Anda di halaman 1dari 8

E.

I'jaz al-Qur'an

I'jaz al-Qur'an merupakan sebuah penelitian tentang mukjizat-mu'jizat yang ada


pada al-Qur'an, dan terutama i'jaz al-Qur'an pada ayat-ayat ilmiah menjelaskan
tentang kekuasaan Allah swt. Seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan umat manusia saat ini telah ditemukan beberapa fakta ilmiah yang belum
ditemukan oleh ilmuan terdahulu, dan pada kenyataan nya bahwa semua penemuan-
penemuan itu sudah tercantum dalam al-Qur'an jauh sebelum para ilmuan
menemukan nya. Dan hal ini tentu saja menjadi bukti kuat bahwa al-Qur'an ini adalah
firman dari Allah Swt.

Hasan Zaini menjelaskan bahwa i’jaz (mu’jizat) itu penekanannya adalah kepada
kelemahan orang untuk mendatangkan yang sepertinya, tetapi tujuannya bukanlah
semata-mata untuk melemahkan. Melainkan juga untuk menampakkan kebenaran
kitab itu sendiri dan kebenaran Rasul pembawanya. Hal ini sudah dimaklumi oleh
setiap orang yang berakal, karena memang sejak dahulu sampai sekarang dan bahkan
yang akan datang tidak seorang pun yang sanggup menandinginya, 1 sebagaimana
berulang-ulang dijelaskan oleh Allah SWT. dalam firman-Nya.

‫قْل َلِئِن اْج َتَم َعِت اِإْل ْنُس َو اْلِج ُّن َع َلى َأْن َيْأُتوا ِبِم ْثِل َهَذ ا اْلُقْر آِن اَل َيْأُتوَن ِبِم ْثِلِه َو َلْو َك اَن َبْعُضُهْم ِلَبْع ٍض َظِهيًر ا‬
Artinya: “Katakannlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul
untuk membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain.” 2
Kata “al-Ilmiy” adalah Al-Mukhtashshubil‘Ilmi, artinya mengenai/berdasarkan
ilmu pengetahuan.3 Hasan Zaini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan I’jaz Ilmi
al-Qur’an adalah:
‫االعجاز العلم فهم اخبار القران الكريم بحقيقة اثباتها العلم التجريي اخير او ثبت عدم امكان ادراكها بالوسائل البشرية‬
‫زمن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
Artinya: “Pemberitaan al-Qur’an al-Karim menurut hakikat, lalu dikuatkan
oleh tajribi (eksperimen) yang baik yang menetapkan bahwa manusia tidak mungkin
mendapatkannya dengan perantara manusia pada masa Rasulullah Saw.”

1
Hasan Zaini, Raudatul Hasanah, Ulumul Qur’an, (Batusangkar: STAIN Batusangkar Press, 2010) cet
ke-1, hlm. 186
2
QS. Al-Isra’: 88,Lihat Departemen Agama RI, Op.cit, hlm. 437
3
Dengan demikian, yang dimaksud dengan “I’jaz Ilmi al-Qur’an” adalah
pemberitaan al-Qur’an sebagai kitab suci tentang hakikat sesuatu yang dapat
dibuktikan oleh ilmu eksperimental yang pada saat itu belum tercapai oleh manusia
karena keterbatan sarana. Hal ini merupakan bukti yang menjelaskan kebenaran Nabi
Muhammad Saw. sebagai seorang Rasul tentang apa yang diwahyukan Allah Swt.
Dengan menampakkan kelemahan orang-orang kafir Quraisy untuk menghadapi
mu’jizatnya yang abadi4, yaitu al-Qur’anul karim.

Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:

)88( ‫) َو َلَتْع َلُم َّن َنَبَأُه َبْعَد ِح يٍن‬87( ‫ِإْن ُهَو ِإاَّل ِذ ْك ٌر ِلْلَعاَلِم يَن‬

Artinya: “Al-Qur’an ini tidak lain hanya peringatan bagi semesta alam. Dan
sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita al-Qur’an setelah beberapa
waktu lagi.”5

F. I’jaz al-Tasyri’i (Kemukjizatan dari Segi Hukum)


Kemukjizatan yang dimaksud mencakup ajaran yang agung dan manhaj lurus
untuk membimbing umat manusia. Tiap mufradnya menunjukkan dan menerangkan
bahwa al-Qur’an tidak mungkin di produk oleh manusia. Hal ini sejalan dengan
pemikiran M. Rasyid Ridha, yang dikutip oleh Qardhawi, bahwa ia mengulang
kembali tantangan al-Qur’an dan menjelaskan citacita yang dibawa oleh al-Qur’an
untuk diwujudkan dalam kehidupan, dan suatu yang mustahil jika al-Qur’an dikarang
oleh seorang yang tidak dapat membaca dan menulis dari bangsa yang buta aksara,
sementara isinya mengalahkan seluruh pemikiran yang dibawa oleh filosof dan para
pembaharu.6
Dalam sejarah kehidupannya, manusia telah banyak mengenal berbagai
macam doktrin, pandangan hidup, sistem dan perundang-undangan yang bertujuan
membangun hakikat kebahagiaan individu di dalam masyarakat. Namun tidak satupun
daripadanya yang dapat mencapai seperti yang dicapai al-Qur’an dalam
kemukjizatan tasyri’-nya.(6)
Tak kalah menakjubkan lagi ketika al-Qur`an berbicara tentang hukum
(tasyri’) baik yang bersifat individu, sosial (pidana, perdata, ekonomi serta politik)
dan ibadah. Sepanjang sejarah peradaban umat, manusia selalu berusaha membuat
hukum-hukum yang mengatur sekaligus sebagai landasan hidup mereka dalam
kehidupan mereka. Namun demikian hukum-hukum tersebut selalu direkonstruksi
diamandement bahkan dihapuskan sesuai dengan tingkat kemajuan intelekstualitas
dan kebutuhan dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks. Perkara ini tak
4
Hasan Zaini, Ulumul Qur’an, Op.cit, hlm. 186. Lihat juga Razzaq, A., & Perkasa, J. (2019). Penafsiran Ayat-
Ayat Jihad Dalam Kitab Al-Qur’an Al-‘Adzim Karya Ibnu Katsir. Wardah, 20(1), 71-84.
5
QS. Shaad: 87-88.

6
berlaku pada al-Qur`an. Hukum-hukum al-Qur`an selalu kontekstual berlaku
sepanjang hayat, dimanapun dan kapanpun karena al-Qur`an datang dari Zat yang
Maha Adil lagi Bijaksana.

Dalam menetapkan hukum al-Qur`an menggunakan cara-cara sebagai berikut;


Pertama, secara mujmal. Cara ini digunakan dalam banyak urusan ibadah yaitu
dengan menerangkan pokok-pokok hukum saja. Demikian pula tentang mu’amalat
badaniyah al-Qur`an hanya mengungkapkan kaidah-kaidah secara kuliyah.
sedangkang perinciannya diserahkan pada as-Sunah dan ijtihad para mujtahid.
Kedua, hukum yang agak jelas dan terperinci. Misalnya hukum jihad, undang-
undang peranghubungan umat Islam dengan umat lain, hukum tawanan dan rampasan
perang. Seperti QS. al-Taubah 9:41:
“Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan
berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Ketiga, jelas dan terpeinci. Diantara hukum-hukum ini adalah masalah hutang-
piutang QS. Al-Baqarah,2:282. Tentang makanan yang halal dan haram, QS. An-Nis`
4:29. Tentang sumpah, QS. An-Nahl 16:94. Tentang perintah memelihara kehormatan
wanita, diantara QS. Al-Ahzab 33:59. dan perkawinan QS. An-Nisa` 4:22.
Yang menarik diantara hukum-hukum tersebut adalah bagaimana Tuhan
memformat setiap hukum atas dasar keadilan dan keseimbangan baik untuk jasmani
dan rohani, individu maupun sosial sekaligus ketuhanan. Misalnya shalat yang
hukumnya wajib bagi setiap muslim yang sudah aqil-balig dan tidak boleh
ditinggalkan atau diganti dengan apapun.
Dari segi gerakan banyak penelitian yang ternyata gerakan shalat sangat
mempengaruhi saraf manusia, yang intinya kalau shalat dilakukan dengan benar dan
khusuk (konsentrasi) maka dapat menetralisir dari segala penyakit yang terkait dengan
saraf, kelumpuhan misalnya.
Juga shalat yang kusuk merupakan bentuk meditasi yang luar biasa, sehingga
apabila seseorang melakukan dengan baik maka jiwanya akan selamat dari
goncangan-goncangan yang mengakibatbatkan sters hingga gila.
Dalam konteks sosial shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar
seperti dijelaskan dalam QS. Al-‘Ankabut 29:45:Bacalah apa yang Telah diwahyukan
kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang
lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Contoh lain misalnya al-Qur`an Ali Imran [2;159] yang menanamkan sistem
hukum sosial dengan berdasar pada azaz musyawarah.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap
mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Ayat di atas menganjurkan untuk menyelesaikan semua problem sosial dengan


azaz musyawarah agar dapat memenuhi keadilan bersama dan tidak ada yang
dirugikan. Nilai yang dapat diambil adalah bagaimana manusia harus mampu
bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan kelompoknya, karena hasil keputusan
dengan musyawarah adalah keputusan bersama. Dengan demikian keutuhan
masyarakat tetap terjaga. Ayat selanjutnya apabila sudah sepakat dan saling
bertanggung jawab maka bertawakkal kepada Allah. Hal ini mengindikasikan harus
adanya kekuasaan mutlak yang menjadi sentral semua hukum dan sistem tata nilai
manusia.
Demikianlah karakteristik sekaligus rahasia hukum-hukum Tuhan yang selalu
menjaga keadilan dan keseimbangan baik individu, sosial dan ketuhanan yang tak
mungkin manusia mampu menciptakan hukum secara kooperatif dan holistik. Oleh
karena itu tak salah bila seorang Rasyid Rida -sebagaimana dikutip oleh Quraish
Shihab- mengatakan dalam Al-Manarnya bahwa petunujuk al-Qur`an dalam bidang
akidah, metafisika, ahlak, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan agama, sosial,
politik dan ekonomi merupakan pengetahuan yang sangat tinggi nilainya. Dan jarang
sekali yang dapat mencapai puncak dalam bidang-bidang tersebut kecuali mereka
yang memusatkan diri secara penuh dan mempelajarinya bertahun-tahun. Padahal
sebagaimana maklum Muhammad sang pembawa hukum tersebut adalah
seorang Ummy dan hidup pada kondisi di mana ilmu pengetahuan pada masa
kegelapan.(7)
G. I’jaz ‘Adadi
I’jaz ‘Adadi merupakan salah satu dari kemukjizat Al-Qur’an, disamping i’jaz
Al-Qur’an yang sudah ada sebelumnya, seperti i’jaz balaghi, i’jaz tasyri’, i’jaz ilmi,
i’jaz lughawi, i’jaz thibby, i’jaz falaky, i’jaz i’lami, i’jaz thabi’i dan lain sebagainya.
Namun i’jaz ‘adadi masih dibilang baru dibandingkan dengan i’jazi’jaz lain yang
terungkap. Jika melihat dari awal sejarahnya, i’jaz ‘adadi sudah mulai terungkap pada
masa kekuasaan Abd Al-Malik Marwan yang berusaha menghitung huruf, ayat dan
surat dalam Al-Qur’an. Kajian ini kemudian berkembang dengan lahirnya para
mufasir-mufasir yang menulis setiap awal surat, selalu disebutkan jumlah huruf, kata
dan ayat dalam surat tersebut, seperti dalam Marah Labid karya Muhammad Nawawi
al-Jawi dan berlanjut pada kajian huruf-huruf muqaththaah, menurut para mufasir
huruf-huruf muqaththaah mempunyai keistimewaan dan keterhubungan dengan surat
yang didahuluinya. Setelah adanya penghitungan terhadap huruf, ayat dan surat dalam
AlQur’an tersebut, metode seperti ini berkembang dalam penjumlahan dan
penghitungan huruf, ayat dan surat dalam Al-Qur’an yang penghitungan dan
penjumlahannya dalam konteks mukjizat Al-Qur’an, khususnya yang berkaitan
dengan bilangan angka (i’jaz ’adadi). Bilangan angka dalam konteks mukjizat juga
dilakukan oleh Rashad Khalifa ketika menafsirkan QS. Al-Muddatstsir/74: 30 dengan
menemukan faktafakta angka dalam Al-Qur’an yang habis dibagi atau kelipatan dari
angka 19.
Metode seperti ini pun persis sama dengan yang dilakuakn ‘Abd Ad-Da’im Al
Kahil, namun ‘Abd Ad-Da’im Al Kahil melihat keistimewaan dari angka 7 yang
disebut berulang-ulang dalam Al-Qur’an. Ia membuktikan bahwa semua surah, ayat,
kata, dan huruf dalam Al-Quran disusun Allah swt secara teratur dengan sistem
berbasis angka 7. Melihat fenomena angka 7 dan 19 dalam Al-Qur’an bukanlah
sebuah kebetulan, logika ilmiah dasar beranggapan bahwa suatu kebetulan tidak
mungkin selalu berulang dalam sebuah buku kecuali bila si penulis buku tersebut
telah mengurutkan tulisannya dengan sebuah metode tertentu.
Terungkapnya i’jaz ‘adadi juga tidak terlepas dari kritik, ini akibat dari tidak
konsistennya para peneliti menggunakan metode. Dan seharusnya hasil penelitian Al-
Qur’an ini memunculkan kemukjizatan hakiki yang tidak ada faktor kebetulan di
dalamnya. Pembahasan mengenai i'jaz 'adadi dalam kajian 'Ulum al-Quran adalah
pembahasan yang termasuk baru. Oleh itu, banyak timbul pro dan kontra dengan
terungkapnya i’jaz ‘adadi dalam Al-Qur’an. Menanggapi pro dan kontra i’jaz ‘adadi
ini, sebaiknya kita tidak bersikap apriori ataupun cepat mengambil kesimpulan.
Menurut penulis, kedua kalangan Islam tersebut sama-sama mempunyai tujuan yang
baik yaitu menjaga Al-Qur’an. Kelompok yang mendukung i’jaz ‘adadi, yaitu ingin
membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an melalui mukjizat angka-angka yang
terkandung di dalamnya. Sementara kalangan yang lain, ingin Al-Qur’an selalu
terpelihara dari tangan-tangan orang-orang "dungu" yang menjelaskan Al-Qur’an jauh
dari kaedah-kaedah penafsiran muktabar.
Kerana perbahasan i’jaz ‘adadi masih terbilang baru, maka sepatutnya kita
meneruskan penyelidikan kajian ini. Sehingga pada akhirnya lahir satu kaidah dan
metodologi yang baik, terbebas daripada kesalahan. walaupun ijtihad itu tidak terlepas
daripada kesalahan, mudah-mudahan itu tetap dinilai sebagai satu kebaikan.
H. Hikmah Kemukjizatan Alquran

a. Al-Quran adalah mukjizat terbesar yang diberikan Allah Ta’ala kepada


Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam 14 abad yang silam.
Turunnya wahyu pertama merupakan peristiwa yang bersejarah dan fenomenal
dalam penyebaran ajaran Islam oleh Nabi Muhammad Saw. kepada seluruh
alam.
b. Peristiwa ini merupakan tonggak kemajuan dalam berbagai bidang, khususnya
dalam penyebaran ajaran Islam. Sebab ketika pada masa itu, kondisi
masyarakat suku Quraisy benar-benar dalam keadaan jahiliyah.
c. Dalam pembahasan Nuzulul Qur’an menurut berbagai mazhab kita telah
mengetahui bahwa Alquran diturunkan ke Baitul Izzah secara langsung pada
bulan Ramadhan. Dari Baitul Izzah itulah, Alquran kemudian diturunkan
secara berangsur-angsur kepada Rasulullah Saw. Adapun hikmah diturunkan
Alquran secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw. adalah
sebagai berikut:
d. 1. Meneguhkan hati Rasulullah dan para sahabat. Dakwah Rasulullah pada era
Makkiyah penuh dengan tribulasi berupa celaan, cemoohan, siksaan, bahkan
upaya pembunuhan.
e. Wahyu yang turun secara bertahap dari waktu ke waktu ini menguatkan hati
Rasulullah dalam menapaki jalan yang sulit dan terjal itu. Di era Madaniyah,
hikmah ini juga terus berlangsung. Ketika hendak menghadapi perang atau
kesulitan, Alquran turun menguatkan Rasulullah dan kaum muslimin generasi
pertama.
f. 2. Sebagai tantangan dan mukjizat. Orang-orang musyrik yang berada dalam
kesesatan tidak henti-hentinya berupaya melemahkan kaum muslimin. Mereka
sering mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh dengan maksud melemahkan
kaum muslimin.
g. Pada saat itulah, kaum muslimin ditolong Allah dengan jawaban langsung
dari-Nya melalui wahyu yang turun. Selain itu, Alquran juga menantang
langsung orang-orang kafir untuk membuat sesuatu yang semisal dengan
Alquran. Walaupun Alquran turun berangsur-angsur, tidak seluruhnya, toh
mereka tidak mampu menjawab tantangan itu. Ini sekaligus menjadi bukti
mukjizat Alquran yang tak tertandingi oleh siapapun.
h. 3. Mempermudah dalam menghafal dan memahami. Dengan turunnya Alquran
secara berangsur-angsur, maka para kaum muslimin menjadi lebih mudah
menghafalkan dan memahaminya. Terlebih, ketika ayat itu turun dengan latar
belakang peristiwa tertentu atau yang diistilahkan dengan asbabun nuzul,
maka semakin kuatlah pemahaman para sahabat.
i. 4. Relevan dengan penetapan hukum dan aplikasinya. Sayyid Quthb
mengatakan bahwa para sahabatnya adalah generasi yang selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan oleh Alquran. Karena dijuluki dengan Jailul Qur’ani
Farid (generasi qur’ani yang unik).
j. Di antara hal yang memudahkan bersegeranya para sahabat dalam
menjalankan perintah Alquran adalah karena Alquran turun secara bertahap.
Perubahan terhadap kebiasaan atau budaya yang mengakar di masyarakat
Arab pun dilakukan melalui tahapan hukum yang memungkinkan dilakukan
karena turunnya Alquran secara berangsur-angsur ini.
k. Misalnya khamr, Ia tidak langsung diharamkan secara mutlak, tetapi melalui
penahapan. Pertama, Alquran menyebut mudharatnya lebih besar dari
manfaatnya (QS. 2 : 219). Kedua, Alquran melarang orang yang mabuk
karena khamr dari salat (QS. 4 : 43). Dan yang ketiga baru diharamkan secara
tegas (QS. 5 : 90-91)
l. 5. Memperkuat keyakinan bahwa Alquran adalah benar dari Allah. Ketika
Alquran turun berangsur-angsur dalam kurun lebih dari 22 tahun, kemudian
menjadi rangkaian yang sangat cermat dan penuh makna, indah dan fasih gaya
bahasanya, terjalin antara satu ayat dengan ayat lainnya bagaikan untaian
mutiara, serta ketiadaan pertentangan di dalamnya, semakin menguatkan
bahwa Alquran benar-benar kalam Ilahi, Zat yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji

Daftar Pustaka

Munawwir, A.W. (1997). Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlegkap. Surabaya: Pustaka


Progresif. Edisi kedua, cet ke- 14.
Zaini, Hasan; Hasanah, Raudatul. (2010). Ulumul Qur’an, Batusangkar: STAIN Batusangkar
Press, cet ke-1.
Al-Baghdâdi, Abû Mansûr, (T.th). Al-Farq Bayn al-Firaq. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiya.

Al-Mahali, Jalaludin; As-Suyut, Jalaludin. (2010). Tafsir al-Jalalain. Kairo: Dar al-Hadis,
cetakan I.
Al-Qur’an al-Karim. Departemen Agama Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai