Anda di halaman 1dari 2

Bacalah cerpen berikut!

Ayah dan Sayap Ayam

Ibu Kanaya tujuh bersaudara. Di antara saudara-saudaranya, hanya Ibu yang diberi potongan sayap
ayam oleh Eyang – setiap menghidangkan ayam untuk bersantap. ”Supaya kamu terbang jauh,” cerita Ibu,
menirukan perkataan Eyang padanya dulu.
Dan, terkabul. Buktinya, Ibu tinggal di Brunei selama 13 tahun. Om dan tante yang lain tidak ada
yang tinggal di luar negeri, pikir Kanaya. Kanaya pun sigap mengambil bagian sayap, tiap kali Ibu
menghidangkan ayam. Ia juga ingin terbang jauh. Ia ingin berkemah di Prau, memetik bunga verbena di
Semeru, mencicipi masakan hasil belanja dari Pohon Tomohon. Ia juga ingin melihat dunia luar. Ia ingin
tahu rasanya menyusuri sungai-sungai kecil di Venesia, atau menyentuh dan menghirup aroma tulip-tulip
Belanda. Ia ingin melihat permukiman ninja di Jepang.
Kanaya tahu, ia jelas hobi bepergian.
Apalagi, bepergian ke luar negeri demi ikut konferensi. Seperti teman-temannya. Kurang prestisius
apa? I will be travelling with a purpose. Bukan sekadar jalan-jalan, pikirnya.
Hasratnya untuk menjelajah semakin menggebu ingin dikabulkan.
Ayah berlawanan dengan Kanaya.
Ayah benci sekali bepergian.
Kanaya sudah kapok diajak pergi oleh Ayah. Baginya, Ayah seakan membuat perjanjian dengan
semesta untuk mengacau. Ayah pernah membatalkan rekreasi ke Dufan –hanya karena jadwal berangkat
diundur sepuluh menit, akibat adik lupa membawa ransel. Ia pun berlari keluar mobil, masuk ke rumah
untuk menyambar ransel yang masih tergeletak di tempat tidur. Padahal Ayah bukanlah orang yang tepat
waktu. Buktinya, Ayah sering terlambat masuk kantor. Saat kejadian itu Kanaya 11 tahun.
Kali lain –Kanaya lupa membawa baju renang. Ayah marah bukan main dan berteriak-teriak mengomel
sepanjang jalan. Suasana perjalanan menjadi tidak menyenangkan, ditambah lagi Ayah belok ke kiri tepat
di depan papan plang rekreasi yang menunjuk lurus. Ayah juga mudah mengantuk. Tapi Ayah tidak ingin
digantikan menyetir. Ia terlalu mudah khawatir.
”Ibu tidak pernah berhati-hati kalau membawa mobil. Sembrono,” gerutu Ayah.
Padahal, tak terhitung berapa kali mobil hampir menabrak pembatas jalan gara-gara Ayah tertidur-
tidur sambil memegang kemudi.
”Naik kendaraan umum? Jangan. Panas. Banyak orang. Bagaimana kalau ada copet?” begitu pendapat
Ayah. Ia tidak pernah mengizinkan Kanaya, Ibu, atau Adik pergi tanpa dirinya. Takut bertemu orang jahat,
ujarnya.
Puncak kemuakan Kanaya dua tahun lalu. Mereka ingin berwisata ke Cikole. Mereka akan menginap
di rumah-rumah kecil, di pegunungan pinus. Kanaya menemukan nama penginapan itu di sebuah majalah
anak. Banyak rusa berkeliaran. Banyak patung kurcaci, sepeti di film Snow White. Setelah memesan
penginapan di sana dan membaca peta, mereka berangkat. Di tengah jalan, terjadi perdebatan kecil antara
Adik dan Ayah. Adik diajak menginap di rumah keluarga di Yogya, bulan depan. Adik ingin meminta izin
Ayah. Sayangnya, seperti dugaan, Ayah menolak mentah-mentah. Adik mencoba membela diri dengan
memberikan alasan-alasan logis.
”Kan itu rumah keluarga. Ayah pun kenal baik dengan keluarga itu. Aku tidak sendirian, ada sepupu-
sepupu. Kami tidak berbuat yang aneh-aneh. Selama ini, aku berlaku baik, bukan?” debat Adik.
”Kesabaran Ayah habis. Wajah ayah memerah. Ayah mulai meraung tidak karuan. Suaranya gemetar
dan tergagap-gagap. Ibarat mesin, sekrup-sekrup Ayah seperti terpelanting lepas. Bahaya.”
Sejak saat itu, tidak ada lagi acara liburan keluarga.
Sejak saat itu Kanaya bertekad bulat akan bepergian sendiri ke berbagai tempat yang menarik hatinya.
Kanaya menaruh banyak harapan pada sayap-sayap ayam. Berharap seakan roh sayap-sayap itu akan
menerbangkan doanya pada Tuhan, menerbangkannya ke tempat-tempat baru.
Ayah tidak tahu-menahu tentang harapan di balik sayap-sayap ayam yang rutin Kanaya santap. Sayap
ayam, ya sayap. Hanya bagian dari ayam. Sama seperti paha, dada, dan lainnya, begitu bunyi pikiran Ayah.
Ayah tidak pernah berpikir untuk bertanya pada Kanaya tentang hasrat anak perempuannya yang semakin
membeludak dengan keinginan melalap sayap. Asal ia berlaku patuh, Kanaya akan baik-baik saja, begitu
pikiran Ayah.
Kanaya akan memesan ayam setiap makan di warung atau restoran. Kanaya akan menghabiskan
jatah lauk sayap di rumah. Kanaya akan membeli satu plastik penuh sayap untuk dimasak sendiri. Kanaya
dengan sabar mendaftar setiap konferensi internasional sambil menghabiskan sayap dengan khidmat.
Sumber: Farah Shabila Dinniyah, ”Ayah dan Sayap Ayam” dalam Cerita Para Perambah Kelas Cerpen Kompas 2016, Jakarta, Kompas, 2017

Anda mungkin juga menyukai