Anda di halaman 1dari 12

Pertemuan ke-7 AIK V

PROFIL DA’I
Oleh : Muh. Yusuf,S.Ud.,M.Pd/ KM. Amril,S.Pd.I.,MH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat merupakan salah satu miniatur pemerintahan
sebuah negara. Karena di masyarakatlah sebuah sistem keteraturan diberlakukan. Sistem
keteraturan yang dimaksud adalah tata nilai yang masih dipertahankan seperti etika dan moral
dalam cakupan agama.
Bersentuhan dengan nilai dalam ajaran agama, maka masyarakat perlu mengetahui dan
mengerti dengan benar persepsi terhadap penyampai ajaran agama tersebut. Secara sederhana
dalam Islam penyampaian ajaran agama biasanya disebut dakwah dan orang yang berperan
sebagai penyampai ajarannya disebut da’i.[1]
Realita sosial menunjukan bahwa banyak para da’i mengalami kegagalan dalam
berdakwah, baik itu di lingkungan sang da’i sendiri maupun di tempat yang lain. Hal ini bisa
terjadi karena sebagian da’i tersebut belum mampu membekali dirinya dengan sifat-sifat dai
yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mesti dipahami oleh seorang da’i sebelum ia terjun
ke lapangan dan wajib bagi seorang da’i untuk mengetahui dengan benar bagaimana keadaan
objek dakwah, baik dari karakter maupun kebiasaannya bahkan status sosialnya sekalipun. Agar
kita tidak salah langkah dalam bersikap di tengah masyarakat.
Kita bisa menilai betapa pentingnya sifat-sifat dai untuk kelancaran dakwah, sehingga
Allah swt. memberikan penjelasan terkait dengan sifat dai dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang
berbeda-beda. Sebagai seorang da’i harus memahami bagaimana nash-nash al-Qur’an dan al-
Hadits menuntun seorang da’i dengan bekal ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat dai. Karena
pemahaman sifat-sifat dai sangatlah penting, mengingat sikap mad’u terhadap sang da’i sangat
berusaha untuk mengidentikkan diri mereka sebaik da’i bertingkah laku dalam kesehariannya.
Di dalam al Qur’an, menerangkan beberapa sifat-sifat dai yang dibutuhkan bagi seorang
dai sebagai modala utama dalam kegiatan berdakwahnya. Agar daia tersebut mampu mengajak
dan menyerukan nilai-nilai dakwah kepada mad’u dapat diterima dengan baiak, sehingga tujuan
dakwah itu sendiri akan lebih mudah tersampaikan. Diantara sifat dai yang diterangkan dalam al
Qur’an, antara lain dai yang berwawasan luas, dai yang amanat dan adil, dai yang selektif
terhadap berita, dan dai yang toleran terhadap suatu kaum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba merumuskan masalah yang akan diuraikan
lebih lanjut, yaitu Bagaimana sifat-sifat dai yang diteranglan di dalam al Qur’an? Diantaranya:
1. Bagaimana seorang dai yang berwawasan luas menurut al Qur’an?
2. Bagaimana seorang dai yang amanat dan adil menurut al Qur’an?
3. Bagaiamana seorang dai harus selektif terhadap berita menurut al Qur’an?
4. Bagaiamana seorang dai harus toleran terhadap suatu kaum menurut al Qur’an?
Pertemuan ke-7 AIK V

BAB II
PEMBAHASAN

A. Dai yang Berwawasan Luas

Dakwah dalam Islam merupakan tugas yang sangat mulia, merupakan tugas para Nabi
dan Rasul, juga merupakan tanggung jawab setiap muslim. Dakwah bukanlah pekerjaan yang
mudah, semudah membalikan telapak tangan, juga tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang.
Seorang dai harus mempunyai persiapan yang matang baik dari segi keilmuan atau dari segi
akhlaq. Sangat sulit dibayangkan bahwa suatu dakwah akan berhasil, jika seorang dai tidak
mempunyai ilmu pengetahuan yang memadai dan bertingkah laku buruk baik secara pribadi
ataupun sosial.
Sosok dai tauladan yang memiliki kepribadian sangat tinggi dan tak pernah kering digali
adalah pribadi Rasulullah Saw. Ketinggian kepribadian Rasulullah Saw dapat dilihat dari
pernyataan al-Qur’an, pengakuan Rasulullah Saw sendiri, dan kesaksian sahabat yang
mendampinginya.[2]
Allah berfirman dalam QS Al-Mujadalah:11
‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَذ ا ِقيَل َلُك ْم َتَفَّسُحوا ِفي اْلَم َج اِلِس َفاْفَس ُحوا َيْفَس ِح ُهَّللا َلُك ْم َو ِإَذ ا ِقيَل اْنُشُز وا َفاْنُشُز وا َيْر َفِع ُهَّللا‬
‫اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِم ْنُك ْم َو اَّلِذ يَن ُأوُتوا اْلِع ْلَم َد َر َج اٍت َو ُهَّللا ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Menurut pendapat as-Sa’labi, kata tafassahu dalam al-Qur’an disebut hanya sekali ini. Ia
merupakan fi’il amr (kata kerja yang menunjukkan perintah), daritafassaha-yatafassahu-
tafassuhan, yang artinya tawassa’u (berilah keluasan). Perintah serupa itu biasanya ditujukan
kepada orang-orang yang hadir dalam suatu tempat dalam situasi berdesak-desakan, agar
melonggarkan diri, atau memberi kesempatan kepada orang lain untuk masuk, sehingga
memperoleh kesempatan untuk duduk atau berada di tempat itu. Orang-orang yang hadir terlebih
dahulu diminta melonggarkan tempat yang telah ditempati, untuk ditempati orang-orang yang
baru datang yang kedudukan dan martabatnya lebih terpandang di lingkungan masyarakat
setempat. Tafassaha kata dasarnya al-fash yang artinya luas, longgar, lapang.
Jadi, tafassahu artinya berikan keluasan, atau kelapangan tempat untuk orang yang baru datang.
Sedangkan kata unsyuzu adalah fi’il amr (kata kerja yang menunjukkan perintah),
dari nasyaza-yansyuzu-nasyza. An-nasyzu dalam kamus artinya kana qa’idan faqama (dalam
keadaan duduk lalu berdiri). Perintah unsyuzu ditujukan kepada orang-orang yang dalam
keadaan duduk agar mereka berdiri menyerahkan tempat duduknya kepada orang lain, untuk
menghormati orang yang baru datang. Pengertian yang dimaksud dari perintah unsyuzu adalah
berdirilah, bergeser, dan berikan kelonggaran kepada saudara-saudaramu.
Pertemuan ke-7 AIK V

Pada ayat-ayat yang sebelumnya, Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar
menghindari diri dari perbuatan berbisik-bisik dan perundingan rahasia, karena hal itu akan
menimbulkan rasa tidak enak kepada kaum Muslimin lainnya yang tidak ikut, kecuali jika hal itu
sangat perlu dilakukan untuk melakukan perbuatan kebajikan dan perbuatan taqwa. Dalam ayat
berikut ini diterangkan cara-cara yang dapat menimbulkan rasa persaudaraan di dalam suatu
pertemuan, seperti memberi tempat kepada teman-teman yang baru datang jika tempat masih
memungkinkan.
Adapun sabab nuzul ayat di atas, ada riwayat yang mengatakan bahwa ayat di atas turun
pada hari jumat. Ketika itu Rasul saw berada di satu tempat yang sempit, dan telah menjadi suatu
kebiasaan beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr,
karena besarnya jasa mereka. Ketika majlis tengah berlangsung, beberapa orang diantara
sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam kepada Rasul saw. Rasul pun menjawab,
selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang juga dijawab, namun mereka tidak
memberi tempat. Para sahabat itu terus saja berdiri, maka rasul memerintahkan kepada sahabat-
sahabat yang lain-yang tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para
sahabat yang berjasa itu duduk di dekat rasul. Perintah rasul itu, mengecilkan hati mereka yang
disuruh berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munafikin untuk memecah belah dengan
berkata: Katanya Muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak. Rasul mendengar kritik itu
bersabda: Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya. Kaum beriman
menyambut tuntunan rasul dan ayat di atas pun turun mengukuhkan perintah dan sabda rasul itu.
Apa yang dilakukan Rasul saw terhadap sahabat-sahabat beliau yang memiliki jasa besar
itu, dikenal juga dalam pergaulan internasional dewasa ini. Kita mengenal ada yang dinamai
peraturan protokoler, di mana penyandang kedudukan terhormat memiliki tempat-tempat
terhormat di samping Kepala Negara, karena memang seperti penegasan dalam al-Qur’an surah
an-Nisa: 95 dan surah al-Hadid: 10.[3]
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa jika di antara kaun Muslimin ada yang
diperintahkan Rasulullah saw berdiri untuk memberikan kesempatan kepada orang tertentu untuk
duduk, atau mereka diperintahkan pergi dahulu, hendaklah mereka berdiri atau pergi, karena
beliau ingin memberikan penghormatan kepada orang-orang itu, ingin menyendiri untuk
memikirkan urusan-urusan agama, atau melaksanakan tugas-tugas yang perlu diselesaikan
dengan segera.[4]
Jika dipelajari maksud ayat di atas, ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini, yaitu
orang-orang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau yang terlambat,
selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling bertenggang rasa. Bagi yang
lebih dahulu datang, hendaklah memenuhi tempat di muka, sehingga orang yang datang
kemudian tidak perlu melangkahi atau mengganggu orang yang telah lebih dahulu hadir. Bagi
orang yang terlambat datang, hendaklah rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti tidak ada
tempat duduk.
Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang
berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari
yang sekadar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya
ilmu yang dimilikinya itulah yang berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya,
bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.
Tentu saja yang dimaksud dengan alladzina utu al-‘ilm/yang diberi pengetahuan adalah
mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dngan pengetahuan. Ini berarti ayatdi atas
membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar beriman dan
Pertemuan ke-7 AIK V

beramal saleh, dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat
kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi
juga amal pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan, atau tulisan maupun dengan
keteladanan.
Syaikh Mustafa Mansur, dalam bukunya Fiqhud Dakwah menjelaskan bahwa seorang
dai mesti memiliki wawasan berfikir yang mencakup tiga aspek dasar. Pertama, memahami
Islam secara betul dan menyeluruh yang memungkinkan da’i dapat melaksanakan Islam dengan
pelaksanaan yang benar terhadap dirinya, dan dengan itu pula ia dapat menyampaikan Islam
dengan baik kepada orang lain. Kedua, para dai mesti mengetahui kondisi dan situasi dunia islam
dulu dan sekarang, mengetahui peristiwa-peristiwa aktual yang mempengaruhi kaum muslimin,
mengetahui siapakah golongan yang bergerak dibidang dakwah, kecenderungan dan cara-cara
mereka, bagaimana bentuk kerjasama yang bisa dilakukan dengan mereka. Ketiga, para dai harus
menyampaikan untuk memantapkan speliasasi ilmu yang berkaitan dengan urusan hidup manusia
seperti kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi dan lain-lain. Seorang calon dai harus
meningkatkan profesioanalismenya dalam bidang bidang keilmuan yang digelutinya.[5]
Seorang dai mestilah melengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan agar pekerjaanya
dapat mencapai hasil efektif dan efisien. Pengetahuan seorang dai meliputi pengetahuan yang
berhubungan dengan materi dakwah yang disampaikan dan ilmu pengetahuan yang erat
hubungannya dengan teknik-teknik dakwah. Sekurang-kurangnya seorang dai harus memiliki
kapasitas ilmu pengetahuan tentang al-Qur’an dan Hadits. Kita mengetahui bersama bahwa al-
Qur’an mempunyai fungsi sebagai petunjuk hidup (hudan), nasihat bagi yang membutuhkan
(mau’idzah) dan pelajaran (‘ibarat) yang oleh karena itu selalu menjadi rujukan dalam
menghadapi setiap permasalahan. Tentang Sunnah, seorang dai minimal harus mengetahui
keshahihan suatu hadits, selain itu perlu juga untuk mengetahui riwayat hidup nabi, para sahabat
dan sebagian besar ulama salaf. Seorang dai sedikit banyak juga harus mengetahui hukum islam
dan metodologi penetapan hukum yang bersifat praktis.
Untuk menjadikan pesan dakwah sampai secara tepat kepada mad’u, seorang dai juga
harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang semua hal yang berhubungan dengan mad’u
baik bahasa, psikologis, budaya dan temperamen mad’u.

B. Dai yang amanah dan adil

Amanah adalah sebuah kata yang telah dikenal oleh hampir semua orang. Bagi yang telah
mengenal kata amanah mungkin sudah tahu apa itu arti atau makna dari kata amanah tersebut.
Namun masih banyak yang tidak tahu sama sekali dan ada juga hanya tahu maknanya secara
samar-samar. Apa yang disebut dengan amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak
lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya.
Dalam agama Islam, dai harus mempunyai sikap seperti inilah yang dinamakan shiddiq dalam
mengemban tugas dakwahnya. Makanya amanah itu ber-nilai tak terhingga.
Sedangkan kata adil sering disinonimkan dengan kata al musawah(persamaan) dan al
qisth (seimbang) dan kata adil dilawankan dengan kata dzalim. Prinsip ini benar-benar
merupakan akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam syari’at Islam terutama seorang dai,
sehingga wajar kalau tuntunan agama semuanya dibangun di atas dasar keadilan dan seluruh
lapisan manusia diperintah untuk berlaku adil. Adil adalah memberikan hak kepada orang yang
berhak menerimanya tanpa ada pengurangan, dan meletakkan segala urusan pada tempat yang
sebenarnya tanpa ada aniaya, dan mengucapkan kalimat yang benar .
Allah berfirman dalam QS an-Nisa: 58
Pertemuan ke-7 AIK V

‫ِإَّن َهَّللا َيْأُم ُر ُك ْم َأْن ُتَؤ ُّد وا األَم اَناِت ِإَلى َأْهِلَها َو ِإَذ ا َح َك ْم ُتْم َبْيَن الَّناِس َأْن َتْح ُك ُم وا ِباْلَع ْد ِل ِإَّن َهَّللا ِنِعَّم ا َيِع ُظُك ْم ِبِه ِإَّن‬
‫َهَّللا َك اَن َسِم يًعا َبِص يًرا‬
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Pada ayat yang sebelumnya (an-Nisa:57) diterangkan besarnya pahala dan balasan bagi
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka pada ayat-ayat ini diterangkan bahwa di
antara amal-amal saleh yang penting adalah melaksanakan amanat dan menetapkan hukum
antara manusia dengan adil dan jujur.
Adapun sabab nuzul ayat di atas, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa setelah Rasulullah
saw memasuki kota Mekkah pada hari pembebasannya, Usman bib Talhah pengurus Ka’bah
pada waktu itu menguasai pintu Ka’bah. Ia tidak mau memberikan kunci Ka’bah kepada
Rasulullah saw. Kemudian Ali bin Abi Thalib merebut kunci Ka’bah itu dari Usman bin Talhah
secara paksa dan membuka Ka’bah, lalu Rasulullah masuk ke dalam Ka’bah dan shalat dua
raka’at. Setelah beliau keluar dari Ka’bah tampillah paman Abbas ke hadapannya dan meminta
agar kunci itu diserahkan kepadanya dan meminta diberi jabatan pemeliharaan Ka’bah dan
jabatan penyediaan air untuk jamaah haji, maka turunlah ayat ini, lalu Rasulullah saw
memerintahkan Ali bin Abi Thalib mengembalikan kunci Ka’bah jepada Usman bin Talhah dan
meminta maaf kepadanya atas perbuatannya merebut kunci itu secara paksa.
Surah an-Nisa ayat 58 di atas, memerintahkan agar menyampaikan amanat kepada yang
berhak. Pengertian amanat dalam ayat ini, ialah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang
untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kata amanat dengan pengertian ini sangat luas,
meliputi amanat Allah kepada hamba-Nya, amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap
dirinya sendiri.[6]
Amanat Allah terhadap hamba-Nya yang harus dilaksanakan antara lain:
melaksanakanapa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua nikmat Allah
berupa apa saja hendaklah kita manfaatkan untuk taqqarub (mendekatka diri) kepada-Nya.
Amanat seseorang terhadap sesemanya yang harus dilaksanakan antara lain:
memgembalikan titipan kepada yang punya dengan tidak kurang satu apapun, tidak menipunya,
memelihara rahasia dan lain.
Sedangkan amanat seseorang terhadap dirinya sendiri, seperti berbuat sesuatu yang
menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya dalam soal dunia dan agamanya. Janganlah ia
membuat hal-hal yang membahayakannya di dunia dan di akhirat, dan lain-lainnya.
Agama mengajarkan bahwa amanah/kepercayaan adalah asas keimanan berdasarkan
sabda Nabi saw. Tidak ada iman bagi yang memiliki amanah. Selanjutnya, amanah yang
merupakan lawan dari khianat adalah sendi utama interaksi. Amanah tersebut membutuhkan
kepercayaan dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan batin yang selanjutnya melahirkan
keyakinan.[7]
Ajaran yang sangat baik ini yaitu melaksanakan amanah dan hukum dengan seadil-
adilnya, jangan sekali-kali diabaikan tetapi hendaklah diindahkan, diperhatikan dan diterapkan
dalam kehidupan kita, untuk dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

C. Dai yang selektif dalam berita


Pertemuan ke-7 AIK V

Seorang dai mestilah berhati-hati dari terjebak pada sikap terburu-buru atau tergesa-gesa,
sikap kaku dan keras. Wajib atas dai untuk bersabar, wajib untuk bijak dalam dakwah. Allah
berfirman dalam QS al-Hujurat:6
‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإْن َج اَء ُك ْم َفاِس ٌق ِبَنَبٍإ َفَتَبَّيُنوا َأْن ُتِص يُبوا َقْو ًم ا ِبَج َهاَلٍة َفُتْص ِبُحوا َع َلى َم ا َفَع ْلُتْم َناِدِم يَن‬
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Kata Fatabayyanu artinya maka periksalah dengan teliti. Kata jadiannya(masdar)
adalah tabayyun. Akar katanya adalah ba’-ya’-nun yang artinya berkaisar pada jauhnyasesuatu
dan terbuka. Dari sini muncul arti jelas. Talaq ba’inadalah talak ketiga yang sudah jelas, tidak
bisa dirujuk kembali. Bayyinah adalah bukti karena bisa menjelaskan kepada yang sedang
berpekara. Ayat ini menjelaskan bahwa jika ada kabar yang datang dari orang yang fasik
hendaknya diperiksa terlebih dahulu, sampai jelas apakah benar atau tidak. Pada bacaan lain
yang mutawatir, kata ini dibaca fatasabbatu terambil dari kata dasar subut artinya tetap.
Sehingga artinya maka carilah ketetapan. Bacaan pertama dan kedua saling menguatkan, yaitu
bahwa seseorang tidak begitu saja menerima kabar dari orang lain yang patut dicurigai seperti
orang fasik, tetapi hendaklah selalu mencari kejelasan dan ketetapan atas kabar tersebut, terlebih
lagi kabarnya berupa kabar yang penting. Semua bertujuan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah memberikan pelajaran kesopanan dalam pergaulan
dengan Nabi Muhammad. Pada ayat-ayat berikut ini Allah memberikan pedoman tentang
penerimaan berita dari seseorang. Setiap berita yang diterima harus diselidiki dahulu sumbernya
sebab mungkin hanya dapat bersifat provokasi atau fitnah, atau pemutarbalikan keadaan
sehingga dapat menimbulkan akibat yang buruk, yang membawa penyesalan karena bisa
menimbulkan korban yang sebenarnya dapat dihindari sekiranya berita itu diselidiki dahulu
kebenarannya.
Adapun sabab nuzul ayat di atas, diriwayatkan oleh Ibnu ’Abbas bahwa ayat keenam ini
diturunkan karena peristiwa al-Walid bin Abi Mu’ait yang diutus oleh Rasulullah kepada
kabilah Bani al-Mustaliq untuk memungut zakat dari mereka. Tatkala berita itu sampai kepada
Bani al-mustaliq, mereka gembira sekali sehingga beramai-ramai keluar dari kampung halaman
mereka untuk menjemput kedatangan utusan itu. Sebelum sampai ke sana, ada seorang munafik
memberitahukan kepada al-Walid yang sedang dalam perjalanan menuju Bani al-Mustaliq bahwa
mereka telah murtad, menolak, dan tidak mau membayar zakat. Bahkan mereka itu teleh
mengadakan demontrasi dan berhimpun diluar kota untuk mencegat kedatangannya. Setelah al-
Walid menerima berita itu, segera ia kembali ke Madinah dan melaporkan keadaan Bani al-
Mustaliq kepada Rasulullah saw beliau sangat marah mendengar berita yang buruk itu dan
menyiapkan pasukan tentara untuk menhadapi orang-orang dari kabilah Bani al-mustaliq yang
dianggap menbangkang itu.
Sebelum tentara itu diberangkatkan, suadah datang utusan dari Bani al-Mustaliq
menghadap kepada Rasulullah saw seraya berkata Ya Rasulullah, kedatangan kami ke sini
adalah untuk bertanya mengapa utusan Rasulullah saw tidak sampai kepada kami untuk
memungut zakat, bahkan kembali dari tengah perjalanan? Kami mempunyai dugaan bahwa
timbul salah pengertian diantara utusanmu dengan kami yang menyebabkan timbulnya
keruwetan ini. Maka turunlah ayat ini.
Pertemuan ke-7 AIK V

Dalam ayat ini Allah memberitakan peringatan kepada kaum mukminin, terutama
seorang dai, jika datang kepada mereka seorang fasik membawa berita tentang apa saja, agar
tidak tergesa-gesa menerima berita itu sebelum diperiksa dan diteliti dahulu kebenaraannya.
Sebelum diadakan penelitian yang seksama jangan cepat percaya kepada berita dari orang fasik,
karena seorang yang tidak memperdulikan kefasikannya, tentu juga tidak akan memperdulikan
kedustaan berita yang disampaikannya. Perlunya berhati-hati dalam menerima berita adalah
untuk menghindarkan penyesalan akibat berita yang tidak diteliti atau berita bohong itu.
Penyesalan yang akan timbul sebenarnya dapat dihindari jika bersikap lebih hati-hati.[8]
Ayat ini memberikan pedoman bagi dai supaya berhati-hati dalam menerima berita,
terutama jika bersumber dari seorang yang fasik. Maksud yang terkandung dalam ayat ini adalah
agar diadakan penelitian dahulu mengenai kebenarannya. Mempercayai suatu berita tanpa
diselidiki kebenarannya, besar kemungkinan akan membawa korban jiwa dan harta yang sia-sia,
yang hanya menimbulkan penyesalan belaka.

D. Dai yang Toleran

Islam memberikan penjelasan-penjelasan yang jelas akan pentingnya membina hubungan


baik antara muslim dengan non-muslim. Islam begitu menekankan akan pentingnya saling
menghargai, saling menghormati dan berbuat baik walaupun kepada umat yang lain. Allah
berfirman dalam QS al-Hujurat:11
‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ال َيْسَخْر َقوٌم ِم ْن َقْو ٍم َع َس ى َأْن َيُك وُنوا َخ ْيًرا ِم ْنُهْم َو ال ِنَس اٌء ِم ْن ِنَس اٍء َع َس ى َأْن َيُك َّن َخ ْيًرا‬
‫ِم ْنُهَّن َو ال َتْلِم ُز وا َأْنُفَس ُك ْم َو ال َتَناَبُز وا ِباألْلَقاِب ِبْئَس االْس ُم اْلُفُس وُق َبْع َد اإليَم اِن َو َم ْن َلْم َيُتْب َفُأوَلِئَك ُهُم الَّظاِلُم وَن‬
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena)
boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan
pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita
(yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu
mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang
tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.
Kalimat talmizu berasal dari akar kata lamaza-yalmizu-lamzan yang berarti memberi
isyarat disertai bisik-bisik dengan maksud mencela. Ejekan ini biasanya langsung ditujukan
kepada seseorang yang diejek, baik dengan isyarat mata, bibir, kepala, tangan, atau kata-kata
yang dipahami sebagai ejekan. Dalam at-Taubah:58kalimat yalmizuka diartikan dengan
mencela,begitu juga dalam at-Taubah:79 danal-Humazah:1. Sebagian ulama menganggap
bahwa kata lumazah dan humazahadalah mutaradif. Rajul lammaz atau imra’at lumazah berarti
seseorang yang suka mengumpat dan mencela. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan tentang
larangan melakukan lamz terhadap diri sendiri(talmizu anfusakum), padahal yang dimaksud
adalah orang lain. Pengungkapan kalimat anfusakum dimaksud bahwa antara sesama mausia
adalah saudara dan satu kesatuan, sehingga apa yang diderita oleh saudara kita artinya juga
diderita oleh diri kita sendiri. Maka siapa yang mencela atau mengejek orang lain sesungguhnya
dia telah mengejek dirinya sendiri. Kalimat ini juga dapat diartikan agar tidak melakukan suatu
tindakan yang membuat orang lain mengejek dirinya.
Pertemuan ke-7 AIK V

Tanabazu berasal dari akar kata nabaza-yanbizu-nabzan yang berarti memberi julukan
dengan maksud mencela. Bentuk jamaknya adalah anbaz. Tanabazu melibatkan dua pihak yang
saling memberikan julukan. Tanabazu lebih sering digunakan untuk pemberian gelar yang buruk.
Maksudnya dari tanabuza hampir sama dengan al-lamz yaitu mencela, hanya
dalam tanabazu ada makna keterusterangan dan timbal balik. Seseorang yang
melakukan lamz belum tentu di hadapan orang yang dicelanya, tetapi kalau tanabazu dilakukan
dengan terang-terangan dihadapan yang bersangkutan memanggil gengan panggilan yang buruk.
Hal ini tentu saja mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu akan
membalas dengan panggilan serupa atau lebih burk lagi, sehingga terjadilah tanabazu.
Adapun sabab nuzul ayat di atas, diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan
dengan tingkah laku kabilah Bani Tamim yang pernah berkunjung kepada Rasulullah saw, lalu
mereka memperolok-olok beberapa sahabat yang fakir dan miskin seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal,
Khabbab, Salman dan lain-lain karena pakaian mereka sangat sederhana.
Ada pula yang mengaitkan penurunan ayat ini dengan situasi di madinah. Ketika
Rasulullah saw tiba dikota itu, orang-orang Ansar banyak yang mempunyai nama lebih dari satu.
Jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, yang kadang-kadang dipanggil dengan nama yang
tidak disukainya, dan setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, maka turunlah ayat ini.
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah menerangkan bagaimana mendamaikan dua kelompok di
antara kaum muslimin yang bertikai, dan orang Islam adalah bersaudara. Pada ayat-ayat berikut
ini, Allah menjelaskan bagaimana sebaiknya pergaulan orang-orang mulminin di antara mereka.
Di antaranya, mereka dilarang memperolok-olok saudara mereka dengan memanggil mereka
dengan gelar yang buruk atau berbagai tindakan yang menjurus ke arah permusuhan dan
kezaliman.
Dalam ayat ini, Allah mengingatkan kaum mukminin supaya jangan ada satu kaum
mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah
jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokkan. Demikian pula di kalangan
perempuan, jangan ada segolongan perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain karena
boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah lebih baik dan lebih terhormat daripada
perempuan-perempuan yang mengolok-olok.
Allah melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena maum mukminin
semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan. Allah
melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti panggilan kepada seseoarang
yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini, menerangkan
bahwa ada seorang laki-laki pada masa mudanya mengerjakan suatu perbuatan yang buruk, lalu
ia bertobat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi
keburukannya di masa lalu, karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itu
sebabnya Allah melarang memanggil denga panggilan dan gelar yang buruk.[9]
Adapun panggilan yang mengandung penghormatan tidal dilarang, seperti sebutan kepada
Abu Bakar dengan as-siddiq, kepada Umar dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan sebutan Zu
an-Nurain, kepada ‘Ali dengan Abu Turab dan Khalid bin Walid dengan sebutan
Saifullah(pedang Allah).
Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapkan setelah orangnya beriman karena gelar-
gelar untuk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, dan sudah tidak pantas lagi
dilontarkan. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-
Pertemuan ke-7 AIK V

gelar yang buruk itu, maka mereka dicap oleh Allah sebagai orang-orang yang zalim terhadap
diri sendiri dan pasti akan menerima konsekuensinyaberupa azab dari Allah pada hari kiamat.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sifat-Sifat dai merupakan sesuatu hal yang penting bagi kelancaran dakwah. Modal yang
sangat berpengaruh terhadap sebuah hubungan yang erat antara sang dai dengan mad’unya.
Bagaimana tidak, dengan sifat dai pandangan masyarakat terhadapnya akan sangat
diperhitungkan, disegani, dan dicontoh terkait segala aspek kehidupan yang dijalani. Selain itu,
derajat mulia pun jadi harga mati bagi seorang dai sebagai ganjarannya.
Upaya pembekalan bagi seorang dai adalah sebuah keniscayaan, sebab bagaimana
mungkin kita akan mampu memberikan ruhiyah sementara pada diri kita sendiri tidak memiliki
ruhiyah tersebut, sebagaimana sering kita dengar bahwa kita tak pernah bisa memberikan sesuatu
jika kita sendiri tidak memiliki sesuatu itu.
Seorang dai yang bertugas menjalankan penyiaran dakwah sudah seharusnya dai
memiliki sifat yang perlu di penuhi dalam kodratnya. Sifat-sifat dai ini akan memberikan wujud
hasil pelaksanaan dakwah di lapangan masyarakat, dimana dai menjadi tolak ukur keberhasilan
Pertemuan ke-7 AIK V

dakwah. Sifat dai yang diterangakan dalam al Qur’an di antaranya adalah: seorang dai harus
mempunyai wawasan yang luas, yakni memiliki ilmu pengetahuan yang setinggi-tingginya baik
ilmu agama dan ilmu secara umum. Seorang dai harus mempunyai sifat yang amanah dan adil,
terutama dalam mengemban suatu permasalahan dan harus memutuskan secara adil. Seorang dai
juga harus mempunyai sifat yang selektif terhadap berita maupun informasi yang diterimanya,
kiranya perlu diketahui sesungguhnya apa yang sedang terjadi dalam suatu peristiwa. Selain itu,
seorang dai harus memiliki sifat yang toleran, mengahargai dan menghormati terhadap mad’u
dan orang-orang di sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009.
Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
Hadits Web, al Qur’an dan Terjemahannya.
Mansur, Mustafa, Fiqhud Da’wah, Jakarta: Al-I’tishom, 2000.
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an, Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Ya’kub, Ali Mustafa, Sejarah dan Metode Da’wah Nabi, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997.
Pertemuan ke-7 AIK V

[1]
Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 74.
[2]
Ali Mustafa Ya’kub, Sejarah dan Metode Da’wah Nabi, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997). hal. 226.
[3]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol: 14, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), h. 372.
[4]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 425.
[5]
Mustafa Mansur, Fiqhud Da’wah, (Jakarta: Al-I’tishom, 2000), hal.104.
[6]
Departemen Agama RI, op.cit, h. 195-196.
[7]
Quraish Shihab, op.cit, vol: 14, h. 482.
Pertemuan ke-7 AIK V

[8]
Departemen Agama RI, op.cit, Jilid 9, h. 63
[9]
Departemen Agama RI, loc.cit.

Anda mungkin juga menyukai