Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN NARASI PENYELENGGARAAN

KONGRES MASYARAKAT ADAT NUSANTARA


Jakarta, 15 – 21 Maret 1999

Panitia Penyenggara:
Aliansi Masyarakat Adat (AMA) Kalimantan Barat – Baileo Maluku – BioFORUM – International NGO
Forum on Indonesian Development (INFID) – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) – Jaringan
Gerakan Masyarakat Adat Nusa Tenggara Timur (JAGAT) – Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
– Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) – Jaringan Pesisir dan Laut (Jaring
PELA) – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) – Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan
(KpSHK) – Konsorsium Penguatan Masyarakat Adat (KOPENMA) Irian Jaya – Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI)

PENGANTAR

Pentingnya penyelenggaraan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) sudah disadari oleh sebagian
pemimpin masyarakat adat dan para penggiat ORNOP, khusus yang sejak 10 tahun terakhir bekerja
melakukan pengorganisasian dan pembelaan hak-hak masyarakat adat. Bukanlah suatu kebetulan bila 13
organisasi jaringan ORNOP mampu bekerjasama untuk menginisiasi dan memfasilitasi proses
perwujudan KMAN. Jauh sebelum penyelenggaraan KMAN ini, ke-13 organisasi jaringan ini sudah saling
bekerjasama secara sporadis dalam menangani berbagai kasus konflik yang dihadapi masyarakat adat.

Keberhasilan penyelenggaraan seluruh rangkaian kegiatan KMAN adalah berkat dukungan pendanaan
dari berbagai pihak.

TUJUAN DAN HASIL


Tujuan Umum
 Konsolidasi dan sinergi dari berbagai upaya perjuangan masyarakat adat di seluruh pelosok
Nusantara.
 Dukungan yang luas terhadap gerakan masyarakat adat melalui penguatan dan perluasan aliansi
dengan berbagai kelompok pro-demokrasi dan reformis.
 Posisi tawar masyarakat adat yang kuat dalam rangka penataan kembali hubungan negara dengan
masyarakat adat

Hasil Umum
 Adanya pendidikan publik tentang isu-isu berhubungan dengan masyarakat adat Nusantara
disebarluaskan secara nasional dan internasional
 Masyarakat adat memiliki posisi tawar politis yang lebih besar dalam proses reformasi total yang
sedang berlangsung
 Terakomodasikannya isu-isu masyarakat adat dalam agenda politik nasional

Tujuan Khusus
 Peningkatan kesadaran publik terhadap persoalan sosial, budaya, ekonomi, politik dan religi yang
dihadapi oleh masyarakat adat;
 Dialog dan negosiasi antara masyarakat adat dengan kekuatan-kekuatan politik nasional;
 Pembahasan dan perumusan tatanan dan hubungan baru antara Negara dengan masyarakat adat
menuju kedaulatan dan otonomi untuk menentukan kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi dan
religi masyarakat adat di Indonesia;
 Prakarsa dan pembentukan organisasi rakyat yang bisa mewadahi perjuangan kepentingan dan
penegakan hak-hak masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara.
 Pengembangan aliansi strategis antara masyarakat dengan kelompok-kelompok pro-demokrasi dan
reformis progressif baik di tingkat nasional maupun internasional

Hasil Khusus
 Liputan media massa nasional dan internasional atas berbagai issu masyarakat adat di Nusantara;

1
 Disseminasi dan publikasi informasi yang berkaitan dengan eksistensi dan dukungan terhadap
masyarakat adat di seluruh Nusantara, baik dalam bentuk bahan cetak maupun audio-visual dan
multi media;
 Rumusan platform dan kerangka kerja bersama dalam perjuangan masyarakat adat Nusantara yang
lebih sistematis dan terkoordinasi;
 Dialog horizontal antara pendukung masyarakat adat dan berbagai kelompok masyarakat lainnya
seperti pers, professional, dan seniman;
 Terbentuknya organisasi yang mewadahi perjuangan bersama masyarakat adat Nusantara.

PROSES DAN HASIL

Pendekatan dan Metodologi. Untuk mencapai tujuan diatas dan dengan mempertimbangkan
kecenderungan bahwa upaya pembelaan masyarakat adat masih bersifat sporadis, maka kerabat kerja
KMAN merancang rangkaian kegiatan dengan pendekatan konsolidatif dan lintas sektoral. Sebelum
penyelenggaraan KMAN maka para penggiat ORNOP di berbagai daerah telah menginisiasi dan
memfasilitasi serangkaian proses konsolidasi di kalangan masyarakat adat, termasuk di dalamnya untuk
penentuan peserta kongres dari wakil-wakil masyarakat adat tiap propinsi.

Untuk konsolidasi teknis dan politis maka panitia dan kerabat kerja KMAN telah merancang adanya
dialog langsung dengan berbagai pihak yang berkepentingan, baik di antara utusan-utusan masyarakat
adat di wilayah masing-masing, antara masyarakat adat dengan para pendukungnya, antara masyarakat
adat Nusantara dengan masyarakat adat dari negara asing, masyarakat adat Nusantara dengan
pemerintahan transisi, dan juga masyarakat adat dengan pemimpin partai politik. Rangkaian acara ini
juga memfasilitasi dialog dan pertukaran budaya yaitu dengan pengorganisasian berbagai aksi budaya
kreatif dan pameran interaktif yang memanfaatkan berbagai media komunikasi.

Pelaksanaan. Sesuai dengan pendekatan dan metodologi tersebut maka sebagai rangkaian kegiatan
yang saling terkait satu sama lain, panitia KMAN telah menginisiasi dan mengorganisasikan kegiatan-
kegiatan berikut ini:

Konsultasi Regional. Konsultasi ini dilakukan dalam berbagai bentuk pertemuan seperti lokakarya,
sarasehan, diskusi terbatas dan pertemuan terbuka di 26 propinsi di Indonesia (kecuali Timor Timur
yang saat itu sedang menentukan untuk merdeka atau tetap bergabung dengan Indonesia). Konsultasi ini
dilakukan untuk berbagai tujuan, yaitu antara lain: (1) menentukan agenda dan membangun basis
legitimasi, (2) inventarisasi calon peserta dan alokasi jumlah dari setiap region, (3) sosialisasi issu-issu
penting yang dihadapi masyarakat adat di setiap propinsi, dan (4) merumuskan prinsip-prinsip dan
mekanisme penyelenggaraan KMAN. Seluruh rangkaian konsultasi regional ini berlangsung antara
Oktober 1998sampai Maret 1999 yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat adat setempat,
ORNOP/LSM dan organisasi-organisasi pendukung lainnya. Kegiatan ini terselenggara atas swadaya
masyarakat adat dengan dukungan dari ORNOP/LSM pendukungnya di wilayah masing-masing.

Lokakarya Fasilitator Kongres. Kongres ini dirancanag sebagai milik masyarakat adat sehingga
seluruh proses harus difasilitasi dan dipimpin oleh wakil-wakil dari tokoh-tokoh masyarakat adat. Para
fasilitator bertugas untuk membantu para utusan masyarakat adat untuk menentukan dan membahas
agenda Kongres berdasarkan aspirasi mereka sendiri. Untuk maksud ini, berdasarkan masukan dari
region-region terpilih 9 orang tokoh adat sebagai fasilitator Kongres, yaitu: Tom Beanal (Timika, Irian
Jaya), Nazarius (Kalimantan Barat), L. Sombolinggi (Tana Toraja, Sulawesi Selatan), Wael Mansur (Buru,
Maluku), Umbu Dena (Sumba, NTT), Hamdani Hamid (Kerinci, Jambi), Welly Mella (Timor, NTT), Den
Upa’ Rombelayut (Tanah Toraja, Sulawesi Selatan), dan Januarius Wiwaron (Merauke, Irian Jaya).
Calon-calon fasilitator ini kemudian bertemu untuk mengadakan lokakarya pelatihan fasilitator di
Parung-Bogor pada tanggal 2 - 6 Februari, 1999. Di samping untuk meningkatkan kemampuan tokoh-
tokoh adat dalam memimpin dan mengarahkan Kongres, lokakarya ini juga bertugas untuk membuat
konsep dasar, rancangan proses dan merumuskan agenda Kongres berdasarkan hasil-hasil konsultasi
propinsi dan region. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama JaPhama (Jaringan Pembelaan Hak-Hak
Masyarakat Adat) dengan Panitian Kongres dengan dukungan pendanaan dari Hivos-Belanda.

2
Sarasehan Masyarakat Adat. Sebelum Kongres dimulai, yaitu tanggal 15 – 16 Maret 1999 bertempat
di Hotel Indonesia, Panitia Kongres telah menyelenggarakan Sarasehan Masyarakat Adat. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk memperkaya informasi dan mempertajam analisis terhadap hasil konsultasi regional
berdasarkan issu-issu utama melalui 11 lokakarya yang berlangsung secara paralel. Di samping
melibatkan 208 orang pemimpin masyarakat adat yang terdaftar sebagai peserta Kongres, sarasehan ini
juga melibatkan lebih dari 800 orang di luar peserta Kongres yang berasal dari berbagai profesi, yaitu
antara lain peneliti ilmu-ilmu sosial, akademisi, aktivis LSM/ORNOP, budayawan, aktivis mahasiswa,
ekonom, konsultan perencanaan pengelolaan sumberdaya alam, wartawan, lembaga donor dan pejabat
pemerintah. Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Panitia Kongres dengan berbagai ORNOP/LSM
dan Jaringan ORNOP/LSM pendukung masyarakat adat.

Lokakarya tentang issu hutan adat difasilitasi oleh Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan
(KPSHK) dengan dukungan dana dari Ford Foundation. Diskusi fokus tentang issu biopiracy dan akses
sumberdaya genetika difasilitasi oleh BioForum, Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) dan Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Lokakarya tentang issu hak-hak sipil dan politik masyarakat adat
difasilitasi oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI). Lokakarya tentang posisi politik perempuan
adat difasilitasi oleh Solidaritas Perempuan dengan dukungan dana dari OXFAM United Kingdom -
Indonesia. Lokakarya tentang tanah adat difasilitasi oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Lokakarya tentang issu pertambangan difasilitasi oleh Jaringan Tambang (JATAM). Lokakarya tentang
issu-issu pesisir dan laut difasilitasi oleh Jaring PELA. Lokakarya tentang issu perkebunan besar kelapa
sawit difasilitasi oleh INFID, Sawit Watch dan WALHI. Lokakarya tentang rejim global dan instrumen
hukum internasional difasilitasi oleh BioForum. Lokakarya tentang otonomi daerah difasilitasi oleh
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Lokakarya tentang tanggung-jawab penelitian
kepada masyarakat adat difasilitasi oleh LATIN dengan dukungan CGIAR.

Pada malam (jam 18:30 – 20:30) hari terakhir sarasehan tanggal 16 Maret 1999, kesimpulan-kesimpulan
dan rekomendasi penting yang dihasilkan dari 9 lokakarya dan diskusi fokus tersebut disebar-luaskan
kepada publik dengan menyelenggarakan konferensi pers yang dihadiri oleh sekitar 40 orang wartawan
tulis dari dalam dan luar negeri. Laporan lengkap hasil-hasil Sarasehan Masyarakat Adat ini masih dalam
proses penyusunan menjadi buku yang akan diterbitkan dan disebar-luaskan kepada masyarakat luas.

Kongres Masyarakat Adat Nusantara. Kongres merupakan puncak dari seluruh rangkaian kegiatan
yang akan menghasilkan keputusan-keputusan yang mengikat secara organisatoris bagi masyarakat adat
yang sudah terwakili oleh pemimpin-pemimpin adatnya. Peserta dengan hak suara penuh dalam Kongres
berjumlah 208 orang yang berasal dari 121 suku bangsa (ethnic groups) dari seluruh pelosok Nusantara.
Di samping peserta dari masyarakat adat, setiap sesi persidangan Kongres juga dihadiri antara 100
sampai 150 orang peninjau (observer) yang terdiri dari LSM/ORNOP pendamping/pendukung
masyarakat adat, peneliti (antropolog, sosiolog, dll.), wartawan tulis dan elektronik. Peninjau tidak
diperbolehkan melakukan intervensi dalam Kongres dan tempat duduknya dipisahkan dari para peserta.
Berdasarkan kronologis persidangan, maka Kongres ini terdiri dari beberapa kelompok kegiatan, yaitu:

1. Pembukaan dan Kesepakatan Persidangan. Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN)


yang dibuka pada tanggal 17 Maret 1999 di Bali Room, Hotel Indonesia, Jakarta pada jam 10.25.
Prosesi budaya Betawi menyambut seluruh peserta dimulai dari depan Hotel Indonesia menuju
Bunderan HI. Masyarakat adat Betawi sebagai tuan rumah, yang diwakili oleh Bapak Haji Saran dan
Ibu Haji Nyami, memberikan sambutan selamat datang. Kemudian dilanjutkan dengan pidato
pembukaan dari J.P. Rahail, Raja Kepala Wilayah Adat Maur Ohoiwut – Pulau Kei Besar – Maluku
Tenggara yang didampingi oleh 2 orang fasilitator, Sombolinggi (Tana Toraja) dan Welly Mella
(Timor, NTT). Dalam pidato pembukaannya, J.P. Rahail menegaskan bahwa Kepala Adat bukan
bawahan dari pemerintah tapi mitra kerja sejajar sehingga pemerintah harus menghormati dan
melindungi kedaulatan masyarakat adat sesuai struktur pemerintahannya. Pada bagian akhir acara
pembukaan, salah seorang utusan perempuan adat membacakan Deklarasi Perempuan Adat yang
merupakan hasil Lokakarya tentang Posisi Politik Perempuan Adat. Deklarasi menyikapi pelecehan
yang dialami masyarakat adat, khususnya perempuan adat, selama ini oleh berbagai kebijakan
pemrintah dan tindakan militer, serta mengamanatkan kepada Kongres untuk membentuk Jaringan
Perempuan Adat Nusantara.

3
Setelah perkenalan dan penyampaian harapan-harapan dari setiap wilayah, peserta Kongres
kemudian memilih pimpinan sidang kolektif yang terdiri dari utusan masyarakat adat dari masing-
masing wilayah (9 orang), yaitu: Alex (Papua Barat), J.P. Rahail (Maluku), Maligus Salek (Sulawesi),
Yosep (NTT), Nyoman Sueta (Bali), Yohanes (Kalimantan), H.J. Arifin (Jawa), Haris Butar-Butar
(Sumatera Utara) dan Putra Waldi (NTB), ditambah dengan utusan perempuan adat, yaitu: Rukmini
Risal (Sulawesi Tengah), Mathea (Papua Barat). Di samping pemilihan pimpinan sidang, Kongres
juga membahas dan mensepakati tata tertib persidangan dan mekanisme pengambilan keputusan.

2. Menggali Issu-Issu Utama Masyarakat Adat. Juru bicara dari setiap delegasi menyampaikan
berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat adat di propinsi masing-masing. Hampir seluruh
juru bicara menyampaikan terjadinya penghancuran lembaga adat di seluruh pelosok nusantara
sebagai akibat dari pemaksaan (unifikasi) konsep desa sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. Permasalahan lain yang umum terjadi adalah perampasan hak-hak masyarakat
atas sumberdaya alam dengan penerapan konsep tanah negara (UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960)
dan hutan negara (UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967). Dengan kedua konsep ini maka tanah
adat berserta isinya, yaitu hutan yang tumbuh di atasnya dan bahan tambang yang terkandung di
dalamnya, diambil alih penguasaannya oleh negara secara sepihak. Tanah negara dan hutan negara
ini oleh pemerintah diterjemahkan menjadi milik pemerintah yang hak pengelolaannya diserahkan ke
pihak lain dalam berbagai bentuk seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri (HPHTI), Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan. Bahkan kehadiran Taman
Nasional di wilayah masyarakat adat, sebagai dilaporkan utusan dari Mentawai, Sulawesi Tenggara
dan Sulawesi Tengah, dirasakan oleh masyarakat adat sebagai penindasan dan perampasan hutan
adat. Dampak negatif lainnya yang dialami masyarakat adat akibat dominasi negara (pemerintah) ini
adalah rusaknya alam dan lingkungan hidup yang berakibat semakin rendahnya kualitas hidup
masyarakat adat yang ditandai dengan munculnya penyakit-penyakit baru.

Masyarakat adat Papua Barat dan Aceh menekankan hilangnya kemerdekaan masyarakat adat di
kedua propinsi ini sebagai akibat sentralisme kekuasaan yang menindas kebebasan masyarakat adat
untuk mengatur dirinya sendiri dengan tindakan-tindakan militer yang melanggar hak-hak azasi
manusia. Intervensi militer dan polisi dalam kehidupan masyarakat adat dalam berbagai bentuk,
mulai dari intimidasi sampai tindakan kekerasan, penahanan sewenang-wenang dan bahkan sampai
pembunuhan, dilaporkan oleh seluruh delegasi. Keberadaan BABINSA (Bintara Pembina Desa,
aparat militer yang ditempatkan di desa-desa) justru telah menciptakan keresahan di tengah-tengah
masyarakat adat. Sebagai mana disampaikan oleh juru bicara delegasi Sumatera, Pendekatan yang
represif seperti ini telah membuat masyarakat adat di wilayah ini menjadi apolitis. Khusus untuk
NTT juru bicara delegasi menyampaikan adanya pemaksaan untuk memeluk agama tertentu yang
diakui pemerintah sehingga melanggar ritus-ritus adat. Hal lain yang dihadapi adalah terjadinya
pembajakan (perampokan) terhadap pengetahuan asli masyarakat adat di NTT. Dari Kalimantan
Tengah dilaporkan tentang pembangunan jalan lintas selatan yang melingkar dari Kalimantan Barat
yang melintas tanah-tanah masyarakat adat, termasuk hutan lindungnya. Tuntutan masyarakat adat
untuk ganti rugi atas tanah-tanah adat ini tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah. Dari Lampung
tercatat masalah penggunaan adat untuk kepentingan elit-elit politik, termasuk di antaranya
penggunaan (kooptasi) Kepala Adat untuk melepaskan tanah adat kepada pemerintah tanpa
musyawarah adat.

3. Mengenali Negara dan Rejim Global. Dalam upaya mengenali negara dan perilakunya maka
Panitia Kongres mengundang pejabat-pejabat pemerintah yang relevan untuk mengadakan dialog
kebijakan, para pemimpin partai politik untuk mengadakan dialog politik, serta berdialog dengan
pemimpin masyarakat adat dan penggiat ORNOP pembela masyarakat adat dari luar negeri untuk
memahami permasalahan masyarakat adat di tingkat global.

Pejabat pemerintah yang berdialog dengan peserta Kongres adalah Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional, Hasan Basri Durin, Staf Ahli Menteri Pertambangan dan Energi, Dr. Ir. Ukar
Wijaya Soelistijo, Staf Ahli Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Dr. Ir. Ombo Satyapradja, Direktur
Bina Masyarakat Terasing – Departemen Sosial, Drs. Soegito. Dialog kebijakan ini diwarnai dengan
ungkapan-ungkapan ketidak-puasan masyarakat adat atas berbagai kebijakan pemerintah. Para

4
pemimpin masyarakat adat mengkritisi istilah-istilah yang merendahkan masyarakat adat seperti
“masyarakat terasing”, “perambah hutan”, “penebang liar”, “primitif”. Suasana dialog sangat
emosional karena kesempatan bagi masyarakat adat berdialog langsung dengan pembuat kebijakan di
pusat sangat langka sekali. Kesempatan ini juga dimanfaatkan untuk menagih janji-janji yang pernah
diucapkan para pejabat tetapi tidak pernah ditepati.

Dalam kesempatan ini pun, para pejabat yang terlibat dialog berjanji dan menyatakan
keberpihakannya yang tinggi terhadap rakyat dan memberikan janji-janji yang baru. Misalnya,
Menteri Agraria menjanjikan bahwa Kementriannya akan mengeluarkan peraturan perundang-
undangan yang bertujuan untuk:
a. Melindungi hak-hak tradisional masyarakat adat sehingga para pemegang HGU (hak guna usaha)
tidak boleh melecehkan masyarakat adat. Pembenahan hukum akan dilakukan agar tidak
merugikan masyarakat adat.
b. Memberi kewenangan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II untuk memberi ijin pembukaan
lahan di areal yang kecil.

Dialog politik diikuti oleh Matori Abdul Djalil, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Faisal
Basri, Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) dan Faisol Reza, Ketua Pimpinan Pusat Partai Rakyat
Demokratik (PRD). Dalam dialog ini peserta Kongres mempertanyakan dan mengkritisi agenda
partai politik dalam membela dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

Peserta Kongres melakukan dialog dengan para nara sumber yang mewakili masyarakat adat dari luar
negeri dan para penggiat organisasi yang peduli terhadap masyarakat adat serta berjuang di tingkat
internasional. Sebagai nara-sumber dalam dialog yang dilakukan dalam bahasa Inggris dan Indonesia
adalah Edtami, mewakili masyarakat adat dari Filipina, Hubertus Sumangun dari Aliansi
Internasional Masyarakat Adat Hutan, dan Liz Chidley dari Down to Earth, Inggris.

4. Masyarakat Adat Mengkaji dan Menggugat. Setelah menggali berbagai permasalahan yang
dihadapi masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara lewat laporan-laporan dari setiap delegasi,
serta memahami posisi dan peran negara melalui dialog kebijakan dan dialog politik maka para
peserta Kongres mengkaji secara mendalam dan kritis akar permasalahan. Berdasarkan analisis
tersebut kemudian setiap komisi membuat usulan-usulan perubahan untuk mengatasi permasalahan
yang ada. Untuk maksud ini para peserta dibagi dalam 4 (empat) komisi, yaitu Komisi HAM dan
Politik, Komisi Perempuan Adat, Komisi Ekonomi dan Komisi Sosial- Budaya. Setelah setiap komisi
menyajikan hasil rumusan dan kemudian dibahas secara bersama di sidang pleno maka dihasilkan
beberapa kesimpulan dan usulan utama sebagai berikut:

a. HAM dan Politik. Usulan dan tuntutan Komisi HAM dan Politik adalah sebagai berikut : (1)
usulan penghapusan UU No. 5/1974 tentang Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5/1979 tentang
Pemerintahan Desa; (2) menuntut pemberian otonomi seluas-luasnya kepada masyarakat adat
dalam penentuan persentase alokasi dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berada di dalam
wilayah adat; (3) usulan agar ada wakil masyarakat adat yang duduk di dalam DPR/MPR; (4)
agar semua pihak, khususnya pemerintah, menghentikan dan menghapus klaim-klaim yang
menegasikan kedaulatan wilayah adat, misalnya klaim tanah dan hutan negara; (5) usulan untuk
mengubah bentuk negara menjadi Negara Federasi apabila bentuk Negara Kesatuan yang seperti
sekarang sudah tidak dapat lagi menjamin kesejahteraan rakyat; (7) menghapuskan status
Daerah Operasi Militer (DOM) di seluruh wilayah adat di seluruh antero nusantara; (8) menuntut
agar perempuan mendapatkan kedudukan yang setara dan layak di dalam kehidupan
bermasyarakat; (9) mengusulkan dibentuknya organisasi jaringan masyarakat adat pada kongres
yang sekarang sedang berlangsung.

b. Perempuan Adat. Komisi Perempuan Adat mengajukan 12 tuntutan sebagai berikut : (1)
mencabut segala aturan ke-bijakan negara yang merugikan masyarakat adat perempuan (2)
menyediakan sistem perlindungan agar segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan ketidakadilan
terhadap pe-rempuan dapat dicegah; (3) mengembalikan hak ulayat masyarakat adat perempuan,
termasuk kekuasaan otonomi lokal, masyarakat adat pe-rempuan di tingkat daerah; (4) mengakui
hak perempuan untuk bersuara dan ikut mengambil keputusan; (5) mengakui dan melindungi

5
pengetahuan maupun keahlian tradisional perempuan adat; (6) menghentikan semua bentuk
pemaksaaan program Keluarga Berencana dan memasukan kearifan budaya, termasuk obat-
obatan tradisional kedalam program KB nasional; (7) mencabut hak dwi fungsi ABRI dan
menghukum pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan; (8) membuka akses informasi dan
pengetahuan bagi perempuan; (9) mencabut UU no. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa; (10)
menyerahkan otonomi seluas-luasnya kepada masyarakat adat untuk mengelola rumah
tangganya sendiri serta mengelola sumberdaya alam; (11) membentuk Jaringan Perempuan Adat;
(12) melarang media massa untuk melakukan eksploitasi terhadap perempuan dan melecehkan
harkat-martabat perempuan.

c. Ekonomi. Komisi Ekonomi menuntut hal-hal berikut : (1) diberlakukannya Lembaga


Masyarakat Adat (LMA) untuk menggantikan LMD, LKMD, dan Lurah; (2) tanah-tanah yang
telah dikonversi menjadi perkebunan, pertambangan dan gedung-gedung yang dikuasai
perusahaan (BUMN/BUMD dan swasta) agar dikembalikan kepada masyarakat adat; (3)
menolak dana jaring pengaman sosial (JPS) apabila merugikan kehidupan masyarakat adat; (4)
menolak pertanian monokultur; (5) sumberdaya alam dikembalikan kepada masyarakat adat; (6)
segala kegiatan pembangunan harus melibatkan masyarakat adat; (7) pembentukan kelembagaan
ekonomi keungan berbasiskan masyarakat adat; (8) menolak adanya bentuk-bentuk pinjaman
luar negeri; (9) menindak tegas pelaku dan pembuat pukat harimau serta perlunya adanya
program perumahan untuk nelayan tradisional; (10) menolak Dana Pembangunan Desa
(BANGDES); (11) adanya mekanisme pemasaran dan kontrol harga yang tidak merugikan
masyarakat adat; (12) peraturan pengambilan ikan, baik di darat maupun di laut, harus
memperhatikan keanekaragaman hayati.

d. Sosial Budaya. Komisi Sosial Budaya menuntut hal-hal berikut: (1) pemberlakuan program-
program transmigrasi, keluarga berencana (KB), inpres desa tertinggal (IDT), kredit usaha tani
(KUT), jaringan pengaman sosial (JPS) ternyata ada yang menyebabkan berbagai dampak sosial
yang merugikan masyarakat adat agar pelaksanaannya disesuaikan dengan adat istiadat
setempat; (2) agar UU Perkawinan diubah dan mengakui perkawinan adat; (3) agar intervensi
budaya luar disaring dan disikapi sehingga tidak semakin menjauhkan generasi muda pada
budayanya sendiri; (4) dibentuknya lembaga adat di tingkat lokal, regional dan nasional; (5)
berbagai istilah yang melecehkan masyarakat adat (perambah hutan, primitif, penambang liar)
agar dihapuskan; (6) agar berbagai agama asli yang selama ini tumbuh dan berkembang di
seluruh antero nusantara diakui; (7) agar berbagai proyek pembangunan yang ada menghargai
masyarakat adat dan memberikan ganti rugi yang layak apabila proyek-proyek tersebut ternyata
memanfaatkan sumberdaya alam milik masyarakat adat; (8) agar otonomi daerah dilaksanakan
selekas-lekasnya; (9) agar pihak-pihak perguruan tinggi menghentikan berbagai program
penelitian yang hanya menjadikan masyarakat adat sebagai obyek belaka; (10) agar program
pariwisata, yang sangat sering memanfaatkan budaya sebagai komoditas pariwisata, benar-benar
memperhatikan dan menghindarkan pelecehan terhadap adat; (11) agar program pengiriman
tenaga kerja wanita (TKW) dihentikan karena ternyata telah banyak menyebabkan kerugian bagi
perempuan adat; (12) agar perkawinan campur antar agama diperbolehkan; (13) agar program
pendidikan budi pekerti menjadi perhatian utama pemerintah, sehingga budaya malu, sopan dan
menghargai sesama menjadi semakin berkembang.

5. Membangun Platform dan Rencana Aksi Bersama. Setelah mengkaji berbagai permasalahan
dan menyimpulkan issu-issu bersama yang dihadapi masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara,
maka peserta kongres memasuki tahapan pembahasan agenda masyarakat adat di masa yang akan
datang. Dalam hal ini ada 2 topik menonjol selama pembahasan ini, yaitu tentang: (1) pentingnya
organisasi masyarakat adat sebagai wadah perjuangan bersama di tingkat nasional, regional dan
daerah di seluruh Indonesia; (2) perlunya rumusan dan sikap peserta kongres terhadap Tatanan
Negara Baru Indonesia yang harus diperjuangkan bersama oleh seluruh masyarakat adat Nusantara;
(3) perlunya program kerja organisasi untuk membangun kerja bersama di masa depan. Untuk
sampai ke arah persepakatan yang baik, maka dilakukan pembahasan di sidang-sidang komisi, yaitu
Komisi Organisasi, Komisi Visi dan Misi, Komisi Program. Hasil-hasil dari sidang komisi ini
kemudian disajikan, didiskusikan dan ditetapkan sebagai keputusan akhir Kongres. Hasilnya mohon
dilihat pada bagian E laporan ini tentang Hasil-Hasil Kongres dan Keputusan.

6
Pameran, Aksi Budaya dan Presentasi Audio Visual. Paralel dengan kegiatan Kongres (17-22
Maret 1999), panitia penyelenggara menggelar pameran artefak dan hasil karya masyarakat adat,
berbagai aksi budaya dan presentasi audio visual. Kegiatan di luar persidangan ini, di samping memberi
penyegaran bagi para peserta Kongres, LSM pendamping dan pengunjung, juga dimaksudkan sebagai
salah satu media penyampaian informasi interaktif tentang berbagai upaya pemberdayaan masyarakat
adat di seluruh pelosok nusantara. Dalam pameran ini disajikan berbagai artefak, poster dan juga
penjualan kain serta hasil produksi masyarakat adat lainnya. Penjualan yang dilakukan tanpa memungut
keuntungan bagi panitia penyelenggara. Semua hasil penjualan langsung diserhakan bagi pembuat benda
seni yang diperdagangkan. Pameran memajang kain-kain dari Manggarai, Flores, Tanimbar, Timor,
Sumbawa, Kajang dan dari daerah lainnya. Turut dipamerkan adalah patung dan alat-alat produksi yang
disertai caption-caption anthropologis. Beberapa poster advokasi tanah juga dipasang untuk alat
pendidikan publik. Pada malam harinya Panitia Seksi Pameran memutar video dan slides mengenai
Papua dan isu-isu masyarakat adat lainnya. Pemutaran video disertai dengan diskusi. Namun, sayang,
karena padatnya acara maka tidak kurang dari duapuluh orang saja yang datang dan melihat. Hal ini
disebabkan pula karena peserta sudah kelelahan. Penyelenggraan pameran interaktif ini difasilitasi oleh
Telapak Indonesia dengan dukungan dari sukarelawan seni.

Pada malam hari, panitia juga menyelenggarakan pertunjukan budaya dengan menampilkan Lenong.
Pertunjukan bebas juga dilakukan selama Kongres dimana peserta secara spontan menampilkan kesenian
dari daerah masing-masing. Acara ini sangat mengakrabkan dan terlihat sebagian besar peserta menari
seiring musik. Menjelang penutupan, masyarakat dihibur oleh keluarga masyarakat adat Tanimbar di
Jakarta yang mempertunjukkan sajian musik, lagu, puisi dan tarian pedang. Terjadi insiden dalam tarian
perang yang mengharuskan penari untuk dilarikan ke rumah sakit. Acara pertunjukkan biasanya
berlangsung sampai larut. Atraksi budaya ini terselenggara atas kerjasama yang diberikan oleh Studio
Oncor dan Rimbawan Musa Indonesia (RMI).

Fasilitasi Hasil dan Peliputan Media. Sebagaimana direncanakan bahwa seluruh proses dan hasil
dari rangkaian kegiatan ini harus disebar-luaskan kepada publik, khususnya kepada para pembuat
kebijakan, maka untuk itu Panitia Kangres telah menunjuk satu tim khusus untuk menangani peliputan
media massa. Di samping peliputan langsung oleh para wartawan dari ruang sidang, pada waktu-waktu
tertentu Panitia Kongres juga mengadakan Konferensi Pers dan secara terus menerus memasok informasi
melalui internet. Berdasarkan keputusan spontan para peserta KMAN, wakil-wakil masyarakat adat
melakukan beberapa demonstrasi yang mendapat perhatian media cetak dan elektronik, yaitu berupa
Prosesi Budaya, Aksi Demo Perempuan Adat, Aksi Masyarakat Adat Sulawesi untuk memprotes Korupsi
Kolusi dan Nepotisme (KKN), Demonstrasi di DPR/MPR

Tidak kurang dari 111 orang wartawan, penulis, kameramen dan fotografer yang mendaftar dalam buku
tamu di meja Press and Information. Selama penyelenggaraan Kongres, tidak kurang dari 37 artikel telah
dimuat dalam 12 koran dan tabloid nasional serta 4 majalah nasional. Selama satu minggu media
elektronik juga meliput Kongres, termasuk: Australian Broadcast Corporation (Australia), BBC (Inggris),
NHK (Jepang), RCTI (Indonesia), ANTV (Indonesia), SCTV (Indonesia), TPI (Indonesia) dan Indosiar
(Indonesia). Peliputan media cetak dilakukan oleh antara lain: Yomiuri Shimbun (Jepang), Kompas,
Jakarta Post, Tempo, Tajuk, Suara Pembaharuan, Media Indonesia, Aura, Forum Keadilan, Nova, Neraca,
Republika, Merdeka, Sinar Pagi, Berita Buana, dan Pelita Bangsa. Lebih rinci tentang peliputan media
massa ini bisa dilihat laporan berjudul “Report on Communications and Information Dissemination in
Support of National Congress of Masyarakat Adat Nusantara” yang dilaporkan oleh M-PR Consultant.

Tindak Lanjut (Paska KMAN). Hasil-hasil Kongres telah disosialisasikan melalui berbagai bentuk
kegiatan, yaitu antara lain Konperensi Pers, pertemuan sosialisasi di wilayah-wilayah, demonstrasi,
diskusi meja bundar bekerjasama dengan Komite Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM),
pertemuan dengan kelompok mahasiswa dan seminar hasil untuk menghasilkan agenda aksi tingkat
regional sampai internasional. Proses sosialisasi ini masih terus berlangsung baik dengan pertemuan-
pertemuan di tingkat lokal, lewat iklan layan masyarakat dan juga dengan mengadakan dialog kebijakan
dengan para penentu kebijakan.

7
E. HASIL-HASIL KONGRES dan KEPUTUSAN

1. Statuta AMAN

Visi dan Misi

Visi AMAN:
Cara memandang alam dan dirinya sendiri secara utuh dengan pengertian termasuk didalamnya
pelestarian, pemanfaatan yang tidak mengakibatkan hal–hal yang merugikan dimasa sekarang dan yang
akan datang.

Misi AMAN:
Suatu kerja yang mengandung nilai dasar dalam melaksanakan Visi baik cara bekerja, cara pelaksanaan
tidak melanggar dasar-dasar masyarakat adat, kebersamaan, nilai-nilai keadilan yang mengutamakan
nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

Struktur organisasi AMAN


1. Suku di tingkat lokal atau masyarakat adat nusantara di tingkat adal lokal.
2. Musyawarah regional di tingkat propinsi sekaligus menjadi Dewan Aliansi Nasional disingkat DAN;
3. Kongres Nasional MAN di tingkat nasional.

Waktu dan tempat pelaksanaan Kongres


1. Kongres Masyarakat Adat Nusantara tingkat Nasional dilakukan tiga tahun sekali;
2. Dalam keadaan luar biasa, kongres bisa dilaksanakan sewaktu-waktu;
3. Kongres regional dilaksanakan dua tahun sekali, pada tahun kedua setelah kongres nasional;
4. Tempat dilaksakannya kongres Nasional ditentukan dalam kongres sebelumnya;
5. Tempat dilaksanakannya kongres regional akan ditentukan oleh regional masing-masing.

Tempat dan kedudukan Sekretariat AMAN


1. Tempat dan kedudukan Sekretariat AMAN di Ibu Kota Negara Republik Indonesia;
2. Tempat dan kedudukan Sekretariat di propinsi masing-masing.

Pendanaan
1. Sumber dana terdiri dari :
a. Iuran anggota
b. Sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat
c. Hasil usaha ekonomi yang sah
d. Dll.

Keanggotaan
Anggota AMAN adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di
wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan
wilayah sendiri.

Hak dan kewajiban anggota


1. Setiap anggota berhak untuk memilih anggota dewan AMAN;
2. Setiap anggota berhak untuk mencalonkan diri menjadi anggota dewan AMAN
3. Anggota dewan AMAN dari tiap propinsi terdiri dari dua orang, laki-laki dan perempuan;
4. Setiap anggota wajib mematuhi dan menjalankan semua peraturan organisasi
5. Setiap anggota wajib membayar iuran anggota;
6. Setiap anggota menjalankan dan menyebarluaskan cita-cita dan tujuan organisasi;
7. Setiap anggota berhak untuk mendapatkan perlindungan AMAN.

Komposisi Dewan AMAN


1. Komposisi dewan aman berjumlah lima puluh empat orang yang berasal dari tiap-tiap propinsi.

8
2. Setiap propinsi diwakili oleh dua orang anggota dewan aman kecuali propinsi Papua Barat yang
diwakili oleh 4 orang wakil

2. PANDANGAN DASAR KONGRES MASYARAKAT ADAT NUSANTARA


TENTANG POSISI MASYARAKAT ADAT TERHADAP NEGARA

“Kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak akan mengakui Negara”

Jauh sebelum Negara Republik Indonesia berdiri, telah hidup bermacam-macam masyarakat adat dalam
komunitas-komunitas yang tersebar di se-antero Nusantara. Kami, Masyarakat Adat, adalah komunitas-
komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat,
yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh
hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.

Diakui dengan jelas bahwa adanya keanekaragaman budaya Masyarakat Adat di se-antero Nusantara,
sebagaimana yang telah dirumuskan dalam istilah Bhineka Tunggal Ika. Tapi, kenyataannya, kami tidak
memperoleh pengakuan atas kedaulatan. Kehidupan Masyarakat Adat dalam Republik Indonesia
mengalami penderitaan-penderitaan yang serius. Penderitaan itu pada pokoknya bersumber dari tidak
diakuinya kedaulatan Masyarakat Adat oleh kedaulatan Negara Republik Indonesia dalam
berbagai praktek-praktek penyelenggaraannya.

Pada bidang politik, lembaga-lembaga adat, yang menjadi pengatur masyarakat adat, diporak-
porandakan dengan dipaksakannya lembaga-lembaga pemerintahan daerah dan desa yang berlaku
seragam untuk seluruh wilayah berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah No. 5/1974 dan
Undang-Undang Pemerintahan Desa No. 5/1979. Konsep “desa” yang dipaksakan itu, telah
menimbulkan konflik yang hebat dalam masyarakat yang telah memiliki otonomi sistem pemerintahan
adat tersendiri. Kesatuan-kesatuan wilayah masyarakat adat dipecah-gabungkan dalam satuan-satuan
yang baru. Secara politik, dapatlah dikatakan tidak ada pengakuan akan otonomi kelembagaan adat
dalam mengatur urusan ke dalam maupun ke luar. Lebih-lebih lagi, tidak ada sama sekali perwakilan dari
masyarakat adat dalam kelembagaan-kelembagaan negara yang mengambil keputusan-keputusan
berkenaan nasib masyarakat adat.

Pada bidang hukum, konsep penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya telah menjadi suatu alat yang ampuh menghilangkan kedaulatan masyarakat adat. Berbagai
undang-undang, seperti UU No. 5/1960, UU No. 5/1967, UU No. 11/1967, mendasarkan diri pada konsep
Hak Menguasai Negara yang merupakan wujud kekuasaan negara mengambil alih kedaulatan masyarakat
adat atas tanah dan kekayaan alamnya. Pemegang Hak Menguasai Negara ini, dalam hal ini adalah
pemerintah pusat, pada prakteknya telah mengeluarkan keputusan-keputusan yang membuka peluang
bagi terjadinya pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang serius.

Selama negara RI berada dalam penguasaan rejim militer Orde Baru, masyarakat adat telah mengalami
kekerasan langsung, seperti intimidasi dan penyiksaan, bahkan hingga menghilangkan nyawa warga
masyarakat adat, terutama ketika masyarakat adat memperjuangkan kedaulatan dan hak-hak masyarakat
melawan proyek-proyek dari pemerintah maupun pemodal.

Pada bidang ekonomi, luasnya tanah dan kayanya sumberdaya alam masyarakat adat telah menjadi objek
bagi pemerintah dan pemodal untuk mengadakan proyek-proyek raksasa. Tanpa adanya konsultasi,
pemerintah memberikan hak-hak baru bagi para pengusaha dan badan-badan pengelola lainnya yang
asing bagi masyarakat adat. Berbagai undang-undang, seperti UU No. 5/1960, UU No. 5/1967, UU No.
11/1967, telah memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk mengambil tanah dan mengekspolitasi
kekayaan alam kepunyaan masyarakat adat. Di lain pihak, kedaulatan dan hak-hak masyarakat adat atas
tanah dan kekayaan alamnya diambil alih penguasaannya oleh negara dan pengusaha. Konsep-konsep
yang merugikan seperti, tanah negara atau hutan negara telah menjadi alat yang ampuh untuk
melumpuhkan kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya.

Pada bidang sosial budaya, berbagai pengetahuan dan kearifan lokal milik masyarakat adat telah
dilecehkan, dihilangkan dan dicuri. Pemahaman dan penguasaan masyarakat adat atas kekayaan alamnya

9
yang telah dihancurkan oleh kebijakan-kebijakan yang memaksakan keseragaman kehidupan sosial-
budaya. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam pengelolaan hidup masyarakat adat tidak dipandang
‘sebelah mata’ pun oleh sistem sosial-budaya yang disebut ‘modern’ itu.

Kehidupan perempuan dalam masyarakat adat adalah golongan orang yang paling merasakan
penderitaan akibat penindasan politik, ekonomi dan sosial-budaya di atas. Perempuan adat menderita
lebih banyak, seperti meningkatnya beban kerja perempuan adat akibat hilangnya tanah dan kekayaan
alam, kekerasan langsung berupa pelecehan dan pemerkosaan.

Kejadian-kejadian yang menimpa masyarakat adat dalam bidang ekonomi, poliitik, hukum dan sosial
budaya telah dibicarakan secara mendalam dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN).
Masyarakat Adat yang menjadi peserta Kongres telah berbagi rasa derita dalam kejadian-kejadian nyata
yang dialami. Pada intinya, masalah dari masyarakat adat adalah terancamnya keberlangsungan
kehidupan akibat kedaulatannya telah dihancurkan oleh kedaulatan negara dalam berbagai prakteknya.

Kongres Masyarakat Adat Nusantara ini pada pokoknya menggugat posisi masyarakat adat
terhadap negara. Posisi masyarakat adat terhadap negara harus ditata-ulang. Pengingkaran terhadap
kedaulatan masyarakat adat akan dengan sendirinya melemahkan kekuasaan negara.

Tutuntan utama dari Kongres Masyarakat Adat Nusantara ini adalah:


1. Menghilangkan semua penamaan terhadap masyarakat adat yang bersifat merugikan. Istilah-istilah
seperti “peladang liar”, “suku terpecil”, “masyarakat/suku terasing”, “perambah hutan”, “orang
primitif” harus dihilangkan dalam kehidupan sosial. Demikian pula istilah-istilah yang bermaksud
menghilangkan kedaulatan masyarakat adat, seperti “tanah negara”, “hutan negara”, dan lain-lain.
2. Kebijakan negara di bidang politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya harus senantiasa memberikan
penghargaan sepenuhnya atas keberagaman masyarakat adat yang ada si seantero nusantara,
termasuk memberikan pengakuan, melestarikan dan mengembangkan hukum adat, pengetahuan dan
kearifan lokal masyarakat adat.
3. Menempatkan perwakilan masyarakat adat dalam kelembagaan negara, sehingga kebijakan lembaga-
lembaga negara (baik di pusat maupun di daerah) yang merugikan masyarakat adat bisa dicegah
semenjak direncanakan.
4. Mengembalikan kedaulatan persekutuan politik Masyarakat Adat untuk mengatur kehidupan sosial-
ekonomi, hukum dan budaya masyarakat adat, termasuk kedaulatan atas penguasaan dan
pengelolaan tanah, kekayaan alam dan sumber-sumber penghidupan lainnya. Hal ini sebaiknya
diatur melalui suatu Undang-undang mengenai kedudukan hak politik, hukum dan sosial-budaya
dari Masyarakat Adat.
5. Berbagai undang-undang yang mengingkari kedaulatan masyarakat adat harus dicabut atau diubah.
Konsep Hak Menguasai Negara (yang terkandung di antaranya, dalam UU No. 5/1960 tentang Pokok-
Pokok Agraria, UU No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan, UU No. 11/1967 tentang Pokok-
pokok Pertambangan, UU No. 9/1985 tentang Perikanan) harus ditinjau ulang berdasarkan
pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat. Pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan
masyarakat adat harus terjamin dalam undang-undang yang baru nanti. Dalam proses
pembuatannya, masyarakat adat mendapat jaminan sepenuhnya untuk berpartisipasi dalam
pembuatannya.
6. Merundingkan penggunaan tanah dan kekayaan alam kepunyaan masyarakat adat yang dipakai oleh
berbagai proyek-proyek dari pemerintah maupun pengusaha, seperti proyek ekspoitasi hutan,
pertambangan, perkebunan, perikanan, dan transmigrasi. Berbagai rencana proyek baru di atas tanah
dengan menggunakan kekayaan alam masyarakat adat harus didasari atas perundingan bersama
masyarakat adat yang menguasainya dan dipertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat adat
perempuan.
7. Berbagai proyek kesejahteraan sosial, seperti penangulangan kemiskinan, kesehatan, keluarga
berencana, pembinaan masyarakat terasing, jaringan pengaman sosial, pendidikan dan lain-lain,
harus menjamin tidak terjadinya pelanggaran hak-hak masyarakat adat, terutama hak-hak
masyarakat adat perempuan. Tidak boleh lagi terjadi, diskriminasi dan kekerasan dalam pelaksanaan
proyek-proyek itu, seperti Proyek KB yang selama ini telah menggunakan cara-cara kekerasan,
terutama kekerasan terhadap perempuan. Undang-undang Perkawinan dan prakteknya yang
berkonflik dengan hukum agama dan adat harus diubah, dengan memberikan pengakuan atas proses-

10
proses perkawinan berdasarkan agama dan adat yang berlaku di masyarakat-masyarakat adat se
antero nusantara.
8. Menghentikan keterlibatan militer dalam kehidupan sipil, sebagaimana ada dalam dokrin dwi-fungsi
ABRI. Harus dihentikan dan tidak diulangi lagi, Proyek-proyek proyek-proyek politik dan keamanan
seperti Daerah Operasi Militer dan sejenisnya, yang telah berakibat terjadinya pelanggaran HAM
terhadap masyarakat adat, seperti intimidasi, penyiksaan, pemerkosaan bahkan pembunuhan,
khususnya kekerasan terhadap perempuan masyarakat adat. Semua aparat militer yang berada di
wilayah-wilayah operasi proyek politik dan keamanan itu dikembalikan ke induk pasukannya masing-
masing.
9. Para pemegang kekuasaan Negara, baik pihak legislatif, eksekutif dan yudikatif, wajib membuat suatu
penyelesaian yang arif dan bijaksana dalam rangka menghormati hak menentukan nasib sendiri dari
masyarakat adat di dalam negara. Negara wajib merehabilitasi kedaulatan dan hak-hak masyarakat
adat yang selama ini telah dilanggar. Semua aparat yang terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap
masyarakat adat, terutama mereka yang menggunakan kekerasan, wajib diusut dan diadili sesuai
dengan hukum yang berlaku. Para korban dari perlakuan pelanggaran HAM itu harus memperoleh
rehabilitasi dari negara. Negara harus mempersiapkan dana yang cukup memadai untuk
merehabilitasi kehancuran wilayah dan penderitaan manusia akibat pelanggaran kedaulatan dan hak-
hak tersebut.
10. Mendesak pemerintah Indonesia untuk ikut serta menghasilkan dan menandatangani perjanjian-
perjanjian internasional yang menjamin hak-hak masyarakat adat, seperti Konvensi ILO 169 dan Draf
Deklarasi PBB tentang Masyarakat Adat.

3. DEKLARASI AMAN

Dengan ini kami mendeklarasikan tanggal 17 Maret sebagai hari kebangkitan masyarakat adat nusantara.
Untuk itu kami menyatakan sebagai berikut;
 Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur dan menjadi landasan kehidupan Masyarakat Adat yang
utama;
 Adat di Nusantara ini sangat manjemuk, karena itu, tidak ada tempat bagi kebijakan negara yang
berlaku seragam sifatnya;
 Jauh sebelum negara berdiri, Masyarakat Adat di nusantara telah terlebih dahulu mampu
mengembangkan suatu sistem kehidupan sebagaimana yang diinginkan dan dipahami sendiri.
Oleh sebab itu negara harus menghormati kedaulatan Masyarakat Adat ini;
 Masyarakat Adat pada dasarnya terdiri dari makhluk manusia yang tidak berbeda dengan makhluk
manusia yang lain. Oleh sebab itu, warga Masyarakat Adat juga berhak atas kehidupan yang layak
dan pantas menurut nilai-nilai sosial yang berlaku. Untuk itu, seluruh tindakan negara yang keluar
dari kepatutan kemanusiaan universal dan tidak sesuai dengan rasa keadilan yang dipahami oleh
Masyarakat Adat harus segera diakhiri;
 Atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenanggungan, Masyarakat Adat se nusantara berhak
untuk saling bahu membahudemi terwujudnya kehidupan Masyarakat Adat yang layak dan
berdaulat.

Untuk itu Kami masyarakat adat nusantara dengan ini menyatakan/menggugat pemerintah RI karena
ternyata telah melakukan peminggiran, penindasan, penghancuran secara sistematis, perampasan dan
penggususran hak masyarakat adat serta melakukan pelanggaran ham (politik ekonomi dan sosial
budaya). Untuk itu, kami masyarakat adat mendesak pemerintah Republik Indonesia;
 Mencabut peraturan dan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan kedaulatan masyarakat
adat seperti; (UU Nomor 5 tahun 1979, UU nomor 5 Tahun 1974, UU nomor 5 tahun 1967, UU
nomor 11 tahun 1967, UU nomor 5 tahun 1960, UU nopmor 5 tahun 1985) sebelum penyelenggaran
pemilu tahun 1999 harus sudah dicabut;
 Meninjau kembali keberadaan departemen Trabnsmigrasi dan PPH;
 Mencabut dwi fungsi ABRI
 Mencabut seluruh paket HGU, HPH, HTI dan paket-paket lain yang merugikan masyarakat adat;
 Harus berfungsi sebagai pelayan masyarakat bukan sebagai penguasa.
 Pemerintah mengakui keberadaan masyarakat adat

4. Deklarasi dan 12 Tuntutan Perempuan Adat

11
Kami, kaum perempuan masyarakat adat se-nusantara menyadari bahwa hidup kami telah dibelenggu,
dilecehkan dan bahkan dihinakan oleh berbagai kebijakan serta hukum nasional yang dikeluarkan oleh
negara. Sementara itu, diantara hukum adat yang masih berlaku di tengah-tengah kami juga terdapat
nilai-nilai yang cenderung merendahkan posisi kami.

Kebijakan-kebijakan negara (seperti hak penggunaan hutan, pertambangan, perkebunan inti rakyat,
kelapa sawit, eucalyptus, keluarga berencana, transmigrasi, industri pulp & paper) pada prakteknya
bukan saja telah menggusur hak asal-usul, hak atas wilayah adat, hak ekonomi, dan sistem nilai
masyarakat adat, tetapi juga telah memperbesar penderitaan kami kaum perempuan adat. Pelaksanaan
kebijakan-kebijakan tersebut di tempat kami berdampak langsung kepada kaum perempuan seperti:
 Pencemaran lingkungan yang kemudian mengganggu ke-sehatan perempuan sehingga banyak
perempuan mengalami keguguran dan melahirkan bayi-bayi cacat
 Kehancuran lingkungan mem-perberat beban kerja kaum perempuan karena harus lebih jauh
mencari bahan makanan untuk keluarga
 Terjadinya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan baik fisik maupun non fisik baik di
lingkungan keluarga dan masyarakat
 perempuan dijadikan obyek seksual yaitu perkosaan dan kawin kontrak
 pemaksaan menggunakan alat kontrasepsi

Perangkat hukum nasional seperti Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Pemerintahan Desa,
Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Pokok Kehutanan telah
menggusur peraturan-peraturan adat yang telah lama berlaku di masyarakat adat. Bagi kaum perempuan,
perangkat hukum nasional tersebut juga menghancurkan hak dan martabat kaum perempuan adat.

Berdasarkan kenyataan pahit yang dialami oleh kaum perempuan adat se-nusantara, maka kami pe-
rempuan adat se Nusantara yang berkumpul dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta 15-22
Maret 1999 dengan ini menyatakan sikap:

 Menolak segala bentuk pengurasan sumberdaya alam secara besar-besaran melalui HGU, HTI,
HPH, Tambang, Taman Nasional yang berakibat pada hilangnya lahan masyarakat adat, dalam hal
ini perempuan untuk menopang kehidupan rumah tangganya.
 Menolak semua kebijakan dan hukum yang merendahkan martabat dan merugikan kehidupan
perempuan adat.

Berkaitan dengan itu kami menuntut dan mendesak negara untuk:

1. Mencabut segala aturan ke-bijakan negara yang merugikan masyarakat adat perempuan.
2. Menyediakan sistem per-indungan agar segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan ketidakadilan
terhadap pe-rempuan dapat dicegah.
3. Mengembalikan hak ulayat masyarakat adat perempuan, termasuk kekuasaan otonomi lokal,
masyarakat adat pe-rempuan di tingkat daerah.
4. Mengakui hak perempuan untuk bersuara dan ikut mengambil keputusan.
5. Mengakui dan melindungi pengetahuan maupun keahlian tradisional perempuan adat.
6. Menghentikan semua bentuk pemaksaaan program Keluarga Berencana dan memasukan kearifan
budaya, termasuk obat-obatan tradisional kedalam program KB nasional.
7. Mencabut hak dwi fungsi ABRI dan menghukum pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan.
8. Membuka akses informasi dan pengetahuan bagi perempuan.
9. Mencabut UU no. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa
10. Menyerahkan otonomi seluas-luasnya kepada masyarakat adat untuk mengelola rumah tangganya
sendiri serta mengelola sumberdaya alam.
11. Membentuk Jaringan Perempuan Adat.
12. Melarang media massa untuk melakukan eksploitasi terhadap perempuan dan melecehkan harkat-
martabat perempuan.

Oleh karena itu kami mengamanatkan kepada Kongres Masyarakat Adat Nusantara untuk:

12
1. Membentuk Jaringan Perempuan Adat Nusantara.
2. Membuat draft hukum adat nasional untuk disampaikan kepada MPR RI dengan melibatkan
perempuan adat.
3. Menciptakan perguruan tinggi adat nusantara.
4. Membentuk Jaringan Perempuan Adat Nusantara yang difasilitasi oleh :
a. LSM Pendamping
b. Peninjau KMAN
c. Masyarakat Adat Internasional
d. Pers
e. Pemerintah; melalui RAPBD dan RAPBN

-- *** --

13

Anda mungkin juga menyukai