Anda di halaman 1dari 3

A.

Tokoh dan Sumbangsih dalam Perkembangan Linguistik Historis Komparatif

Raden Mas Hubert Emmanuel Harimurti Kridalaksana


Martanegara yang lahir di Ungaran, Semarang, 23 Desember
1939 adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Indonesia dan
merupakan salah satu guru besar di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia (UI). Harimurti adalah linguis
Indonesia paling produktif dan karya-karyanya sangat
bermutu. Mencermati hubungan kekerabatan 10 bahasa
daerah yang ada di Indonesia dengan menggunakan metode
leksikostatistik di samping metode inovasi bersama. Selain
itu, secara diakronis menjelaskan perkembangan bahasa Indonesia sejak awal pertumbuhan serta
perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Beberapa karyanya yang berkaitan dengan linguistik
historis Indonesia dan Austronesia di antaranya: (1) Beberapa masalah linguistik Indonesia (1978); (2)
“Lexicography in Indonesia” dalam International Congress of Linguists, Wina, Austria (1979); (3)
Struktur bahasa Jawa Kuna (bersama L. Mardiwarsito) (1979); (4) Rintisan dalam linguistik Indonesia
kumpulan karangan (1984); (5) Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai (1991); (6)
Introduction to Word Formation and Word Classes in Indonesian (1998); dan (7) “From low Malay to
standard Malay in the Indonesian Newspapers” (2003). Harimurti adalah editor Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kedua dan Kamus Mandarin-Indonesia. Di antara buku-buku yang pernah ditulisnya
ialah Kamus Linguistik, Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia, Pembentukan Kata dalam Bahasa
Indonesia, Masa Lampau Bahasa Indonesia:Sebuah Bunga Rampai, Introduction to Word Formation
and Word Classes in Indonesian, Wiwara: Pengantar Bahasa dan Kebudayaan Jawa. Makalah penting
terkini yang beredar di luar negeri berjudul "The Sanskrit legacy in Indonesia today" yang disajikannya
dalam 11th World Conference of Sanskrit di Turino Italia pada 3 April 2000, dan "Paradigma semiotik
dalam linguistik Melayu/Indonesia" yang disajikan di Universiti Putra Malaysia pada 22 Oktober 2001.
Dalam bulan Juli 2002 diluncurkan buku terbarunya yang berjudul Struktur, Kategori, dan Fungsi
dalam Teori Sintaksis.

B. RUMPUN BAHASA AUSTRONESIA

Bahasa Austronesia merupakan rumpun bahasa yang memiliki anggota sekitar 1.268 bahasa dan
dituturkan oleh 300 juta orang lebih. Jumlah anggota rumpun bahasa Austronesia merupakan 1/8 dari
seluruh bahasa yang ada di dunia (Prasetyo, 2006). Persebaran rumpun bahasa ini meliputi ujung barat,
dari Pulau Madagaskar (Afrika) hingga ujung timur di Pulau Paskah (Pasifik). Dari ujung utara di
Kepulauan Taiwan sampai ujung selatan di New Zealand (Tanudirdjo dan Simanjuntak, 2004: 11).
Luasnya persebaran penutur Austronesia ini mengakibatkan timbulnya berbagai aspek yang menjadi
daya tarik bagi para peneliti untuk mengkajinya. Dua abad perhatian terhadap Austronesia telah berlalu,
namun fenomena besar ini masih menjadi persoalan pelik yang perlu dituntaskan terutama terkait
dengan asal usul dan persebarannya, cara adaptasi lingkungan sehingga menciptakan berbagai
keragaman yang tinggi, dan bentuk-bentuk peninggalan bendanya.
Demikian pula dengan keberadaan penutur Austronesia di Kawasan Kepulauan nusantara (Prasetyo,
2016: 319; Noerwidi, 2014). Menurut Himmelmann, ada dua jenis alternasi diatesis dalam bahasa-
bahasa Austronesia barat, yaitu alternasi pasif dan alternasi diatesis simetri (symmetrical voice
alternations, yang juga dikenal sebagai “Philippine-type focus” alternations, meskipun Himmelmann
menyatakan bahwa istilah “fokus” tidak cocok dalam konteks ini). Kebanyakan bahasa Austronesia
memuat alternasi diatesis yang mirip pertautan aktif-pasif yang terkenal dalam bahasa-bahasa Eropa.
Kalimat pasif seperti itu mempunyai kriteria berikut:
(a) verbanya ditandai dengan pembentuk pasif;
(b) pengalam (undergoer; sejenis peranan semantis) verba transitif merupakan subjek dalam
konstruksi; dan
(c) pelaku (actor) mungkin tidak ditunjukkan, atau, walaupun ditunjukkan, ditandai sebagai
oblik (oblique), yang biasanya dengan kata depan. Tambahan lagi, Himmelman
menjelaskannya dengan kalimat-kalimat contohan berikut.
(1) Orang itu di-lihat anak saya.
(2) Orang itu di-lihat oleh anak saya.
Kalimat (1) dan (2) hampir sama strukturnya, kecuali penambahan kata depan oleh
dalam kalimat (2). Himmelmann menyimpulkan bahwa bahasa Indonesia baku memuat pasif
“standar” (seperti dalam (2)) dan alternasi-alternasi diatesis simetri (seperti dalam (1)).

C. REKONSTRUKSI BAHASA

Hubungan antara segmen-segmen yang berkorespondensi yang disusun dalam perangkat


korespondensi fonemis selalu bersifat konstan dan teratur dalam keluarga bahasa yang sama. Oleh
sebab itu para ahli bahasa mengembangkan pula suatu metode untuk mengadakan pemulihan
(rekonstruksi) baik fonem-fonem purba (proto) maupun morfem-morfem proto, yang dianggap pernah
ada dalam bahasa-bahasa purba, yang sama sekali tidak memiliki naskah tertulis. Karena rekonstruksi
fonemis atau morfemis hanya menyangkut bahasa-bahasa yang tidak memiliki naskah-naskah tertulis,
maka teknik rekonstruksi merupakan teknik prasejarah bahasa.
Penerapan prinsip rekonstruksi fonemis, hal yang pertama kali dilakukan yaitu
membandingkan pasangan-pasangan kata dalam berbagai bahasa kerabat dengan korespondensi
fonemis dari tiap fomnem yang membentuk kata-kata kerabat tersebut. Setelah menemukan
korespondensi fonemisnya, maka dapat diperkirakan fonem proto mana yang kira-kira menurunkan
fonem-fonem yang berkondensasi tersebut. Bagi tiap perangkat korespondensi lalu dicarikan suatu
etiket pengenal untuk memudahkan referensi. Etiket pengenal tersebut adalah fonem proto yang
dianggap menurunkan perangkat korespondensi fonemis yang terdapat dalam bahasa-bahasa kerabat.
Fonem ini biasanya diberi tanda asterik(tanda bintang: ). Faktor yang diperhatikan dalam menentukan
fonem proto dalam bahasa kerabat yaitu: Penerapan prinsip rekonstruksi fonemis, hal yang pertama
kali dilakukan yaitu membandingkan pasangan-pasangan kata dalam berbagai bahasa kerabat dengan
korespondensi fonemis dari tiap fomnem yang membentuk kata-kata kerabat tersebut. Setelah
menemukan korespondensi fonemisnya, maka dapat diperkirakan fonem proto mana yang kira-kira
menurunkan fonem-fonem yang berkondensasi tersebut. Bagi tiap perangkat korespondensi lalu
dicarikan suatu etiket pengenal untuk memudahkan referensi. Etiket pengenal tersebut adalah fonem
proto yang dianggap menurunkan perangkat korespondensi fonemis yang terdapat dalam bahasa-
bahasa kerabat.
Rekonstruksi morfemis (antar bahasa kerabat), mencakup rekonstruksi atas alomorf-alomorf
(rekonstruksi untuk menetapkan bentuk tua dalam satu bahasa). Dengan melakukan rekonstruksi
fonemis maka berhasil pula dilakukan rekonstruksi morfemis, yaitu memulihkan semua fonem bahasa-
bahasa kerabat sebagai yang tercermin dalam pasangan kata-kata ke suatu fonem proto, maka sudah
berhasil dilakukan rekonstruksi morfemis (kata dasar atau bentuk terikat), untuk menetapkan suatu
morfem proto yang diperkirakan perlu menurunkan morfem-morfem dalam bahasa-bahasa kerabat
sekarang. Seperti halnya dengan fonem proto, maka morfem proto ini biasanya ditandai dengan sebuah
tanda asterik di depannya ().
Rekonstruksi dalam atau rekonsruksi interen (internal reconstruction) adalah rekonstruksi
yang dilakukan dalam satu bahasa untuk mendapatkan bentuk-bentuk tuanya. Rekonstruksi dalam
merupakan suatu metode yang mencoba memulihkan suatu bahasa pada tahap perkembangan tertentu
pada masa lampau dengan tidak mempergunakan bahan-bahan dari bahasa-bahasa lain. Rekonstruksi
ini hanya mempergunakan bahan-bahan dari satu bahasa, yakni rekonstruksi atas alternasi
morfofonemis atau atas alomorf-alomorf suatu morfem.
1. Adanya Alomorf
Alomorf adalah istilah linguistik untuk variasi bentuk suatu morfem karena pengaruh
lingkungan yang dimasukinya. Variasi ini terjadi pada perubahan bunyi (fonologis) tanpa
perubahan makna. Contoh alomorf dalam bahasa Indonesia adalah pada morfem ber- (ber-,
be-, dan bel-) serta me- (me-, mem-, men-, meng-, dan meny-).
2. Netralisasi
Netralisasi Bahasa Jerman Moderen memiliki sejumlah konsonan, di antaranya terdapat enam
konsonan yang sering menimbulkan problen. Keenam konsonan itu adalah /p/, /t/, k/, /b/, /d/,
dan /g/. Keenamnya dapat muncul dalam posisi awal dan tengah, tetapi dalam posisi akhir
hanya ada /p/, /t/, dan /k/.
3. Reduplikasi
Reduplikasi merupakan peristiwa atau gejala lain dalam bahasa yang dapat dipergunakan
untuk mengadakan rekonstruksi dalam. Dalarn bahasa Sanskerta, Yunani, dan Latin misalnya,
terdapat reduplikasi pada bentuk perfek kata kerja.
4. Bentuk Infleksi
Kasus lain mengenai hilangnya aspirata terdapat dalam bentuk infleksi, khususnya dalam
infleksi nomen. Bentuk nominatif dari kata rambut dalam bahasa Yunani adalah thriks,
sedangkan bentuk genitifnya adalah trikhós. Dalam kasus nominatif aspirata hilang dari
konsonan /k/ karena ada penanda /s/. Bahwa aspirata itu hilang dari /k/ karena penanda /s/
dapat dilihat kembali dalam kata ónuks ‘cakar’ dengan bentuk genitifnya omukhos. Dalam
kata thriks ‘rambut’ aspirata dari konsonan /k/ menghilang karena penanda /s/, tetapi dalam
bentuk genitif aspirata ini muncul kembali. Di sini seharusnya terdapat bentuk *thrikhos,
namun karena proses disimilasi, aspirata pada /t/ dihilangkan, sehingga terdapat bentuk genetif
trikhos.

Penggunaan metode rekonstruksi morfemis mengandung asumsi bahwa terdapat relasi antarbahasa
yang dibandingkan itu. Dengan mengadakan rekonstruksi melalui korespondensi fonemis dapat
disusun:
1. Fonem Proto: yaitu fonem purba yang menurunkan satu fonem atau lebih dalam bahasa-
bahasa sekarang.
2. Morfem Proto: yaitu morfem purba yang menurunkan satu morfem atau morfem-morfem
dalam bahasa sekarang.
3. Bahasa Proto: yaitu bahasa yang menurunkan beberapa bahasa baru.

Perkembangan dari suatu bahasa proto ke bahasa-bahasa kerabat yang sekarang ada tidak terjadi
sekaligus, dalam kenyataannya terdapat kemungkinan bahwa dalam proses pencabangan itu ada bahasa
yang hilang dari pemakaian, entah karena penutur-prnutrnya lenyap atau karena pendukung-
pendukungnua beralih menggunakan bahasa yang lain.
Penerapan reknonstruksi dapat dilakukan bila suatu masyarakat bahasa yang homogen tiba-tiba dicerai-
beraikan oleh bencana alam ke empat daerah yang secara geografis berpisah satu dari yang lain, maka
secara logis dapar diterima bahwa akan timbul empat bahasa baru. Pengadaan rekonstruksi merupakan
suatu usaha untuk menulusuri kembali jejak perpisahan itu.

D. Referensi

1. https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/tokoh-detail/3343/harimurti-kridalaksana
2. https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/807/keberagaman-sastra-di-indonesia-dalam-
membangun-keindonesiaan
3. http://eprints.unram.ac.id/26657/1/buku__tokoh%20linguistik_Burhanuddin.pdf
4. http://prosidingbalarjabar.kemdikbud.go.id/index.php/seminar/article/view/22
5. https://repositori.kemdikbud.go.id/16357/

Anda mungkin juga menyukai