Anda di halaman 1dari 9

Ambivalensi dalam Cerpen Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?

Karya Ahmad Tohari: Kajian


Poskolonialisme

Akhmad Rizqi Turama


Universitas Sriwijaya
a.rizqiturama@gmail.com

Abstrak
Masalah dalam riset ini adalah bagaimana ambivalensi yang ada dalam perlawanan atau wacana
tandingan dari masyarakat terjajah pada cerpen Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta? karya Ahmad Tohari.
Objek material dipilih berdasarkan purposive sampling. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori
poskolonialisme. Salah satu kemungkinan pilihan perhatian dalam teori poskolonial adalah respons
perlawanan dari masyarakat terjajah terhadap penjajahan itu, tanpa menghilangkan perhatian pada
kemungkinan adanya ambiguitas atau ambivalensi. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif.
Bentuk data berupa kata, frasa, dan kalimat yang ada di dalam cerpen. Langkah riset meliputi tiga hal, yaitu:
mengidentifikasi representasi penjajah dan terjajah pada cerpen, mengidentifikasi bentuk-bentuk
perlawanan yang dilakukan, dan menjelaskan ambivalensi dalam perlawanan-perlawanan tersebut.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ada tiga upaya perlawanan dari representasi pihak terjajah.
Pertama, mereka tak bersedia memakan makanan sisa yang dihasilkan kaum representasi penjajah. Kedua,
mereka menolak menjadi bahan tontonan kaum penjajah. Ketiga, tokoh Ayah tidak mengizinkan anaknya
kencing di dekat emak, tapi boleh di mana saja di Jakarta (tempat para penjajah). Perlawanan pertama
menjadi ambivalen karena pihak terjajah menolak memakan makanan sisa pemberian barat, tapi mereka
memakan makanan yang diproduksi oleh kaum penjajah dengan perasaan senang. Perlawanan kedua
menjadi ambigu sebab pihak terjajah menolak menjadi tontonan, namun saat menonton para penjajah,
mereka justru meniru kelakuan penjajah tersebut. Ketiga, tokoh Emak bagaimanapun juga berada di Jakarta
dan selalu di dekat anaknya. Artinya, selama mengotori tempat para penjajah itu, sang anak juga mengotori
tempat mereka sendiri tinggal.

Kata kunci: Poskolonial, Perlawanan, Ambivalensi.

Pendahuluan doxa, sebuah kondisi ketika seseorang atau instansi


Diakui atau tidak, cerpen-cerpen yang
telah mengakumulasi modal yang ia miliki sehingga
dimuat di harian Kompas seolah menjadi
ia tidak dipertanyakan lagi, diterima begitu saja.
barometer cerpen di Indonesia untuk setidaknya
Dengan demikian, ia juga memiliki kekuasaan
sepuluh tahun belakangan. Meskipun tentu saja
untuk memberikan pengakuan terhadap orang-
tidak sepenuhnya benar, cerpen-cerpen yang
orang atau instansi-instansi tertentu.
dimuat di harian tersebut menjadi standar kualitas
Dalam kaitannya dengan modal, seorang
cerpen Indonesia. Bahkan, beberapa pendapat
penulis cerpen yang karyanya dimuat di Kompas
yang beredar mengatakan bahwa seorang penulis
mendapatkan beberapa modal sekaligus. Modal
cerpen baru diakui kepenulisannya jika karyanya
ekonomis, berupa honor dari harian Kompas
tampil dan dimuat di harian Kompas. Dalam
adalah yang terbesar di Indonesia jika dibandingkan
perspektif Bourdieu (Mahar dkk dalam Takwin,
dengan honor dari media-media lain. Modal
2009: 32), Kompas bisa disebut telah memperoleh
simbolik, berupa pengakuan sebagai seorang
penulis. Modal simbolik mungkin merupakan yang Sementara, penulis yang karyanya terpilih menjadi
paling dominan didapatkan karena beberapa hal. judul buku mendapatkan modal simbolik yang
Pertama, seleksi yang ketat. Dinyatakan oleh Putu lebih besar lagi.
Fajar Arcana, redaktur cerpen Kompas, bahwa Berdasarkan penjelasan tersebut, maka
dalam satu minggu jumlah cerpen yang masuk ke pendapat yang mengungkapkan bahwa cerpen
meja redaksi rata-rata di atas seratus cerpen. Kompas sebagai cerminan standar cerita pendek
Sementara yang dimuat hanya satu. Jika ditotal, Indonesia tidaklah terlalu salah. Oleh sebab itu,
dalam satu tahun jumlah cerpen yang masuk bisa mencermati fenomena-fenomena yang terjadi
mencapai seribu, namun yang dimuat maksimal dalam cerpen-cerpen pilihan Kompas termasuk
hanya 54 cerpen. Persaingan yang begitu ketat dalam kegiatan mencermati fenomena sastra di
membuat cerpen yang terpilih dianggap istimewa. Indonesia. Dalam riset yang dilakukan kali ini
Kedua, persebaran surat kabar. Sebagaimana objek yang diteliti adalah pemenang cerpen pilihan
diketahui, harian Kompas merupakan harian Kompas dari edisi yang terakhir, yaitu tahun 2015.
nasional dengan oplah tertinggi di Indonesia. Adapun cerpen tersebut berjudul Anak Ini Mau
Distribusi harian ini juga cukup luas dan merata ke Mengencingi Jakarta? karya Ahmad Tohari.
sepenjuru nusantara, sehingga apapun yang tertuang Pemilihan cerpen tersebut bukan hanya
di dalamnya menjadi sesuatu yang bersifat nasional karena cerpen tersebut adalah cerpen terkini dalam
Ketiga, adanya buku cerpen pilihan Kompas. edisi pilihan Kompas, tapi juga karena muatannya
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, cerpen- yang sarat dengan tendensi poskolonialisme.
cerpen yang dimuat di harian Kompas telah Tendensi tersebut dapat dibuktikan dengan
melewati seleksi dan persaingan yang ketat, namun munculnya kata “merdeka” sebanyak tiga kali
redaksi Kompas masih menyeleksi lagi cerpen- dalam cerpen ini, masing-masing satu kali di bagian
cerpen tersebut untuk dibukukan. Dalam seleksi awal, tengah, dan akhir. Pengulangan kata
lanjutan ini, biasanya redaksi Kompas membentuk “merdeka” menunjukkan bahwa kata itu adalah
satu tim independen untuk melakukan penilaian. sesuatu yang penting. Namun, penggunaan kata
Tim tersebutlah yang kemudian menentukan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa ada pihak
cerpen-cerpen yang terpilih untuk masuk dalam yang membutuhkan pengakuan bahwa mereka
antologi bertajuk Cerpen Pilihan Kompas yang merdeka, bebas. Pihak yang dimaksud adalah
pertama kali muncul pada tahun 1992. Di antara 15 ketiga tokoh yang menjadi sorotan di dalam cerpen.
sampai 25 cerpen terpilih, akan dipilih lagi satu Selain itu, ketika membaca cerpen tersebut juga
cerpen terbaik yang kemudian menjadi judul buku. terlihat adanya penggambaran ketiga tokoh sebagai
Penulis-penulis yang karyanya masuk dalam buku sesuatu yang unik, yang belum terjamah,
ini mendapatkan modal simbolik yang relatif sangat sebagaimana timur jauh dalam kaca mata
besar karena dicap sebagai pilihan atas pilihan. poskolonial. Dengan kata lain, orang-orang di
dalam kereta, atau selain yang di pinggir rel menjadi mereka. Munculnya anggapan bahwa barat superior
representasi barat. dan timur inferior.
Dalam kaitannya dengan poskolonialisme, Rasa rendah diri akibat pengalaman masa
sastra Indonesia termasuk dalam wilayah kajian lalu sebagai terjajah merupakan salah satu yang
yang relevan. Pengalaman dijajah selama lebih dari ingin diungkap dan dibongkaar oleh
tiga ratus lima puluh tahun memberikan bekas yang pascakolonialisme. Sudut pandang pascakolonial
masih tampak dalam budaya Indonesia, termasuk yang demikian sejalan dengan pascastrukturalisme.
karya-karya sastranya yang juga melingkupi cerpen. Upstone melihat pandangan pascastruktural sesuai
Sebagaimana diungkapkan oleh Faruk (2007:15) untuk melihat keberadaan elemen-elemen masa
bahwa salah satu pendekatan yang dapat digunakan lalu. Pascastruktural menawarkan pandangan
dalam poskolonialisme adalah mencari tahu tentang ketidakstabilan makna, ketidakmungkinan
bentuk-bentuk perlawanan atau kemunculan petanda yang stabil, serta melihat jejak-jejak dari
wacana tandingan dari pihak terjajah tanpa yang pernah hadir, dan mempertanyakan apa yang
melupakan adanya kemungkinan ambiguitas atau selalu dianggap sudah jelas (Upstone, 2009: 7).
ambivalensi dalam perlawanan tersebut. Dengan Dengan demikian, pascakolonial yang mencoba
demikian, titik fokus artikel ini adalah wacana- membongkar inferioritas timur terhadap dapat
wacana tandingan dari pihak terjajah beserta dikatakan sejalan dengan pascastruktural yang
ambivanlensinya yang terdapat dalam cerpen Anak mempertanyakan petanda yang stabil.
Ini Mau Mengencingi Jakarta? karya Ahmad Dalam upaya mengungkap dan mebongkar
Tohari. sisa-sisa kolonial yang masih terdapat setelah bangsa
Landasan Teori terjajah merdeka, perlu disadari pentingnya
Berakhirnya penjajahan ternyata masih keberadaan ruang. Ruang bersifat lebih cair dan
menyisakan berbagai tradisi yang dikenal dengan chaotic/kacau dalam imaji pascakolonial (Upstone,
istilah hegemoni kultural (Ratna, 2007:219). 2009: 11). Lebih lanjut, Upstone menawarkan
Kekuasaan penjajah atas pikiran, perasaan, sikap, gagasan bahwa dengan merebut kembali kecairan
dan perilaku masyarakat terjajah lebih kuat dan ruang yang telah ditolak oleh konsep kolonial
berlangsung lebih lama daripada kekuasaannya atas dalam gagasan ruang berbatasnya, dan dengan
wilayah geografis masyarakat terjajah. Kondisi itu memberi lokasi-lokasi fungsi-fungsi politis, penulis-
terus berlangsung, bahkan ketika penjajah penulis pascakolonial menciptakan ruang sebagai
melepaskan kekuasaannya atas wilayah geografis tempat berbagai kemungkinan dan resistensi
tersebut (Faruk, 2007:16). Salah satu akibat yang (Upstone, 2009: 11). Terlihat dari pendapat
dimaksud adalah rasa rendah diri masyarakat Upstone tersebut bahwa sebenarnya penulis
terjajah terhadap bangsa yang pernah menjajah pascakolonial memegang sebuah peranan penting
dalam perlawanan bangsa terjajah. Ini sejalan
dengan pendapat yang menyatakan bahwa sastra sistem tatanan kolonial. Dalam dualisme ini, sistem
dapat menjadi sarana bagi penyebaran gagasan yang satu tidak terpisah dari yang lainnya,
melalui dunia baru (ideal) yang mencerminkan melainkan cenderung saling melintasi dan tumpang
aktualisasi diri yang penuh kebebasan tersebut tindih (Faruk, 2007:9). Dengan kondisi ini, karakter
(Faruk, 1995:5). pribumi pastilah berada pada wilayah
Hanya saja, pembuatan wacana tandingan “ketidakjelasan” identitas. Kendali kultural tidak
yang dilakukan penulis-penulis pascakolonial dimonopoli oleh pihak kolonial saja, pihak
bukanlah perkara sederhana. Apalagi jika wacana bangsawan ikut terlibat dalam proses tersebut.
yang hendak dibuat tersebut berkenaan dengan Kesulitan lain yang dihadapi oleh penulis-
identitas, baik penjajah maupun terjajah. Dalam penulis pascakolonial dalam pembuatan wacana
masyarakat yang mengalami proses kolonialisme tandingan adalah problematika kekuasaan dan
panjang, persoalan identitas merupakan persoalan kebenaran. Proses penciptaan ataupun produksi
pelik (Sinaga, 2004:31). Sebuah persoalan yang wacana selalu mengandaikan institusi untuk
menjadi hakikat jati diri suatu bangsa yang secara mengarahkannya. Oleh karena itu, dia cenderung
perlahan menuliskan narasi, dokumen dan membungkam “yang lain”. Adapun yang
manuskrip tentang perjuangannya. Uniknya, diperbolehkan hadir adalah representasi yang
identitas semacam ini mau tidak mau merupakan dikelolanya. Akhirnya, kekuasaanlah yang
hasil perjumpaannya dengan produk kultural melahirkan kebenaran (via McNay, 1994:69).
kolonial. Hasilnya, bisa berupa hibriditas – Dengan kata lain, wacana yang telah dibuat tidak
semacam, persilangan dari dua spesies yang dengan serta merta menjadi sebuah kebenaran.
berbeda (Young, 1995:10), dengan tujuan untuk Terlepas dari segala kompleksitas yang telah
memasukkan masyarakat pribumi pada “zona-zona diungkapkan, sebuah karya yang dihasilkan oleh
kotak”, sehingga bisa dikendalikan–, ataupun penulis pascakolonial tetap layak dicermati dan
mimikri, yaitu tindakan masyarakat terjajah untuk dilihat kemungkinan-kemungkinannya
meniru (Faruk, 2007:6). dimunculkan sebagai sebuah wacana tandingan
Selain itu, di Indonesia ada beberapa terhadap kolonial. Sebaliknya, perlawanan-
kekhasan kolonisasi yang tidak terjadi di negara- perlawan dan wacana-wacana tandingan tersebut
negara jajahan lain. Salah satu kekhasan yang terjadi menjadi menarik justru karena kemungkinannya
dalam kolonialisme Belanda di Indonesia adalah untuk bersifat ambigu atau ambivalen. Sebuah
munculnya dualisme dalam sistem politik, perlawanan yang sesungguhnya tunduk, sebuah
ekonomi, sosial dan kebudayaan. Di satu pihak, ketertundukan yang justru melawan.
masyarakat pribumi hidup dengan sistem politik,
ekonomi, sosial dan kebudayaan tradisional, tetapi Metode
di lain pihak mereka juga harus hidup dengan
Metode yang digunakan dalam riset ini makanan yang sengaja diletakkan di dekat mereka.
adalah deskriptif. Data berupa kata, frasa, atau Meskipun sebenarnya keinginan untuk itu ada,
kalimat yang didapatkan dari cerpen Ahmad namun ditahan. Agar lebih jelas, berikut ini kutipan
Tohari yang berjudul Anak Ini Mau Mengencingi yang menggambarkan bahwa sesungguhnya tokoh
Jakarta? Cerpen ini pertama kali diterbitkan di anak ingin mengambil makanan yang dilemparkan
harian Kompas pada 13 September 2015 dan pramusaji, namun ditahan oleh sang ayah.
kemudian terpilih menjadi cerpen terbaik Kompas. Mata anak laki-laki usia lima
tahun itu menyala dan
Adapun langkah-langkah penelitian meliputi
membulat ketika melihat ada
dua tahap, yaitu: (1) mengidentifikasi perlawanan- paha ayam goreng tergeletak di
antara serakan sisa makan. Dan
perlawanan atau wacana tandingan dari pihak
anjing yang tadi kencing di dekat
terjajah, (2) menunjukkan kemungkinan- lampu sinyal ternyata bergerak
lebih cepat. Si anak tertahan.
kemungkinan ambivalensi dalam perlawanan-
Apalagi si ayah menekan
perlawanan tersebut. pundak anaknya agar tidak
melangkah (Tohari, 2015).
Pembahasan
a. Makanan Penjajah dan Terjajah
Dari kutipan tersebut, setidaknya ada dua hal
Sepanjang cerita pendek ini, kisah yang
yang dapat disimpulkan. Pertama, derajat orang-
paling menonjol dan mendominasi cerita adalah
orang pinggiran rel yang kurang lebih sama dengan
perihal ketiga tokoh penghuni pinggiran rel kereta
anjing kudisan. Walaupun tidak dinyatakan secara
api yang sedang menikmati mie instan. Narator
gamblang bahwa sisa-sisa makanan tersebut
menceritakan bahwa satu bungkus mie instan
diperuntukkan kepada ketiga tokoh sentral di
tersebut dinikmati oleh dua orang, yaitu tokoh anak
cerpen, pelemparan sisa makanan ke dekat mereka
dan tokoh wanita. Diceritakan bahwa sang anak
tentu memiliki arti tertentu. Apalagi tidak dijelaskan
memakan sulur-sulur mie, sementara kuahnya
bahwa sebenarnya pramusaji tersebut sebenarnya
untuk sang wanita yang mungkin adalah ibu dari
ingin melemparkan sisa-sisa makanan tersebut ke
sang anak sebagaimana terdapat dalam kutipan
kotak sampah, namun karena lemparannya
berikut: ”Kuahnya masih terlalu panas. Lagi pula
meleset, mendaratlah sampah itu ke dekat tiga
kamu jangan serakah. Kuah mi selalu buat emak.
orang penghuni pinggiran rel. Dengan demikian,
Dia suka sekali,” (Tohari, 2015).
dapat disimpulkan bahwa memang pramusaji
Gambaran bahwa mereka menikmati
tersebut dengan sengaja melemparkan sisa
makanan tersebut, bahkan sampai membagi satu
makanan sehingga jatuh ke dekat ketiganya. Jadi,
porsi untuk dua orang, tidak terjadi ketika ada
pramusaji yang merupakan salah satu representasi
makanan lain yang dilemparkan oleh pramusaji
barat, memberikan makanan yang tidak layak
kereta api. Tokoh-tokoh yang menjadi representasi
kepada tokoh-tokoh representasi timur sebab
dari timur menolak untuk mengambil sisa-sisa
baginya derajat yang tidak setara. Bahkan, ketika
akhirnya sisa-sisa makanan tersebut diambil oleh menguji apa benar si ayah suka
melihat istri atau apanya ketika
anjing, tak ada upaya pencegahan yang dilakukan
perempuan itu sedang ngenyot-
sang pramusaji. Hal itu dapat dimaknai bahwa bagi enyot kantung plastik seperti
seorang bocah. Ternyata juga
sang pramusaji, tidak masalah yang mengambil sisa
benar adanya. Mata anak lelaki
makanan tersebut anjing atau orang-orang pinggiran usia lima tahunan itu menyala,
pipinya menyala, dan kedua
rel karena keduanya tidak berbeda. Singkatnya,
bibir sejatinya merekah. Dia
pramusaji mendefinisikan diri sebagai diri dan tertawa karena melihat wajah
ayahnya menjadi wajah seorang
orang-orang pinggiran rel sebagai liyan. Kedua, yang
yang sedang bersuka (Tohari,
merupakan efek dari yang pertama, orang-orang 2015).
pinggiran rel menolak untuk dijadikan liyan dengan Sebagaimana dinyatakan sebelumnya bahwa
cara tidak mengambil sisa-sisa makanan yang perlawanan pihak terjajah sangat mungkin bersifat
sengaja dilemparkan ke dekat mereka. ambigu atau ambivalen, begitupun dengan
Penolakan identifikasi sebagai liyan dapat perlawanan yang dilakukan oleh ketiga tokoh
dikatakan sebagai sebuah perlawanan yang penghuni pinggiran rel ini. Makanan yang telah
dilakukan oleh timur: orang-orang pinggiran rel. memberikan mereka kebahagiaan sekaligus
Dengan tidak mengambil makanan sisa, mereka identitas tersebut ternyata merupakan produk barat.
mendeklarasikan diri sebagai sebuah entitas yang ”Iya, Pa. Di TV juga ada anak nyedot mi, kan?
merdeka, tidak bergantung pada pemberian barat. Anaknya cakep. Bajunya bagus banget. Rumahnya
Lebih dari itu, mereka telah memiliki makanan bagus banget. Jadi sekarang aku sama seperti anak
mereka sendiri yang bukan merupakan sisa-sisa yang makan mi di TV kan ?” (Tohari, 2015). Jadi,
makanan barat: mie instan. Makanan tersebut warga pinggir rel menolak identitas yang diberikan
menjadi identitas dan karenanya ketiga tokoh di oleh barat sebab mereka telah memiliki identitas
dalam cerpen mendapatkan kebahagiaan tersendiri sendiri, namun di saat yang bersamaan, identitas
sebagaimana terekam dalam kutipan berikut: yang telah mereka dapatkan tersebut merupakan
Apalagi si ayah telah produk barat. Oleh karena itu, perlawanan yang
mendahului mengulurkan
dengan tangan kanan kantung dilakukan sekaligus merupakan sebuah kepatuhan.
mi kepada istri atau apanya yang
baru bangun. Dan ternyata
semua benar; perempuan itu b. Penjajah dan Terjajah sebagai Bahan
kelihatan sangat lahap ngenyot Tontonan
kuah mi instan langsung dari
kantung plastik. Ada sepasang Dalam relasi barat dan timur di kaca mata
mata bocah yang begitu bening poskolonial, barat mendefinisikan timur jauh
dan sejati menatap gerak mulut
dan pipi emaknya yang sedang sebagai sesuatu yang eksotis, yang belum terjamah.
ngenyot-enyot. Lalu mata bening Karena itu, barat melihat timur sebagai sesuatu yang
itu berpindah menatap wajah
ayahnya. Tatapan sejati itu ingin aneh, sesuatu yang layak untuk diperhatikan,
ditonton. Di cerpen Anak Ini Mau Mengencingi yang meranggas. Si istri atau apa
menyambar buntalan pakaian,
Jakarta? ini, terdapat gambaran tentang proses
dan si anak laki-laki usia lima
menonton dan ditonton antara barat dan timur. tahunan mengambil harta
kesayangannya berupa bekas
Ketika kereta berhenti, orang-orang yang ada
antena kanopi radio. Kemudian
di dalam kereta dapat memperhatikan kegiatan dan ketiganya bergerak melawan
arah datangnya kereta api.
kelakuan orang-orang yang hidup di pinggir rel.
Setelah agak jauh di sana
Sebab itulah pramusaji kereta melemparkan sisa- mereka tertawa-tawa (Tohari,
2015).
sisa makanan ke dekat ketiga tokoh utama cerpen.
Terlepas dari niat dan tendensi pramusaji Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ketiga
melakukan pelemparan sisa-sisa makanan tersebut, tokoh setuju bahwa mereka bukanlah bahan
itu menjadi bukti bahwa orang-orang di dalam tontonan. Mereka menolak dijadikan liyan,
kereta memperhatikan orang-orang di pinggir rel. dijadikan sebuah objek yang dianggap eksotis, tidak
Bukti kedua adalah adanya ketakutan tokoh ayah terjamah, dan bahkan tidak (atau kurang) beradab.
omongannya telah didengar yang berarti mereka Bentuk penolakan yang dilakukan oleh ketiga
berada di dalam radius yang cukup untuk tokoh tersebut tidak berhenti pada perginya ke
diperhatikan oleh orang lain. “Maka siapa yang tempat yang baru, di adegan sebelumnya
tahu si ayah itu merasa cemas karena telah diceritakan bahwa sang anak menonton peradaban
mengatakan anaknya boleh kencing di mana pun di di luar sana lewat layar televisi. Maka, penulis
Jakarta asal tidak di dekat punggung emaknya? membuat situasi terbalik. Bukan saja timur
Apakah kata-kata tadi didengar juga oleh mereka menolak untuk dijadikan bahan tontonan, tetapi
yang sedang berdiri di pintu kereta api?” (Tohari, juga timur telah menjadikan barat sebagai objek
2015). yang ditonton. Posisi menjadi berbeda sehingga
Adanya fakta bahwa mereka diperhatikan, dalam konteks ini justru baratlah yang menjadi
dijadikan bahan tontonan, membuat tokoh ayah sesuatu yang eksotis sehingga layak diperhatikan.
merasa tidak nyaman. Ia menolak dan mengajak Hanya saja, permasalahan muncul ketika ternyata
anak beserta perempuan yang mungkin istrinya bahan tontonan tersebut menjadi tuntunan,
untuk pindah dari tempat semula ke tempat baru menjadi contoh. Diceritakan bahwa sang anak
sehingga tidak lagi menjadi bahan tontonan. melihat sebuah iklan yang menampilkan seorang
”Mari kita pergi,” kata si ayah anak kecil yang makan mie, dan karena itu ia
kepada anak dan istri atau menganggap dirinya sama dengan anak yang ada di
apanya. ”Di sini kita malah jadi
tontonan.” dalam iklan.
”Iya, Pa. Di TV juga ada anak
Dalam satu menit ketiga warga
nyedot mi, kan? Anaknya
pinggir rel itu berkemas. Si ayah
cakep. Bajunya bagus banget.
mengambil satu kotak kardus
Rumahnya bagus banget. Jadi
kecil dari bawah semak berdebu
sekarang aku sama seperti anak
yang makan mi di TV kan ?” sama dengan mencemari atau mengotori wilayah
tanya anak usia lima tahunan itu
sendiri dan mengotori diri sendiri.
dengan roman muka yang sejati.
Sejenak si ayah kelihatan ”Hus! Jangan kencing di situ.
terpana. Namun sesaat Nanti kena punggung emakmu.”
kemudian tawanya meledak. Tegur si ayah. Anak itu
Tubuhnya terguncang. Kuah mi mengejan, mengekang
instan sampai muncrat dari kemaluannya dan kencingnya
lubang kantung plastik yang berhenti mengucur; memutar
sedang dipegang dengan tangan badan sembilan puluh derajat,
kirinya (Tohari, 2015). kemudian cairan kekuningan
mengucur lagi dari kemaluan
Penjungkirbalikan posisi sebagaimana yang masih sejati.
dinyatakan sebelumnya menjadi sia-sia karena ”Nah begitu, kamu tidak

ternyata dalam posisi menjadi penonton tidak boleh kencing dekat punggung

membuat timur mendapatkan ke’diri’annya. Ia emakmu....” (Tohari, 2015).

tetap merasa rendah diri terhadap barat dan Lebih lanjut, dijelaskan bahwa sang

menganggap barat sebagai sebuah panutan sehingga ayah memperbolehkan anaknya untuk

menjadi kebanggan tersendiri jika bisa mengikuti mengotori atau kencing di mana pun asalkan

hal-hal yang dilakukan oleh barat. tidak dekat dengan ibunya.


”Kencing dekat punggung emak,
tidak boleh. Kencing dekat
c. Penguasaan Tempat dan Batas-batasnya buntalan pakaian, juga tidak
Sebagaimana dinyatakan oleh Faruk (2007) boleh. Yang boleh di mana,
Pa?”
bahwa masyarakat terjajah adalah masyarakat yang Si ayah tersenyum. Wajahnya
hidup dalam sebuah wilayah geografis yang sungguh menampakkan wajah
manusia bebas-merdeka, khas
diduduki, dikuasai, diatur, dikontrol, dan wajah warga kehidupan pinggir
dikendalikan oleh masyarakat lain yang berasal dari rel kereta api.
”Nah, dengar ini! Kamu boleh
wilayah geografis atau ruang yang lain. Berdasarkan kencing di mana pun seluruh
pendapat itu, maka perihal membuang air kecil Jakarta; di Menteng, di pinggir
Jalan Thamrin, di lapangan
atau kencing di dalam cerpen ini juga dapat belakang Stasiun Gambir, di
diartikan sebagai simbol-simbol yang berkaitan sepanjang gili-gili Kebayoran
Baru, juga boleh kencing di
dengan poskolonialisme. Sebabnya adalah sang Senayan. Dengar itu?” (Tohari,
anak mendapatkan kesulitan untuk mencari 2015).
Dialog tersebut menyatakan bahwa sang anak
tempat, mencari suatu letak geografis, yang boleh
bebas untuk kencing di mana pun. Perkataan sang
dikencingi.
ayah mengimplikasikan dua makna. Pertama adalah
Ketika sang anak ingin kencing di dekat
bahwa ia memiliki kebebasan untuk mengontrol
ibunya, sang ayah melarang karena itu adalah
dan berkuasa atas pengelolaan suatu wilayah
teritori sendiri. Kencing di dekat ibunya dianggap
geografis bernama Jakarta. Di bagian ini muncul
wacana perlawanan. Timur seolah lebih berkuasa boleh di mana saja di Jakarta (tempat para
ketimbang barat. Mereka memiliki kebebasan untuk penjajah). Perlawanan pertama menjadi ambivalen
memilih tempat yang akan dikotori dan yang akan karena pihak terjajah menolak memakan makanan
dibiarkan tetap bersih. Masalahnya adalah sisa pemberian barat, tapi mereka memakan
kebebasan tersebut sekaligus diikuti oleh sebuah makanan yang diproduksi oleh kaum penjajah
syarat mengikat yang berbunyi, “asal tidak di dekat dengan perasaan senang. Perlawanan kedua
punggung emak atau di dekat buntalan pakaian.” menjadi ambigu sebab pihak terjajah menolak
Namun faktanya, ketiga orang tersebut selalu menjadi tontonan, namun saat menonton para
berdekatan dan bersama. Sehingga di mana pun penjajah, mereka justru meniru kelakuan penjajah
berarti tidak di mana pun. Dan dengan sendirinya tersebut. Ketiga, tokoh Emak bagaimanapun juga
sekaligus meruntuhkan kekuasaan atas pengelolaan berada di Jakarta dan selalu di dekat anaknya.
suatu wilayah. Kedua, jika mereka bukanlah Artinya, selama mengotori tempat para penjajah itu,
penguasa atas teritori Jakarta, maka yang sang anak juga mengotori tempat mereka sendiri
menguasainya adalah orang-orang dari jenis yang tinggal.
berseberangan dengan mereka: barat. Maka,
mengencingi Jakarta berarti telah mengotorinya dan Daftar Pustaka
merupakan sebuah bentuk perlawanan tersendiri.
Faruk. 1995. “Universalisme yang Menyangkal :
Akan tetapi, hal tersebut juga problematis karena Nasionalisme Dalam Sastra” dalam
pada faktanya ketiga tokoh tersebut tinggal di Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra,
Politik, Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka
Jakarta. Jadi, mengotori tempat para penjajah berarti Pelajar.
mengotori tempat mereka sendiri. Dengan
Faruk. 2007. Belenggu Pasca-kolonial: Hegemoni
demikian, apapun implikasi dari pernyataan bebas dan Resistensi Sastra Indonesia.
untuk kencing di seluruh wilayah Jakarta, tetap Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
membawa perlawanan yang diajukan menuju jalan Mahar, Cheleen dkk. 2009. “Posisi Teoretis
buntu. Dasar”. Ed. Bagus Takwin. Pengantar Paling
Komprehensif kepada Pemikiran Pierre
Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.
Kesimpulan
McNay, Lois. 1994. Faucault: A Critical
Hasil analisis menunjukkan bahwa ada tiga Introduction. Oxford: Polity Press.
upaya perlawanan dari representasi pihak terjajah.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori Metode, dan
Pertama, mereka tak bersedia memakan makanan Teknik Penelitian Sastra dari
sisa yang dihasilkan kaum representasi penjajah. Strukturalisme hingga Postrukturalisme.:
Perspektif Wacana Naratif.
Kedua, mereka menolak menjadi bahan tontonan Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
kaum penjajah. Ketiga, tokoh Ayah tidak
mengizinkan anaknya kencing di dekat emak, tapi

Anda mungkin juga menyukai