Anda di halaman 1dari 41

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Teori Precede-Proceed Model

2.1.1 Konsep Precede – Proceed Model

Model ini mengkaji masalah perilaku manusia dan faktor - faktor yang

mempengaruhinya serta cara menindaklanjutinya dengan berusaha mengubah,

memelihara, atau meningkatkan perilaku kearah yang lebih positif. (Nursalam,

2020). Lawrance Green menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan,

dimana kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh faktor perilaku

(behavior causes) dan faktor diluar (non behavior causes). Menurut (Lawrance

Green, 1980 dalam Maharani, 2018) perilaku terbentuk dari tiga faktor yaitu :

1. Faktor pendorong (predisposing factor)

Faktor predisposing merupakan faktor yang menjadi dasar motivasi atau

niat seseorang melakukan sesuatu. Faktor pendorong meliputi

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi, tradisi,

dan unsure lain yang terdapat dalam diri individu maupun masyarakat

yang berkaitan dengan kesehatan).

2. Faktor pemungkin (enabling factor)

Faktor enabling merupakan faktor-faktor yang memungkinkan atau yang

memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor pemungkin meliputi sarana

dan prasarana atau fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. Untuk

berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana

pendukung, seseorang yang ingin mendapatkan informasi harus lebih aktif


dalam mencari informasi melalui pelayanan kesehatan seperti puskesmas,

rumah sakit, posyandu, dokter atau bidan praktik, dan juga mencari

informasi melalui media massa seperti media internet, media cetak, media

elektronik, dan media sosial.

3. Faktor pendorong atau pendorong (reinforcing factor)

Faktor reinforcing merupakan faktor-faktor yang mendorong atau

memperkuat terjadinya perilaku seseorang yang dikarenakan adanya sikap

suami, orang tua, tokoh masyarakat atau petugas kesehatan.

Teori ini disebut juga model perubahan perilaku Precede-Proceed dari

Lawrance Green dan Kreuter yang menyatakan bahwa perilaku kesehatan

dipengaruhi oleh faktor-faktor individu maupun lingkungan, dan karena itu

memiliki dua bagian utama yang berbeda yaitu :

1. PRECEDE yang merupakan akronim dari Predisposing, Reinforcing,

Enabling Coonstructs in, Educational/Ecological, Diagnosis and

Evaluation, yang terdiri dari fase 1 pengkajian sosial, fase 2 pengkajian

epidemiologi, fase 3 pengkajian perilaku dan lingkungan, fase 4

pengkajian pendidikan dan organisasi, dan fase 5 pengkajian administrasi

dan kebijakan yan berfokus pada perencanaan program.

2. PROCEED merupakan akronim dari Policy, Regulatory, Organizational

Construct in, Educational and Environmental Development, yang berfokus

pada implementasi dan evaluasi, terdiri dari fase 6 implementasi, fase 7

evaluasi proses, fase 8 evaluasi dampak, dan fase 9 evaluasi hasil. (Bella,

2020)
Precede - Proceed Model terdiri dari sembilan fase dimana bagian

PRECEDE terdiri dari 5 fase (Fase 1-5) berfokus pada perencanaan program dan

bagian PROCEED terdiri dari 4 fase (Fase 6-9) berfokus pada implementasi dan

evaluasi. Sembilan fase model Precede-Proceed yaitu :

1. Pengkajian sosial

Suatu proses untuk mengetahui masalah sosial yang berdampak pada

masyarakat dan sebagai proses dalam penentuan persepsi dan aspirasi

masyarakat terhadap kualitas hidup mereka.

2. Pengkajian epidemologi

Merupakan proses untuk mengidentifikasi aspek kesehatan yang

mempengaruhi kualitas hidup, dimana pada fase ini akan dikaji faktor-

faktor kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup seseorang.

3. Pengkajian perilaku dan lingkungan

Proses untuk mengidentifikasi perilaku dan gaya hidup individu atau

masyarakat serta lingkungan sekitar yang berhubungan dengan kesehatan

dan kualitas hidup mereka.

4. Pengkajian pendidikan dan organisasi

Fase ini merupakan proses untuk mengkaji faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku seseorang atau masyarakat, antara lain faktor

predisposisi (predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors),

dan faktor pendorong (reinforcing factors). Fase ini merujuk pada tiga

faktor, yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong

yang berhubungan dengan perilaku seseorang atau masyarakat.


5. Pengkajian administrasi dan kebijakan

Merupakan proses pengkajian administrasi tentang penilaian terhadap

sumber daya manusia dan sumber dana, kemudian pengkajian kebijakan,

untuk melihat apakah tujuan dan sasaran program sudah sesuai dengan

tujuan organisasi dan administrasinya.

6. Implementasi

Merupakan proses pengkajian administrasi tentang penilaian terhadap

sumber daya manusia dan sumber dana, kemudian pengkajian kebijakan,

untuk melihat apakah tujuan dan sasaran program sudah sesuai dengan

tujuan organisasi dan administrasinya.

7. Evaluasi proses

Merupakan proses dalam mengevaluasi pelaksanaan program promosi

kesehatan, apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada

dan melihat apakah sudah terpenuhi tujuan dari program tersebut

8. Evaluasi dampak

Fase ini, dilakukan untuk menilai keefektifan program dan melihat dampak

yang terjadi pada seseorang atau masyarakat dari segi perilaku dan gaya

hidup, lingkungan, serta perubahan-perubahan dari faktor predisposisi,

pendukung dan pendorong.

9. Evaluasi hasil

Fase evaluasi hasil, merupakan kegiatan untuk melihat efek yang diperoleh

dari program promosi kesehatan terhadap kesehatan dan kualitas hidup

individu atau komunitas. (Setyani, 2016 dalam Bella, 2020)


Sembilan proses dalam Precede – Procede Model tersebut digambarkan dalam

bagan berikut ini :

Sumber : Setyani, 2016


Gambar 2.1 Kerangka Teori Precede-procede Model

2.1 Konsep Dasar Remaja

2.2.1 Definisi Remaja

Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan

perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual. Sifat

khas remaja mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan

dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas perbuatannya tanpa

didahului oleh pertimbangan yang matang. (Suindri, 2020). Oleh sebab itu, sudah

tidak lagi menjadi suatu perkara yang mudah untuk menghadapi berbagai karakter

para remaja. Menurut WHO, remaja merupakan penduduk yang memiliki umur
antara 12 sampai dengan 21 tahun, Sedangkan menurut departemen Republik

Indonesia usia remaja terbagi menjadi dua, yaitu remaja awal yang memiliki

rentan usia 12 sampai 16 tahun dan remaja akhir yang memiliki rentan usia 17

sampai 25 tahun. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak

menuju masa dewasa. Masa ini, remaja akan mengalami proses pematangan dan

perkembangan yang pesat baik mental ataupun fisik. Oleh karena itu, masa remaja

dikelompokkan menurut tahapan sebagai berikut (Diananda, 2019) :

1. Pra-remaja (11 atau 12-13 atau 14 tahun) Fase pra-remaja ini berlangsung

sangat singkat, hanya sekitar satu tahun. untuk anak- anak berusia 12 atau

13 tahun - 13 atau 1 tahun. Fase ini disebut juga fase negatif karena lebih

mirip perilaku negatif. Masa-masa sulit untuk hubungan komunikatif

antara orang tua dan anak. Perkembangan fungsi tubuh juga terganggu

oleh perubahan, termasuk perubahan hormonal, yang dapat menyebabkan

perubahan suasana hati yang tidak terduga. Remaja menunjukkan refleksi

diri yang hebat, yang berubah dan meningkat dalam kaitannya dengan apa

yang orang lain pikirkan tentang mereka.

2. Masa remaja awal (13 atau 14 – 17 tahun) Merupakan masa dimana

perubahan terjadi dengan sangat cepat dan mencapai puncaknya.

Ketidakseimbangan dan ketidakstabilan emosi dalam banyak hal yang ada

pada usia ini. Dia mencari identitas pribadi karena statusnya tidak jelas

saat ini. Pola hubungan sosial mulai berubah. Seperti orang dewasa muda,

remaja sering merasa diberdayakan untuk membuat keputusan sendiri.


Pada fase perkembangan ini kemandirian dan identitas yang kuat,

pemikiran logis, abstrak dan idealis serta banyak waktu jauh dari keluarga.

3. Remaja usia lanjut (17-25 tahun) ingin sekai menjadi pusat perhatian, dia

ingin mendapatkan perhatian, sebaliknya pada masa remaja awal. Dia

idealis, bersemangat serta memiliki ambisi dan energi yang besar. Dia

mencoba membangun identitasnya sendiri dan ingin mandiri secara

emosional.

2.2.2 Ciri - ciri Remaja

Rentang hidup remaja memiliki karakteristik tertentu yang membedakan

dari periode sebelumnya dan berikutnya. Masa remaja selalu menjadi masa yang

sulit bagi remaja dan orang tuanya. Adapun ciri-ciri remaja dalam (Mawaddah,

2020) adalah sebagai berikut:

1. Pertumbuhan fisik

Anak perempuan tumbuh pesat antara usia 10 dan 15 tahun, dan anak laki-

laki antara usia 12 dan 16 tahun dan akan mencapai tinggi optimal mereka

pada usia 18 tahun. Perubahan fisik yang dramatis mempengaruhi

psikologis remaja dibandingkan dengan aspek lain dari diri nya, membuat

dirinya lebih memperhatikan penampilan mereka, terutama bagi wanita.

Dibandingkan dengan laki laki, mereka cenderung tidak menyukai apa

yang mereka lihat dalam cermin.

2. Perkembangan seksual

Tidak dapat dipungkiri bahwa ketertarikan terhadap lawan jenis dimulai

sejak usia anak-anak. Namun, seksualitas menjadi masalah nyata selama


masa remaja, menurut penelitian yang menunjukkan persentase tinggi

siswa sekolah menengah atas yang pernah berhubungan seks.

3. Cara berpikir

Keterampilan berpikir sempurna pada masa remaja. Hal ini terjadi pada

rentang usia 12-16 tahun. Seperti yang dijelaskan oleh pionir tes mental

nasional Prancis Alfred Binet, kemampuan seorang anak untuk memahami

informasi abstrak disempurnakan pada usia 12 tahun. Dan kesempurnaan

dalam menarik kesimpulan dan informasi abstrak, dimulai pada usia 14

tahun. Sebagai hasil dari evolusi pemikiran ini, remaja cenderung menolak

apa yang mereka anggap tidak dapat ditoleransi, dan jika dipaksa untuk

menerima tanpa alasan rasional, mereka pasti berakhir dengan remaja.

Ketegangan sering muncul dengan orang tua, guru, atau orang dewasa

lainnya.

4. Emosi yang meluap

Emosi remaja masih labil karena status hormonalnya. Remaja dengan

perasaan seperti itu sangat mudah terpancing emosi. Misalnya, di sekolah

menengah ada fenomena hubungan antar sekolah. Ada banyak fenomena

putus cinta yang membuat remaja sangat sedih. Bukti bahwa emosi remaja

lebih mudah dikendalikan daripada pemikiran realistis mereka.

5. Menarik perhatian lingkungan

Selama masa pubertas, mereka mulai menarik perhatian orang-orang di

sekitar mereka. Ini adalah semacam perjuangan kaum muda untuk

mendapatkan status dan peran dalam masyarakat.


6. Pembentukan lingkungan sosial teman sebaya

Sebagai lingkungan sosial, peer group berperan penting dalam membentuk

kepribadian remaja. Hal ini menjadi semakin penting mengingat

perubahan struktur sosial dalam beberapa dekade terakhir, seperti waktu

tunggu yang lama bagi remaja untuk memasuki masa dewasa.

Bagi remaja, tanpa lingkungan yang ramah, mereka tidak berguna dan

terkadang menyebabkan depresi. Hal ini karena teman sebaya memiliki

pengaruh yang lebih besar daripada individu.

2.2.3 Tahap-tahap Perkembangan dan Batasan Remaja

Dalam perkembangannya remaja mengalami perubahan emosional,

kognitif, dan psikis, salah satu perubahan yang tidak bisa dihindari adalah

motivasi dan rasa keingintahuan yang tinggi terhadap berbagai hal yang menimpa

dirinya termasuk masalah-masalah yang berhubungan dengan seksualitas.

Berdasarkan proses penyesuaian menuju kedewasaan, ada tiga tahap

perkembangan remaja menurut (Soetjiningsih, 2010 dalam Firdaus, 2018) sebagai

berikut:

1. Remaja awal (early adolescent) umur 12-15 tahun

Seorang remaja untuk tahap ini akan terjadi perubahan-perubahan yang

terjadi pada tubuhnya sendiri dan yang akan menyertai

perubahanperubahan itu, mereka pengembangkan pikiran-pikiran baru

sehingga, cepat tertarik pada lawan jenis, mudah terangsang secara erotis,

dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis ia sudah akan berfantasi

erotik.
2. Remaja tengah (middle adolescent) berumur 15-18 tahun

Tahap ini remaja membutuhkan kawan-kawan, remaja senang jika banyak

teman yang mengakuinya. Ada kecenderungan mencintai pada diri sendiri,

dengan menyukai teman-teman yang sama dengan dirinya, selain itu ia

berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu memilih yang mana

peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimistis,

idealitas atau materialis, dan sebagainya.

3. Remaja akhir (late adolescent) berumur 18-21 tahun

Tahap ini berkembang dari tahap konsolidasi ke tahap dewasa dan ditandai

dengan tercapainya 5 hal, yaitu:

1) Minat yang terus meningkat pada fungsi intelijen.

2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan

pengalaman baru.

3) Membentuk identitas gender yang permanen.

4) Egosentrisme (terlalu banyak memperhatikan diri sendiri) digantikan

oleh keseimbangan dan keegoisan terhadap orang lain.

5) Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self).

2.2.4 Tugas Perkembangan Remaja

Masa remaja merupakan salah satu tahapan kehidupan. Periode ini

merupakan tahap kehidupan kunci dalam siklus perkembangan individu dan

periode transisi di mana perkembangan dapat disesuaikan menuju dewasa yang

sehat. Untuk dapat bersosialisasi dengan sukses, remaja seusia itu harus berhasil
mengatasi tantangan perkembangan. Jika tugas perkembangan sosial ini berhasil

diselesaikan, remaja tidak akan mengalami masalah dalam kehidupan sosial dan

akan membawa kegembiraan dan keberhasilan dalam menguasai tugas

perkembangan tingkat berikutnya. Sebaliknya, ketika remaja gagal melakukan

tugas perkembangan, hal ini berdampak buruk pada kehidupan sosial di kemudian

hari, menyebabkan ketidakpuasan remaja yang terlibat, penolakan dari

masyarakat, dan kesulitan mengatasi tugas perkembangan selanjutnya.

Menurut (William Kay, dalam Saputro, 2018), mengemukakan tantangan

perkembangan pada masa remaja sebagai berikut:

1. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.

2. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang

mempunyai otoritas.

3. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan bergaul

dengan teman sebaya, baik secara individual maupun kelompok.

4. Menemukan manusia model yang dijadikan identitas pribadinya.

5. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap

kemampuannya sendiri.

6. Memperkuat self control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar

skala nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah hidup (weltanschauung).

7. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku)

kekanak-kanakan.
Selanjutnya, dalam membahas tujuan tugas perkembangan remaja, Jahja

mengemukakan pendapat (Luella Cole dalam Saputro, 2018) yang

mengklasifikasikannya ke dalam sembilan kategori, yaitu:

1. Kematangan emosional

2. Pemantapan minat-minat heteroseksual.

4. Kematangan sosial.

5. Emansipasi dari kontrol keluarga.

6. Kematangan intelektual.

7. Memilih pekerjaan.

8. Menggunakan waktu senggang secara tepat.

9. Memiliki falsafah hidup.

10. Identifikasi diri.

2.3 Konsep Dasar Perilaku

2.3.1 Definisi Perilaku

Perilaku merupakan seperangkat perbuatan atau tindakan seseorang dalam

melalukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena

adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah tindakan

atau aktivitas dari manusia baik yang diamati maupun tidak dapat diamati oleh

interaksi manusia dengan lingungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,

sikap, dan tindakan. Perilaku secara lebih rasional dapat diartikan sebagai respon

organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subyek tersebut. Respon

ini terbentuk dua macam yakni bentuk pasif dan bentuk aktif dimana bentuk pasif

adalah respon internal yaitu yang terjadi dalam diri manusia dan tidak secara
langsung dapat dilihat dari orang lain sedangkan bentuk aktif yaitu apabila

perilaku itu dapat diobservasi secara langsung (Adventus, 2019).

Perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi

manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap

dan tindakan. Perilaku adalah respon atau reaksi seorang individu terhadap

rangsangan yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya (Notoatmodjo, 2010

dalam H Siti, 2018). Perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan.

Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat,

keperibadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian juga

interaksi dengan faktor lingkungan dalam menentukan perilaku (Azwar, 2011

dalam M Firdausy, 2022).

2.3.2 Bentuk Perilaku

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, perilaku dapat dibedakan

menjadi dua yaitu :

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau

tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada

perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi

pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati

secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau

terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk


tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh

orang lain (Kholid, 2018).

2.3.3 Proses Pembentukan Perilaku

Menurut (Notoatmodjo, 2010 dalam Pratiwi, 2021) dari pengalaman dan

penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih

langgeng daripada perilaku yang tidak didasari dengan pengetahuan. Penulisan

Roger mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru di dalam

diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :

1. Awareness

Orang (subjek) menyadari dalam arti dapat mengetahui stimulus (objek)

terlebih dahulu.

2. Interest

Orang ini sudah mulai tertarik kepada stimulus yang diberikan. Sikap

subyek sudah mulai timbul.

3. Evaluation

Orang tersebut mulai menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya sendiri. Berarti sikap responden sudah mulai lebih

baik.

4. Trial

Orang (subjek) mulai mencoba perilaku baru sesuai dengan apa yang

dikehendaki stimulus.

5. Adoption

Orang (subjek) tersebut telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,


kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Apabila penerimaan perilaku baru melalui tahap seperti diatas, yang didasari oleh

pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan

bersifat langgeng

2.3.4 Domain Perilaku

Menurut (Benjamin Bloom dalam Nurmala, 2018) membagi perilaku

manusia ke dalam 3 domain, ranah atau kawasan yakni kognitif (cognitive),

afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor), dalam perkembangannya

dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yaitu :

1. Pengetahuan (Kognitif)

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini dihasilkan setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan

domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt

behavior). Tingkat pengetahuan didalam domain kognitif mempunyai

enam tingkatan yaitu :

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan

yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.


2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan

materi tersebut secara benar.

3) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari dan diinterpretasi dengan benar pada kondisi

nyata di kehidupannya.

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam

suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2. Sikap (Afektif)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap lebih bersifat sebagai reaksi
emosional terhadap rangsangan tersebut, yang dibagi dalam beberapa

tingkatan :

1) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

2) Merespon (responding)

Merespon dengan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan

dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari

sikap.

3) Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4) Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

3. Praktik atau Tindakan (Psikomotor)

Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap suatu perbuatan

nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus

dalam bentuk nyata atau terbuka. Praktik mempunyai beberapa tingkatan,

yaitu :

1) Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan

yang akan diambil, merupakan praktik tingkat pertama.


2) Respon terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh, merupakan indikator praktik tingkat dua.

3) Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka dia sudah

mencapai praktik tingkat tiga.

4) Adopsi (adoption)

Suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran

tindakan tersebut (Nurmala, 2018).

2.4 Konsep Dasar Perilaku Narkolema

2.1.4 Pengertian Perilaku Narkolema

Menurut (Notoatmodjo, 2010 dalam Indrayani, 2018) mengatakan bahwa

perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau mahluk hidup yang

bersangkutan. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas

dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas.

Menurut (Cooper, et. al. 1999 dalam Isma, 2022) perilaku narkolema atau

menonton pornografi diartikan sebagai sebuah pencarian kepuasan dari hasrat atau

dorongan seksual yang melibatkan fisik, mental dan emosi menggunakan media

internet atau komputer.

Narkolema adalah film porno yang ditonton oleh seseorang yang memiliki

efek kecanduan dan daya rusak sebagaimana pada pengguna narkotika. Kerusakan
yang dialami akibat kecanduan pornografi adalah rusaknya otak bagian depan

yang disebut Pre Frontal Cortex (PFC). Pre Frontal Cortex berfungsi sebagai

pusat pertimbangan dan pengambilan keputusan dan membentuk kepribadian

seseorang. Kurangnya pemahaman tentang kecanduan narkoba pada remaja

merugikan remaja itu sendiri, termasuk keluarganya (Siswanto & Purwaningsih,

2018). Oleh karena itu, kerusakan pada Pre Frontal Cortex (PFC) dapat

menyebabkan seseorang rentan terhadap krisis moral.

Kata "pornografi" berasal dari bahasa Yunani "pornographos", yang terdiri

dari kata "porne" (= pelacur) dan "graphein" (= menulis, menggambar). Ketika

digunakan dalam konteks ini, istilah pornografi (sering direduksi menjadi

"porno") mengacu pada penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual

manusia yang dimaksudkan untuk merangsang hasrat seksual. Bahkan remaja

muda dapat dengan mudah mengakses konten pornografi saat ini karena internet

(Haidar & Apsari, 2020). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

mengurai pornografi menjadi (1) penggambaran perilaku erotis dalam bentuk

lukisan atau tulisan yang dimaksudkan untuk merangsang nafsu, dan (2) sastra

yang tujuan utamanya untuk membangkitkan hasrat seksual.

UU tentang pornografi No. 44 tahun 2008 dalam (Haidar & Apsari, 2020)

menganggap bahwa pornografi merupakan gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,

suara, suara, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau

bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi atau pertunjukan

di muka umum yang mengandung kecabulan atau eksploitasi seksual yang

melanggar norma kesusilaan.


Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa

pornografi dimaksudkan untuk membangkitkan hasrat seksual yang dapat

disajikan melalui berbagai media.

2.4.2 Tahap Efek Narkolema

Ketika seseorang mengakses situs pornografi maka terdapat berbagai

macam respon didalam tubuhnya. Menurut (Dr. Victor Cline dari University of

Utah dalam Subiakto, 2020) menyebutkan ada lima efek tahap pornografi, yaitu:

1. Shock (Terkejut atau jijik) Reaksi awal seseorang ketika melihat materi

pornografi adalah jijik, malu, merasa bersalah, dan terkejut, akan tetapi

gabungan perasaan tersebut akan memunculkan reaksi penasaran.

2. Adiksi (Kecanduan) Pada tahap ini, pecandu akan merasa ketagihan dan

terus menerus menonton media yang berbau pornografi.

3. Eskalasi (Peningkatan) Pada tahap ini, perilaku pecandu pornografi akan

cenderung tidak terkendali dan lebih menyimpang, sehingga pelaku akan

mencari materi pornografi yang lebih daripada sebelumnya sehingga kadar

“kepornoan” menjadi lebih meningkat.

4. Desentifisasi (Penumpulan kepekaan) Pada tahap ini, materi yang tabu,

amoral, mengejutkan, pelan-pelan akan menjadi sesuatu yang biasa.

Pengguna pornografi bahkan cenderung berubah menjadi lebih tidak

sensitif terhadap korban kekerasan seksual yang terjadi di sekitarnya.

5. Act out (Berbuat) Efek act out adalah efek puncak atau tindakan, yakni

melakukan hubungan seks setelah terekspos materi-materi pornografi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terjadi reaksi


yang terjadi didalam tubuh pada awalnya mersa jijik dan menyebabkan ketagihan

hingga pada akhirnya menjadi kecanduan yang membuat individu cenderung ingin

melakukan perbuatan yang dilihatnya.

Level kecanduan pornografi dibagi menjadi :

1. Level 1 : melihat pornografi sekali atau dua klai setahun, paparannya

sangat terbatas

2. Level 2 : beberapa kali dalam setahun namun tidak lebih dari enam kali,

fantasu sangat kecil atau minimal

3. Level 3 : pada level ini mulai muncul adanya kecanduan, sebulan sekali,

mencoba untuk menahan diri

4. Level 4 : beberrapa kali dalam sebulan, mempengaruhi fokus dalam tugas

sehari-hari

5. Level 5 : berusaha keras agar berhenti, setiap minggu

6. Level 6 : menyebabkan berbagai masalah dalam kehidupan, setiap hari

memikirkan pornografi

7. Level 7 : perasaan keputusasaan, ketidakberdayaan bila tidak meihat

pornografi (Solihin et al., 2021)

2.4.3 Faktor Penyebab terkena Narkolema

Kementerian Pendidikan, 2017 menjabarkan beberapa faktor penyebab

terjadinya pornografi, yaitu:

1. Pola asuh yang tidak tepat

Pola asuh yang tidak tepat dapat memberikan dampak yang kurang baik

bagi anak dan akan membekas hingga anak tumbuh dewasa. Pola asuh
yang menekankan pada kecenderungan menyudutkan dan mengendalikan

sang anak dapat menyebabkan anak menjadi jenuh, tertekan, pemarah.

Sedangkan jikalau anak yang kurang mendapat perhatian lebih dari orang

tua, bisa jadi karena faktor kesibukan, atau orang tua tidak dapat berlaku

adil, maka bisa jadi sang anak akan merasakan kesepian dan akan mencari

perhatian, kasih sayang di luar keluarganya. Dan tidak dapat menutup

kemungkinan, karena pola asuh yang keliru ini menjadi bibit dalam

dengan mudahnya seorang anak mengakses pornografi. Maka dari poin ini

terlihat betapa pola asuh orang tua menjadi tiangnya seorang anak, karena

dari pola asuh lah terbentuk komunikasi, terbentuk edukasi, dan

sebagainya yang ditanamkan oleh orang tua kepada anaknya. Jika anak

diasuh dengan pola yang jelas, adil, dan terbuka maka seorang anak

mempunyai bekal sejak awal dalam dirinya, dan kecilkemungkinannya

dirinya untuk mengakses hal-hal yang berbau pornografi.

2. Penasaran dan coba-coba mengakses situs pornografi

Seringkali individu mempunyai rasa penasaran dan ingin mencoba hal- hal

yang belum pernah ia lakukan. Seperti halnya perihal pornografi, seorang

individu akan dengan mudanya pula meng-klik atau mencari di internet

yang muncul di iklan yang tersebar di internet perihal pornografi, bisa jadi

karena penasaran, karena dalam pikiran akan bertanya-tanya bagaimana

gambar atau situs yang berbau pornografi.

3. Terpengaruh teman sebaya dan lingkungan sekitarnya

Seseorang dalam bersosial akan selalu menemukan obrolan dan kegiatan


denga orang di sekitarnya. Seperti halnya pornografi, akan menjadi salah

satu obrolan yang sering kali hadir, jika seseorang itu tidak mempunyai

pondasi yang kuat dan suatu saat akan berada pada lingkungan yang buruk

dan terbiasa dengan aksesan pornografi, maka dapat menjadi faktor pula

seseorang tersebut akan terpengaruh oleh lingkungan tersebut. Karena

pengakuan pada lingkar pertemanan, sosial akan sangat memengaruhi

harga diri seseorang.

4. Menggunakan waktu luang untuk melakukan hal yang kurang baik

Jika seseorang belum dapat memanage waktu aktivitas keseharian dirinya,

ia akan bingung dalam menggunakan waktu luangnya. Jika seseorang yang

memanfaatkan waktu luangnya dengan baik akan baik pula yang akan ia

dapatkan. Tapi jikalau waktu luang yang ia punya digunakan untuk hal-hal

yang kurang baik, misalnya mengakses pornografi. Ia akan kehilangan

waktu luang yang seharusnya dapat ia gunakan dengan maksimal, tetapi

digunakan untuk hal yang kurang baik dan dapat mengakibatkan

kecanduan. Mengakses pornografi di waktu-waktu luangnya, akan terus

menerus ia lakukan waktu demi waktu. Setiap ada waktu luang ia akan

mengakses hal yang berbau pornografi untuk mengisi waktunya. Maka

dari sini, seseorang harus dapat memaksimalkan waktu- waktu yang ada.

5. Tidak sengaja terkena pornografi ketika mengakses internet

Salah satu sebab seseorang terkena pornografi karena adanya aiklaniklan

yang berada di laman internet. Semakin canggihnya sosial media, dan

menjamurnya konten-konten yang disajikan, tidak menutup kemungkinan


pornografi hadir sebagai laman-laman yang tiba-tiba muncul, dan

seseorang dapat melihat dengan begitu jelasnya dengan tidak ada unsur

kesengajaan.

Carners, Delmonico, dan Griffin, 2001 dalam Leonardhi, 2018

mengkategorikan beberapa bentuk perilaku mengakses situs porno, yang

pertama adalah mengakses pornografi di internet (seperti gambar, video,

cerita teks, majalah, film, dan game). Mengakses pornografi di internet

adalah hal yang paling mudah diakses oleh siapapun, apalagi

perkembangan situs porno yang semakin hari semakin meningkat di

internet. Bentuk perilaku mengakses situs porno yang kedua adalah

mengakses multimedia software yang tidak harus online (seperti menonton

VCD/DVD video atau film porno dan memainkan game porno di laptop

atau komputer).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan beberapa faktor yang

menjadi penyebab terkena pornografi, yaitu pengaruh keluarga, lingkungan,

ketidaksengajaan, dan teman.

Kemudian menurut (Erlyani et al., 2019) menjelaskan bawha secara umum

ada berbagai faktor penyebab yang mempengaruhi akses remaja terhadap

pornografi, diantaranya :

1. Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor dari dalam diri yang memudahkan

terpaparnya seseorang terhadap materi pornografi. Faktor internal tersebut

antara lain:
1) Hasrat seksual yang tinggi

2) Rasa ingin tahu

3) Menyukai kegiatan yang menantang

4) Merasa kesepian

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal ialah faktor yang asalnya dari segi luar seseorang yang

bisa mempengaruhi seorang remaja dalam mengakses materi pornografi.

Faktor eksternal tersebut antara lain:

1) Pola asuh

2) Pengaruh dari teman sekitar

3) Pengaruh lingkungan

4) Kemudahan akses materi pornografi

5) Media sosial

6) Teknologi yang canggih

2.4.4 Ciri-ciri Kecanduan Narkolema

Terdapat beberapa ciri-ciri pada seseorang yang kecanduan pornografi.

Kementerisn Sosial (Dalam modul Penyuluhan sosial tentang pencegahan

pengaruh pornografi) menyebutkan ciri-ciri seseorang pecandu pornografi, antara

lain:

1. Bila ditegur dan dibatasi penggunaan smartphone atau laptopnya akan

marah, melawan, berkata kasar bahkan keji.

2. Mulai impulsive, berbohong, jorok, Moody.

3. Malu tidak pada tempatnya.


4. Sulit berkonsentrasi.

5. Jika berbicara menghindari kontak mata.

6. Sering menyalahkan orang lain.

7. Secara emosional menutup diri.

8. Prestasi akademik menurun.

9. Main dengan kelompok tertentu saja

10. Hilang empati.

Dari uaraian di atas yang menyebutkan ciri-ciri adiksi pornografi dapat

diketahui bahwa para pecandu pornografi mengalami penurunan psikis dan sulit

terdeteksi secara fisik.

2.4.5 Dampak Kecanduan Narkolema

Menurut (Mark B Kastleman dalam Subiakto, 2020), pornografi adalah

narkoba di era milenium baru yang membuat dunia berada di tengah-tengah

bencana yang mengerikan. Selain dapat mengacaukan kehidupan, pornografi

dapat merusak otak khususnya pada bagian PFC (Pre Frontal Cortex), PFC

adalah kontrol di area kortikal pada otak bagian depan yang mengatur fungsi

kognitif dan emosi. Jika PFC rusak, maka akan timbul gejala-gejala yang ditandai

dengan kurangnya daya berkonsentrasi, tidak dapat membedakan benar dan salah,

berkurangnya kemampuan untuk mengambil keputusan dan menjadi pemalas.

Mark B. Kastleman juga menuturkan bahwa pada titik tertentu, kecanduan

pornografi bisa lebih berbahaya dibanding kecanduan narkoba, berikut adalah

penjelasannya:
1. Pengaruh kokain bisa dihilangkan, sedangkan pengaruh pornografi tidak.

Terjadi proses kimia dalam otak seseorang yang sedang melihat gambar

porno yang sama halnya dengan orang yang sedang mengisap kokain.

Dampak pornografi lebih jahat karena sekali terekam dalam otak, imaji

tersebut akan merekam dalam otak selamanya. Berbeda dengan kokain

dalam tubuh yang bisa dilenyapkan dengan detoksifikasi.

2. Pecandu pornografi lebih sulit dideteksi daripada pecandu narkoba. Pada

dasarnya, pecandu narkoba dan pornografi ingin terus-menerus

memproduksi dopamine dalam otak. Bedanya, pecandu pornografi bisa

memenuhinya dengan mudah, kapan dan dimana pun. Bahayanya

kecanduan pornografi ini tidak begitu tampak, sehingga lebih sulit

dideteksi.

3. Pornografi berpotensi menurunkan kecerdasan. Sebanyak 70% informasi

masuk melalui mata. Ketika seseorang melihat sesuatu yang berbau porno,

akan terjadi rangsangan yang langsung masuk ke otak belakang tanpa

tersaring, yang menyebabkan otak mengeluarkan cairan atau zat

neurotransmiter yang disebut Delta-FosB. Semakin banyak materi yang

masuk pada otak bagian belakang, maka otak yang lainnya menjadi kurang

aktif. Padahal bagian otak yang mempengaruhi kecerdasan ada pada

bagian depan (Chatib, 2012 dalam Subiakto, 2020).

Selaras dengan pernyataan di atas, Donald Hilton seorang ahli bedah otak

juga mengatakan bahwa, kerusakan otak yang terpapar pornografi jika di foto

menggunakan alat magnetik resonansi imagine dapat memperlihatkan kerusakan


yang sama dengan otak yang rusak akibat kecelakaan. Selain itu, beliau juga

menuturkan bahwa kecanduan pornografi merusak bagian otak lebih banyak

dibandingkan dengan kecanduan NAPZA. Jika pada NAPZA, kerusakan otak

terjadi pada tiga titik, yaitu: Orbitfrontal Midfrontal, Insula Hippocampus

Temporal, dan Cingulate.

Kerusakan otak pada pecandu Pornografi terjadi di lima titik, yaitu:

Orbitfrontal Midfrontal, Insula Hippocampus Temporal, Cingulate, Nucleus

Accumben Patumen, dan Cerrebellum. Dari uraian diatas, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa dampak kecanduan pornografi sangat amat berbahaya, dapat

menyebabkan kerusakan otak, menurunkan kecerdasan, dan senderung krisis

moral.

2.4.6 Aspek-aspek Perilaku Narkolema

Secara psikologis, dampak kecanduan pornografi atau yang disebut

narkolema dapat mengganggu aspek aspek perkembangan seorang remaja, yaitu

antara lain (Zwagery, 2019) :

1. Kognitif

Kecanduan pornografi secara tidak langsung akan mempengaruhi fungsi

kognitif seseorang sehingga menimbulkan dampak yang buruk, misalnya

kesulitan untuk berpikir secara logis, kesulitan untuk memahami informasi

yang tidak terkait dengan pornografi dan membentuk pola pikir yang

negatif

2. Sosial

Seorang anak yang kecanduan pornografi akan mempengaruhi interaksi


sosialnya dengan oranglain. Anak yang sudah berada pada taraf kecanduan

akan lebih memilih untuk menarik diri dari lingkungan, lebih senang

menghabiskan waktu untuk mengaskses pornografi, bersikap apatis dan

memilih untuk sendiri.

3. Emosi

Anak yang mengalami kecanduan pornografi akan mempengaruhi

perkembangan emosi sehingga ia akan mudah marah, sensitif dan mudah

tersinggung. Apalagi pada usia remaja, seorang anak memiliki emosi yang

labil sehingga emosinya mudah berubah.

4. Perilaku

Kecanduan pornografi akan berdampak pada perilaku seseorang. Anak

akan lebih cenderung berperilaku maladatif dan menampilkan perilaku

yang negative misalnya perilaku membangkang. Bahkan, anak yang sudah

masuk pada taraf kecanduan, ia akan melakukan berbagai cara agar dapat

terus mengakses konten pornografi. Pada tingkatan tertentu, jika ia tidak

bisa mengontrol dirinya ia beresiko untuk melakukan tindakan criminal

seperti pemerkosaan, pencabulan ataupun kekerasan seksual.

2.4.7 Upaya Pencegahan Narkolema

Dalam upaya pencegahan pornografi menurut (Kastleman, 2015 dalam

Subiakto, 2020) seorang pakar pornografi dari USA menyebutkan ada beberapa

point yang harus dilakukan dalam upaya memerangi bahaya pornografi yaitu:

1. Menjaga Komunikasi

Orang tua sebaiknya membuat jalur pola komunikasi yang terbuka, jujur,
dan positif dengan anak mengenai masalah-masalah seksual. Buatlah jalur

komunikasi pribadi yang akrab sejak kecil dengan cara tersebut orang tua

akan merasa lebih mudah dan lebih produktif untuk melakukan percakapan

tentang seksual dengan anak. Orang tua juga harus menyampaikan pesan

tentang keintiman seksual yang suci terhadap anak sejak kecil. Maksudnya

sejak awal orang tua harus mengajarkan perihal seks yang tepat kepada

anak. Bahwasanya keintiman seksual yang suci merupakan karunia dari

sang pencipta yang harus dikendalikan.

2. Menjaga Keluarga

Banyak individu menjadi rentan dan terperangkap dalam hubungan seks

bebas dan pornografi karena mereka mencari keintiman yang kurang

dalam hubungan keluarga mereka. Banyak individu yang terlibat dengan

pornografi internet, ruang chat room, cybersex, dan hubungan seksual

yang terlarang mengatakan bahwa mereka kesepian dan tidak memiliki

hubungan yang intim dengan keluarga. Salah satu cara paling efektif untuk

melindungi individu dari kecanduan pornografi dan hubungan seksual

terlarang adalah dengan cara memelihara hubungan yang baik antara orang

tua dan anak.

3. Menjaga Produktivitas

Salah satu kunci untuk mencegah kecanduan pornografi dan perilaku-

perilaku seksual terlarang adalah mengupayakan keseimbangan dalam

hidup kita. Banyak dari individu yang menjadi korban pornografi adalah

karena mereka tidak mempunyai tujuan yang jelas dalam keseharian


mereka atau tidak produktif sehingga mereka di dera kebosanan yang

membuat mereka terjebak dalam perbuatan seksual.

Kemudian menurut (Soebagijo, 2008 dalam Subiakto, 2020) menjelaskan

upaya pencegahan pornografi dapat dilakukan dengan cara:

1. Memberikan pendidikan seks sejak usia dini

Pendidikan seksualitas diajarkan sejak kecil untuk pencegahan dan

mempersiapkan anak untuk menghadapi perubahan fisik ketika remaja,

dan juga untuk menghindari penyimpangan seksual pada anak. Pembinaan

seksualitas yang dapat dilakukan adalah mengedukasi anak tentang etika

pergaulan dengan lawan jenis, pendidikan seks, dan melarang perbuatan

zina.

2. Memberikan bimbingan untuk memperkuat keimanan

Setiap orang tua berkewajiban untuk mendidik anaknya tentang

pendidikan agama untuk dijadikan pegangan ketika menjalani kehidupan

dan menjadi pribadi yang baik sesuai fitrahnya dan menjauhi laranganNya.

3. Membangun komunikasi dua arah antara orang tua dan anak

Membuat dialog dengan anak terkait seks dan pornografi dan membiarkan

anak menyampaikan pikiran serta perasaannya untuk kemudian di

diskusikan bersama orang tua. Dengan suasana komunikasi yang sehat,

bila ada potensi virus pornografi, maka akan segera cepat terselesikan.

4. Menumbuhkan sikap Asertif

Sikap asertif adalah kemampuan untuk bersikap tegas terhadap ancaman

yang dating pada diri seseorang. Sebagai orang tua, penting untuk
membekali anak-anak mereka kemampuan bersikap asertif. Hal ini karena

orang tua tidak dapat berada setiap saat di samping anak-anaknya. Dengan

adanya sikap asertif, anak dapat bersikap tegas bila melihat perihal

seksual.

2.5 Konsep Dasar Dukungan Teman Sebaya

2.5.1 Pengertian Dukungan Teman Sebaya

Dukungan teman sebaya adalah dukungan yang bersumber dari teman

sebaya yang dapat memberikan informasi terkait dengan hal apa yang harus

dilakukan remaja dalam upaya bersosialisasi dengan lingkungannya, selain itu

dapat pula memberikan timbak balik atas apa yang remaja lakukan dalam

kelompok dan lingkungan sosialnya serta memberikan kesempatan remaja untuk

menguji berbagai macam peran dalam menyelesaikan krisis dalam membentuk

identitas diri yang optimal. (YA Saputro, 2021)

Teman sebaya adalah orang dengan tingkat umur atau kedewasaan yang

kira-kira sama dan memiliki hubungan erat serta saling tergantung. Berkumpul

dengan teman sebaya yang memiliki kesamaan dalam berbagai hal tertentu

menjadi salah satu cara agar peserta didik dapat mengubah kebiasaan hidupnya

dan mencoba berbagai hal baru serta mampu saling mendukung satu sama lain.

Fungsi lain dari teman sebaya adalah menjadi sumber referensi untuk remaja

megenai berbagai hal, juga dapat memberikan kesempatan bagi remaja untuk

mengambil peran dan bertanggung jawab melalu pemberian dukungan sosial.

Meski tidak dipungkiri teman sebaya juga dapat memberikan dampak negatif pada

remaja, seperti kenakalan remaja dan salah satunya adalah perilaku narkolema.
(Santrock, 2012 dalam U Rahma, 2021)

Beberapa pengertian dukungan teman sebaya di atas dapat disimpulkan

bahwa dukungan teman sebaya merupakan dukungan yang bersumber dari teman

sebaya untuk memberikan informasi terkait dengan hal apa yang harus dilakukan

remaja dalam upaya bersosialisasi dengan lingkungannya, selian itu dapatpula

memberikan timbal balik atas apa yang remaja lakukan. (Mei Sari, 2019)

2.5.2 Peran Dukungan Teman Sebaya

Teman sebaya mempunyai sejumlah peran dalam proses perkembangan

sosial anak. Menurut Santrock, peranan teman sebaya dalam proses

perkembangan sosial anak antara lain sebagai sahabat, stimulasi, sumber

dukungan fisik, sumber dukungan ego, fungsi perbandingan sosial dan fungsi

kasih sayang. Peran teman sebaya juga dikemukakan oleh Yusuf, yaitu

memberikan kesempatan berinteraksi dengan orang lain, mengontrol perilaku

sosial, mengembangkan keterampilan dan minat sesuai dengan usianya, dan saling

bertukar pikiran dan masalah. (E Pritia 2021)

Teman sebaya mempunyai sejumlah peran dalam proses perkembangan

sosial anak. Peran teman sebaya menurut (Yusuf, 2010 dalam E Pritia 2021) yaitu:

1. Memberikan kesempatan berinteraksi dengan orang lain

2. Mengontrol perilaku sosial

3. Mengembangkan keterampilan dan minat sesuai dengan usianya

4. Saling bertukar pikiran dan masalah.

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa teman sebaya mempunyai

peran bagi perkembangan perilaku sosial anak. Teman sebaya memberi


kesempatan untuk berinteraksi dengan orang di luar anggota keluarganya.

2.5.3 Pengaruh Dukungan Teman Sebaya

Pergaulan teman sebaya dapat mempengaruhi perilaku. Pengaruh tersebut

dapat berupa pengaruh positif dan dapat pula berupa pengaruh negatif. Pengaruh

positif yang dimaksud adalah ketika individu bersama teman-teman sebayanya

melakukan aktifitas yang bermanfaat seperti membentuk kelompok belajar dan

patuh pada norma-norma dalam masyarakat. Sedangkan pengaruh negatif yang

dimaksudkan dapat berupa pelanggaran terhadap norma-norma sosial, dan pada

lingkungan sekolah berupa pelanggaran terhadap aturan sekolah. (N Fildayanti,

2019)

Dampak positif dan negatif teman sebaya yang dijabarkan menurut

(Desmita, 2014 dalam N Fildayanti, 2019) sebagai berikut:

1. Dampak positif

Fungsi positif teman sebaya menurut Kelly dan Hansen yang diuraikan

sebagai berikut:

1) Mengontrol impuls-impuls agresif. Melalui interaksi dengan teman

sebaya, anak belajar bagaimana memecahkan berbagai petentangan

dengan cara lain selain dengan tindakan agresif.

2) Memperoleh dorongan emosional dan sosial dari teman sebaya untuk

menjadi lebih independen. Dorongan yang diperoleh dari teman

sebaya menyebabkan berkurangnya ketergantungan anak pada

keluarga.

3) Meningkatkan keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan


penalaran, dan belajar mengekspresikan perasaan dengan cara yang

baik.

4) Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan perilaku peran jenis

kelamin. Anak belajar mengenai perilaku dan sikap yang mereka

asosiasikan dengan menjadi laki-laki dan perempuan.

5) Meningkatkan harga diri, yaitu dengan menjadi orang yang disukai

oleh teman-temannya membuat anak merasa senang tentang dirinya.

2. Dampak negatif

Desmita menjabarkan pengaruh negatif dari teman sebaya terhadap

perkembangan anak-anak, antara lain:

1) Anak yang ditolaknya atau diabaikan oleh teman sebayanya akan

memunculkan perasaan kesepian atau permusuhan

2) Budaya dari teman sebaya bisa jadi merupakan suatu bentuk kejahatan

yang merusak nilai dan kontrol orang tua.

3) Teman sebaya dapat mengenalkan anak kepada hal-hal yang

menyimpang seperti merokok, alkohol, narkoba dan sebagainya.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa selain membantu

anak-anak menjadi pribadi yang lebih baik, kelompok sebaya juga dapat

menunjang perkembangan kualitas yang tidak baik pada anak.

2.5.4 Jenis Teman Sebaya

Teman yang berbeda memainkan peran yang berbeda dalam proses

sosialisasi. Teman yang sesuai dengan usia dan taraf perkembangan anak, maka

dapat membantu anak ke arah penyesuaian yang baik. Menurut (Hurlock dalam
Muchlisin Riadi, 2022) mengklasifikasikan teman pada masa anak- anak yang

dibagi menjadi tiga klasifikasi utama, masing-masing klasifikasi mempengaruhi

sosialisasi pada periode yang berbeda. Ketiga jenis teman antara lain:

1. Kawan

Kawan adalah orang yang memuaskan kebutuhan anak akan teman melalui

keberadaannya di lingkungan si anak. Anak dapat mengamati dan

mendengarkan mereka tetapi tidak memiliki interaksi langsung dengan

mereka. Kawan bisa terdiri dari berbagai usia dan jenis kelamin.

2. Teman bermain

Teman bermain adalah orang yang melakukan aktivitas yang

menyenangkan dengan si anak. Teman bermain dapat terdiri dari berbagai

usia dan jenis kelamin, tetapi biasanya anak memperoleh kepuasan yang

lebih besar dari mereka yang memiliki usia dan kenis kelamin yang sama,

serta mempunyai minat yang sama. Keuntungan teman bermain bagi

perkembangan anak adalah tanpa intervensi orang dewasa, anak-anak

belajar mengatur sendiri permainan dan ruang di lapangan bermain.

3. Sahabat

Sahabat adalah orang yang tidak hanya bermain dengan anak, tetapi juga

berkomunikasi melalui pertukaran ide, rasa percaya, permintaan nasehat

dan kritik. Anak yang mempunyai usia, jenis kelamin dan taraf

perkembangan sama lebih dipilih menjadi sahabat. Persahabatan yang kuat

melibatkan komitmen yang sama dan perhatian saling memberi dan

menerima.
Klasifikasi di atas dapat disimpulkan bahwa jenis teman yang paling

mempengaruhi anak adalah sahabat, karena sahabat tidak sekedar teman untuk

bermain melainkan teman saling bertukar ide dan perasaan.

2.5.5 Kelompok teman sebaya

Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi anak yang

mempunyai peranan cukup penting bagi perkembagan kepribadiannya. Aspek

kepribadian anak berkembang secara menonjol dalam pengalamannya dengan

teman sebaya dikemukakan oleh (Johnson dalam E Pritia, 2021) adalah:

1. Social Cognition : kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran,

perasaan, motif dan perilaku dirinya dan orang lain. Kemampuan

memahami orang lain memungkinkan anak untuk ampu menjalin

hubungan sosial yang lebih baik dengan teman sebayanya.

2. Konformitas : motivasi untuk menjadi sama, sesuai, seragam dengan nilai-

nilai, kebiasaan, kegemaran, atau budaya dengan teman sebayanya.

Konformitas terjadi apabila:

1) Norma secara jelas dinyatakan

2) Individu berada di bawah pengawasan kelompok

3) Kelompok memiliki sanksi yang kuat

4) Kelompok memiliki sifat kohesif yang tinggi

5) Kemungkinan kecil dukungan terhadap penyimpangan dari norma.

Pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa teman sebaya tidak hanya

berpengaruh pada aspek fisik (yang terlihat) saja namun juga berpengaruh

terhadap aspek psikis seperti pikiran atau perasaan.


2.5.6 Aspek-aspek Dukungan Teman Sebaya

Menurut (Cutrona & Garder dalam Zahira, 2022) terdapat empat aspek

dalam dukungan sosial, yaitu :

1. Emotional or Esteem Support

Dukungan ini merupakan pemberian empati, perhatian, hal positif, dan

semangat kepada seseorang. Dukungan ini menyediakan kenyamanan dan

perasaan memiliki satu sama lain serta perasaan dicintai oleh orang-orang

terdekat.

2. Tangible or Instrumental Support

Dukungan ini mencakup bantuan langsung seperti meminjamkan uang,

barang, atau hal-hal lain yang dibutuhkan oleh individu.

3. Informational Support

Dukungan ini mencakup pemberian saran, petunjuk, atau umpan balik

tentang bagaimana seseorang melakukan sesuatu.

4. Companionship Support

Dukungan ini merujuk pada ketersediaan orang lain untuk menghabiskan

waktu dengan seseorang lainnya sehingga memberikan rasa keanggotaan

dalam sekelompok orang yang memiliki minat dan aktivitas sosial yang

sama.

Menurut (E. Taylor, 2003 dalam Zahira, 2022) mengemukakan aspek-

aspek dukungan teman sebaya, diantaranya :

1. Dukungan Instrumental (Tangiable Assistance)

Adanya dukungan yang diberikan dalam bentuk penyediaan sarana atau


bantuan langsung, seperti pelayanan, bantuan finansial atau barang

2. Dukungan Informasi (Informational Support)

Adanya pemberian informasi tentang pengobatan yang dapat dijalani oleh

individu tersebut, pemberian nasehat arahan, informasi untuk menambah

pengetahuan atau pengarahan untuk tercapainya pemecahan masalah.

3. Dukungan Emosional (Emotional Support)

Memberikan keyakinan kepada orang tersebut bahwa ia adalah individu

yang berharga, adanya ungkapan empati, perhatian terhadap orang

tersebut, dapat membuat individu merasa nyaman, tentram dan dicintai.

4. Dukungan Penghargaan (Esteem Support)

Adanya dukungan yang berupa penghargaan positif untuk individu,

memberikan penghargaan atas usaha yang dilakukan oleh indvidu dan

penguatan tindakan positif yang diambil individu.

Sedangkan menurut (Weiss dalam Ayun, 2019) mengemukakan bahwa

untuk mengukur ketersediaan dukungan yang diperoleh dari hubungan individu

dengan orang lain. Terdapat enam aspek di dalamnya, yaitu:

1. Attachment (kasih sayang atau kelekatan).

2. Social integration (integrasi social).

3. Re-assurance or worth (penghargaan atau pengakuan).

4. Reliable alliance (ikatan atau hubungan yang dapat diandalkan).

5. Guidance (bimbingan).

6. Opportunity for nur-turance (kemungkinan dibantu).

2.5.7 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Teman Sebaya


Menurut (Cohen dan Syme dalam Zahira, 2022) menyatakan beberapa

faktor yang mendorong orang lain untuk memberikan dukungan, yaitu :

1. Pemberian dukungan

Dukungan yang diberikan oleh teman dan orang yang memahami

permasalahan penerima akan lebih efektif daripada dukungan yang

diberikan orang asing.

2. Jenis dukungan

Jenis dukungan yang diberikan akan bermanfaat apabila sesuai dengan

situasi yang terjadi dan yang dibutuhkan individu.

3. Penerima dukungan

Penerima dukungan akan menentukan keefektifan dukungan yang

diberikan.

4. Permasalahan yang dihadapi

Ketepatan jenis dukungan yang diberikan adalah yang sesuai dengan

permasalahan yang dihadapi individu.

5. Waktu pemberian dukungan

Dukungan akan berhasil secara optimal jika diberikan pada suatu situasi

yang tepat, yaitu ketika individu membutuhkannya.

Menurut (Stanley & Beare dalam Zahira, 2022) mengemukakan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan teman sebaya adalah sebagai

berikut :

1. Kebutuhan fisik

Kebutuhan fisik meliputi sandang, pangan, dan papan. Apabila seseorang


tidak tercukupi kebutuhan fisiknya, maka berarti seseorang tersebut kurang

mendapat dukungan.

2. Kebutuhan sosial

Apabila seseorang memiliki aktualisasi diri yang baik, maka seseorang

tersebut akan lebih dikenal oleh masyarakat daripada orang yang tidak

pernah bersosialisasi di masyarakat. Orang yang mempunyai aktualisasi

diri yang baik cenderung selalu ingin mendapatkan pengakuan dalam

kehidupan masyarakat.

3. Kebutuhan psikis

Kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religius,

tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Jika orang tersebut

sedang mengalami masalah baik ringan maupun berat, maka orang tersebut

akan cenderung mencari dukungan sosial dari orang-orang sekitar

sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

memengaruhi dukungan teman sebaya terdiri dari kebutuhan fisik, kebutuhan

sosial serta kebutuhan psikis. Faktor lain yang memengaruhi dukungan teman

sebaya adalah pemberi dukungan, jenis dukungan, penerima dukungan,

permasalahan yang dihadapi, serta waktu pemberian dukungan.

Anda mungkin juga menyukai