Anda di halaman 1dari 5

Nama : Dyah Ardhanie Putri Effendhi

NIM : 122011133006

Linguistik Bandingan A

RESUME BAB IV

METODE PERBANDINGAN

Teknik-teknik perbandingan antar bahasa untuk menemukan kesamaan-kesamaan antar


bahasa-bahasa kerabat telah dikembangkan oleh sarjana bahasa abad ke-19. Metode-metode
tersebut dikenal dengan metode klasik. Metode perbandingan klasik meliputi Hukum Bunyi
(Lautgesetz; Grimm’s Law; Sound Law), rekontruksi fonemis, dan rekonstruksi morfemis.
Hukum Bunyi, kemudian diganti dengan istilah korespondensi bunyi di abad ke-20.

A) Hukum Bunyi

Masalah bahasa telah dipersoalkan lebih dari dua ribu tahun yang lalu dalam masa Plato
(429-348 SM) hingga masa Aristoteles (384-322 SM) masih mempersoalkan hal yang
sama. Persoalan itu mengenai apakah lahirnya (bunyi) bahasa itu karena sesuatu
hubungan alamiah dengan barangnya yang ada di alam atau tidak. Aristoteles
berpendapat bahwa tidak perlu mempersoalkan hubungan antara pemberian nama dan
sifat barangnya, karena nama itu diberikan berdasarkan suatu kesepakatan (Bloomfield,
1962: hal.4).

Pengelompokan bahasa–bahasa berdasarkan kemiripan bentuk–makna, biasanya


diwujudkan pertama-tama dalam hubungan bunyi antar bahasa, yang terdapat dalam
kata-kata yang mirip. Sesudah itu pengelompokan berdasarkan kaidah-kaidah
gramatikal dan akhirnya berdasarkan kaidah-kaidah sintaksis. Hubungan yang teratur
mengenai bunyi-bunyi bahasa yang didasarkan pada kata-kata dengan makna yang
mirip, mula-mula dirumuskan pada abad ke-19 dengan nama Hukum Bunyi
(Lautgesetz; Grimm’s Law; Sound Law). Jakob Grimm menemukan kenyataan-
kenyataan bahwa ada pergeseran bunyi atau pertukaran bunyi yang teratur antara
bahasa-bahasa. Ahli-ahli Junggrammatiker memberi status yang kuat bagi hukum bunyi
dan mengatakan bahwa hukum ini berlaku tanpa kecuali karena hukum itu berlangsung
secara buta.

B) Penerapan Hukum Bunyi pada Bahasa-bahasa Austronesia


1. Umum
Hukum bunyi atau korespondensi fonem antara bahasa-bahasa Austronesia, atau
hubungan fonem-fonem bahasa kerabat dengan bahasa proto Austronesia dapat
dilihat dalam kasus-kasus berikut.

a) Fonem /ә/
Fonem /ә/ Austronesia Purba dipantulkan dalam fonem-fonem kerabat berikut :
Bahasa Jawa Kuno dan Karo  /ә/
Bahasa Makassar dan Minangkabau  menjadi /a/
Bahasa Dayak  menjadi /e/
Bahasa Tagalog  menjadi /i/
Bahasa Toba dan Bisaya  menjadi /o/

b) Fonem Trill
Terdapat dua macam fonem trill, yaitu trill apikal dan trill uvular yang masing-
masing dilambangkan dengan /r/ dan /R/.

c) Fonem /k/ dan /h/


Fonem /k/ dipantulkan secara linear dalam bahasa Karo, Melayu, dan Gayo,
dalam bahasa Toba berubah menjadi /h/.

d) Diftong /uy/ dan /ay/


Bahasa Jawa Kuno dan Formosa  diftong /uy/
Bahasa Karo  menjadi /i/
Bahasa Lamalera  menjadi /c/

e) Penghilangan Konsonan antar Vokal


Sering terjadi bahwa konsosan antar vokal, khususnya /r/ menghilang dalam
sebuah bentuk sehingga mengubah wujud kata itu.
2. Perubahan Fonem pada Bahasa Bugis dan Makassar
Fonem /ә/ dalam bahasa Makassar berubah menjadi /a/. Masih terjadi perubahan
lebih lanjut. Bila fonem /ә/ yang berubah menjadi /a/ pada suku kedua dari akhir
maka konsonan yang mengikutinya digandakan (digeminasi).

3. Bahasa Malagasi
Bahasa Malagasi masih memperlihatkan korespondensi fonemis yang teratur
dengan bahasa Austronesia laiinya. Korespondensi tersebut sebagai berikut:
- Dalam bahasa-bahasa Austronesia lainnya terdapat konsonan /h/, maka dalam
bahasa Malagasi konsonan itu hilang.
- Bunyi nasal pada akhir kata pada bahasa-bahasa lain akan menjadi /na/ dalam
bahasa Malagasi.
- Bunyi /l/ yang didahului oleh vokal /i/ dalam bahasa-bahasa Austronesia lainnya
akan menjadi /d/ dalam bahasa Malagasi
- Konsonan /t/ pada bahasa Austronesia akan menjadi /trǎ/ dalam bahasa
Malagasi.
- Fonem /j/ yang mengikuti bunyi nasal dalam bahasa Austronesia menjadi /d z/
- Bunyi /k/ pada akhir kata menjadi /ka/ dalam bahasa Malagasi.
- Konsonan /p/ pada Austronesia menjadi /f/, kecuali /p/ mengikuti nasal.

C) Kritik atas Hukum Bunyi


Kritik mengenai metode Indo-Eropa pertama-tama dilontarkan oleh aliran Neo-
Lingustica (Italia) yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk
mencipta sendiri tanpa terikat oleh hukum-hukum atau peraturan-peraturan tertentu.
Kritik kedua berasal dari aliran Marr (Uni Soviet) yang berpendapat bahwa rumus-
rumus yang dikemukakan Junggrammatiker terlalu abstrak sifatnya, dan tidak
mengindahkan soal-soal sosial dalam masyarakat,
Ahli-ahli lingustik di Amerika tetap mempergunakan prosedur perbandingan
sebagai yang dilakukan pada abad yang lampau dengan bertolak dari bidang
fonologi, dengan membandingkan pasangan-pasangan kata yang tercatat, apakah
pasangan tersebut mengandung kesamaan fonologis (bentuk) dan makna atau tidak.
D) Korespondensi Bunyi
Segmen-segmen yang berkorespondensi bagi glos yang sama, baik dilihat dari segi
bentuk maupun makna, dalam bermacam-macam bahasa, diperbandingkan satu
sama lain. Sesudah mendaftarkan kata-kata dari sejumlah bahasa, mulai diadakan
perbandingan fonem demi fonem dari tiap segmen. Dipilih kesepuluh bilangan
utama. Kemudian dalam butir 6, akan diperagakan dari korespondensi bunyi ini
dengan mengadakan rekonstruksi fonemis.
Suatu perangkat korespondensi fonemis tidak hanya diperoleh dari satu pasang kata
saja, tetapi harus diturunkan dari seluruh kemungkinan yang dapat diperoleh dari
bahasa-bahasa yang diperbandingkan

E) Pembentukan Korespondensi Fonemis


Untuk menyusun atau menetapkan suatu perangkat korespondensi bunyi yang
absah, setelah mencatat indikator tersebut, harus diadakan pengujian agar perangkat
korespndensi itu mendapat status yang kuat. Di samping itu, jangan sampai terjadi
korespondensi yang sebenarnya ada, ternyata diabaikan; atau suatu indikator
sebenarnya bukan korespondensi diperlakukan sebagai suatu perangkat
korespondensi.

1) Rekurensi Fonemis
Prosedur untuk menemukan perangkat bunyi itu yang muncul secara berulang-
ulang dalam sejumlah pasang kata yang lain disebut rekurensi fonemis.
Penetapan perangkat korespondensi fonemis dapat dilakukan pada pasangan-
pasangan lain. Semakin banyak data yang diteliti dan diperbandingkan semakin
terbuka kemungkinan. Melalui rekurensi fonemis dapat ditetapkan secara
meyakinkan adanya sebuah korespondensi fonemis.

2) Ko-okurensi
Sebuah perangkat korespondensi selalu diturunkan dari kata-kata yang mirip
bentuk dan maknanya. Karena adanya prinsip bentuk dan makna ini, dapat
terjadi bahwa bentuk-bentuk tertentu diabaikan sebagai bentuk yang mirip
dengan bentuk-bentuk lain dalam bahasa kerabat. Yang dimaksud dengan ko-
okurensi aalah gejala-gejala tambahan yang terjadi sedemikian rupa pada kata-
kata kerabat yang mirip bentuk dan maknanya, sehingga dapat mengaburkan
baik kemiripan bentuk-maknanya maupun korespondensi fonemisnya dengan
kata-kata lain dalam bahasa kerabat lainnya.
Dalam menetapkan korespondensi fonemis harus diperhatikan pula apakah
sepasang kata yang tampaknya tidak sama itu sebenarnya mengandung gejala
lain yaitu ko-okurensi, gejala-gejala yang timbul dalam kata itu sehingga sudah
mengubah bentuk kata itu. Bila ada, maka kedua kata itu tetap dimasukkan
dalam kata yang identik atau mirip.

3) Analogi
Menghilangnya /h/ antar vokal yang berasal dari /r/ antar vokal dalam bahasa
Bali dan Lamalera terjadi karena analogi. Analogi merupakan suatu proses
pembentukan kata mengikuti contoh-contoh yang sudah ada. Analogi dapat
muncul dalam situasi peralihan yang lain, dalam hubungan dengan bahasa-
bahasa non-kerabat. Pola perubahan anatara bahasa kerabat dapat digunakan
sebagai dasar untuk mengubah bentuk-bentuk dari bahasa non-kerabat sehingga
dapat diterima dalam bahasa sendiri.

Anda mungkin juga menyukai