Bahasa Austronesia merupakan rumpun bahasa yang memiliki anggota sekitar 1.268 bahasa dan
dituturkan oleh 300 juta orang lebih. Jumlah anggota rumpun bahasa Austronesia merupakan 1/8 dari
seluruh bahasa yang ada di dunia (Prasetyo, 2006). Persebaran rumpun bahasa ini meliputi ujung barat,
dari Pulau Madagaskar (Afrika) hingga ujung timur di Pulau Paskah (Pasifik). Dari ujung utara di
Kepulauan Taiwan sampai ujung selatan di New Zealand (Tanudirdjo dan Simanjuntak, 2004: 11).
Luasnya persebaran penutur Austronesia ini mengakibatkan timbulnya berbagai aspek yang menjadi
daya tarik bagi para peneliti untuk mengkajinya. Dua abad perhatian terhadap Austronesia telah berlalu,
namun fenomena besar ini masih menjadi persoalan pelik yang perlu dituntaskan terutama terkait
dengan asal usul dan persebarannya, cara adaptasi lingkungan sehingga menciptakan berbagai
keragaman yang tinggi, dan bentuk-bentuk peninggalan bendanya.
Demikian pula dengan keberadaan penutur Austronesia di Kawasan Kepulauan nusantara (Prasetyo,
2016: 319; Noerwidi, 2014). Menurut Himmelmann, ada dua jenis alternasi diatesis dalam bahasa-
bahasa Austronesia barat, yaitu alternasi pasif dan alternasi diatesis simetri (symmetrical voice
alternations, yang juga dikenal sebagai “Philippine-type focus” alternations, meskipun Himmelmann
menyatakan bahwa istilah “fokus” tidak cocok dalam konteks ini). Kebanyakan bahasa Austronesia
memuat alternasi diatesis yang mirip pertautan aktif-pasif yang terkenal dalam bahasa-bahasa Eropa.
Kalimat pasif seperti itu mempunyai kriteria berikut:
(a) verbanya ditandai dengan pembentuk pasif;
(b) pengalam (undergoer; sejenis peranan semantis) verba transitif merupakan subjek dalam
konstruksi; dan
(c) pelaku (actor) mungkin tidak ditunjukkan, atau, walaupun ditunjukkan, ditandai sebagai
oblik (oblique), yang biasanya dengan kata depan. Tambahan lagi, Himmelman
menjelaskannya dengan kalimat-kalimat contohan berikut.
(1) Orang itu di-lihat anak saya.
(2) Orang itu di-lihat oleh anak saya.
Kalimat (1) dan (2) hampir sama strukturnya, kecuali penambahan kata depan oleh
dalam kalimat (2). Himmelmann menyimpulkan bahwa bahasa Indonesia baku memuat pasif
“standar” (seperti dalam (2)) dan alternasi-alternasi diatesis simetri (seperti dalam (1)).
C. REKONSTRUKSI BAHASA
Penggunaan metode rekonstruksi morfemis mengandung asumsi bahwa terdapat relasi antarbahasa
yang dibandingkan itu. Dengan mengadakan rekonstruksi melalui korespondensi fonemis dapat
disusun:
1. Fonem Proto: yaitu fonem purba yang menurunkan satu fonem atau lebih dalam bahasa-
bahasa sekarang.
2. Morfem Proto: yaitu morfem purba yang menurunkan satu morfem atau morfem-morfem
dalam bahasa sekarang.
3. Bahasa Proto: yaitu bahasa yang menurunkan beberapa bahasa baru.
Perkembangan dari suatu bahasa proto ke bahasa-bahasa kerabat yang sekarang ada tidak terjadi
sekaligus, dalam kenyataannya terdapat kemungkinan bahwa dalam proses pencabangan itu ada bahasa
yang hilang dari pemakaian, entah karena penutur-prnutrnya lenyap atau karena pendukung-
pendukungnua beralih menggunakan bahasa yang lain.
Penerapan reknonstruksi dapat dilakukan bila suatu masyarakat bahasa yang homogen tiba-tiba dicerai-
beraikan oleh bencana alam ke empat daerah yang secara geografis berpisah satu dari yang lain, maka
secara logis dapar diterima bahwa akan timbul empat bahasa baru. Pengadaan rekonstruksi merupakan
suatu usaha untuk menulusuri kembali jejak perpisahan itu.
D. Referensi
1. https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/tokoh-detail/3343/harimurti-kridalaksana
2. https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/807/keberagaman-sastra-di-indonesia-dalam-
membangun-keindonesiaan
3. http://eprints.unram.ac.id/26657/1/buku__tokoh%20linguistik_Burhanuddin.pdf
4. http://prosidingbalarjabar.kemdikbud.go.id/index.php/seminar/article/view/22
5. https://repositori.kemdikbud.go.id/16357/