Anda di halaman 1dari 6

Merumuskan Ulang Basic Demands Mahasiswa: Meneropong Gagasan

Perkaderan Calon Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta

Oleh: ALFI ABDILLAH RAMADHANI

Digital adalah kata kunci penting di abad 21 ini. Warga HMI adalah bagian yang
terpisahkan dari khzanah yang bernama digital itu. Sebagai organisasi yang cukup berusia tua,
tidak mudah bagi HMI untuk segera menyesuaikan diri dengan zaman ini, secara taktis. Bagi
saya, HMI justru berkonotasi organisasi massa dan politik an sich. Tentu ini bertolak belakang
dengan karakter Islam yang modern yang menjadi salah satu watak Islam bagi HMI.
Kontekstualisasi istilah modern pun saya rasa masih dimaknai oleh orang per orang secara
berbeda-beda. Tetapi, dalam HMI secara institusional, belum begitu solid dan harmonis dalam
rangka perkaderan HMI.
Digital disini saya maknai sebagai sebuah automatisasi yang diadaptasi dalam
perkaderan HMI. Yang diadaptasi adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
pada zaman ini. Secara institusional, saya menyebut HMI masih kurang dalam memainkan
sektor-sektor social network semacam media sosial dan semacamnya. Dalam arena perkaderan,
praktik-praktik pelaksanaan kaderisasi juga masih cenderung menggunakan pendekatan-
pendekatan tradisional dengan dalih indoktrinasi. Padahal kita tidak atau belum mengukur,
sejauh mana kekuatan indoktrinasi mampu bersaing dengan nalar algoritmik digital, kecepatan
informasi bahkan dengan artificial intelligence. Tidak bermaksud mengikuti selera pasar,
karena ada nilai dan karakter yang tidak boleh berubah. Tetapi lebih kepada taktik untuk
memikat calon kader HMI.
Antara Basic Demands dan Peran serta Fungsi Mahasiswa
Berbicara tentang memikat calon kader HMI, berarti kita awali dengan berbicara
positioning, segmenting dan targetting mengenai HMI itu terlebih dahulu. Dengan kacamata
segmen, maka pangsa pasarnya HMI adalah anak muda. Ini memang belum spesifik. Jika ingin
spesifik, maka kita lanjutkan dengan penargetan. Yang menjadi target itu adalah mahasiswa
setiap tahun angkatan, yang agamanya Islam. Setiap seseorang itu yang menjadi mahasiswa,
bisa jadi dia itu membawa berbagai curiosity yang ingin ia cari jawabannya sesampainya di
kota tempat ia akan belajar.
Katakalah, mahasiswa itu sudah direkrut oleh HMI, yang menjadi masalah bagi HMI,
kadang bukan pada saat rekrutmennya, namun justru pasca rekrutmennya. Pengurus HMI,
terutama di tingkatan HMI Komisariat belum memiliki formulasi yang topcer dalam memikat
dan mengikat mahasiswa yang baru saja mengikuti LK 1. Terlepas itu adalah seleksi alam.
Jangan buru-buru mengikutsertakan alam dalam menyeleksi kader-kader itu. Kita ukur-ukur
dulu kemampuan kita ini.
Menurut saya, ini adalah masalah serius. Okelah, katakanlah kalau ada senior yang masih
mampu melakukan covering terhadap kualitas keanggotaan suatu komisariat. Namun, mau
sampai kapan? Ini kan berarti selain HMI tidak memiliki kekuatan untuk memikat dan
mengikat, regenerasinya juga terancam. Memangnya mau sampai kapan, sang senior itu hidup
dalam organisasi HMI? Kalau HMI hidup dalam hidupnya, ya itu sudah otomatis. Tapi kalau
hidup dalam organisasinya, ya ini miris. Tidak cukup disitu, bahkan pengurus HMI di berbagai
tingkatan juga seperti itu. Setelah mendapat posisi dia pergi. Nanti datang lagi waktu LPJ saja.
Tapi, alhamdulillah kalau datang. Ya inilah dua fenomena angin-anginan, di tingkat kader dan
pengurus. Makannya, tidak heran jika sekarang ini banyak pengurus HMI tidak mengurus HMI,
tetapi menjadi urusannya kader HMI.
Jika dahulu, HMI mampu memetakan basic demands bangsa Indonesia. Kira-kira,
pertama bangsa Indonesia pada waktu itu membutuhkan pemuda yang tangguh fisiknya,
karena harus melawan penjajah. Kedua, bangsa Indonesia membutuhkan kelompok-kelompok
yang berperan sebagai solidarity maker, karena setelah merdeka ancaman integrasinya masih
sangat rentan. Ketiga, bangsa Indonesia membutuhkan kelompok atau orang-orang yang
gerakannya itu problem solver. Setelah fisiknya berjuang, persatuannya dirajut, sekarang
waktunya mengisi otaknya supaya dalam menjalankan kehidupan bernegara ini dapat
dijalankan dengan ilmu, tidak ngawur dengan dasar nafsu.
Nah, sekarang tidak muluk-muluk dulu lah. Minimal apa pembacaan kita, terhadap basic
demands dari anak-anak muda yang menjadi segmen HMI itu?
Apakah ada semacam pergeseran basic demands dalam konstruksi pikiran mahasiswa-
mahasiswa zaman sekarang itu? Kalau tidak ada, ya sudah – habis perkara. Tetapi kalau ada
pergeseran, bagaimana HMI yang gemuk dan tua ini melakukan pendekatan dan penyelesaian
masalah yang akseleratif terhadap tantangan tersebut?
Selain daripada itu, karena HMI ini organisasi mahasiwa, maka dia juga turut serta
menanggung tanggung jawab kemahasiswaan. Sudah umum diketahui, bahwa peran dan fungsi
mahasiswa itu kira-kira ada empat, yakni agent of change, iron stock, social control dan moral
force. Bahkan ada yang mengatakan lima, ditambah dengan guardian of value. Terserahlah,
mau berapapun yang penting memungkinkan untuk dicapai. Tetapi, jika ini dimaknai sebagai
nilai, maka mau mahasiswa dan bukan mahasiswa tetap memiliki tanggung jawab semuanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Sekali lagi, kalau saya coba menganalogikan dengan
perdagangan, kita ini punya komoditas apa? Dijual dengan harga berapa? Kenapa kok harganya
segitu? Siapa yang mau membelinya? Kalau sudah dibeli, bisa menyelesaikan masalah
hidupnya konsumen atau tidak? Kalau produknya tidak bekerja, dimana customer service-nya?
Dan seterusnya, dan seterusnya. Tetapi kalau menggunakan analogi perdagangan, maka HMI
harus siap mentalnya menjadi produsen, dan mahasiswa-mahasiswa tadi bahkan juga bangsa
Indonesia adalah kita pahami sebagai konsumennya. Pendekatannya, ya pendekatan konsumen.
Tetapi ini ruang yang fleksibel, toh hanya analogi subyektif.
Karakteristik Mahasiswa Era Digital
Generasi Z (Gen-Z) atau yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) RI adalah mereka
yang lahir pada tahun 1997 sampai 2012, komposisinya sebesar 27,04% pada tahun 2020. Itu
adalah persentase terbesar dari seluruh generasi yang ada di Indonesia.

Sumber: Sensus Penduduk 2020 (diolah oleh katadata.co.id/)

Gambar 1. Persentase Penduduk Indonesia menurut Generasi, 2020

Gen-Z lahir dan besar dalam pengasuhan yang relatif protektif di tengah kondisi dunia
yang eksponensial, penuh ketidakpastian atau random. Dari kondisi itu, terkadang mereka
tumbuh menjadi seperti strawberry, yakni tampak kuat (merah) dari luar, namun setelah
dimakan ternyata sangat mudah untuk dilumat. Gen-Z diprediksi akan menjadi generasi yang
paling stres dalam sejarah. Mereka mudah labil karena menerima terpaan informasi dan kondisi
yang cepat berubah dan tidak pasti.
David Stillman dan Jonah Stillman menyatakan bahwa gen-Z identik dengan beberapa
karakter. Pertama adalah digital native, yakni kecenderungan mereka yang terbiasa
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam hidup sehari-harinya. Kedua, mereka
juga fear of missing out (FOMO), yakni khawatir kalau ketinggalan info, ketinggalan zaman,
tidak update, gaptek dan sejenisnya. Ketiga, mereka adalah tipikal hypercustomization, yakni
sebuah kecenderungan bahwa seseorang itu bisa menganalisa dirinya sendiri dalam hal apa
yang ia butuhkan dan inginkan, dan akan mencari kemana agar kebutuhan dan keinginan itu
terpenuhi. Dari hal ini, menyebabkan mereka kritis terhadap sekitarnya, apalagi jika itu
membuatnya tidak nyaman. Keempat, mereka cenderung weconomist, yakni kecenderungan
untuk selalu terhubung dengan lingkungan sebayanya dimanapun dan kapanpun. Kelima,
mereka cenderung do it yourself, yakni kecenderungan untuk mengeksplorasi diri secara
mandiri. Keenam, mudah terpacu dan ketujuh mereka adalah manusia yang realistis (Rakhmah,
2021).
Beberapa hal yang bisa kita identifikasi pada konteks hari ini, bahwa mahasiswa zaman
sekarang jelas lebih realistis dan butuh suatu pengembangan yang nyata dan materiil, bukan
hanya nasihat dan apapun yang bersifat normatif. Mereka lebih menaruh interest pada hal-hal
yang yang memiliki manfaat jelas, menambah value, dan usefull di mata industri. Artinya
mereka cenderung career-oriented. Apakah ini juga sebuah pergeseran paradigma? Atau hanya
guncangan sesaat, karena persoalan struktural kepemimpinan nasional?
Jika kita menilik data di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di DIY itu sendiri pada
2021 terdapat kurang lebih sekitar 390.000 mahasiswa PTN dan PTS, dengan 109 jumlah
perguruan tinggi, serta kurang lebih sejumlah 40 organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan
pada tahun 2022 (Kota Yogyakarta saja).
Saya asumsikan jumlah HMI Komisariat di Cabang Yogyakarta ini sejumlah 25. Mereka
menggelar LK 1 dengan jumlah peserta kita ambil rata-rata 25 orang, maka pada setiap periode
kader HMI Cabang Yogyakarta bertambah sebanyak 625 orang kader. Artinya, sebanyak
0,16% dari total agregat mahasiswa di Jogja (hasil dari generalisasi). Itu adalah asumsi yang
general. Belum dihadapkan pada kenyataan-kenyataan lain di lapangan. Menurut saya, ini
adalah salah satu gambaran mengenai masalah kuantitas yang tidak bisa lagi sepele.
Dari kesemua hal itu, jangankan berbicara perkaderan di HMI, bahkan keberadaan HMI-
nya sendiri itupun sekarang sudah banyak yang meragukan. Jadi pertanyaan yang berkenaan
dengan meneropong gagasan perkaderan HMI Cabang Yogyakarta adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana saudara-saudara calon Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta, merespon
persoalan basic demands Gen-Z tersebut?
2. Bagaimana saudara-saudara calon Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta,
memperbaharui taktik-taktik konvensional perkaderan HMI di Yogyakarta
(indoktrinasi, senioritas dll), dengan karakter mahasiswa era digital yang saya
uraikan diatas tanpa mengorbankan nilai dan karakter HMI?

Referensi:

Ahdiat, Adi. 2022. Jumlah Mahasiswa di Indonesia, dari Aceh sampai Papua.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/05/jumlah-mahasiswa-di-indonesia-
dari-aceh-sampai-papua. Diakses pada 10 Agustus 2023.

Annur, Mutia Cindy. 2022. Provinsi dengan Perguruan Tinggi Terbanyak, Jawa Barat Teratas!.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/11/provinsi-dengan-perguruan-
tinggi-terbanyak-jawa-barat-teratas. Diakses pada 10 Agustus 2023.

Cahyono, Habib. 2019. Peran Mahasiswa di Masyarakat. De Banten-Bode: Jurnal Pengabdian


Masyarakat Setiabudhi Volume 1 (1) Oktober 2019.

Jayani, Hadya Dwi. 2021. Proporsi Populasi Generasi Z dan Milenial Terbesar di Indonesia
.https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/24/proporsi-populasi-generasi-z
dan-milenial-terbesar-di-indonesia. Diakses pada 10 Agustus 2023.

Nugroho, Heru. 2021. Dominasi Nalar Algoritma dalam Masyarakat Digital. Majalah Prisma:
Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi Vol. 40 No. 2, 2021.

Rakhmah, Nur Diyan. 2021. Gen Z Dominan, Apa Maknanya Bagi Pendidikan Kita?.
https://pskp.kemdikbud.go.id/produk/artikel/detail/3133/gen-z-dominan-apa-maknanya-
bagi-pendidikan-kita. Diakses pada 09 Agustus 2023.

Sholichin. 2010. HMI Candradimuka Mahasiswa. Jakarta Pusat. Sinergi Persadatama


Foundation.

Wibowo, Harry. 2021. Yang Berubah dan Sungguh Tidak Berubah. Majalah Prisma: Jurnal
Pemikiran Sosial Ekonomi Vol. 40 No. 2, 2021.

Anda mungkin juga menyukai