Anda di halaman 1dari 79

BUKU KERJA PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

NAMA :

NIM :

KELOMPOK :

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2023
BUKU KERJA PRAKTIKUM
FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

HEMATOLOGI

NAMA :

NIM :

KELOMPOK :

NAMA ASISTEN :

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2023
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hematologi adalah ilmu yang mempelajari cara penilaian darah. Nilai

hematologi berguna untuk mengetahui kondisi kesehatan dan sebagai acuan nilai

awal atau kontrol dalam suatu penelitian. Adanya gangguan metabolisme,

penyakit, kerusakan struktur atau fungsi organ, pengaruh agen atau obat, dan

stres dapat diketahui dari perubahan profil darah. Keadaan komposisi darah putih

dan darah merah dari organisme dapat dijadikan acuan untuk menilai kondisi

kesehatan organisme tersebut (Fitria dan Sarto, 2014).

Peran utama darah secara umum adalah mengintegrasikan fungsi

tubuh dan memenuhi kebutuhan jaringan khusus. Peran ini dilakukan melalui

transportasi, regulasi dan mekanisme perlindungan. Darah mengirimkan oksigen,

nutrient dan produk sisa dari satu tempat ke tempat lain. Regulasi dilakukan

melalui buffer dalam darah, protein plasma dan transpor panas. Fungsi darah

dalam pertahanan meliputi antibodi dan fagosit untuk melindungi tubuh terhadap

penyakit serta faktor dalam homeostasis (Tambayong, 2000).

Sistem pertahanan alami seperti makrofag dapat dikatakan sebagai

kunci terpenting dalam merespon patogen yang masuk tanpa menunggu waktu

adaptasi. Sel fagosit melakukan kerjanya tanpa memerlukan spesifikasi antigen

dan tidak memerlukan waktu yang banyak. Sel fagosit pada udang diperankan

oleh hemosit terutama sel hyalin. Sel hyalin berperan dalam proses fagositosis

mikroba yang masuk ke dalam tubuh saat terjadinya infeksi (Rozik, 2014).
1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengetahui teknik pewarnaan

struktur darah secara umum pada ikan serta mengetahui mekanisme dan

alat-alat yang berkenaan dengan peredaran darah.

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa) dapat

melakukan pengamatan sel darah, menghitung sel darah, dan mengetahui

struktur sel darah.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Hematologi dilaksanakan

pada hari 2023 di Laboratorium Reproduksi dan melalui video conference

Google Meet.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hematologi

Hematologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang

pemeriksaan darah yang meliputi hematokrit, hemoglobin, eritrosit, dan leukosit.

Selain itu, terdapat juga pemeriksaan organ pembentuk darah dan penyakit yang

terjadi karena pengaruh darah (Riantono et al., 2016). Pengertian hematologi

menurut Fitria, et al. (2016), adalah ilmu yang mempelajari pemeriksaan kondisi

sel-sel darah perifer dalam kondisi normal maupun patologis. Pemeriksaan darah

dapat menunjukkan kondisi kesehatan hewan.

2.2 Pengertian Darah

Darah adalah cairan yang terkandung dalam sistem kardiovaskular.

Unsur cairan darah adalah plasma dan unsur-unsur pembentuk darah yang

meliputi eritrosit, leukosit dan trombosit. Fungsi utama darah antara lain

oksigenasi jaringan, gizi jaringan, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, dan

pembuangan produk limbah metabolisme dari jaringan (Noercholis et al., 2013).

2.3 Komponen Darah

Handayani dan Haribowo (2008), menyatakan bahwa komponen

penyusun darah adalah sebagai berikut:

a. Plasma darah (cairan)

b. Sel-sel darah (komponen seluler)

Sel-sel darah meliputi eritrosit (sel darah merah), trombosit (keping

darah) dan leukosit (sel darah putih). Leukosit dibagi menjadi dua:

1. Granulosit merupakan sel darah putih yang memiliki butir atau granula
dalam sitoplasma. Granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil, dan basofil.

2. Agranulosit merupakan sel darah putih yang tidak memiliki butir-butir

atau granula. Agranulosit terdiri dari monosit dan limfosit.

Sumardjo (2008), menyatakan bahwa darah tersusun atas dua

komponen yaitu sebagai berikut:

1. Substansi padat, volumenya terdiri atas 45% yang terdiri atas sel-sel

darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan sel pembeku

(trombosit).

2. Substansi cair, volumenya sekitar 55% yang disebut plasma darah.

Sebagian besar plasma darah (90 – 92%) tersusun atas air dan bahan-

bahan kimia terlarut lainnya.

2.4 Fungsi Darah

Handayani dan Haribowo (2008), menyatakan bahwa fungsi darah

dalam tubuh adalah sebagai berikut:

a. Transportasi yaitu untuk mengambil O2, mengangkut CO2, dan

mengedarkan sari-sari makanan serta hormon.

b. Termoregulasi sebagai pengatur suhu tubuh, yaitu menyebarkan panas

ke seluruh tubuh.

c. Imunitas mengandung antibodi yaitu sebagai pertahanan tubuh terhadap

serangan penyakit dan racun dalam tubuh dengan perantara leukosit dan

antibodi atau zat-zat anti racun.

d. Homeostasis sebagai pengatur keseimbangan zat, pH, dan regulator.

Penelitian mengenai fungsi darah menurut Sumardjo (2008), antara lain:

a) Alat transportasi berbagai jenis bahan kimia, seperti transportasi bahan

makanan yang akan diserap pada usus ke jaringan-jaringan yang

membutuhkan serta sisa metabolisme ke organ ekskretori.


b) Sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi kuman dan benda asing oleh

sel darah putih.

2.5 Sistem Peredaran Darah pada Hewan Akuakultur

Sistem peredaran pada hewan akuakultur terdapat dua macam yaitu:

a. Sistem Peredaran Darah Terbuka

Sistem peredaran darah terbuka yaitu sistem peredaran darah yang

tidak melalui pembuluh darah. Hewan yang memiliki sistem peredaran darah

terbuka yaitu crustacea, contohnya udang windu (Penaeus monodon). Udang

windu (Penaeus monodon) memiliki sistem sirkulasi darah terbuka dimana cairan

darah dan sel darahnya masing-masing dikenal dengan istilah hemolim dan

hemosit. Hemosit merupakan sel darah udang yang memiliki fungsi sama seperti

sel darah putih pada vertebrata dan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu

sel hyalin semigranular dan granular. Sel hyalin berperan dalam proses

fagositosis sehingga jumlah total sel hyalin berubah-ubah agar diperoleh

keadaan homeostasis (Rozik, 2014).

b. Sistem Peredaran Darah Tertutup

Sistem peredaran darah tertutup yaitu sistem peredaran darah yang

melewati pembuluh darah. Ikan memiliki sistem peredaran darah tunggal yakni

sirkulasi peredaran darah hanya satu kali melewati jantung. Mekanisme

peredaran darah tunggal pada ikan yaitu darah dari jantung dipompa ke insang

untuk melakukan pertukaran gas kemudian dialirkan ke berbagai organ tubuh,

selanjutnya darah akan kembali ke jantung (Mahyuddin, 2013).

2.6 Proses Pembekuan Darah

Proses pembekuan darah menurut Tangkery, et al. (2013), yaitu ketika

terjadi luka akan mengakibatkan trombosit pecah. Pecahnya trombosit


mengakibatkan aktifnya enzim trombokinase. Enzim ini bekerja dengan batuan

ion Ca⁺ dan vitamin K yang mengubah protrombin menjadi trombin. Hasil

perubahan tersebut merangsang proses pembentukan benang-benang fibrin

yang disebut dengan fibrinogen. Benang-benang fibrin tersebut akan membuat

luka tertutup.

2.7 Antikoagulan

Antikoagulan adalah zat yang dapat mencegah terjadinya pembekuan

darah. Antikoagulan dibagi menjadi dua yaitu:

1. Buatan

Antikoagulan buatan menurut Lessy, et al. (2013), yaitu sebagai berikut:

 EDTA (Etilen Diamine Tetra Acid)

 Na-sitrat

 Na-fis

 Heparin

2. Alami

Antikoagulan alami contohnya yaitu:

 Lintah (hirudin) (Widaswara dan Utoyo, 2021).

 Lamprey (Li et al., 2018).

 Kelelawar (draculin) (Low et al., 2013).

2.8 Pola Termoregulasi

Pola termoregulasi menurut Merta, et al. (2016), dibagi menjadi dua,

yaitu:

1. Poikiloterm (berdarah dingin), yaitu suhu tubuhnya mengikuti suhu

lingkungan. Contoh: Ikan.


2. Homoiterm (berdarah panas), yaitu tidak dapat menyesuaikan diri

dengan suhu lingkungan. Contoh: Mamalia.


2.9 Perbedaan Sistem Imun Ikan dan Udang

a. Sistem Imun pada Ikan

Ikan memiliki sistem imun yang spesifik dan non spesifik. Sistem imun

spesifik pada ikan memiliki sel B dan sel T. Sistem imun non spesifik berupa sel-

sel fagositik (leukosit, granulosit dan agranulosit). Mekanisme kerja limfosit untuk

sistem kekebalan tubuh menurut Utami, et al. (2013), yaitu dengan cara

mengenali antigen melalui reseptor spesifik pada membran sel. Kerja limfosit T

terjadi ketika tubuh atau jaringan terpapar oleh antigen, maka limfosit T tidak

mampu mengenali antigen tanpa melalui reseptor spesifik. Sel reseptor spesifik

akan membuat sel T lebih cepat mengenali antigen yang ada sehingga langsung

memberikan reaksi kekebalan dan menstimulasi sel B untuk mengeluarkan

antibodi alami. Antibodi alami dalam tubuh tersebut berguna untuk melawan

antigen atau penyakit.

b. Sistem Imun pada Udang

Sistem imun pada udang tidak sama dengan sistem imun ikan. Sistem

imun pada udang menurut Ramadhani, et al. (2017), bertumpu pada sistem imun

non spesifik atau innate. Hal ini dikarenakan udang diyakini tidak memiliki

reseptor pengingat terhadap patogen, namun sistem imun non spesifik tersebut

cukup efektif sebagai pertahanan utama. Pertahanan tersebut terdapat pada

hemosit yang berperan dalam sistem imun seluler dan hormonal. Sistem

pertahanan ini akan aktif ketika menerima rangsangan berupa protein dan

karbohidrat seperti lipopolisakarida, peptidoglikan, dan β-glukan yang dimiliki

oleh bakteri, jamur, dan protozoa.


3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsinya

a. Pengambilan Sampel Darah

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Hematologi tentang pengambilan sampel darah adalah:

 Lap basah :

 Nampan :

 Ember :

 Botol vial :

 Beaker glass :

 Sprayer :

 Kamera digital :

 Akuarium :

b. Pembuatan Film Darah Tipis

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

hematologi tentang pembuatan film darah tipis adalah:

 Object glass :

 Pipet tetes :

 Nampan :

 Kamera digital :

 Washing bottle :

 Mikroskop binokuler :
c. Perhitungan Eritrosit

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Hematologi tentang perhitungan eritrosit adalah:

 Haemocytometer :

 Pipet toma 0,5 ml :

 Cover glass :

 Mikroskop binokuler :

 Nampan :

 Handtally counter :

 Kamera digital :

d. Perhitungan Leukosit

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Hematologi tentang perhitungan leukosit adalah:

 Haemocytometer :

 Pipet toma 0,5 ml :

 Cover glass :

 Mikroskop binokuler :

 Nampan :

 Handtally counter :

 Kamera digital :

e. Perhitungan Hemoglobin

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Hematologi tentang perhitungan hemoglobin adalah:

 Washing bottle :

 Tabung sahli :
 Sahlimeter :

 Pipet sahli :

 Kotak standar warna sahli :

 Pipet tetes :

 Kamera digital :

 Haemocytometer :

3.1.2 Bahan dan Fungsinya

a. Pengambilan Sampel Darah

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Hematologi tentang pengambilan sampel darah adalah:

 Ikan lele dumbo

(Clarias gariepinus) :

 Alkohol 70 % :

 Na-sitrat :

 Tisu :

 Kertas label :

 Kapas :

 Spuit :

 Tube 1,5 ml :

 Trash bag :

 Na Fis :

b. Pembuatan Film Darah Tipis

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Hematologi tentang pembuatan film darah tipis adalah:


 Giemsa :

 Methanol :

 Akuades :

 Sampel darah ikan


lele dumbo
(Clarias gariepinus) :

 Tisu :

 Kertas label :

 Spuit :

 Tube 1,5 ml :

c. Perhitungan Eritrosit

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Hematologi tentang perhitungan eritrosit adalah:

 Larutan Hayem :

 Akuades :

 Sampel darah ikan


lele dumbo
(Clarias gariepinus) :

 Tisu :

 Kertas label :

 Tube 1,5 ml :

 Na-sitrat :

d. Perhitungan Leukosit

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Hematologi tentang perhitungan leukosit adalah:

 Larutan Turk :

 Akuades :
 Sampel darah ikan
lele dumbo
(Clarias gariepinus) :

 Tisu :

 Kertas label :

 Tube 1,5 ml :

 Na-sitrat :

e. Perhitungan Hemoglobin

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Hematologi tentang perhitungan hemoglobin adalah:

 HCl 0,1 N :

 Akuades :

 Sampel darah ikan


lele dumbo
(Clarias gariepinus) :

 Tisu :

 Kertas label :

 Tube 1,5 ml :

 Air :
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Pengambilan Sampel Darah

Spuit 3 ml
-Diaseptiskan dengan alkohol 70%
-Dibilas dengan antikoagulan (Na-sitrat) 0,1 ml

Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

-Diaseptiskan bagian yang akan disuntik dengan alkohol 70%


-Diambil darahnya dari linea lateralis
-Darah dimasukkan ke dalam tube

Hasil

3.2.2 Pembuatan Film Darah Tipis

Darah Ikan Lele dumbo (Clarias gariepinus)


-Diteteskan pada objek glass (1 tetes)
-Diratakan dengan metode smear
-Difiksasi dengan methanol (5-6 tetes) selama 5 menit
-Diwarnai dengan pewarna giemsa (1-2 tetes) selama 1-2 menit
-Dibilas dengan aquades
-Dikeringkan selama 2 menit
-Diamati dibawah mikroskop
-Didokumentasikan

Hasil
3.2.3 Perhitungan Eritrosit

Darah Ikan Lele (Clarias gariepinus)

-Diambil dengan pipet toma sampai skala 0,5


-Dicampur dengan larutan hayem sampai skala 101
-Dihomogenkan
-Dibuang 3 tetes pertama
-Diteteskan ke haemochytometer
-Ditutup dengan cover glass
-Diamati di bawah mikroskop
-Dihitung eritrosit dengan rumus

= n x 104 (sel/mm3)

Keterangan:
n: jumlah eritrosit di kotak yang diambil
104: Faktor koefisien

Hasil

3.2.4 Perhitungan Leukosit

Darah Ikan Lele (Clarias gariepinus)


-Diambil dengan pipet toma sampai skala 0,5
-Dicampur dengan larutan turk sampai skala 11
-Dihomogenkan
-Dibuang 3 tetes pertama
-Diteteskan ke haemochytometer
-Ditutup dengan cover glass
-Diamati di bawah mikroskop
-Dihitung leukosit dengan rumus

= n x 50 (sel/mm3)

Keterangan:
n: jumlah leukosit di kotak yang diambil
50: faktor koefisien

Hasil
Keterangan

Luas bidang
pandang
eritrosit

Luas bidang
pandang
leukosit

Gambar. Luas Bidang Pandang pada Mikroskop

3.2.5 Perhitungan Hemoglobin

Tabung Sahli
-Ditambahkan HCl 0,1 N sampai skala 2

Darah Ikan Lele (Clarias gariepinus)

-Diambil menggunakan pipet sahli sampai skala 0,02 ml


-Dimasukkan ke dalam tabung sahli
-Dihomogenkan sampai berwarna coklat kehitaman
-Ditambahkan akuades hingga warnanya sama dengan indikator
warna pada sahli haemometer

Satuan hasil G%

Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil


4.1.1 Pengamatan Sampe Darah

4.1.2 Pembuatan Film Darah Tipis

4.1.3 Perhitungan Eritrosit

4.1.4 Perhitungan Leukosit

4.1.5 Perhitungan Hemoglobin

4.2 Faktor Koreksi

4.3 Manfaat di Bidang Perikanan


5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, L., & Sarto, M. (2014). Profil hematologi tikus (Rattus norvegicus
Berkenhout, 1769) galur wistar jantan dan betina umur 4, 6, dan 8
minggu. Biogenesis: Jurnal Ilmiah Biologi, 2(2), 94-100.
https://doi.org/10.24252/bio.v2i2.473

Fitria, L., Illiy, L. L., & Dewi, I. R. (2017). Pengaruh antikoagulan dan waktu
penyimpanan terhadap profil hematologis tikus (Rattus norvegicus
Berkenhout, 1769) galur wistar. Majalah Ilmiah Biologi BIOSFERA: A
Scientific Journal, 33(1), 22-30.
https://doi.org/10.20884/1.mib.2016.33.1.321

Handayani, W. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dgn Gangguan Sistem


Hematologi. Jakarta Penerbit Salemba.

Lessy, A., Darus, S. P., & Gerung, G. (2013). Uji aktivitas antikoagulan pada sel
darah manusia dari ekstrak alga coklat Turbinaria ornate. Jurnal Pesisir
dan Laut Tropi, 2(1), 21-27. https://doi.org/10.35800/jplt.1.2.2013.2094

Li, B., Gou, M., Han, J., Yuan, X., Li, Y., Li, T., ... & Li, Q. (2018). Proteomic
analysis of buccal gland secretion from fasting and feeding lampreys
(Lampetra morii). Proteome science, 16(1), 1-9.
https://doi.org/10.1016/j.jprot.2018.05.011

Low, D. H., Sunagar, K., Undheim, E. A., Ali, S. A., Alagon, A. C., Ruder, T., ... &
Fry, B. G. (2013). Dracula's children: Molecular evolution of vampire bat
venom. Journal of proteomics, 89(1), 95-111.
https://doi.org/10.1016/j.jprot.2013.05.034

Mahyudin, K., & S PI, M. M. (2013). Panduan lengkap agribisnis lele. Jakarta.
Niaga Swadaya. 172 hlm.

Imam, I. W. M. S. A., & Kusmiyati, K. (2017). Perbandingan antara frekwensi


denyut jantung katak (Rana sp.) dengan frekwensi denyut jantung mencit
(Mus musculus) berdasarkan ruang jantung. Biota: Jurnal Ilmiah Ilmu-
Ilmu Hayati, 1(3), 126-131. https://doi.org/10.24002/biota.v1i3.1229

Noercholis, A., Muslim, M. A., & Maftuch, M. (2013). Ekstraksi fitur roundness
untuk menghitung jumlah leukosit dalam citra sel darah ikan. Jurnal
EECCIS, 7(1), 35-40.

Ramadhani, I., Harpeni, E., Tarsim, T., & Santoso, L. (2017). Potensi sinbiotik
lokal terhadap respon imun non spesifik udang vaname Litopenaeus
vannamei (Boone, 1931). Depik Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan
Perikanan (Depik), 6(3), 221-227.
https://doi.org/10.13170/depik.6.3.7613

Riantono, F., Kismiyati, & Sulmartiwi, L. (2016). Perubahan hematologi ikan mas
komet (Carassius auratus auratus) akibat infestasi Argulus japonicus
jantan dan Argulus japonicus betina. Journal of Aquaculture and Fish
Health, 5(2), 70-77.

Rozik, M. (2014). Pengaruh Imunostimulan OMP terhadap sel hyaline dan


hispatologi hepatopankreas udang windu (Penaeus monodon Fabricius)
pasca uji tantang dengan Vibrio harveyi. Journal of Tropical Fisheries,
10(1), 750- 755.

Sumardjo, D. 2008. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa


Kedokteran dan Program Strata I. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 650 hlm.

Tambayong, J. 2000. Patofisiologi: Untuk Keperawatan. Jakarta. Penerbit Buku


Kedokteran EGC. 211 hlm.

Tangkery, R. A., Paransa, D. S. A., & Rumengan, A. (2013). Uji aktivitas


antikoagulan ekstrak mangrove Aegiceras corniculatum. Jurnal Pesisir
dan Laut Tropis, 1(1), 7-14. https://doi.org/10.35800/jplt.1.1.2013.1278

Utami, D. T., Prayitno, S. B., Hastuti, S., & Santika, A. (2013). Gambaran
parameter Hematologis pada ikan nila (Oreochromis niloticus) yang
diberi vaksin DNA Streptococcus iniae dengan dosis yang berbeda.
Journal of Aquaculture Management And Technology, 2(4): 2-20.

Widaswara, H., & Utoyo, B. (2021). Pengaruh terapi lintah terhadap tekanan
darah pada penderita hipertensi di klinik terapi lintah medis purba
kawedusan Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 8(3), 153-
158.
BUKU KERJA PRAKTIKUM
FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

SISTEM SARAF

NAMA :

NIM :

KELOMPOK :

NAMA ASISTEN :

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2023
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sel saraf adalah sel yang berfungsi untuk menghantarkan rangsang,

baik dari luar maupun dalam tubuh. Sel saraf dalam keadaan istirahat, berada

pada keadaan polar, yaitu keadaan dimana sel saraf sedang tidak

menghantarkan rangsang. Keadaan ini ditandai dengan adanya muatan yang

lebih negatif disisi dalam membran dan lebih positif di sisi luar membran.

Keadaan semacam itu, membran saraf bersifat impermeable terhadap ion

natrium dan permeable terhadap ion kalium, serta memperlihatkan adanya

perbedaan potensial antara bagian luar dan dalam membran (Isnaeni, 2006).

Perbedaan potensial tersebut disebabkan oleh adanya distribusi ion

natrium dan kalium yang tidak seimbang diantara kedua sisi membran saraf. Ion

natrium yang terdapat di luar sel jumlahnya lebih banyak daripada yang terdapat

di dalam sel. Sel saraf dalam keadaan istirahat, membran akson bersifat

impermeable terhadap ion natrium sehingga sejumlah besar ion natrium akan

tetap berada di luar sel. Hal ini menjadi faktor penentu adanya keadaan yang

lebih positif di luar sel dibanding di dalam sel. Perbedaan potensial ini akan

mempengaruhi transmisi sinaps (Isnaeni, 2006).

Persinaps merupakan bagian terminal akson yang terdapat banyak

vesikula sinaptik. Persinaps menghasilkan enzim kolinesterase pada bagian

celah sinaptik dan membran pascasinaptik (membran sel berikutnya yang

menerima impuls). Enzim kolinesterase tersebut berfungsi untuk merombak

asetikolin secara cepat sehingga impuls saraf dapat dihantarkan pada sel neuron

berikutnya (Hidayati et al., 2015).


Proses transmisi sinaps terkadang mengalami gangguan sehingga

penghantaran impuls menjadi tidak normal. Beberapa jenis bahan yang

diketahui dapat mengganggu transmisi sinaps antara lain pestisida, bisa ular dan

obat bius. Pestisida memiliki banyak jenis, salah satu diantaranya adalah golongan

organofosfat, misalnya diazinon yang merupakan antikolin esterase. Keracunan

diazinon ditandai dengan gejala kejang otot, sedangkan obat bius bisa membuat

hewan mengalami gangguan fungsi saraf sehingga tidak dapat merasakan sakit

meskipun bagian tubuhnya diiris (Isnaeni, 2006).

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh

rangsangan terhadap saraf yang dikendalikan oleh otak.

Tujuannya untuk mengetahui kerja otak dalam mengadakan koordinasi

terhadap organ tubuh ikan dan untuk mengetahui fungsi dari masing-masing

bagian otak.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Sistem Saraf dilaksanakan pada

hari 2023 di Laboratorium Reproduksi dan melalui video conference Google

Meet.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Saraf

Sistem saraf merupakan sistem koordinasi berupa penghantaran impuls

saraf ke susunan saraf pusat, memproses impuls saraf dan menanggapi

rangsangan. Sistem saraf pada vertebrata memiliki peran penting yakni sebagai

orientasi terhadap lingkungan, menerima stimulus dari luar dan akan

meresponnya. Pusat koordinasi saraf terletak pada otak dan sumsum tulang

belakang yang akan mengirimkan rangsangannya melalui impuls saraf dan

dibawa oleh saraf motorik ke organ-organ efektor dan sebaliknya. Informasi akan

diterima otak melalui sinyal yang dibawa oleh reseptor dan sensoris (Muzahar,

2020).

2.2 Fungsi Saraf

Fungsi saraf menurut Isnaeni (2006), adalah untuk mengkoordinasikan

tindakan, mengirimkan sinyal ke bagian-bagian tubuh dan menghantarkan impuls

dari lingkungan menuju otak untuk diolah. Selain itu, fungsi saraf dibagi menjadi

dua, yaitu reseptor dan efektor. Reseptor berfungsi untuk mengenali rangsang

tertentu dari luar atau dalam, sedangkan efektor merupakan sel atau organ yang

menghasilkan tanggapan terhadap rangsang.

2.3 Sistem Saraf Tangga Tali

Sistem saraf pada crustacea menurut Wulandari, et al. (2015),

termasuk ke dalam sistem saraf tangga tali. Sistem saraf tangga tali adalah

sepasang simpul saraf dengan sepasang tali saraf yang memanjang dan

bercabang melintang seperti tangga. Serabut saraf membentuk simpul yang


disebut ganglion pada setiap segmen tubuh. Ganglion terdapat di kepala

(otak) yang terhubung dengan indra peraba, indra penglihatan, dan indra

keseimbangan.

2.4 Neuron

Fungsi neuron menurut Satyanegara (2014), dibagi menjadi dua yaitu:

a. Apparance : menghantarkan impuls saraf dari reseptor ke otak.

b. Epperance : menghantarkan impuls saraf dari otak ke afektor.

Neuron menurut Isnaeni (2006), ditinjau dari fungsinya dibedakan

menjadi tiga, yaitu:

a. Neuron sensorik, ialah sel saraf yang berfungsi membawa rangsang

dari daerah tepi (perifer tubuh) ke pusat saraf otak (otak dan sumsum

tulang belakang atau medulla spinalis).

b. Neuron motorik, ialah sel saraf yang berfungsi membawa rangsang dari

pusat saraf ke daerah tepi (perifer tubuh).

c. Interneuron atau saraf penghubung, ialah sel saraf yang terdapat di

pusat saraf yang menjadi penghubung antara neuron sensorik dan

neuron motorik.

2.5 Pembagian Saraf

Pembagian saraf berdasarkan keberadaannya menurut Pearce (2016),

dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Saraf pusat, dibagi menjadi 2 yaitu otak dan medulla spinalis yang

berfungsi mengatur rangsangan.

2. Saraf tepi, merupakan saraf pada tepian tubuh yang menerima

rangsangan. Saraf tepi terdiri dari 2 bagian yaitu sel otonom dan sel

somatik. Sel otonom yaitu saraf yang bekerja secara tidak sadar,
contohnya otot polos dan otot jantung. Sel somatik yaitu saraf yang

bekerja secara sadar, contohnya otot lurik.

2.6 Pembagian Otak Ikan


2.6.1 Embrio

Pembagian otak ikan saat embrio Menurut Evans (1998), dibagi menjadi

tiga yaitu prosencephalon, mesencephalon, dan rhombencephalon.

Prosencephalon merupakan bagian otak depan yang berfungsi untuk penciuman.

Mesencephalon adalah otak bagian tengah yang berfungsi untuk pengelihatan.

Rhombencephalon otak bagian belakang untuk keseimbangan dan koordinasi.

2.6.2 Dewasa

Pembagian otak ikan saat dewasa menurut Rahardjo (2010), dibagi

menjadi tiga, yaitu prosencephalon, mesencephalon, dan rhombencephalon.

Prosencephalon dibagi menjadi dua yaitu telencephalon untuk pembau dan

diencephalon untuk hormon dan organ pineal (pigmen). Diencephalon dibagi

menjadi tiga bagian, yaitu epithalamus, talamus, dan hipotalamus.

Mesencephalon berperan dalam proses penglihatan. Rhombencephalon dibagi

menjadi dua yaitu pertama, metencephalon (terdapat pada cerebellum atau otak

kecil) yang berfungsi mengatur koordinasi otot, keseimbangan tubuh, orientasi

berenang, dan maintenance musculator. Kedua, myelencephalon (medulla

oblongata) sebagai pusat saraf sensorik, mengatur osmoregulasi dan respirasi,

keseimbangan berenang serta indera peraba dan perasa.


2.7 Gerak Biasa dan Gerak Reflek

Mekanisme gerak biasa menurut Parwata (2021) adalah:

Rangsangan Indra Neuron Otak dan


sensorik sumsum
tulang
belakang

Interneuron Sel organ Neuron

Mekanisme gerak reflek menurut Wulandari (2009) adalah:

Rangsangan Reseptor Neuron Sumsum


sensorik tulang
belakang

Gerak Efektor Neuron


motorik

2.8 Bagian Saraf

Gambar 1. Bagian-bagian saraf (Fikri et al., 2023)

Neuron menurut Sitorus (2014), terdiri dari tiga bagian, yaitu sebagai

berikut.

a. Badan Sel (Perikarion)

Bagian sel ini menyimpan inti sel (nukleus) dan anak inti (nukleolus),

berjumlah satu atau lebih yang dikelilingi sitoplasma granuler.

b. Dendrit
Dendrit berfungsi untuk meneruskan rangsang dari organ penerima

rangsang (reseptor) menuju ke badan sel.

c. Akson

Akson sering disebut juga neurit. Bagian ini merupakan tonjolan

sitoplasma yang panjang dan berfungsi untuk meneruskan impuls saraf yang

berupa informasi berita dari badan sel. Akson memiliki bagian-bagian yang

spesifik, yaitu sebagai berikut:

 Neurofibril, merupakan bagian terdalam dari akson yang berupa

serabut-serabut halus. Bagian-bagian inilah yang memiliki tugas pokok

untuk meneruskan impuls.

 Selubung Mielin, bagian ini tersusun oleh sel-sel pipih yang disebut sel

Schwann. Selubung mielin merupakan bagian paling luar dari akson

yang berfungsi untuk melindungi akson. Bagian ini juga memberikan

nutrisi dan bahan-bahan yang diperlukan untuk mempertahankan

kegiatan dari akson.

 Nodus Ranvier, merupakan bagian akson yang menyempit serta

tersusun atas sel-sel pipih dan tidak dilapisi selubung mielin. Bagian

tersebut menyebabkan akson terlihat berbuku-buku.

2.9 Fungsi Organ Ikan

Fungsi organ ikan menurut Maia dan Wilga (2013), yaitu:

a. Sirip dorsal : untuk pergerakan naik turun.

b. Sirip ventral : untuk keseimbangan saat berhenti.

c. Sirip anal : untuk gerakan mundur dan menggulung.

d. Sirip pectoral : untuk keseimbangan saat

belok.
e. Sirip caudal : untuk mengemudi.

f. Linea lateralis : untuk sensor arus, lingkungan dan keseimbangan.

2.10 Fungsi Organ Udang

Fungsi organ pada udang menurut Kurniawan dan Hartono (2006),

adalah:

a. Capit : untuk mencari makan.

b. Uropod : untuk gerakan mendorong dan loncat.

c. Kaki jalan : untuk berjalan.

d. Telson : untuk keseimbangan.

e. Antena : untuk sensor jarak jauh.

f. Antenula : untuk sensor jarak dekat.

g. Kaki renang : untuk tempat telur.

2.11 Anestesi

Anestesi menurut Kaya dan Louhenapessy (2016), merupakan kondisi

tidak sadar yang dihasilkan oleh proses terkendali dari sistem saraf pusat yang

mengakibatkan turunnya kepekaan terhadap rangsangan dari luar dan rendahnya

respon gerak dari rangsangan tersebut. Prinsip anestesi adalah menurunkan

metabolisme suatu organisme sehingga dalam kondisi lingkungan yang minimum

mampu mempertahankan hidupnya lebih lama (hibernasi). Macam-macam bahan

anestesi dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Bahan Anestesi Alami

 Minyak cengkeh (Kaya dan Louhenapessy, 2016).

 Ekstrak biji buah keben (Ikhsan et al., 2017).

 Ekstrak daun picung (Munandar et al., 2017).


 Biji teh (Sahrial et al., 2017).

 Ekstrak bunga kecubung (Sholichah et al., 2017).

2. Bahan Anestesi Buatan

 Propofol (Martins et al., 2018).

 Ketamin (Martins et al., 2018).

 MS 222 (Pramono et al., 2020).


3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsi

a. Sistem Saraf Ikan

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Sistem Saraf tentang sistem saraf ikan adalah:

 Toples 3L :

 Seser :

 Nampan :

 Penggaris 30 cm :

 Sectio set :

 Lap basah :

 Ember :

 Pipet tetes :

 Kamera digital :

 Botol vial :

b. Sistem Saraf Crustacea

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Sistem Saraf tentang sistem saraf crustacea adalah:

 Toples 3L :

 Seser :

 Nampan :

 Penggaris 30 cm :

 Sectio set :
 Lap basah :

 Ember :

 Pipet tetes :

 Kamera digital :

 Botol vial :

3.1.2 Bahan dan Fungsi

a. Sistem Saraf Ikan

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Sistem Saraf tentang sistem saraf ikan adalah:

 Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) :

 Minyak cengkeh :

 Tisu :

 Kertas label :

 Air tawar :

 Trash bag :

b. Sistem Saraf Crustacea

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Sistem Saraf tentang sistem saraf crustacea adalah:

 Lobster air tawar


(Cherax quadricarinatus) :

 Minyak cengkeh :

 Tisu :

 Kertas label :

 Air tawar :

 Trash bag :
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Sistem Saraf Ikan

Toples 3 liter

-Disiapkan 9 buah
-Diisi air ¾ bagian

9 ekor ikan nila (Oreochromis niloticus)

-Dimasukkan ke dalam masing-masing toples


-Diadaptasikan selama 15 menit

Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pertama

-Diberi kejutan arus, bunyi, dan sentuhan


-Diamati tingkah laku sebagai ikan kontrol

Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ke-2, ke-3, ke-4

-Ditetesi minyak cengkeh dengan perlakuan


Toples 1: 1 tetes
Toples 2: 3 tetes
Toples 3: 5 tetes
-Diberi kejutan arus, bunyi, dan sentuhan
-Diamati tingkah laku

Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ke-5, ke-6, ke-7, ke-8, ke-9

Toples 1: ditusuk mata


Toples 2: ditusuk linea lateralis
Toples 3: dipotong sirip anal
Toples 4: dipotong sirip caudal
Toples 5: dipotong sirip pectoral
-Diberi kejutan arus, bunyi, dan sentuhan
-Diamati tingkah laku

Hasil
3.2.2. Sistem Saraf Crustacea

Toples 3 Liter

-Disiapkan 9 buah
-Diisi ¾ bagian

9 ekor Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus)

-Dimasukkan ke dalam masing-masing toples


-Diadaptasikan selama 15 menit

Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) pertama

-Diberi kejuran arus, bunyi, dan sentuhan


-Diamati tingkah laku sebagai udang kontrol

Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) ke-2, ke-3, ke-4

-Ditetesi minyak cengkeh dengan perlakuan:


Toples 1: 1 tetes
Toples 2: 2 tetes
Toples 3: 3 tetes
Toples 4: 4 tetes
Toples 5: 5 tetes
-Diberi kejutan arus, bunyi, dan sentuhan
-Diamati tingkah laku

Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) ke-5, ke-6, ke-7, ke-8, ke-9

Tolples 1: dipotong capit


Tolples 2: dipotong telson dan kaki renang
Tolples 3: dipotong mata
Tolples 4: dipotong kaki jalan
Tolples 5: dipotong antena dan antenula
-Diberi kejutan arus, bunyi, dan sentuhan
-Diamati tingkah laku

Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sistem Saraf


4.1.1 Sistem Saraf pada Ikan

4.1.2 Sistem Saraf pada Crustacea

4.2 Faktor Koreksi

4.3 Manfaat di Bidang Perikanan


5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Evans, D. H. 1998. The Physiology of Fishes Second Edition. CRC Press: New
York. 282 hlm.

Fikri, M., Safira, A., Minasa, R., Kahby, I. A., & Artinah, M., & Amrullah, S. H.
(2023). Sistem saraf dan endokrin ikan. OSF, 1(1), 1-13.

Hidayati, I., Abdullah dan M. Sabri. 2015. Identifikasi miskonsepsi system saraf
pada buku teks biologi kelas IX. Jural Biotik, 3(1), 39-44.
https://doi.org/10.22373/biotik.v3i1.990

Ikhsan, N. I., M. U. K. Agung, S. Astuty & Rosidah. 2017. Pengaruh anestesi


granul ekstrak biji buah keben terhadap kelangsungan hidup benih
gelondongan ikan bandeng (Chanos chanos) pada transportasi tanpa
media air. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3(1), 34-41.

Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius. 113 hlm.

Kaya, A. O. W. & J. M. Louhenapessy. 2016. Pengaruh konsentrasi minyak


cengkeh untuk anestetik ikan bawal tawar (Colossoma macropomum)
dan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Majalah BIAM, 12, 15-19.

Kurniawan, T. & R. Hartono. 2006. Pembesaran Lobster Air Tawar secara Cepat.
Bogor: Penebar Swadaya. 64 hlm.

Maia, A & C. A. Wilga. 2013. Function of dorsal fins in bamboo shark during
steady swimming. Zoology, 116, 224-231.
https://doi.org/10.1016/j.zool.2013.05.001

Martins, T., Diniz, E., Félix, L. M., & Antunes, L. (2018). Evaluation of anaesthetic
protocols for laboratory adult zebrafish (Danio rerio). PloS one, 13(5), 1-
12.

Munandar, A., F. R. Indaryanto, H. N. Prestisia & N. Muhdani. 2017. Potensial


ekstrak daun picung (Pangium edule) sebagai bahan pemingsanan ikan
nila (Oreochromis niloticus) pada transportasi sistem kering. Jurnal
Teknologi Hasil Perikanan, 6(2), 107-114.
https://doi.org/10.36706/fishtech.v6i2.5842

Muzahar. (2020). Endokrinologi ikan. Tanjungpinang: Umrah Press.

Parwata, I. M. Y. (2021). Pembelajaran gerak dalam pendidikan jasmani dari


perspektif merdeka belajar. Indonesian Journal of Educational
Development (IJED), 2(2), 219-228.

Pearce, E. C. 2016. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. PT Gramedia:


Jakarta. 325 hlm.
Pramono, T. B., Yudhistira, C. B., & Sukardi, P. (2020). Efektivitas infusum daun
durian (Durio zibethinus) sebagai anestesi alami ikan lele (Clarias
gariepinus). Jurnal Sumberdaya Akuatik Indopasifik, 4(1), 69-80.

Rahardjo, M. F., Sjafei, S. D., Affandi, R., Sulistiono, & Hutabarat, J. (2010).
Iktiology. Bandung: CV Lubuk Agung. 360 hlm.

Sahrial, Emanauli & M. Arisandi. 2017. Karakteristik fisikokimia minyak biji teh
(Camelliasinensis) dan potensi aplikasinya. Jurnal Agroindustri, 7(2),
111-115. https://doi.org/10.31186/j.agroind.7.2.111-115

Satyanegara. 2014. Ilmu Bedah Saraf. PT Gramedia: Jakarta. 718 hlm.

Sholichah, I. G. N. Sudisma & A. A. G. J Wardhita. 2017. Efek trias anestesi


ekstrak daun kecubung (Dhatura metel L.,) pada tikus putih (Rattus
norvegicus). Indonesia Medicus Veterinus, 6(5), 399-408

Sitorus, E. R. 2014. Peningkatan hasil belajar ipa kompetensi dasar system


koordinasi dan alat indera manusia melalui metode pembelajaran
resitasi pada peserta didik. Faktor Jurnal Ilmiah Kependidikan, 1(2), 183-
202.

Wulandari, D. A., L. D. Saraswati & Martini. (2015). Pengaruh variasi warna


kuning pada Fly grill terhadap Kepadatan lalat (studi di tempat
pelelangan ikan Tambak lorok kota Semarang). Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 3(3): 130-141.
BUKU KERJA PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

NAMA :

NIM :

KELOMPOK :

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2023
BUKU KERJA PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

ENDOKRINOLOGI

NAMA :

NIM :

KELOMPOK :

NAMA ASISTEN :

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2023
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Endokrinologi merupakan studi tentang kelenjar endokrin dan

bagaimana kelenjar ini dapat mengatur fisiologi dan perilaku individu hewan serta

populasi. Sistem endokrin merupakan kemampuan dasar organisme dalam

beradaptasi terhadap lingkungannya. Hormon adalah perantara kimia antara

lingkungan dan organisme. Kelenjar endokrin tidak memiliki saluran khusus

untuk menyalurkan zat sekretnya. Zat sekret yang dihasilkan oleh kelenjar

endokrin didistribusikan oleh darah menuju organ target (Yadav, 2008).

Endokrinologi merupakan ilmu yang mempelajari fungsi kelenjar

endokrin. Endokrin berarti kelenjar yang tidak mempunyai saluran khusus untuk

mengeluarkan sekretnya. Hormon merupakan hasil sekresi dari kelenjar endokrin

yang penting untuk mengatur berbagai aktivitas dalam tubuh hewan. Hormon

inilah yang bekerja saling berkaitan untuk mengaktivasi organ, enzim ataupun

proses metabolisme lainnya. Salah satu contoh kelenjar endokrin adalah kelenjar

pituitari yang juga disebut master of gland karena mensekresikan banyak hormon

untuk fungsi tubuh (Isnaeni, 2006).

Sistem endokrin menurut Rachdaoui dan Sarkar (2013), merupakan

sistem kelenjar yang memproduksi dan mengeluarkan hormon secara langsung

menuju sirkulasi darah. Hormon yang disekresikan dapat mempengaruhi gonad

untuk melakukan aktivitas. Kelenjar sekresi hormon yang terlibat dalam

reproduksi meliputi hipotalamus, pituitari dan gonad. Hipotalamus dapat

mensekresi hormon setelah memperoleh stimulasi dari lingkungan baik eksternal

maupun internal.
Pusat hormon yang mempengaruhi pertumbuhan pada vertebrata

menurut Mohammadzadeh, et al. (2014), terdapat pada beberapa tempat.

Hormon berfungsi sebagai sistem pengontrol pertumbuhan dan metabolisme

ikan teleostei. Hormon tersebut dikenal sebagai hormon pertumbuhan yang

berperan penting dalam pertumbuhan dan penyerapan nutrisi pada ikan.

Interaksi antara kontrol endokrin dengan pertumbuhan dan metabolisme pada

ikan teleostei telah dapat dibuktikan. Penyerapan nutrisi dapat mempengaruhi

transportasi hormon dalam darah, aktivitas jaringan periferal, mengikat reseptor

dan regulasi hormon endokrin pada saraf.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengatur dan mempelajari

bagaimana teknik mengambil hipofisa di dalam tubuh ikan dan bagaimana teknik

hipofisasi dilakukan.

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa)

mengetahui pengaruh hipofisa pada penyuntikan terhadap ikan yang sudah

matang gonad pada teknik hipofisasi.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Endokrinologi

dilaksanakan pada hari 2023 di Laboratorium Reproduksi dan melalui video

conference Google Meet.


2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Endokrin

Sistem endokrin menurut Bjelobaba, et al. (2015), merupakan tempat

produksi hormon yang berfungsi mengendalikan kehidupan pada ikan. Sistem

endokrin mengendalikan reproduksi, homeostasis, metabolism serta

pertumbuhan dan perkembangan. Hormon yang merupakan hasil dari sistem

endokrin, dilepaskan dari sel langsung ke sirkulasi, oleh karena itu

mempengaruhi jaringan dan sel yang jauh dari tempat sekresi. Hormon

berhubungan secara langsung dengan neuron lain melalui sinaps. Beberapa

neuron mensekresikan bahan kimia yang bertindak sebagai hormon.

Sistem endokrin menurut Johnstone, et al. (2014), terdiri dari kelenjar

endokrin, jaringan penghasil hormon dan reseptor hormon. Kelenjar endokrin

termasuk kelenjar pineal, kelenjar pituitari, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid,

kelenjar timus dan kelenjar adrenal. Kelenjar dan jaringan dari sistem endokrin

sebagian besar terpisah satu sama lain, keduanya bekerja sebagai sebuah

sistem yang terintegrasi. Kelenjar endokrin menghasilkan hormon atau pesan

kimia, yang disekresikan ke dalam cairan interstisial, terdifusi ke dalam kapiler

darah dan disebarkan melalui sistem peredaran darah ke organ target. Endokrin

dan sistem saraf bekerja sama untuk mengelola dan mengkoordinasikan sistem

tubuh lainnya dengan baik.

2.2 Perbedaan Kelenjar Endokrin dan Kelenjar Eksokrin

Kelenjar menurut Astuti (2018), terdiri dari dua tipe yaitu endokrin dan

eksokrin. Kelenjar endokrin melepaskan sekresinya langsung ke dalam darah.

Kelenjar endokrin contohnya adalah kelenjar gonad, kelenjar adrenal,


hipofisa, tiroid dan paratiroid. Kelenjar eksokrin bekerja melepaskan sekresinya

ke dalam duktus pada permukaan tubuh seperti kulit dan organ internal.

2.3 Perbedaan Sistem Endokrin dan Sistem Saraf

Perbedaan antara sistem endokrin dan sistem saraf dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Perbedaan Sistem Endokrin dan Sistem Saraf


Indikator Pembeda Sistem Endokrin Sistem Saraf
Hantaran Berupa zat kimia Berupa aliran listrik
informasi
Metode transportasi Dibawa oleh aliran Dialirkan oleh serabut
Darah syaraf
Respon kerja Lambat Cepat

Komala dan Febrianti (2022), menyatakan bahwa selain memiliki

perbedaan, sistem endokrin dan sistem saraf juga memiliki persamaan yaitu

pusat sistem tertingginya berada pada hipotalamus serta sistem kerjanya secara

tidak sadar (involuntary). Sistem endokrin berinteraksi dengan sistem saraf untuk

mengatur dan mengkoordinasi aktivitas tubuh. Respon hormonal tubuh biasanya

lebih lambat, durasi lebih lama, distribusinya lebih luas daripada respon langsung

otot dan kelenjar terhadap stimulus sistem saraf.

2.4 Macam-Macam Kelenjar Endokrin

Macam-macam kelenjar endokrin menurut Manurung (2017), antara

lain:

1. Kelenjar hipotalamus, berfungsi sebagai sistem endokrin yang

mengontrol sintesa dan sekresi hormon-hormon hipofisa.

2. Kelenjar pituitari, terletak di sella tursica dan dikenal sebagai master of

gland karena kemampuan untuk mempengaruhi atau mengontrol


aktivitas kelenjar endokrin lainnya.

3. Kelenjar tiroid, menghasilkan hormon tiroksin yang berfungsi sebagai

pengatur metabolisme tubuh, merangsang pembentukan sel darah

merah dan mengatur respirasi serta kebutuhan oksigen.

4. Kelenjar paratiroid, mensintesa hormon paratiroid yang berfungsi

sebagai pengendalian homeostasis kalsium pada ginjal (reabsorbsi),

merangsang pertumbuhan tulang dan dan meningkatkan absorbsi pada

usus.

5. Kelenjar pankreas, berfungsi dalam sintesa protein, lemak dan

karbohidrat.

6. Kelenjar adrenal, berfungsi untuk keseimbangan elektrolit, metabolisme

glukosa dan mengatur imunitas terhadap respon stres.

7. Kelenjar gonad, mulai aktif saat ikan matang gonad dan meningkatkan

sekresi hormon gonadotropin.

8. Kelenjar pineal, berfungsi memproduksi hormon yang membentuk kerja

gonad dan peka terhadap cahaya serta bayangan.

9. Kelenjar timus, sebagai perangsang sel-sel kekebalan tubuh.

2.5 Pengertian dan Fungsi Hormon

Hormon menurut Kime (1998), merupakan senyawa yang dilepaskan

dari kelenjar endokrin ke dalam darah yang dibawa menuju jaringan target sesuai

dengan fungsinya. Beberapa hormon berperan dalam kelenjar dimana hormon

tersebut diproduksi. Beberapa hormon lainnya berperan pada sel berbeda atau di

dalam sel yang sama tanpa melalui sistem peredaran darah. Fungsi ini terutama

berlaku untuk beberapa hormon yang berperan pada kematangan gonad.

Beberapa macam proses perkembangan berada dibawah kendali hormonal,


seperti perkembangan menuju matang gonad.

Hormon pada ikan menurut Almeida, et al. (2014), berfungsi sebagai

kontrol utama dalam adaptasi fisiologis terhadap lingkungannya. Hormon

dapat berinteraksi dengan sistem satu sama lain. Hormon mampu

mengendalikan rangkaian sifat morfologi serta perilaku ikan. Kemampuan ini

menyebabkan ikan dapat menanggapi kondisi lingkungan dan menyesuaikan diri

sesuai dengan perubahan lingkungan.

2.6 Alur Hormonal

Alur hormonal ikan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur Hormonal pada Ikan

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi reproduksi ikan menurut

Lestari, et al. (2016), sangat kompleks seperti hujan, perubahan suhu, substrat

dan petrichor. Faktor-faktor lingkungan tersebut akan direspon oleh ikan melalui

pengaturan hormonal yang terhubung antara otak ‒ hipotalamus ‒ pituitari dan

gonad. Sinyal lingkungan akan diterima oleh sistem saraf pusat (otak) dan

diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus merespon dengan melepaskan hormon

Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) dan dopamin. Dopamin yang bekerja


pada kelenjar hipofisis akan menghambat GnRH, kemudian hormon

gonadotropin Follicle Stimulating Hormone (FSH) akan merangsang proses

vitelogenesis, sedangkan Luteinizing Hormone (LH) akan merangsang proses

pematangan gonad hingga terjadi ovulasi.

2.7 Hipofisa dan Hipofisasi

Hipofisa menurut Arie dan Dejee (2013), merupakan suatu kelenjar

dalam tubuh ikan yang dapat digunakan sebagai hormon perangsang untuk

pemijahan buatan. Kelenjar hipofisa merupakan kelenjar yang terletak dibawah

otak. Kelenjar hipofisa mengandung dua hormon, yaitu Luteinizing Hormone (LH)

dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Luteinizing Hormone (LH) berfungsi

sebagai pengatur ovulasi, sedangkan Follicle Stimulating Hormone (FSH)

berfungsi untuk meningkatkan perkembangan dan kematangan telur.

Metode hipofisasi menurut Gadissa dan Devi (2013), merupakan cara

atau teknik yang digunakan untuk merangsang ikan agar cepat melakukan

pemijahan dengan pemberian hormon. Metode hipofisasi dapat menghasilkan

benih yang berkualitas baik pada pengembangan budidaya. Beberapa hormon

yang terlibat dalam perangsang pemijahan ikan dihasilkan oleh hipotalamus.

Hormon yang digunakan untuk merangsang pemijahan ikan salah satunya

adalah Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH). Pemberian hormon dengan

metode hipofisasi dapat merangsang aktivitas dan perilaku agresif pada ikan

betina yang disuntikkan hormon.

Pemijahan buatan menurut Rumondang, et al. (2015), memerlukan

aplikasi hormonal dengan menggunakan teknik hipofisasi yang dapat

mempercepat ovulasi telur dan pemijahan serta meningkatkan jumlah benih.

Hormon yang digunakan berasal dari kelenjar pituitari pada ikan. Kelenjar pituitari
dipilih karena dipercaya paling efektif dalam mempercepat pemijahan pada ikan.

Penelitian tersebut menggunakan kelenjar pituitari ikan dikarenakan lebih murah

dan memberi dampak yang baik terhadap budidaya di masa depan.

2.8 Teknik Penyuntikan

Teknik penyuntikan pada ikan menurut Surnar, et al. (2015), terdiri dari

tiga metode yang dapat dilakukan, yaitu penyuntikan dengan metode intrakranial,

intramuskular dan intraperitonial. Metode intrakranial yaitu penyuntikan yang

dilakukan pada rongga otak. Metode intramuskular yaitu penyuntikan yang

dilakukan pada otot ikan biasanya pada daerah bahu atau punggung. Metode

intraperitonial yaitu penyuntikan yang dilakukan di bagian perut. Metode

penyuntikan dilakukan dengan kemiringan 45°.

Pemberian ovaprim pada ikan dapat dilakukan dengan teknik

penyuntikan intramuskular. Menurut Usman, et al. (2015), penyuntikan

intramuskular berada pada daerah sirip dorsal sehingga aman untuk disuntikkan.

Jarum suntik diaseptiskan dengan alkohol sebelum dilakukan penyuntikan. Ikan

jantan disuntikkan ovaprim dengan dosis sebanyak 0,2 ml/kg, sedangkan betina

0,5 ml/kg. Dosis ovaprim jantan lebih sedikit karena sperma pada jantan lebih

cepat untuk matang daripada gonad betina.

2.9 Syarat Ikan Donor dan Ikan Resipien

Jenis ikan resipien maupun donor yang berhasil dalam fertilisasi

tergantung pada kualitas sperma dan gonad serta jenis kelamin dari resipien.

Ikan yang akan didonorkan juga harus bisa membuahi ikan resipien atau dengan

spesies yang sama, jika ikan yang digunakan sebagai resipien bertubuh kecil,

maka untuk ikan donor usahakan memiliki tubuh yang lebih besar dari ikan
resipien. Keberhasilan benih ikan yang terbuahi dan menetas dalam jumlah yang

besar apabila ikan resipien yang digunakan memenuhi syarat. Ikan resipien yang

digunakan berumur 1-2 tahun dan telah mencapai matang gonad. Sperma

yang digunakan berasal dari induk jantan berusia 1-2 tahun. Ikan resipien

digunakan induk betina yang berusia 2 tahun yang telah matang gonad (Sato, et

al., 2014).

Pemilihan induk ikan untuk hipofisasi didasarkan pada struktur

morfologi. Ikan betina yang sudah matang gonad dapat diidentifikasi dengan

bagian perut lunak dan membesar, jenis kelamin berwarna kemerahan dan

munculnya sedikit telur pada saat bagian perut ditekan. Ikan jantan tidak

dilakukan penyuntikan dengan ekstrak pituitari selama sperma yang diperoleh

layak. Ikan penerima harus matang gonad dan ditentukan berat tubuhnya

sebelum disuntik dan dilakukan striping untuk menentukan hasil telur (Gadissa

dan Devi, 2013).


3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsi

Alat-alat yang digunakan pada Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Endokrinologi adalah sebagai berikut:

 Sentrifuge :

 Tabung reaksi :

 Sectio set :

 Akuarium :

 Aerator set :

 Heater akuarium :

 Thermometer :

 Lap basah :

 Talenan :

 Rak tabung reaksi :

 Kabel rol :

 Timbangan OZ :

 Bak :

 Pisau :

 Penggaris :

 Lampu :

 Nampan :

 Grinder tissue :

 Kamera digital :
 Seser :

 Pipet tetes :

3.1.2 Bahan dan Fungsi

Bahan-bahan yang digunakan pada Praktikum Fisiologi Hewan

Akuakultur materi Endokrinologi adalah sebagai berikut:

 Ikan nila

(Oreochromis niloticus) :

 Na fisiologis :

 Alkohol 70 % :

 Aluminium foil :

 Kertas saring :

 Kapas :

 Hipofisa :

 Tisu :

 Air tawar :

 Kertas label :

 Trash bag :

 Spuit 3 ml :
3.2 Skema Kerja

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

-Diamati seks sekundernya


-Dipotong kepala
-Diambil hipofisa
-Diletakkan pada kertas saring
Hipofisa
-Dihancurkan menggunakan Tissue grinder dan ditambahkan 1 ml Na-
Fis
-Dimasukkan ke dalam tabung reaksi
-Ditutup dengan kapas
-Dibungkus Aluminium foil
-Disentrifugasi 3200 rpm selama 21 menit

Supernatan

-Diambil dengan spuit 3 ml sebanyak 1 ml


Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil

4.2 Faktor Koreksi

4.3 Manfaat di Bidang Perikanan


5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Almeida, O., Goncalves-de-Frietas, E., Lopes, J. S. & Oliveira, R. F. (2014).


Social instability promotes hormone-behavior associated patterns in a
cichlid fish. Hormones and Behavior, 66, 369–382.
https://doi.org/10.1016/j.yhbeh.2014.05.007

Arie, U & Dejee, D. (2013). Panduan Lengkap Benih Ikan Konsumsi. Jakarta:
Penebar Swadaya. 220 hlm.

Astuti, P. (2018). Endokrinologi Veteriner. Yogyakarta: UGM Press.

Bjelobaba, I., Janjic, M. M. & Stojilkovic, S. S. (2015). Purinergic signaling


pathways in endocrine system. Auton Neurosci: Basic and Clinical, 191,
102-116. https://doi.org/10.1016/j.autneu.2015.04.010

Gadissa, S. & Devi, L.P. (2013). Evaluation of spawning induction of african


catfish (Clarias gariepinus) by heteroplastic hypophysation.
International Journal of Fisheries and Aquatic Studies, 1(1), 22-25.

Isnaeni, Wiwi. (2006). Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius. 137 hlm.

Johnstone, C., Hendry, C., Farley, A. & McLafferty, E. 2014. Endocrine


system: Part 1. Journal of Medical Sciences-Nurses and Nursing,
28(38), 42-49. https://doi.org/10.7748/ns.28.38.42.e7471

Kime, D. E. (1998). Endocrine Disruption in Fish. New Delhi: Kluwer Academic


Publisher. 383 p.

Komala, S. N., & Febrianti, P. (2022). Biology Notes: Fisiologi Hewan (Vol. 1).
Zahira Media Publisher.

Lestari, T. P., Sudrajat, A. O. & Budiardi, T. (2016). Kombinasi penambahan


suplemen spirulina Spirulina platensis dan kunyit Curcuma longa dalam
pakan dan induksi hormonal untuk meningkatkan kinerja reproduksi
ikan tengadak Barbonymus schwanenfeldii (Bleeker, 1854). Jurnal
Iktiologi Indonesia, 16(3), 299-308.

Manurung, N. (2017). Asuhan Keperawatan Sistem Endokrin Dilengkapi Mind


Mapping dan Asuhan Keperawatan Nanda Nic Noc. Yogyakarta:
Deepublish. 351 hlm.

Mohammadzadeh, S., Ouraji, H., Hasantabar, F. & Khalesi, M. K. 2014. Growth


performance and thyroid hormones of Caspian kutum, Rutilus frissi,
juveniles in response to dietary carbohydrate levels. Int Aquat Res, 6,
1–6. https://doi.org/10.1007/s40071-014-0066-6

Rachdaoui, N. & Sarkar, D. K. (2013). Effects of alcohol on the endocrine


system. Endocrinol Metab Clin North Am, 42(3), 593–615.
https://doi.org/10.1016/j.ecl.2013.05.008
Rumondang, A., Risjani, Y. & Fadjar, M. (2015). The introduction of pituitary
gland extract of crab-eater frog (Fejervarya cancrivora) to accelerate
ovulation of eggs and spawning of common carp (Cyprinus carpio).
Journal of Life Science and Biomedicine, 5(5), 153-158.

Sato, M., Morita, T., Katayama, N. & Yoshizaki, G. (2014). Production of


genetically diversified fish seeds using spermatogonial transplantation.
Aquaculture, 422, 218-224.

Surnar, S. R., Kamble, A. D., Walse, N. S., Sharma, O. P. & Saini, V. P. (2015).
Hormone administration with induced spawning of Indian major carp.
International Journal of Fisheries, 3(1), 1–4.

Usman, I., Auta, J., Akpai, S. & Abdullahi. (2015). Effect of monthly variation in
water temperature on artificial breeding of common carp (Cyprinus
carpio L.) in Zaria, Nigeria. International Journal of Fisheries and
Aquatic Studies, 3(2), 353-356.

Yadav, M. 2008. Animal Endocrinology. New Delhi: Discovery Publishing


House. 369 p.
BUKU KERJA PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

PENGAMATAN GONAD DAN TELUR

NAMA :

NIM :

KELOMPOK :

NAMA ASISTEN :

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2023
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan

dalam usaha budidaya ikan. Jenis kelamin ikan erat kaitannya dengan faktor-

faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi keberhasilan usaha

budidaya ikan. Pengetahuan mengenai jenis kelamin ikan sangat penting, hal itu

dikarenakan dapat memberikan informasi tentang waktu ikan akan memijah

berdasarkan Tingkat Kematangan Gonadnya (Atang, et al., 2015).

Tingkat kematangan gonad ikan dapat digunakan sebagai penduga

status reproduksi ikan, umur dan ukuran ikan pada saat pertama kali matang

gonad dan proporsi produktivitas ikan dalam bereproduksi (Dahlan, et al., 2015).

Oleh karena itu, perlu dilakukan pengamatan gonad pada ikan jantan maupun

betina untuk mengetahui ikan tersebut siap memijah serta mengetahui status

reproduksi ikan, sehingga ikan tersebut dapat mempertahankan spesiesnya.

Berdasarkan penelitian Pulungan (2015), diperoleh fakta bahwa

pengamatan atau seleksi terhadap jenis kelamin ikan dapat dilakukan dengan

beberapa cara antara lain melihat morfologi alat kelamin ikan (ciri primer) dan

melihat ciri-ciri sekunder ikan seperti morfologi tubuh ikan (dimorfisme) dan

warna ikan (dikromatisme). Kedua pengamatan tersebut memiliki kelemahan,

yaitu pengamatan berdasarkan ciri seks primer akan mengalami kesulitan

apabila ukuran ikan masih kecil karena alat kelamin ikan belum tampak jelas.

Kelemahan pada pengamatan ciri seks sekunder yaitu seringkali terkecoh

dengan ciri-ciri sekunder pada ikan. Ikan yang tampak berkelamin jantan dapat

memiliki jenis kelamin betina ataupun hermaprodit (berjenis kelamin ganda) dan

sebaliknya. Cara lain yang dipandang sebagai cara terbaik dan tepat untuk
mengidentifikasi jenis kelamin ikan, yaitu dengan metode pewarnaan dan

pengamatan gonad ikan secara langsung.

Pengamatan gonad ikan dapat dilakukan berdasarkan morfologi

gonadnya maupun anatomi gonadnya. Berdasarkan penelitian Elrifadah dan

Rimalia (2013), diperoleh fakta bahwa pengamatan gonad secara morfologi yang

dilakukan meliputi pengamatan bentuk, warna, besar kecilnya ukuran gonad,

serta jelas tidaknya warna dan bentuk telur yang dikandung. Manfaat

pengamatan gonad yaitu untuk mengetahui tingkat kematangan gonad yang

dapat digunakan dalam proses pemijahan.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh

lingkungan terhadap gonad ikan.

Tujuan dari pada praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa)

mengetahui bagaimana reaksi ikan terhadap kondisi lingkungan untuk

pengamatan gonad serta mengetahui karakteristik ikan jantan dan ikan

betina melalui pengamatan gonad.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Pengamatan Gonad dan

Telur dilaksanakan pada hari 2023 di Laboratorium Reproduksi dan melalui

video conference Google Meet.


2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Gonad dan Gamet

Gonad merupakan alat kelamin yang dimiliki oleh setiap individu jantan

maupun betina. Gonad pada individu jantan berupa testis, sedangkan pada

individu betina berupa ovarium. Gamet adalah sel jenis kelamin yang berisi satu

set (haploid) dihasilkan oleh gonad pada individu jantan maupun betina. Gamet

yang dihasilkan oleh individu jantan adalah sperma sedangkan pada individu

betina berupa sel telur (Kurniawan, et al. 2013).

2.1.1 Testis

Testis adalah organ reproduksi pada ikan jantan. Bentuk testis ini terdiri

dari sel germinal dalam berbagai tahap diferensiasi yang mengalami beberapa

proses pembelahan sampai terjadi proses pelepasan spermatozoa. Kondisi sel-

sel tersebut sangat penting untuk pengembangan generasi berikutnya dan

mempengaruhi keturunan. Organ ini secara langsung mempengaruhi proses

reproduksi seperti pada proses spermatogenesis (Vergilio, et al., 2015).

Testis merupakan organ reproduksi jantan yang terdiri atas sepasang

organ memanjang dan terletak pada dinding dorsal. Testis adalah gonad jantan

yang merupakan ciri seksual primer. Organ testis pada kebanyakan ikan

teleostei berupa sepasang organ yang terletak di rongga tubuh, namun pada

sebagian spesies, pasangan testis menyatu menjadi satu organ. Testis pada

beberapa ikan ditutupi oleh selaput tipis yang bening (Lisna, 2016).
2.1.2 Ovarium

Ovarium adalah sistem reproduksi pada ikan betina. Ovarium memiliki

beberapa fungsi utama. Ovarium berfungsi untuk mensintesis estrogen. Estrogen

merupakan hormon yang dihasilkan oleh ovarium. Fungsi utama ovarium lainnya

yaitu sebagai tempat terjadinya oogenesis. Oogenesis adalah proses

pembentukan sel telur. Ovarium pada ikan juga berperan sebagai organ

reproduksi sel telur (Fan et al., 2014).

2.2 Ciri-Ciri Seks pada Ikan


2.2.1 Ciri Seks Primer

Penentuan seksual dari ikan dapat diamati dengan melihat ciri seksual

primer yang dimiliki oleh ikan tersebut. Ikan jantan memiliki ciri seksual primer

berupa adanya sepasang testis memanjang, sedangkan ikan betina memiliki ciri

seksual primer ditandai dengan adanya sepasang ovarium yang memanjang di

bagian atas rongga tubuh. Ciri seksualitas primer diamati dengan cara melihat

perbedaan gonad antara ikan jantan dan betina (Wagiu et al., 2023).

2.2.2 Ciri Seks Sekunder

Berdasarkan penelitian Santoso (1993), diperoleh fakta bahwa ciri-ciri

seksual pada ikan dapat dilihat dari ciri luar yang ada di tubuhnya, berikut ini

perbedaan antara ciri-ciri seksual sekunder ikan mas jantan dan betina:

a. Ikan Jantan

1. Rahang bawah lebih sempit

2. Kepala lebih runcing

3. Warna menarik (mencolok)

4. 2 lubang genital (feses – urin + sperma) lebih menonjol

5. Gerakan lebih lincah


b. Ikan Betina

1. Rahang bawah lebih lebar

2. Kepala bulat

3. Warna kurang menarik (lebih pucat)

4. 3 lubang urogenital (feses – telur – urin)

5. Gerakan lebih lambat.

Ikan wader dikenal dengan ciri garis belang warna hitam memanjang

dari ujung operkulum hingga pangkal sirip ekor dengan tepi sirip ekor wader

berwarna kehitaman. Posisi mulutnya berada di ujung dengan ukuran agak kecil.

Ikan wader memiliki bonggol yang bersambung dengan tulang penyusun rahang

bawah (As' ari et al., 2023).

2.3 Spermatogenesis

Murtidjo (2001), melaporkan bahwa spermatogenesis merupakan

proses pembentukan sperma pada individu jantan. Testis pada ikan terdiri dari

sepasang, ada yang sama panjang dan ada pula yang satu lebih pendek dari

yang lainnya. Struktur testis terdiri atas rongga-rongga yang tidak teratur dan

banyak sekali. Sekitar dinding rongga terdapat sel spermatogenin yang akan

berkembang menjadi spermatozoa melalui proses spermatogenesis. Proses

spermatogenesis diawali dengan membelahnya spermatogonium secara mitosis

berkali-kali sampai menjadi spermatosit I, II dan berlanjut menjadi spermatid.

Spermatid akan mengalami perubahan bentuk menjadi gamet yang dapat

bergerak aktif yang disebut spermatozoa. Proses pembentukan spermatid

menjadi spermatozoa dinamakan spermiogenesis.

Bertha, et al. (2016), melaporkan bahwa spermatogenesis merupakan

proses pembentukan sperma yang terjadi dalam tubulus seminiferus yang

terdapat di dalam testis hewan vertebrata. Secara anatomi, terdapat lima


tingkatan perkembangan sperma pada ikan antara lain spermatogonia,

spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid dan spermatozoa. Proses

spermatogenesis dipengaruhi oleh hormon LH dan testosteron. Hormon

testosteron penting untuk mengontrol sifat-sifat seks sekunder dan aktivitas

kelenjar reproduksi. Testosteron tidak disimpan dalam tubuh tetapi segera

dipecah menjadi androgen yang relatif inaktif dan diekskresikan keluar tubuh

melalui urin dan feses.

2.4 Oogenesis

Isnaeni (2006), melaporkan bahwa oogenesis adalah proses

pembentukan ovum yang terjadi didalam ovarium. Proses ini ditandai dengan

perubahan oogonium menjadi oosit yang akan mengalami pematangan sehingga

menjadi ovum yang siap dibuahi. Selama perkembangan oosit, terjadi proses

pembentukan kuning telur atau vitellus melalui proses vitelogenesis. Semakin

banyak timbunan kuning telur, maka oosit akan semakin membesar. Oosit

mengalami pembelahan meiosis pada fase akhir oogenesis. Proses ini

menghasilkan ovum haploid yaitu ovum yang memiliki kromosom setengah dari

jumlah kromosom sel induk. Proses meiosis tidak berlangsung hingga tuntas

dan berhenti pada meiosis tahap pertama. Penyelesaian pembelahan meiosis

akan terjadi jika ada rangsangan yaitu masuknya sperma ke ovum. Pembelahan

meiosis tahap dua akan berlangsung saat inti sperma bertemu dengan inti

ovum. Hasil akhir dari tahapan oogenesis yaitu ovum haploid yang siap dibuahi.

Proses oogenesis pada ikan dapat dibedakan menjadi empat tahap

perkembangan. Tahap I yaitu perkembangan struktur seluler dasar meliputi

perbesaran nukleus, pembentukan nukleoli dan organel subseluler seperti

cortical alveoli yang memegang peranan penting dalam fertilisasi. Daerah

sekeliling oosit berkembang dua lapisan sel yaitu sel theca dan sel granulosa
yang berperan dalam produksi hormon steroid ovarium. Tahap perkembangan

II, berupa vitelogenesis yang melibatkan interaksi antara hipofisis anterior, sel-sel

folikel, hepar dan oosit (Zahri et al., 2021).

2.5 Fase Perkembangan Telur

Perkembangan telur ikan menurut Suriansyah (2020), fase

perkembangan telur pada ikan dapat dibagi dalam tiga fase. Fase pertama

disebut central (CGV) di mana posisi inti sel telur berada di tengah. Fase

selanjutnya disebut fase migration (MGV) di mana posisi inti sel telur bermigrasi

dari tengah ke tepi. Inti sel telur berada di tepi sering sebut dengan posisi

peripheral. Fase terakhir dalam perkembangan telur adalah germinal vesicle

breakdown (GVBD) di mana posisi inti sel telur telah melebur dan telur siap

ovulasi.

2.6 Urutan Tingkat Kematangan Gonad

Bagenal dan Braum (1968), melaporkan bahwa Tingkat Kematangan

Gonad pada ikan betina menurut Kasteven adalah sebagai berikut:

1. Dara, organ seksual sangat kecil berdekatan di bawah tulang

punggung. Testis dan ovarium transparan, dari tidak berwarna sampai

abu-abu. Telur tidak terlihat dengan mata biasa.

2. Dara berkembang, testis dan ovarium jernih, abu-abu merah.

Panjangnya setengah atau lebih sedikit dari panjang rongga bawah.

Telur satu persatu dapat dilihat dengan kaca pembesar.

3. Perkembangan I, testis dan ovarium bentuknya bulat telur serta

berwarna kemerah-merahan dengan pembuluh kapiler. Gonad mengisi

kira-kira setengah ruang ke bagian bawah. Telur dapat dilihat seperti

serbuk putih.
4. Perkembangan II, testis berwarna putih kemerah-merahan. Tidak ada

sperma kalau bagian perut ditekan. Ovarium berwarna kemerah-

merahan. Telur jelas dapat dibedakan, bentuknya bulat telur. Ovarium

mengisi kira- kira dua pertiga ruang bawah.

5. Bunting, organ seksual mengisi ruang bawah. Testis berwarna putih

dan keluar tetesan sperma kalau ditekan perutnya. Telur bentuknya

bulat, beberapa ada yang jernih dan masak.

6. Mijah, telur dan sperma keluar dengan sediki tekanan di perut.

Kebanyakan telur berwarna jernih dengan beberapa yang berbentuk

bulat telur tinggal didalam ovarium.

7. Mijah-Salin, gonad masih terisi sebagian. Tidak ada telur yang bulat

telur.

8. Salin, testis dan ovarium kosong dan berwarna merah. Beberapa telur

sedang ada dalam keadaan dihisap kembali.

9. Pulih salin, testis dan ovarium berwarna jernih, abu-abu sampai merah.

Bagenal dan Braum (1968) melaporkan bahwa Tingkat Kematangan

Gonad ikan jantan menurut Kesteven adalah sebagai berikut:

1. TKG I, tekstur testis halus, warna transparan dan tidak ada cairan

yang keluar.

2. TKG II, testis licin, rata dan lunak, warna putih kemerahan dan tidak

ada cairan yang keluar.

3. TKG III, testis padat dan bergelombang, berwarna putih susu dan

tidak ada cairan yang keluar

4. TKG IV, testis padat, rata dan licin, berwarna putih buram, dan

cairan sperma keluar.


2.7 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kematangan Gonad

Berdasarkan penelitian Sukendi, et al. (2013), didapatkan fakta bahwa

faktor yang mempengaruhi kecepatan kematangan gonad ikan adalah pakan

yang diberikan selama pematangan tersebut. Bahan dasar dalam pembentukan

sel telur dan sel sperma tersebut berasal dari hasil metabolisme pakan yang

diberikan, terutama pada ikan betina. Proses pematangan gonad terdiri dari

karbohidrat, lemak dan protein. Pemberian pakan yang mengandung protein

tinggi biasanya diberikan oleh para pembudidaya untuk mempercepat

kematangan gonad pada induk.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi kematangan gonad yaitu seperti

suhu, fotoperiod, dan salinitas dapat dimanipulasi, namun faktor tersebut

membutuhkan biaya yang cukup mahal dan terkadang tidak efisien. Beberapa

faktor lingkungan yang mempengaruhi tingkat kematangan gonad lainnya seperti

migrasi pemijahan, kedalaman dan tekanan air tidak mungkin disimulasikan

untuk menstimulasi aktivitas reproduksi ikan. Faktor lain yang mempengaruhi

kematangan gonad pada ikan adalah hormon. Salah satu hormon yang umum

digunakan untuk mempercepat pematangan gonad pada beberapa jenis ikan

adalah hormon Pregnant Mare Serum Gonadothropine (PMSG). Hormon PMSG

memiliki sifat aktivitas biologis ganda seperti hormon gonadotropin (GtH) yang

merangsang Follicle Stimulating Hormone (FSH) dalam proses perkembangan

gonad (vitelogenesis) dan luteinizing hormone (LH) yang berperan pada proses

pematangan akhir gonad (Nur, et al. 2017).

2.8 Gonado Index (GI) dan Gonado Somatic Index (GSI)

Alamsyah et al. (2013), melaporkan bahwa Gonado Index (GI) dapat

diperoleh dari perbandingan antara berat gonad (Wg) dengan pangkat tiga
panjang total tubuh ikan (TL) dikali sepuluh pangkat tujuh. Atau dengan

rumus berikut ini yaitu:

𝑊𝑔
𝐺𝑜𝑛𝑎𝑑𝑜 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑥 (𝐺𝐼) = × 107
𝐿3
Keterangan:

GI = Gonado Index

Wg = berat gonad

TL = total panjang tubuh ikan

107 = koefisien satuan dalam mm

Gonado Somatic Index (GSI) untuk mengetahui indeks

kematangan gonad seekor ikan dapat dicari dengan membandingkan antara

berat gonad (Wg) dengan berat total ikan (Wt) tersebut. GSI dapat dihitung

dengan rumus:

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐺𝑜𝑛𝑎𝑑 (𝑊𝑔)


𝐺𝑜𝑛𝑎𝑑𝑜 𝑆𝑜𝑚𝑎𝑡𝑖𝑐 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑥 = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑇𝑢𝑏𝑢ℎ 𝐼𝑘𝑎𝑛 (𝑊𝑡)

2.9 Rekayasa Lingkungan

Ikan menurut Iskandar, et al. (2022), merupakan spesies hewan yang

cukup rentan terhadap perubahan kualitas lingkungan. Cara yang dapat

dilakukan untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas telur yang baik adalah

dengan perangsangan pematangan gonad. Kualitas telur dan sperma induk

dapat ditingkatkan melalui pemberian nutrisi yang berkualitas pada pakan, salah

satunya adalah kandungan protein yang terdapat pada pakan ikan. Penyuntikan

hormone GnRH (Gonadothropin Releasing Hormone) juga dapat dilakukan untuk

mempercepat tingkat kematangan gonad. Curah hujan yang tinggi diduga dapat

mempengaruhi rendahnya radiasi matahari, suhu perairan dan salinitas dimana


ketiga parameter tersebut berpengaruh terhadap respon kematangan dan

pemijahan ikan

Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan rata-rata dan menentukan waktu penetasan serta berpengaruh

langsung pada proses perkembangan embrio dan larva. Perkembangan embrio

dan larva merupakan hal yang harus diperhatikan, hal ini berkaitan dengan

kualitas dan kuantitas benih yang dihasilkan. Suhu tinggi atau rendah pada

proses pembuahan ikan akan dapat mengakibatkan telur tidak terbuahi

serta dapat menyebabkan kematian (Andriyanto, et al., 2013).


3. METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsi

Alat-alat yang digunakan pada Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Pengamatan Gonad dan Telur adalah sebagai berikut:

 Sectio set :

 Kalkulator :

 Bak :

 Timbangan OZ :

 Pipet tetes :

 Nampan :

 Talenan :

 Pisau :

 Lap Basah :

 Kamera digital :

 Penggaris :

 Seser :

 Timbangan analitik :

3.1.2 Bahan dan Fungsi

Bahan-bahan yang digunakan pada Praktikum Fisiologi Hewan

Akuakultur materi Pengamatan Gonad dan Telur adalah sebagai berikut:

 Ikan wader

(B. binotatus) betina :


 Gonad :

 Akuades :

 Na-fisiologis :

 Ovaprim :

 Kertas saring :

 Kertas label :

 Air tawar :

 Trash bag :

 Tisu :
3.2 Skema Kerja

Akuarium

- Dibersihkan dan dicuci


- Dipasang aerator set, heater dan trash bag sesuai perlakuan
- Diisi air ¾

Ikan Wader (Barbodes binotatus)

- Dimasukkan sepasang (jantan dan betina) kedalam akuarium


- Dipelihara selama 1 minggu sesuai perlakuan masing-masing
 1= hangat; disuntik dengan ovaprim
 2= hangat; tanpa disuntik dengan ovaprim
 3= dingin; disuntik dengan ovaprim
 4= dingin; tanpa disuntik dengan ovaprim
 5= kontrol
- Disuntik ovaprim pada hari ke-6 sesuai perlakuan
- Diukur panjang tubuh dan ditimbang berat tubuh
- Dibedah dan diamati gonadnya (letak, TKG dan warna)

Kertas saring

- Ditimbang beratnya
Gonad

- Diletakkan diatas kertas saring


- Ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 10-3
- Dihitung dengan rumus GI dan GSI

𝑊𝑔 × 100% 𝑊𝑔 × 107
𝐺𝑆𝐼 = 𝐺𝐼 =
𝑊𝑡
𝐿3
Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil

4.2 Faktor Koreksi

4.3 Manfaat di Bidang Perikanan


5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, A. S., Sara, L. & Mustafa, A. (2013). Studi biologi reproduksi ikan
kerapu sunu (Plectropomus areolatus) pada musim tangkap. Jurnal
Mina Laut Indonesia, 1(1), 73-83.

Andriyanto, W., Slamet, B. & Ariawan, I. M. D. J. (2013). Perkembangan embrio


dan rasio penetasan telur ikan kerapu raja sunu (Plectropoma laevis)
pada suhu media berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis,
5(1), 192-207. https://doi.org/10.28930/jitkt.v5i1.7766

As' ari, H., Kholisah, S., Syukrya, V., Imamah, N., & Agustin, E. (2023).
Identifikasi karakteritik penebalan dan jarak antar-circuli pada sisik ikan
wader bitik (Barbodes binotatus). Biosfer: Jurnal Biologi dan Pendidikan
Biologi, 8(1), 6-13.

Atang, S. Suryaningsih & Abulais, M. N. (2015). Penentuan jenis kelamin benih


ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata Blkr.) dengan teknik truss
morphometrics. Biosfera, 32(1), 29-34.
https://doi.org/10.20884/1.mib.2015.32.1.292

Azrianto, R. M., Fitri A. D. P. & Jayanto, B. B. (2018). Pengaruh aklimatisasi


kadar garam terhadap nilai kematian dan respon pergerakan ikan
wader (Rasbora Argyrotaenia) untuk umpan hidup ikan cakalang.
Journal Of Fisheries Resources Utilization Management And
Technology, 7(2), 43- 51.

Bagenal, T. B. & Braum,E. (1968). Eggs and Early Life History. in: Ricker, W. E.
(Ed.). Methods for Assessment of Fish Production in Freshwater.
Oxford: Blackwell Scientific Publication.

Bertha, P. D., Junior, M. Z. & Soelistyowati, D. T. (2016). Spermatogenesis ikan


lele Clarias sp. Jantan yang diberi pakan mengandung ekstrak
purwoceng. Jurnal akuakultur Indonesia, 15(1), 49-55.
https://doi.org/10.19027/1/7

Dahlan, M. A., Omar, S. B.A., Tresnati, J., Nur, M. & Umar, M. T. (2015).
Beberapa aspek produksi ikan layang deles (Decapterus macrosoma,
BLEEKER, 1841) yang tertangkap dengan bagan perahu di perairan
kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Jurnal IPTEKS PSP, 2(3), 218-227.

Elrifadah & Rimalia, A. (2013). Aspek reproduksi ikan Seluang (Rasbora Spp.)
yang tertangkap di perairan sungai Batang kabupaten Banjar
Kalimantan Selatan. Media Sains, 5(1), 1-6.

Fan, Z., You, F., Wang, L., Weng, S., Wu, Z., Hu, J., Zou, J., Tan, X. & Zhang, P.
(2014). Gonadal transcriptome analysis of male and female olive
flounder (Paralichthys olivaceus). BioMed Research International. 2014,
1-10. https://doi.org/10.1155/2014/291067
Iskandar, A., Mulya, M. A., Rifqi, A. T., Putro, D. H., & Rifaie, A. R. (2022).
Manajemen pembenihan ikan kerapu bebek (Chromileptes Altivelis)
untuk menghasilkan benih yang optimal. Barakuda 45: Jurnal Ilmu
Perikanan dan Kelautan, 4(1), 31-51.

Isnaeni, W. (2006). Fisiologi Hewan. Kanisius: Yogyakarta.137 hlm.

Kurniawan, I. Y., Basuki, F., & Susilowati, T. (2013). Penambahan air kelapa dan
gliserol pada penyimpanan sperma terhadap motilitas dan fertilitas
spermatozoa ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Journal of Aquaculture
Management and Technology, 2(1), 51-65.

Lisna. (2016). Aspek biologi reproduksi ikan tambakan (Helostoma temminckii) di


perairan umum Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi.
Biospecies, 9(1), 15-22.

Murtidjo, B. A. (2001). Beberapa Metode Pembenihan Ikan Air Tawar.


Yogyakarta: Kanisius.

Nur, B., Cindelaras, S. & Meilisza, N. (2017). Induksi pematangan gonad ikan
gurami cokelat (Sphaerichthys osphromenoides canestrini, 1860)
menggunakan pregnant mare serum gonadotropin dan antidopamin.
Jurnal Riset Akuakultur, 12(1), 69-76.

Pulungan, C. P. (2015). Nisbah kelamin dan kemontokan ikan Tabingal


(Puntioplites bulu, Blkr) dari sungai Siak, Riau. Jurnal Perikanan dan
Kelautan, 20(1), 12-20.

Santoso, B. (1993). Petunjuk Praktis Budidaya Ikan Mas. Yogyakarta: Kanisius.

Sukendi, R., Putra, M. & Asiah, N. (2013). Pematangan gonad calon induk ikan
sepat mutiara (Trichogaster leeri Blkr) dalam keramba dengan padat
tebar berbeda. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 18(1), 71–82.

Suriansyah, S. (2020). Efektivitas ekstrak kelenjar hipofisa ikan mas (Cyprinus


carpio L) terhadap pamatangan gonad akhir ikan betok (Anabas
testudineus Bloch). Jurnal Ilmu Hewani Tropika, 9(2), 54-60.

Vergilio, C. S., Moreira, R. V., Carvalho, C. E. V. & Melo, E. J. T. (2015).


Evolution of cadmium effect in the testis and sperm of the tropical fish
Gymnotus carapo. Tisssue and Cell, 47, 132-139.

Wagiu, Y. R., Rondonuwu, A. B., Bataragoa, N. E., Manginsela, F. B., & Manu,
G. D. (2023). Preliminary study of reproduction of Dolphinfish
(Coryphaena hippurus Linnaeus), 1758 which exploited in the Maluku
Sea, Eastern of North Sulawesi. Jurnal Ilmiah PLATAX, 11(2), 402-410.

Zahri, A., & Tjoanda, M. (2021). Oogenesis pada sidat (Anguilla bicolor bicolor
Mc Clelland) hasil feminisasi kombinasi HCG, MT dan anti dopamin.
Jurnal Ruaya: Jurnal Penelitian dan Kajian Ilmu Perikanan dan
Kelautan, 9(2).

Anda mungkin juga menyukai