Anda di halaman 1dari 4

1.

Etiologi
Flu babi merupakan penyakit saluran pernafasan sangat menular pada babi yang
disebabkan oleh virus influenza A yang sangat menyerupai virus influenza pada manusia. Flu
pada babi beragam jenisnya hampir sama dengan flu pada manusia. Wabah influenza pada babi
rutin terjadi pada babi anakan (babi muda) dengan tingkat kasus tinggi namun jarang menjadi
fatal. Penyakit ini cenderung mewabah di musim semi dan musim dingin tetapi siklusnya adalah
sepanjang tahun (Ressang, 1984). Penyakit influenza disebabkan virus famili Orthomyxoviridae,
yang terdiri atas virus tipe A, B dan C berdasarkan hemaglutinin permukaan (H) dan antigen
neuraminidase (N). Wabah influenza terjadi setiap tahun, meskipun berat dan besarnya
bervariasi. Virus A paling sering memberikan epidemi atau pandemi dan virus B kadang
menimbulkan epidemi atau pandemi regional. Virus C hanya menimbulkan infeksi sporadis yang
ringan. Wabah terbesar disebabkan influenza A oleh karena antigennya dapat berubah. Wabah
influenza B tidak begitu berat oleh karena antigennya stabil. Antigen virus influenza tipe A dapat
mengalami dua jenis perubahan atau mutasi yaitu: 1) antigenic drift bila mutasi tersebut terjadi
perlahan, 2) antigenic shift yang terjadi mendadak. Virus influenza jenis B lebih stabil dibanding
virus influenza jenis A karena hanya mengalami mutasi antigenic drift.
2. Gejala Klinis
Babi yang terkena penyakit flu babi menunjukkan gejala klinis batuk, nafsu makan
menurun, hipersalivasi, frekuensi pernapasan meningkat, dan tidak mampu menelan makanan di
karenakan terjadinya radang kerongkongan.
3. Patogenitas
Infeksi virus influenza pada babi memperlihatkan dua bentuk gejala klinis. Umumnya,
sebagian besar infeksi menunjukkan penyakit pernafasan yang bersifat epizootic yang ditandai
dengan demam, lemah, batuk, sesak nafas dan kadang-kadang keluar cairan dari hidung dan
mata. Pada bentuk epizootic ini, perjalanan penyakit ini bersifat akut, babi mengalami sakit
selama tiga sampai tujuh hari dan meningkat menjadi wabahs dalam waktu dua sampai tiga
minggu (EASTERDAY dan HINSHAW, 1992). Babi yang terinfeksi virus influenza menderita
anorexia selama satu sampai dua minggu sehingga mempunyai dampak kerugian ekonomi bagi
para peternak (JANKE, 1998). Infeksi virus influenza bentuk epizootic ini berkontribusi
membuat kondisi babi yang terserang penyakit seperti porcine complex, porcine reproductive
and respiratory syndrome, Mycoplasma hyopneumonia, dan bakteri penyebab pneumonia
menjadi lebih parah (HALBUR, 1996).
4. Pemeriksaan dan Hasil Laboratorium
Shedding virus dari babi yang diinfeksi virus swine influenza H1N1 dan H3N2 dideteksi
pada dua hari pascainfeksi dengan metode Reverse Transcriptase – Polymerase Chain Reaction
(RT-PCR) dan isolasi virus. Namun demikian, virus influenza A H1N1 isolat Jerman yang
diinfeksikan pada babi melalui intranasal sudah dapat dideteksi pada satu hari pascainfeksi dan
babi umumnya menunjukkan gejala klinis yang ringan meliputi demam, bersin, leleran dari
hidung dan diare. Antibodi spesifik haemagglutinin H1 dan nukleoprotein dapat dideteksi dari
plasma babi dengan metode Enzym Link-Immunosorbent Assay (ELISA) pada 7 hari
pascainfeksi. Sel T CD4 akan segera aktif setelah infeksi dan populasi kedua sel T CD4 dan CD8
akan menjadi semakin banyak sejalan dengan timbunya gejala klinis dari 3 sampai 7 hari
pascainfeksi (LANGE et al., 2009). Penelitian untuk mengevaluasi virulensi virus influenza A
manusia dan unggas dengan menginfeksikannya pada babi telah dilakukan VAN HOEVEN et al.
(2008) dan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa shedding virus influenza A dengan titer
tinggi masih dapat terdeteksi dari nasal dan paru babi sampai hari ke-5 pascainfeksi.

Antigen virus swine influenza ditemukan positif pada sel epitel alveolar paru babi (A) Bar = 20
µm dan bronchiolar paru babi (B) Bar = 50 µm
5. Pencegahan
Pencegahan penularan virus novel swine influenza H1N1 dari babi ke manusia menjadi
prioritas utama dalam upaya untuk menghindari peran babi dalam epidemiologi pandemik
influenza. Sebagaimana yang telah direkomendasikan oleh Organization Office de Epizootic
(OIE), instansi-instansi kesehatan hewan yang berada di masing-masing negara harus selalu
memonitor populasi babi yang menunjukkan gejala klinis penyakit swine influenza. Para
peternak, pekerja kandang harus selalu menjaga kebersihan dan mengikuti prosedur kesehatan
hewan yang berlaku dengan ketat untuk menghindari penularan virus swine influenza dari babi.
Pencegahan infeksi virus reassortant H1N1 pada manusia harus melibatkan pencegahan infeksi
pada babi dan unggas. Para ahli menyarankan untuk melalukan vaksinasi pada babi terhadap
infeksi virus influenza H1N1 sehingga jumlah virus yang beredar di babi berkurang dan
penularan virus influenza H1N1 ke manusia berkurang. Penggunaan vaksin pada babi yang
direkomendasikan akhir-akhir ini yaitu vaksin yang melawan virus influenza H1 yang berbeda
dan vaksin yang spesifik terhadap virus novel influenza H1N1. Evaluasi tentang kajian
efektifitas kedua vaksin ini perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan vaksin dalam
menimbulkan kekebalan, melindungi dari gejala klinis, dan menghambat terjadinya shedding
virus swine influenza dari babi.

DAFTAR PUSTAKA
Ressang, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Bogor: Institut Pertanian Bogor
EASTERDAY, B.C and V. S. HINSHAW. 1992. Swine influenza. In: Diseases of Swine.
LEMAN, A.D., B. E. STRAW, W. L. MENGELING, S.D. D’ALLAIRE and D.J. TAYLOR JR
(Eds.). Iowa State Press, Ames, IA. pp. 349–357.
JANKE, B.H. 1998. Classic swine influenza. Large An. Pract. 19: 24 – 29.
HALBUR, P.G. 1996. Defining the causes of PRDC. Swine Consultant, Pfizer Animal Health
Fall. 4 – 15.
LANGE, E., D. KALTHOFF, U. BLOHM, J.P. TEIFKE, A. BREITHAUPT, C. MARESCH, E.
STARICK, S. FEREIDOUNI, B. HOFFMANN, T.C. METTENLEITER, M. BEER and T.W.
VAHLENKAMP. 2009. Pathogenesis and transmission of the novel swine-origin influenza virus
A/H1N1 after experimental infection of pigs. J. Gen. Virol. 90: 2119 – 2123.
VAN HOEVEN, N., J.A. BELSER, K.J. SZRETTER, H. ZENG, P. STAEHELI, D.E.
SWAYNE, J.M. KATZ and T.M. TUMPEY. 2008. Pathogenesis of 1918 pandemic and H5N1
influenza virus infections in a guinea pig model: Antiviral potential of exogenous alpha
interferon to reduce virus shedding. J. Virol. 83: 2851 – 2861.

Anda mungkin juga menyukai