Anda di halaman 1dari 2

STASIUN RADIO MALABAR

Pada tahun 1917-1923, Pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah stasiun


radio terbesar, dengan sistem operasi tercanggih pada saat itu. Bahkan saking
modernnya, stasiun pemancar yang dirancang oleh insinyur elektro kenamaan
lulusan Jerman bernama Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot itu sempat
diperhitungkan dan masuk ke sejarah perkembangan radio dunia karena jadi
penghubung komunikasi Indonesia - Belanda sejauh 12.000 kilometer.

Keunggulan tersebut terdapat pada sistem pemancar tanpa kabel (nirkabel) nya
yang merupakan satu-satunya dan pertama di dunia. Dalam ulasan sejarah
Komunikasi di Bandung lewat buku Tjitaroemplein-Bandung (2014) Sudarsono
Katam menyebut jika sistem pemancar tersebut merupakan yang pertama di
dunia. Hal ini dikarenakan menggunakan sistem peluncur listrik untuk
mengangkat gelombang sebesar 750 Volts dan daya 1 MA. Dari situ gelombang
radio ribuan kilowatt bisa terbangun, bahkan dengan tanpa kabel sehingga tidak
terganggu kegiatan perang dunia pertama pada jamannya.

Stasiun Radio Malabar adalah sebuah transmisi radio VLF di Malabar, Indonesia,
untuk jaringan radio ke Belanda. Ini memakai salah satu alat transmisi paling kuat
yang pernah dibuat, yang memiliki kekuatan 2400 kW. Stasiun Radio Malabar
memakai jaringan yang dibentangkan antara dua gunung sebagai antena.

Latar belakang
Berawal dari keinginan untuk menghubungkan Belanda dengan Hindia Belanda
secara nirkabel, didorong oleh situasi Perang Dunia I yang tidak memungkinkan
ketersediaan kabel, serta rentan secara teknis dan politis. Maka, dipililah koneksi
gelombang panjang untuk menghubungkan kedua negara tersebut.[2] Willem
Smit & Co’s Transformatorenfabriek memasok kumparan besar dan beberapa
trafo. Sementara generator dipasok oleh Smit Slikkerveer. Sebagai pendukung
tenaga listrik dibangun PLTA Dago, PLTA Plengan dan PLTA Lamadjan, serta PLTU
di Dayeuhkolot. Antena dibentangkan sepanjang 2 kilometer antara Gunung
Puntang dan Gunung Halimun untuk memancarkan gelombang radio. Ketinggian
antena dari dasar lembah rata-rata 350 meter. Antena dibangun mengarah ke
Belanda yang berjarak 12.000 kilometer dari Gunung Puntang.

Peresmian
Stasiun Radio Malabar diresmikan oleh Gubernur Jenderal Dirk Fock pada 5 Mei
1923. Beberapa hari sebelum peresmian, badai tropis dengan kilatan-kilatan petir
telah merusak sejumlah peralatan penting termasuk pemancar. Hal ini membuat
peresmian terancam diundur. Namun, ternyata peresmian tetap dilakukan
dengan cara mengirim pesan telegraf radio kepada Ratu Belanda dan Menteri
Urusan Koloni, tetapi tidak ada jawaban dari stasiun di Belanda. Baru pada 6 Mei
1923 malam, pemancar dapat berfungsi dengan baik. Pesan pertama yang
dirimkan dari Belanda adalah dari Kantor Berita Aneta. Meski demikian, tanggal 5
Mei 1923 tetap dijadikan tanggal peresmian Stasiun Radio Malabar. Untuk
mengenang peristiwa telekomunikasi tersebut didirikan dua patung laki-laki tanpa
busana yang tengah mengapit tiga perempat bola dunia. Patung pertama
menaruh tangan tangannya di mulut yang menandakan tengah berteriak.
Sedangkan patung yang satu lagi menaruh tangan kanannya di telinga seolah
sedang mendengarkan. Stasiun Radio Malabar sempat menjadi media
propaganda Jepang dengan melakukan kontak dengan Hooshoo Kanri Kyoku di
berbagai daerah lain di daerah pendudukannya.

Kehancuran
Setelah Jepang hengkang dari Indonesia dan Belanda ingin menguasai kembali
Indonesia para pejuang republik di Bandung Selatan menghancurkan Stasiun
Radio Malabar. Stasiun radio tersebut hancur bersamaan dengan peristiwa
Bandung Lautan Api karena tidak ingin, Bahwa stasiun Radio ini digunakan oleh
belanda untuk Menghubungi ke belanda.

Anda mungkin juga menyukai