Anda di halaman 1dari 9

Flex Model sebagai Integrasi Kemajuan Teknologi dan Kemandirian

Belajar yang Fleksibel

Prasetio Utomo
flash.prasetio@gmail.com
Universitas Negeri Malang

Abstrak
Perkembangan teknologi dapat mempengaruhi peradaban manusia secara meluas. Hal
ini juga berlaku dalam pendidikan. Kemunculan komputer dan internet telah merombak
pola pembelajaran monotonisme teacher centered menuju pola baru yang eksploratif.
Konsep ini diawali melalui blended learning. Seiring waktu, blended learning
memunculkan model turunannya seperti flex model. Model pembelajaran ini merupakan
representasi belajar yang cuztomizable, fleksibel, dan mandiri. Pada kondisi tertentu
dimana infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi telah memadai, ekonomi
berkecukupan, etos belajar tinggi, kompetensi sekolah dan pengajar memadai, flex
model dapat ditawarkan sebagai model pembelajaran. Implikasinya, pebelajar memiliki
kesempatan untuk melakukan ekplorasi dan kolaborasi minat dan bakatnya secara lebih
mendalam.
Kata Kunci : teknologi, Flex Model, fleksibilitas belajar

Abstract
Technological developments can affect human civilization widely. This also applies to
education. The emergence of computers and the internet has changed the teacher-
centered monotonous learning pattern towards a new, exploratory pattern. This concept
begins through blended learning. Over time, blended learning gave rise to derivative
models such as the flex model. This learning model is a customizable, flexible, and
independent learning representation. In certain conditions where the information and
communication technology infrastructure is adequate, the economy is sufficient, the
learning ethic is high, and the school and teacher competencies are adequate, the flex
model can be offered as a learning model. The implication is that students have the
opportunity to explore and collaborate on their interests and talents more deeply.
Keywords: technology, Flex Model, learning flexibility

Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, dunia pendidikan juga
mengalami berbagai macam perkembangan. Salah satunya adalah strategi
pembelajaran. Secara umum, istilah strategi pembelajaran merujuk kepada pola kegiatan
pembelajaran yang digunakan guru secara kontekstual, sesuai dengan karakteristik
peserta didik, kondisi sekolah, lingkungan sekitar dan tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan (Nasution, 2016:3). Saat ini, terdapat berbagai macam strategi
pembalajaran yang dirancang sesuai dengan spesifikasinya masing-masing.
Berdasarkan konteks perkembangan teknologi, perkembangan strategi
pembelajaran dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok besar yaitu based on
technology integration dan non based on technology integration. Namun, di era modern
pemanfaatan strategi pembelajaran based on technology integration lebih diminati
berkat dukungan infrastruktur teknologi yang memadai. Hal ini sesuai dengan amanat
RUU Sisdiknas 2022 bahwa pebelajar harus memiliki kompetensi nalar kritis, salah
satunya adalah mampu memanfaatkan teknologi dengan baik. Oleh karena itu,
pendidikan harus diselenggarakan sesuai dengan tingkat dan kebutuhan pebelajar
dengan mengintegrasikan teknologi (Kemendikbud, 2022 : 68).

Salah satu contoh strategi pembelajaran based on technology integration adalah


blended learning. Istilah blended learning merujuk pada perpaduan pembelajaran
konvensional dan web based learning yang identik dengan konten multimedia untuk
mengoptimalkan pembelajaran (Pamungkas, 2020:58). Meskipun secara definisi
blended learning sangat erat dengan teknologi digital, namun secara historis, dalam
bentuk paling sederhana, blended learning muncul sebelum ditemukannya komputer
dan internet. Hal ini dijelaskan oleh Bryan (2016:24) sebagai berikut;

“The origins of blended learning pre-date the advent of digital technology.


Its genealogy lies in distance learning through correspondence courses. In
Canada, for example, the children of lighthouse keepers were among those
educated thanks to a 1919 scheme”.

Jika menganalisis karakteristik blended learning yang secara hakikat tidak dapat
dilepaskan dari e-learning, maka keberadaan blended learning dapat diprediksi muncul
bersamaan dengan penemuan Computer Based Training pada tahun 1960 oleh
Universitas Illonis di Urbana-Champaign. Pada masa itu, pembelajaran
diselenggarakan dengan sistem intruksi berbasis komputer (computer–assisted
instruction) dan komputer bernama PLATO (Learningsuite, 2018).

Selanjutnya, perkembangan komputer dan jaringan internet pada tahun 1990an


memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan blended learning (Bryan,
2016:24). Kegiatan belajar tidak lagi berkutat dengan layar LED atau membaca teks
digital secara mandiri. Lebih dari itu, pebelajar dapat belajar melalui CD-ROM hingga
melakukan siaran video. Tren tersebut terus berkembang hingga hari ini. Alhasil,
penggunaan platform telekonferensi seperti Skype, Google Meet dan Zoom Meeting
menjadi hal yang umum ditemukan di lingkungan pendidikan. Berikut ilustrasi skema
perkembangan pemanfaatan teknologi digital hingga menjadi blended learning seperti
hari ini (Bersin, 2004:2).

1
Gb.1 Evolusi Pelatihan Berbasis Teknologi

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa kemunculan strategi


pembelajaran blended learning dipicu oleh kendala ruang, jarak, dan waktu dalam
pembelajaran. Karakteristik blended learning yang mampu mentransfer aktivitas
pembelajaran melalui atau berubah bentuk menjadi media digital dapat menjawab
permasalahan tersebut (Siyamta, 2014: 123). Namun, saat ini strategi pembelajaran
blended learning telah berkembang melebihi tujuan awalnya. Hal ini dibuktikan dengan
munculnya beberapa bentuk turunan blended learning sebagai berikut (Hinkleman,
2018:5);
1. Rotation Model
2. Flex Model
3. A la Carte Model
4. Enriched Virtual Model
Berbagai model diatas memberikan implikasi pedagogi dalam pembelajaran di
kelas yaitu; mixed modalities, flip classroom, gamification, team authoring, dan
collaborative teaching and research (Hinkleman, 2018:5—6). Dengan demikian,
blended learning yang identik dengan teknologi digital dan mobile tidak hanya sekedar
menjawab permasalahan kendala ruang, jarak, dan waktu. Lebih dari itu, blended
learning juga mampu meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kemenarikan belajar
(Hartanto, 2016: 408—410).

2
Integrasi Teknologi dan Kustomisasi Pembelajaran dalam Flex Model
Flex model merupakan turunan dari strategi pembelajaran blended learning. Tidak
ditemukan sumber yang secara pasti menjelaskan oleh siapa, kapan, dan mengapa flex
model dibuat. Namun, dalam penerapannya flex model secara umum mengaplikasikan
aspek-aspek dasar blended learning yaitu;
No. Aspek Keterangan
1 Mode delivery Kombinasi pembelajaran tradisional dengan
pendekatan web based online.
2 Teknologi Penerapan kombinasi dari media dan teknologi.
3 Pedagogi Kombinasi beberapa pendekatan pedagogi.
4 Kronologi Pendekatan synchronous (real time) dan
asynchronous.
Tabel 1. Aspek Dasar Blended Learning (Dewi, 2015:17).

Strategi pembelajaran flex model pada dasarnya menekankan kemandirian belajar


individu. Oleh sebab itu, sebagian besar instruksi dilakukan secara online. Namun
demikian, setiap pebelajar dapat menentukan bagaimana ia akan belajar sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya. Pebelajar dapat memilih belajar dalam kelompok kecil,
kelompok besar dan tidak terpaku berada di kelas atau rumah. Pebelajar juga dapat
memilih belajar di laboratorium, kafe, taman, dan ruang publik lainnya.

Jika dipelajari lebih lanjut, flex model memiliki cukup kemiripan dengan Open
and Distance Learning (ODL). Keduanya sama-sama menggunakan prinsip
fleksibilitas. Prinsip ini dianggap berhasil mengakomodasi kebutuhan pebelajar yang
memiliki kesulitan menempuh pendidikan formal. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Paliwal dengan melibatkan pebelajar di Kumaun region, Uttarakhand,
India, ditemukan fakta bahwa pebelajar tidak hanya menemukan pegalaman kongnitif.
Lebih dari itu, mereka juga merasa nyaman dan puas dengan performa ODL. Bahkan,
mereka juga merasakan perubahan dalam diri mereka berkaitan dengan etika dan
kepercayaan diri (Paliwal, 2019:39—40). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
adanya perpaduan conventional learning, online learning, flexible customization
menjadi kekuatan utama dari strategi pembelajaran flex model ini.
Flex model secara khusus menekankan pada kemandirian belajar. Namun,
terdapat beberapa kaidah mendasar yang harus dipenuhi dalam mempersiapkan dan
melaksanakan strategi pembelajaran ini, yaitu;
1. Sebagian besar instruksi dan konten pembelajaran disampaikan melalui internet (web
based learning).
2. Jadwal dan materi pembelajaran dapat disesuaikan dengan kemampuan pebelajar.
3. Pebelajar dapat memilih pola belajar yang dibutuhkan seperti diskusi dan proyek
kelompok kecil, kelompok besar, dan individual.
4. Pebelajar dapat memilih lingkungan belajar yang dibutuhkan seperti kelas,
laboratorium, rumah, taman, bahkan kafe.

3
5. Pebelajar dapat menyelesaikan seluruh rangkaian tugas belajar sesuai dengan
kecepatan masing-masing.
6. Guru dapat hadir memberikan layanan konsultasi secara face to face via daring
maupun luring untuk membantu kesulitan belajar pebelajar (Sarria & Molina dalam
Dewi, 2015:34—35).

Beberapa kaidah di atas, dalam pelaksanaannya harus didukung dengan fasilitas


berupa teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang memadai. Flex model pada
dasarnya tidak cocok digunakan di daerah yang masih tertinggal dalam infrastruktur
TIK nya. Selanjutnya, meskipun guru atau tutor tetap hadir dan memberikan bantuan
dalam proses belajar, namun strategi pembelajaran ini membutuhkan kesadaran belajar
individu yang tinggi. Artinya, pebelajar tidak boleh bergantung kepada guru atau tutor.
Jika tidak rajin, pebelajar dapat tertinggal dan terseok-seok (Syaga, 2020). Berikut
ilustrasi pelaksanaan pembelajaran dengan flex model;

Gb. 2 Ilustrasi pelaksanaan flex model (Dewi, 2015:17)

Pembelajaran dengan flex model ini telah diadopsi di berbagai belahan dunia.
Salah satunya di Amerika Serikat. Berikut sampel pelaksanaan flex model di
Innovations Early College High School, Amerika Serikat (Maxwell, 2016).

Online learning/e-learning digunakan untuk menyampaikan


Detail 1
sebagian besar instruksi pembelajaran.
Adanya penawaran pembelajaran dengan kelompok kecil untuk
Detail 2
menyelesaikan tugas.
Detail 3 Terdapat pembelajaran berbasis proyek.
Detail 4 Siswa yang tidak menunjukkan progres belajar diwajibkan
mengikuti sesi belajar dengan kelompok kecil.

4
Siswa yang memiliki progres belajar lebih cepat diperkenankan
Detail 5
mengikuti sesi kelompok kecil (opsional).
Detail 6 Tersedia pembelajaran dengan bimbingan privat.
Siswa diberikan fasilitas untuk bertemu dengan mentor (guru
Detail 7 pilihan siswa) setiap seminggu sekali untuk meminta
bimbingan akademik.
Tabel 2. Detail pelaksanaan Flex Model di Innovations Early College High School

Setelah mengetahui pola-pola pelaksanaan flex model, berikut tahapan proses


membangun pengetahun dalam pembelajaran flex model (Ariawan, 2021:17—18).
Fase Keterangan
1 Pencarian informasi materi dari berbagai sumber
Seeking of information informasi yang tersedia di internet, buku, maupun
penyampaian/pendemonstrasian fenomena.
2 Menginterpretasi dan mengelaborasi informasi secara
Acquisition of information personal maupun komunal.
3 Merekonstruksi pengetahuan melalui proses asimilasi dan
Synthesizing of knowledge akomodasi dari hasil analisis, diskusi dan perumusan
kesimpulan dari informasi yang diperoleh.
Tabel 3. Tahapan belajar dalam Flex Model

Diskusi
Mengacu pada model ekologi yang diajukan Bronfenbrenner, maka dapat
dipastikan bahwa perkembangan siswa SMA saat ini terbentuk berdasarkan
karakteristik manusia pada era informasi. Pada tahun 2011 (jenjang Sekolah Dasar),
teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia telah berkembang dengan baik. Gawai
cerdas berbasis Android dan konektivitas 3G telah menyebar di berbagai daerah. Pada
tahun 2016 (jenjang Sekolah Menengah Pertama), masyarakat di Indonesia telah
terbiasa untuk menggunakan berbagai layanan media sosial seperti Facebook,
Whatsapp, dan Instagram. Selain itu juga memanfaatkan layanan Google dan Youtube
sebagai sumber informasi. Pada tahun 2019 (Sekolah Menengah Atas), kebiasaan untuk
mengakses teknologi yang telah eksis pada tahun 2016 berkembang semakin masif.
Bahkan, pada tahun 2020 masyarakat Indonesia dengan rentang usia 16—64 tahun dapat
menghabiskan waktu hingga 7 jam 59 menit per hari untuk mengakses internet
(databoks, 2020).
Berikutnya, Badan Pusat Statistik (2020:143—145) mencatat pelajar Sekolah
Menengah Atas (SMA) mendominasi penggunaan gawai cerdas beserta layanan
internetnya sebesar 35,25%. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan pelajar SD, SMP,
dan mahasiswa. Namun, fakta ini cukup mengkhawatirkan karena 95,56% siswa
memiliki kecenderungan menggunakan gawai cerdas untuk mengakses hiburan di media
sosial.

5
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa infrastruktur dan kecakapan
teknologi pelajar Indonesia sudah cukup baik. Artinya, dengan pengelolaan tertentu
pelajar telah siap untuk memasuki pola baru pendidikan yang fleksibel dan mandiri
seperti penerapan flex model. Adapun beberapa hal yang menjadi perhatian dalam
usulan ini adalah sebagai berikut;
1. Flex model hanya diterapkan di daerah yang secara infrastruktur teknologi
komunikasi dan informasi telah memadai.
2. Flex model diterapkan pada sekolah khusus seperti sekolah dengan segmentasi
ekonomi menengah ke atas mengingat tingginya biaya internet dan layanan
pengajar profesional.
3. Flex model diterapkan pada kelas khusus seperti kelas akselerasi atau kelas
olimpiade. Kelas dengan rata-rata etos belajar yang rendah menjadi cukup beresiko
terhadap kemungkinan kegagalan belajar.
4. Sekolah atau instansi pendidikan lainnya wajib menyediakan platform e-learning
yang memadai dan terarah.
5. Sekolah atau instansi pendidikan lainnya wajib melakukan intensifikasi kompetensi
guru sesuai dengan kebutuhan flex model.

Gagasan penerapan flex model ini tidak untuk menggantikan model pembelajaran
secara meluas melalui internalisasi kurikulum. Kehadiran flex model dapat menjadi opsi
yang menarik pada kelas-kelas tertentu yang secara infrastruktur, ekonomi, dan etos
belajar telah mumpuni. Artinya, pada kondisi tersebut siswa atau pebelajar dapat secara
leluasa mengembangkan kegiatan belajarnya di lingkungan yang lebih beragam.
Alhasil, kesempatan untuk eksplorasi dan menemukan minat-bakatnya mejadi lebih
dalam dan intensif.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan berbagai pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
perkembangan teknologi memiliki peranan penting dalam mengubah pola pendidikan.
Pola tersebut meliputi model pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran, waktu
belajar, dan interaksi belajar. Pada era modern ini, dimana sebagian besar daerah telah
memiliki dukungan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi yang memadai,
maka perlu dimunculkan model pembelajaran yang customizable dan mendukung
eksplorasi belajar yang tinggi dan mendalam. Oleh sebab itu, flex model dapat dijadikan
alternatif dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Adapun syarat-syarat pokok
pelaksanaan flex model yaitu; kesiapan infrastruktur teknologi informasi dan
komunikasi, kemampuan ekonomi, etos belajar yang tinggi, dan komptensi sekolah dan
pengajar dalam mengelola e-learning.

6
Saran
Menimbang simpulan di atas, maka penulis merekomendasikan implementasi
flex model dilakukan percobaan di perkotaan besar seperti DKI Jakarta, Bandung,
Medan, dan Surabaya. Kota-kota tersebut telah memiliki infrastruktur yang memadai
dan tingkat perekonomian di atas rata-rata kota lainnya di Indonesia. Lebih spesifik lagi,
penerapan flex model dapat diinternalisasi di sekolah-sekolah swasta terlebih dahulu.
Sekolah swasta cenderung memiliki segmentasi ekonomi sehingga kebijakan penerapan
flex model dapat diakomodasi dengan mudah.

Daftar Rujukan
Ariawan, Setyo. 2021. Pengaruh Blended Learning Flex Model Berbantuan
Media Video terhadap Hasil Belajar Ipa Materi Ekosistem. Magelang.
Badan Pusat Statistik. 2021. Statistik Telekomunikasi Indonesia 2020. Jakarta :
Badan Pusat Statistik.
Bersin, John. 2004. The Blended Learning Book: Best Practices, Proven
Methodologies, and Lessons Learned. San Fransisco: Pfeiffer.
Bryan, A. & K.N Volchenkova. Blended Learning: Definition, Models, and
Implications for Education. Educational Sciences, 8(2), 24—30.

Databoks. 2020. Orang Indonesia Habiskan Hampir 8 Jam untuk Internet.


(Online), (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/02/26/indonesia-habiskan-
hampir-8-jam-untuk-berinternet), diakses 29 Oktober 2022.
Dewi, Kadek Cahya dkk. 2019. Blended Learning : Konsep dan Implementasi
pada Pendidikan Tinggi Vokasi. Denpasar : Swasta Nulus.
Hinkleman, Don. Blended Learning. John I. Liontas (Ed). The TESOL
Encyclopedia of English Language Teaching (hlm. 1—9). Wiley-Blackwell.
Hofmann. Jennifer. 2018. What Works in Talent Development: Blended
Learning. Alexandria USA: ATD Press.
Ihsan, M. 2017. Efektivitas Pembelajaran di Luar Kelas dengan Metode
Outdoor Activities dalam Materi Menulis Karangan Deskripsi Kelas XI Mamia+ MA
Attaqwa Pusat Putra Bekasi Tahun Ajaran 2016/2017. Jakarta : UIN Syarif
Hidayatulloh.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. 2022. Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta :
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Maxwell, Clifford. 2016. A Deeper Look at The Flex Model.
https://www.blendedlearning.org/a-deeper-look-at-the-flex-model/. Diakses pada 25
Oktober 2022.

7
Nasution, Wahyudin Nur. 2017. Strategi Pembelajaran. Medan : Perdana
Publishing.
Paliwal, Deepak. 2019. Reaching the unreached through open and distance
learning in India. Asian Association of Open Universities Journal, 14(1), 39—49.
Pamungkas, Mey Tias Andry dkk. 2019. The Effect of Mastery-Based Blended
Learning on the Independence and Creativity of Students. Atlantis Press.
Syaga, I Komang Bagus. 2020. Belajar Online dengan Model Kelas Flex
secara Sinkron dan Asinkron. Kemendikbud, Online. Diakses pada 24 Oktober 2022.

Anda mungkin juga menyukai