Peneliti Ahli Muda PRTRRB, Rien Ritawidya selaku narasumber menjelaskan bahwa
radioisotop merupakan isotop yang tidak stabil di mana untuk mencapai
ketabilannya harus mengimisikan suatu radiasi yaitu partikel berupa alpha, beta,
positron, gamma. Partikel alpha dan beta bersifat pengion dapat merusak DNA
sehingga menghasilkan sifat toxic.
"Atas dasar inilah partikel alpha dan beta dapat digunakan di bidang kesehatan
untuk terapi atau penyembuhan suatu penyakit. Partikel positron dan gamma
dapat digunakan untuk diagnosa,” jelasnya.
Menurut Agus kelebihan teknik RIA yaitu spesifik karena menggunakan prinsip
imunologi, sensitif, proses pengerjaannya relatif sederhana, serta ketepatannya
tinggi. Teknik RIA ini juga dapat digunakan sebagai screening awal adanya kanker,
seperti contohnya tumor marker CA 15-3 untuk kanker payudara dan hepatitis B.
Ia juga mengungkapkan, kelemahan dari teknik RIA yaitu perkembangan teknik
RIA yang masih belum sampai ke otomasisasim. Teknik RIA juga masih kalah
bersaing dengan teknik Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) karena
adanya halangan utama, yaitu regulasi dan laboratorium klinis untuk
mengembangkan berbahan radioaktif ini membutuhkan biaya yang cukup besar.
Sehingga pihak swasta maupun Rumah Sakit tidak banyak yang tertarik
mengembangkan teknik ini. Laboratorium di Indonesia yang masih
mengembangkan teknik RIA ini adalah RSPAD, RS Hasan Sadikin dan RSPP.
“Oleh karena itu dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak dalam pengembangan
radiofarmaka di masa yang akan datang, sehingga memungkinkan digunakan
untuk deteksi penyakit maupun personal medicine,” harapnya.