Anda di halaman 1dari 6

HARI ULANG TAHUN SHEINA

Riski berlari sekuat tenaga mengejar kereta yang perlahan melaju meninggalkan tubuh
mungilnya. Perlahan namun pasti, langkah kakinya yang tegas memijak tanah mesti melemah. Ia
tersungkur seketika dengan menatap kereta yang kini telah hilang dari pandangannya. “Ibu jangan
tinggalkan kami” kata-kata terakhir yang ia sampaikan sebelum tubuh mungilnya benar-benar tak lagi
sadarkan diri. Namun, kata-kata itu belum sempat terdengar oleh ibunya, karena sudah terlanjur
menghilang terbawa kereta yang melaju begitu cepat.

Tak lama setelah itu, seorang petugas stasiun menemukan tubuhnya yang telah lemah dan tak
sadarkan diri tergolek tepat di samping rel kereta. Terlambat beberapa menit saja petugas
menemukannya, mungkin sekarang Riski akan hanya tinggal nama saja.

“Nak bangun…” seru petugas sambil menampar-nampar lembut pipi Riski. Namun ia tak juga sadarkan
diri. Seolah ia sedang tertidur nyenyak di pangkuan ibunya. Petugas itu dengan sigap membawa Riski ke
sebuah ruangan tempat biasanya petugas-petugas itu melepas rehat sejenak di saat jam makan siang.
Ruangan itu tidak begitu besar, hanya muat diisi beberapa orang saja. Dan di dalamnya sudah ada tiga
orang petugas yang saling bercengkrama. Melihat salah seorang temannya tengah membawa seorang
anak yang tak sadarkan diri, ke tiga petugas yang tengah santai tersebut dengan sigap langsung
membantu dengan ikut memegangi tubuh Riski.

“Siapa ini?” tanya salah seorang petugas.

“Gak tau, aku menemukannya pingsan di samping rel tadi”

“Sial, lambat sedikit saja sudah habis tubuh anak ini terlindas kereta” salah seorang Petugas yang yang
lain menanggapi.

“Tidurkan dia di sini”

Ke empat Petugas itu membaringkan Riski pada lantai yang beralaskan kain tipis. Dengan sekuat
tenaga ia mencoba untuk membangunkan Riski, namun usaha mereka sia-sia. “Cepat panggil atasan”
suruh salah seorang Petugas yang sudah terlihat sedikit panik. Belum sempat mereka memanggil
atasnnya tiba-tiba Riski mengerang “I-b-u…” serempak ke empat Petugas itu langsung mengerubungi
Riski kembali. Salah seorang dari mereka kembali menampar-nampar lembut pipi Riski “Nak…bangun!”
salah seorang lagi mencipratkan air dari tangannya ke wajah Riski. Akhirnya Riski pun terbangun. Ia
membuka matanya perlahan dan kemudian kebingungan karena melihat ada empat Orang petugas
stasiun yang mengerubunginya.

“Aku di mana? Ibu di mana?” tanyanya kebingungan.

“Nak, aku menemukannmu pingsan di samping rel tadi. Dan tidak ada ibumu”

“Ibu…Ibu…Ibu mana ibu? Riski kembali mengerang dengan suara yang menahan tangis.
“Tenang Nak, namamu siapa? Ceritakan dulu apa yang terjadi ke pada kami” salah seorang petugas
menenangkan.

Riski perlahan bangkit, ia terduduk lesu sambil menyenderkan badannya ke dinding.

“Namaku Riski” mulainya

“Berapa usiamu?” tanya salah seorang Petugas

“Sebelas tahun Pak”

“Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa pingsan di samping rel itu?”

“Ibuku pergi meninggalkan aku dan adikku”

“kemana?” salah seorang petugas lagi bertanya penasaran

“Saya gak tau Pak”

“Kenapa dia meninggalkanmu?”

“Saya juga gak tau Pak, tadi dia bilang mau membelikan kue ulang tahun buat adik saya”

“Kalau Ayah?” tanya salah seoarang petugas yang lain

“Aku juga gak tau Pak”

Di sela-sela itu, salah seorang petugas memberikan Riski air putih “Minum ini dulu” suruhnya. Ia
meneguk air itu dengan lahap, sudah seperti orang yang telah beerpuasa seharian.

“Adikmu mana?” salah seorang dari petugas itu kembali bertanya

“Dia di rumah Pak”

“Rumah kamu di mana?”

“Di belakang stasiun ini Pak”

“Sama siapa adikmu di rumah Ki?”

“Sendirian Pak”

“Kamu tidak sekolah Ki?”

Riski terdiam. Tiba-tiba air mata mengucur deras membasahi dan membasuh debu-debu yang
telah melekat di pipi mungilnya. Tangisnya mulai kencang, ia terisak sambil mengerang “Ibu..huu Ibu…
Ibuu” melihat Riski yang tiba-tiba menangis ke empat petugas itu mencoba menenanginya.
Riskipun akhirnya mulai bisa mengatur tangisannya. Ia mulai menjawab pertanyaan dari salah
satu petugas tadi. “Kemarin masih sekolah Pak, tapi sepertinya besok sudah tidak lagi”.

“Kenapa bisa begitu?”

“Spertinya besok saya sudah harus mulai mencari kerja buat makan saya dan adik saya. Saya
tidak tahu lagi Pak harus gimana. Hari ini adik saya berulang tahun, kemarin saya dengar ia meminta
kepada Ibu untuk dibelikan kue ulang tahun dan meminta es krim sebagai kadonya. Tapi sekarang Ibu
sudah pergi. Tidak ada sepersen pun uang yang dia tinggalkan, jangankan untuk membeli kue ulang
tahun dan es krim, untuk makan hari ini saja saya tidak ada. Sudahlah Pak, saya mau pulang dulu. Adik
saya sendirian di rumah.” Perlahan Riski berdiri meskipun sedikit tertatih-tatih. Ia pergi begitu saja
meninggalkan ke empat petugas itu. Di sela-sela ia berjalan, ia menoleh sambil berkata “Terima kasih
Pak”. Mendengar itu salah seorang dari petugas menahannya dan menyuruhnya duduk sebentar saja
“Tunggu sebentar, kalau kau mau pulang tunggulah sebentar” petugas itu perlahan berlari dan
menghilang dari pandangan Riski. Tiba-tiba pikirnya terbawa kembali, ke tempat se saat sebelum ibunya
terbawa kereta.

Riski begitu riang bangun pagi itu. Pasalnya, hari ini hari ulang tahun adiknya, Sheina. Ia tak
sabar ingin pergi ke pasar bersama Ibunya dan membelikan kue ulang tahun dan es krim sebagai hadiah
kejutan untuk adik tersayangnya. Sehina adiknya, hari ini genap berumur enam tahun. Dan di hari
specialnya ini, Riski ingin memberikan sebuah kejutan yang special juga untuk Sheina. Ia tak ingin
kenangan buruk ulang tahunnya terjadi juga kepada Sehina. Lima tahun lalu tepat di hari ulang tahunnya
yang ke enam, Ayahnya pergi meninggalkan keluarganya. Ia meninggalkan Ibu, Riski, dan Sehina yang
pada saat itu masih berusia satu tahun. Entah kemana Ayahnya pergi, Ibunya tak bilang apa-apa. untuk
menghidupi keluarganya, ibunya harus rela menjadi buruh cuci di salah satu perumahan. Dan Riski yang
pada saat itu baru berusia enam tahun harus rela mengorbankan masa anak-anaknya. Ia harus bekerja
sepulangnya sekolah. Ia bekerja menjajalkan kue-kue yang dibuat tetangganya sebagai tambahan untuk
uang jajannya. Sampai sekarang pun begitu, ia masih menjajalkan kue-kue tetangganya dan terkadang ia
juga ikut menjadi pekerja di suatu proyek pembangunan. Walaupun kerjaanya hanya sekedar
mengangkat-angkat batu bata dan semen. Apalagi yang bisa dilakukan oleh anak umur sebelas tahun
selain pekerjaan ringan itu. Dan hasil uang kerjanya itu ia tabung untuk bisa membelikan kue dank ado
ulang tahun buat adiknya.

Dengan semangat, pagi itu ia memecahkan celengan yang berisi uang hasil nabungnya untuk ia
serahkan ke ibu. “Bu, ini uang hasil nabung Iki untuk beliin Ina kue sama kado ulang tahun” kata Riski
sambil menyodorkan seikat uang yang berisi uang seribuan, dua ribuan, dan lima ribuan itu yang
totalnya berjumlah serratus lima puluh ribu. Namun, di sasat memberikan uang itu kepada Ibunya, ia
melihat ibunya sedang memasukan pakaian-pakaiannya ke dalam sebuah tas. “Kenapa dimasukan bu?”
tanya Riski heran. “Oh, bajunya gak layak pakai, mau ibu gadaikan saja kainnya ke tunkang jahit” jawab
Ibunya. Riski tahu bahwa baju yang Ibunya masukan ke dalam tas ialah baju yang sering Ibunya pakai
sehari-hari. Bahkan ada baju yang barusan kemarin dipakainya namun sekarang ia masukan ke dalam tas
untuk digadaikan. Ia tak banyak bertanya, semua pertanyaan dibenaknya tak lagi muat masuk karena
pikirannya sudah penuh dengan rencana-rencana untuk memberikan Sehina kenjutan.

Dari belakan Sheina tiba-tiba saja datang. “Bang, itu uang sebanyak itu untuk apa?” Riski dan ibu
tiba-tiba kaget melihat kedatangan Sheina yang tiba-tiba. “Oh, ini Na, tidak untuk apa-apa. Nanti abang
dan Ibu akan pergi kepasar sebentar buat jual baju-baju ibu yang sudah rusak ini. Jadi Ina tinggal di
rumah dulu ya sebentar” bujuk Riski mengalihkan pertanyaan Sheina. “Oke, siap boss” jawab Sheina
sembari mengacungkan jempolnya.

Sekitar jam sembilanan Riski dan Ibunya berangkat dari rumah. Dengan maksud Riski untuk
membelikan kue dank ado ulang tahun untuk Sheina. Namun, bukannya pergi ke tokoh kue, ia malah
dibawa oleh ibunya ke sebuah stasiun yang berada sedikit di depan rumahnya. “Kok ke sini bu?
Bukannya kita mau ke pasar dulu baut gadaiin baju-baju ibu ini?” tanya Riski. Namun, ibunya hanya diam
saja sambil memperhatikan jam yang tergantung di stasiun tersebut. “Bu…?” panggil Riski lagi. “Ki, mana
uang buat beli kuenya sheina, sini ibu yang beliin. Di dalam stasiun ini ada orang jual kue yang enak dan
murah” pinta Ibunya tiba-tiba. Dengan polosnya Riski memberikan seikat uang yang berjumlah serratus
lima puluh ribu itu ke Ibunya. “Ini Bu” beri Riski. “Yaudah tunggu sebentar di sini, ibu beliin kuenya”
suruh ibu. “Iya Bu” jawab Riski.

Sudah hampir lima belas menit Riski menunggu ibunya. Namun Ibunya takkunjung datang-
datang juga. Riski menunggu dengan manggantungkan sebuah harapan akan datang sebuah kue ulang
tahun yang indah dan es krim yang enak, yang akan ia berikan ke adiknya dan menyaksikan kebahagian
memancar di wajah adiknya yang sedang berulang tahun. Namun, Ibunya takkunjung datang. Ia hanya
menyaksikan orang-orang yang sedang antri untuk memasuki kereta yang akan berangkat. Sambil
mendengar suara khas wanita yang selalu terdengar ketika kereta akan mulai berangkat diiringi oleh
suara bel yang begitu Riski senangi. Bahkan suatu hari, sebelum ayahnya pergi, ia pernah meminta ke
pada ayahnya untuk naik kereta karena sangat senang mendengar suara bel tersebut. Meski pun tinggal
di dekat stasiun, ia sama sekali belum pernah naik kereta.

Sambil memparhatikan orang-orang yang sedang antri, ia melihat salah seorang yang sangat ia
kenali muncul dari dalam kaca kereta. Ia mengucek-ngucek matanya seolah memastikann apakah orang
yang di dalam kereta itu benar orang yang dilihatnya. Tak salah lagi, setelah mengucek sampai beberapa
kali, Riski yakin bahwassanya orang yang di dalam kereta itu benaran adalah Ibunya. Melihat itu, Riski
langsung saja berlari menerobos kerumunan yang tengah antri. Ia berlari membabi buta tanpa
memperhatikan lagi orang di sekelilingnya. Kereta perlahan menjauh meninggalkan stasiun yang ramai
dengan orang yang. Namun Riski tak hentinya mengejar, sambil berlari ia terus saja berteriak
memanggil-manggil Ibunya “Ibu…Ibu…Ibu..jangan tinggalkan kami”. Sedikit meninggalkan stasiun,
namun masih di area sekitar stasiun, tiba-tiba ia terjatuh tak sadarkan diri. Dan menemukan dirinya
sudah berada di sebuah ruang dengan empat orang yang memandanginya.

….
Setelah lama hanyut dalam ingatannya sendiri, ia tersadar setelah salah seorang petugas yang
menyuruhnya untuk tinggal sebentar datang menghampirinya. Petugas itu datang dengan membawa
sebuah bingkisan yang Riski tak tahu apa isinya.

“Ini untukmu, ambillah” petugas itu memberikan samil diiringi dengan senyum kecil di
wajahnya.

“Apa ini?” tanya Riski

“Kue dan kado ulang tahun untuk adikmu yang sedang berulang tahun”

“Serius Pak?” tanya Riski memastikan

“Meskipun kau tak berhasil membawa Ibumu kembali, dan besok kau harus bekerja keras
seharian untuk makan, setidaknya untuk saat ini kau harus melihat raut wajah ceria adikmu yang sudah
lama kau idam-idamkan. Pulanglah titip salam buat Sheina” ucap salah seorang petugas yang
menyelamatkan Riski tadi.

Riski bergegas pulang dengan hati yang rancu. Sedih bercampur bahagia. Sedih sebab Ibunya
telah pergi meninggalkannya dan adiknya. Bahagia sebab, setidaknya ia akan melihat raut wajah Sheina,
meskipun raut wajah bahagia itu tak akan bertahan lama dan menghilang setelah Sheina mengetahui
semua kejadian ini.

Sesampainya di rumah benar saja, Sheina begitu gembira mendapatkan Abangnya pulang
dengan membawa sebuah bingkisan besar. “Wah, apa itu bang” tanya Sheina bingung namun dengan
raut bahagia. Sambil menahan air matanya ruah kembali, Riski menjawab “Ini kue dan kado ulang tahun
untukmu Na, dari Abang dan Ibu”. “Lalu, mana Ibu?” tanya Sheina. “Sudah bukak dulu kadonya,
sebentar lagi ibu pulang” bujuk Riski. Di sela Sheina membuka kado, air matanya sedikit menetes ke
pipinya. Dengan sigap ia menyekanya dengan tangan agar ia tidak merusak momen bahagia adiknya.

“Bang, kenapa kue sama kadonya ada dua?” tanya Sheina bingung

“ha, dua?” Riski pun ikut bingung. Namun dengan sigap ia langsung berkata “Oh, kan tadi abang
bilang dari Ibu dana bang. Yang sati kado dari ibu, dan yang satu lagi kado dari abang”

Raut bahagia memenuhi wajah Sheina siang itu. Tidak dengan Riski, meskipun ia bahagia telah
mewujudkan keinginan adiknya. Ia tak dapat menahan kesedihan karena telah ditinggal oleh kedua
orang tuanya. Dan kejadiannya sama tepat dihari ulang tahun mereka berdua. Riski memalingkan
badannya dan tiba-tiba berlari ke dalam kamar. Ia manutup pintu kamarnya, dan di sana tangisnya
membanjiri pipinya yang barusaja tadi mekar melihat adiknya bahagia. Meskipun lambat laun Sheina
akan tahu yang sebenarnya terjadi, yang jelas hari ini dia harus bahagia, pikir Riski.

Namun, di selah-sela tangisnya yang ruah, ia teringat akan suatu hal. Mengapa petugas stasiun
tadi memberikan dua buah kue dan kado ulang tahun? Ia masih berpikir. Dan pikirannya tambah kalut
setelah ia baru sadar, dari mana petugas itu juga tau kalau nama adiknya adalah Sheina?

Anda mungkin juga menyukai