksi pada setiap tingkatan trofik (Prodn)
bergantung pada besarnya produksi yang terjadi tingkatan trofik sebelumnya
(Prodn-1) dan efisiensi trofik (Trophic Efficiency – Etroph), di mana produksi
mangsa (Prodn-1) dikonversi ke produksi konsumen (Prodn) (Chapin et al., 2002).
Pada ekosistem terrestrial, distribusi biomasa yang terjadi pada setiap
tingkatan trofik dapat digambarkan dengan piramida yang serupa dengan piramida
energi, dengan biomasa terbesar terdapat pada produsen primer dan semakin
mengecil pada tingkatan di atasnya (Chapin et al., 2002). Hal ini dapat terjadi
karena: (1) piramida energi menghasilkan ketersediaan energi untuk tingkatan
trofik di atasnya semakin berkurang, karena adanya nergi yang dilepaskan pada
setiap tingkatan trofuik sebelumnya. (2) Besarnya proporsi yang dilakukan oleh
tumbuhan terrestrial pada jaringan strukturalnya memperkecil proporsi dari
produksdi tumbuhan yang dapat diperoleh secondary production (Chapin et al.,
2002).

1. Efisiensi Konsumsi (Consumption Efficiency)


Energi yang hilang di setiap tingkatan trofik membatasi produksi pada
tingkatan trofik di atasnya. Faktor utama yang membedakan variasi efisiensi
konsumsi pada herbivora adalah perbedaan alokasi tumbuhan pada strukturnya.
Cara menghitung efisiensi konsumsi ini dapat dilihat pada persamaan di bawah ini
(Chapin et al., 2002).
Efisiensi konsumsi herbivora yang paling rendah umumnya terjadi di
ekosistem hutan (kurang dari 1 % hingga 5 %) karena besarnya alokasi tumbuhan
hutan pada struktur kayunya, yang tidak mudah untuk dikonsumsi herbivora
(Chapin et al., 2002). Pada ekosistem padang rumput, efisiensi konsumsi hebivora
lebih tinggi daripada di hutan (10 – 60 %) karena sebagian besar materi
tumbuhannya bukan berupa materi berkayu. Efisiensi konsumsi herbivora tertinggi
terdapat pada ekosistem pelagik (umumnya, lebih besar dari 40 %), ekosistem
dengan sebagian besar biomasa tumbuhannya lebih banyak dialokasikan pada isi
sel daripada dinding selnya (seperti alga) (Chapin et al., 2002).
Kandungan toksik alami tumbuhan (seperti kandungan metabolit sekunder
tumbuhan) membatasi efisiensi konsumsi herbivora pada ekosistem
terrestrial(Chapin et al., 2002). Selain itu, efisiensi konsumsi karnivora seringkali
lebih tinggi daripada herbivora, yaitu antara 5-100%. Contohnya vertebrata
predator yang memakan mangsa vertebrata lainnya, memiliki efisiensi konsumsi
lebih besar dari 50%, menunjukkan bahwa lebih banyak mangsa yang dimakan
daripada yang memasuki pool tanah sebagai detritus (Chapin et al., 2002).

2. Efisiensi Asimilasi (Assimilation Efficiency)


Efisiensi asimilasi ini merupakan proporsi dari energi yang dicerna (In) dan
diasimilasikan (An) ke dalam aliran darah. Efisiensi Asimilasi dipengaruhi oleh
kualitas makanan dan fisiologi konsumen. Materi yang tidak terasimilasi kemudian
dikembalikan ke tanah dalam bentuk feces, komponen input bagi detritus-sistem.
Cara menghitung efisiensi asimilasi ini ditunjukkan dengan persamaan di bawah ini
(Chapin et al., 2002).

Efisiensi asimilasi seringkali lebih besar (sekitar 5-80%) daripada efisiensi


konsumsi (0,1-50%). Karnivora pemakan vertebrata cenderung memiliki efisiensi
asimilasi yang lebih tinggi (sekitar 80 %) daripada herbivora terrestrial (5-20%)
karena karnivora tersebut memakan makanan dengan struktural yang lebih kecil
daripada yang terdapat pada tumbuhan terrestrial (Chapin et al., 2002).

3. Efisiensi Produksi (Production Efficiency)


Efisiensi produksi adalah proporsi dari energi yang terasimilasi yang
dikonversi terhadap produksi hewan. Efisiensi produksi ini meliputi pertumbuhan
dari individu dan proses reproduksi untuk membentuk individu baru. Efisiensi
produksi ini terutama dipengaruhi/ditentukan oleh metabolisme hewan. Cara
menghitung efisiensi produksi ini ditunjukkan dengan persamaan di bawah ini
(Chapin et al., 2002).

Energi asimilasi yang tidak tergabung dalam produksi hilang ke lingkungan


dalam bentuk respiratory heat. Efisiensi produksi untuk setiap individu hewan
bervariasi dari kurang dari 1 % hingga 50 % dan sangat berbeda antara homoeterm
(Eprod 1-3%) dan poikiloterm (Eprod 10-50%) (Chapin et al., 2002). Homoeterm
menghabiskan sebagian besar energi yang diasimilasikannya untuk
mempertahankan suhu tubuh agar konstan. Efisiensi produksi pada homoiterm ini
berkurang dengan semakin kecilnya ukuran tubuh. Efisiensi produksi pada
poikiloterm relatif tinggi (sekitar 25%) dan cenderung menurun dengan
bertambahnya ukuran tubuh (Chapin et al., 2002).
C. Produktivitas Primer

Produktivitas primer adalah laju penyimpanan energi sinar matahari oleh


aktivitas fotosintetik (terutama tumbuhan hijau atau fitoplankton) ke bentuk bahan
organik yang dapat digunakan sebagai bahan makanan (Odum, 1993). Kesuburan
suatu perairan pada hakekatnya ditentukan oleh besarnya produktivitas primer
perairan tersebut, sementara itu yang memegang peran penting dalam produktivitas
primer adalah fitoplankton sebagai produsen primer (Sachlan, 1980).
Persediaan energi yang tersimpan didalam komunitas dianggap sebagai
produktivitas suatu ekosistem. Produktivitas diukur dengan besarnya biomassa
organisme yang ada di ekosistem. Biomassa diperoleh dari tubuh organisme yang
ada di dalam ekosistem. Tubuh organisme yang ada disuatu ekosistem disebut
“standing crop”. Produktivitas primer adalah laju penyimpanan energi pada
tumbuhan (Susanto, 1999). Produktivitas primer bersih dikumpulkan oleh
tumbuhan sepanjang waktu disebut sebagai biomassa.
Produktivitas primer menurut Darmawan (2005), dibagi menjadi dua yaitu:
1. Produktivitas primer bersih, adalah energi yang disimpan oleh tumbuhan setelah
dikurangi dengan proses respirasi.
2. Produktivitas primer kotor, adalah seluruh energi yang disimpan sebagai akibat
proses fotosintesis.
Produktivitas harus diukur selama waktu yang tepat, karena terdapat
perbedaan metabolisme selama siang dan malam hari. Perbedaan metabolisme juga
terjadi antar musim, oleh sebab itu biasanya pengukuran energy ini dalam skala
tahunan. Berbagai metode telah dilakukan untuk mengukur produktivitas primer,
setiap prosedur memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Metode yang
digunakan dalam mengukur produktivitas primer adalah sebagai berikut.
1. Metode oksigen menggunakan botol gelap-botol terang
Prinsip metode oksigen menggunakan botol terang dan botol gelap ini
didasarkan pada estimasi pelepasan oksigen oleh produsen pada waktu tertentu.
Oksigen diproduksi oleh produsen dan selama itu pula oksigen juga digunakan
untuk respirasi. Proses pembentukan oksigen hanya terjadi jika ada cahaya, oleh
sebab itu kadar oksigen akan bervariasi menurut waktu, kondisi lingkungan, musim,
kondisi permukaan air dan kejernihan air (Darmawan, 2005).
Prosedurnya adalah mula-mula diukur kadar oksigen pada air dalam
kedalaman yang dinginkan. Air tersebut selanjutnya dimasukkan ke kedua botol.
Botol didedahkan secara in situ selama waku yang dinginkan. Didalam botol gelap
jelas tidak terjadi proses fotosintesis, karenanya konsentrasi oksigennya akan turun
karena pada proses respirasi dan dekomposisi. Jadi akan terjadi penurunan oksigen
di dalam botol gelap dan mungkin kenaikan oksigen di dalam botol terang.
Pendedahan disarankan dilakukan selama 6 jam. Dari hasil eksperimen tersebut
dapat diukur:
Respirasi (oksigen yang digunakan) = kadar oksigen pada awal eksperimen-
kadar oksigen di botol gelap pada akhir eksperimen
Produktivitas primer kotor = kadar oksigen di botol terang pada akhir
percobaan – kadar oksigen di botol gelap pada akhir percobaan
Produktivitas primer bersih = produktivitas primer kotor – respirasi
Nilai akhir dari hasil perhitungan adalah kadar oksigen dalam mg/liter.
Untuk mengubah nilai mg/l oksigen ke nilai mg karbon/m3 air, dilakukan dengan
menggandakan setiap mg/l k oksigen dengan 375,36. Hasil akhir pengukuran
adalah mg karbon/m3. Nilai tersebut harus diubah ke dalam bentuk mg
karbon/m3/unit waktu. Unit waktu dapat berua perjam atau perhari. Karena snar
matahari hanya ada selama kurang lebih 12 jam selama satu hari (24 jam), maka
nilai per jam harus digandakan 12 kali untuk menghitung produktivitas harian.
2. Metode klorofil

Metode ini didasarkan pada hubungan yang erat antara jumlah klorofil
dengan jumlah fotosintesis. Metode ini dapat dilakukan baik pada tumbuhan di
daratan maupun tumbuhan akuatik (fitoplankton dan makrofita). Mula-mula
dilakukan pencuplikan daun dengan ukuran tertentu. Untuk sampling fitoplankton
dilakukan dengan pengambilan sampel air dalam volume tertentu. Organisme selain
fitoplankton harus dipisahkan dari sampel. Sampel selanjutnya di saring
menggunakan filter khusus fitoplankton pada pompa vakum dengan tekanan yang
rendah. Filter yang mengandung klorofil dialrutkan pada aseton 85%, kemudian
dibiarkan semalam, dan selanjutnya disentrifuse. Supernatannya dibuang dan pellet
yang mengandung klorofil dikeringkan dan ditimbang beratnya. Berat klorofil
diukur dalam mg klorofil/unit area. Pengukura kadar klorofil juga dapat dilakukan
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelompbang 665 nm. Dengan data
hasil pengamatan tersebut kita dapat mencari efisiensi asimilasi komunitas, indeks
produktivitas dan efisiensi pemeliharan tubuh tumbuhan (Darmawan, 2005).

D. Produktivitas Sekunder
Hewan adalah organisme yang tidak dapat membuat makanan sendiri
(heterotof), oleh sebab itu kebutuhannya akan energy tergantung pada produksi
primer bersih. Produktivitas primer bersih merupakan sejumlah energi yang
tersedia bagi komponen heterotropik dalam ekosistem. Secara teoritis, paling tidak
semua produksi primer bersih tersedia bagi pemakan tumbuhan dan decomposer.
Sebagian dari produksi bersih juga dibawa ke rantai makanan di luar dari
ekosistemnya oleh manusia, air, atau angin.
Produktivitas sekunder adalah biomassa pada tubuh hewan heterotrop.
Hewan yang termasuk organisme heterotrop adalah hewan yang memperoleh
makanan dengan cara memakan tumbuhan atau hewan lain. Banyak produktivitas
sekunder dari suatu komunitas tergantung pada banyaknya produktivitas primer
pada komunitas yang bersangkutan. Artinya produktivitas sekunder tinggi jika
produktivitas premer tinggi. Brylinsky dan Mann (dalam Begon, 1990) menemukan
hubungan positif anatara produktivitas sekunder pada zooplankton dengan
produktivitas primer fitoplankton. Yang tersebar di telaga-telaga yang tersebar di
muka bumi.
Meskipun hubungan antara produktivitas sekunder dan produktivitas primer
bersifat positif, tetapi produktivitas sekunder di suatu ekosistem selalu lebih kecil
dari pada produktivitas primer. Sebabnya adalah: (1) tidak semua bagian tubuh
tumbuhan dimakan oleh hewan, (2) tidak semua bahan yang dimakan oleh hewan
dapat diserap oleh saluran pencernaan makanan, sebagian ada yang kelaur bersama
kotoran, (3) tidak semua zat makanan yang diserap oleh usus dapat disusun menjad
biomassa tubuh, karena sebagian dikeluarkan oleh tubuh sebagai sisa metabolism
(Susanto, 1999).
Produktivitas sekunder juga ditentukan oleh kecepatan reproduksi dari
hewan-hewan heterotrop. Jika kecepatan perkembangbiakan hewan cepat maka
produktivitas sekunder tinggi. Hewan-hewan tertentu berkembang biak pada
musim-musim tertentu. Hal ini tampak pada siput darat. Pada musim kemarau siput
melakukan dormnsi dengan beristirahat di tempat-tempat yang teduh dan lembab.
Menjelang musim penghujan siput bertelur, dan telurrnya menetas pada awal
musim penghujan. Dengan demikian dapat diperhitungkan bahwa pada musim
kemarau produktivitas energy pada populasi siput darat pada musim kemarau
rendah, dan pada musim penghujan tinggi (Susanto, 1999).
DAFTAR RUJUKAN

Blacwell, O. dan Kendeigh, S. C. 1980. Ecology with Special Reference to Animal


and Man. New jersey: Prentice Hall Press.
Begon, M., Harper, J.L., dan Towsend, C.R. 1990. Ecology: Individuals,
Populations, and Communities. Cambridge: Blackwell Science Ltd
Chapin, F.S., P. A. Matson., H. A. Mooney. 2002. Principles of Terrestrial
Ecosystem Ecology. United States of America: Springer.
Darmawan, A. 2005. Ekologi Hewan. Malang: Universitas Negeri Malang Press.
Kramadibrata, H. 1996. Ekologi Hewan. Bandung: Institut Teknologi Bandung
Press.
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan dari Fundamental of
Eology.Yogyakara: Gajah Mada Press.
Paul C.D. Newton, R. Andrew C., Grant, R.E. and Pascal, A.N. 2007.
Agroecosystem in Changing Climate. USA: CRC Press Taylor & Francis
Group.
Sukarsono. 2009. Pengantar Ekologi Hewan. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang Press.
Susanto. P. 1999. Ekoenergitika. Malang: Universitas Negeri Malang Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Wirakusumah, S. 2003. Dasar-Dasar Ekologi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Anda mungkin juga menyukai