Anda di halaman 1dari 26

SUMBER AJARAN ISLAM

AL - QUR'AN

AL-HADITS/AS-SUNNAH

AL-IJTIHAD
SUMBER AJARAN ISLAM

SISTEMATIKA SUMBER AJARAN ISLAM

AL-QUR'AN

AL-HADITS/AS-SUNNAH

IJTIHAD

IJMA'

QIYAS

ISTIHSAN

MASLAHAH MURSALAH

'URF

ISTISHAB

SADDUDZDZARA'IYAH
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam yang utama dan pertama dalam Islam. Sumber
ajaran Islam (Hukum Islam, Syariat Islam, Risalah Islam) itu ada tiga, yakni Al-Quran, As-
Sunnah,dan Ijtihad. Yang pertama (Al-QUran) dan kedua (Hadits) asalnya langsung dari Allah
SWT dan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang ketiga (Ijtihad) merupakan hasil pemikiran
umat Islam, yakni para ulama mujtahid (yang berijtihad), dengan tetap mengacu kepada Al-
Quran dan As-Sunnah.

Al-Quran: Sumber Ajaran Islam Utama

Secara harfiyah, Quran artinya “bacaan” (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana firman
Allah dalam Q.S. 75:17-18.

“Jika Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu” Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan ‘membacanya’.

Secara definitif dapat dikatakan, Al-Quran adalah kumpulan wahyu atau firman Allah
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, berisi ajaran tentang keimanan, peribadahan,
dan budi pekerti.

Al-Quran merupakan salah satu Kitabullah atau Kitab-Kitab Allah, yakni wahyu-wahyu
yang diterima para Nabi/Rasul Allah. Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw,
bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya.

Mukjizat para nabi terdahulu lebih bersifat inderawi, yakni bisa diamati dan dilihat
langsung oleh indera penglihatan atau lainnya, untuk menampilkan rasa takjub terhadap
kaumnya. Kepada Nabi Muhammad Saw, Allah SWT memberikan mukjizat Al-Quran yang
kekal abadi sepanjang zaman sehingga dapat disaksikan oleh semua umat manusia dari semua
zaman dan tempat sampai akhir nanti.

Al-Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang


telah ditetapkan sebelumnya.
“Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia membenarkan kitab-kitab
yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang ditetapkannya. Tidak ada keraguan di
dalamnya dari Tuhan semesta alam” (Q.S. 10:37).

“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang benar,
membenarkan kitab-kitab sebelumnya...” (Q.S. 35:31).

Al-Quran tersusun dalam 114 surat. Al-Quran diturunkan Allah dalam dua periode:

1. Periode Makkah, yakni selama 12 tahun 13 hari. Ayat-ayatnya disebut Ayat Makiyah. Ayat
pertama turun adalah Q.S. Al-’Alaq:1-5, ketika Nabi Muhammad berkhalwat di Gua Hira
tanggal 17 Ramadhan atau 6 Agustus 610 M yang dikenal sebagai “Malam Qadar” (Lailatul
Qadr).

Ayat-ayat yang turun di Makkah disebut “Ayat-Ayat Makiyah” dengan ciri khas: ayatnya
pendek-pendek, ditujukan kepada umat manusia (diawali kalimat “Ya Ayuhan Naas”, Wahai
Manusia), dan berisi hal-hal yang berhubungan dengan tauhid, keimanan, ancaman dan pahala,
serta sejarah bangsa-bangsa terdahulu.
2. Periode Madinah, ayat-ayatnya disebut Ayat Madaniyah. Di Madinah pula ayat terakhir
turun, ketika Nabi Saw tengah menunaikan ibadah haji Wada di Arafah (9 Dzulhijjah 10
H/Maret 632 M). yakni Q.S. 5:3,

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan
bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak
panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-
orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi
agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat-ayat yang turun di Madinah disebut “Ayat-Ayat Madaniyah”, dengan ciri khas: umumnya
panjang-panjang, ditujukan kepada kaum beriman (diawali dengan “Ya Ayuhal Ladzina
Amanu”, Wahai Orang-Orang Beriman), dan berisi ajaran tentang hukum-hukum,
kemasyarakatan, kenegaraan, perang, hukum internasional, serta hukum antaragama dan lain-
lain.
Al-Quran dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang dilakukan
para sahabat. Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada masa Khalifah Abu
Bakar, lalu pada masa Khalifah Utsman bin Affan dibentuk panitia ad hoc penyusunan mushaf
Al-Quran yang diketuai Zaid. Karenanya, mushaf Al-Quran yang sekarang disebut pula
Mushhaf Utsmany.

Al-Quran yang merupakan sumber utama ajaran Islam ini benar-benar merupakan
kebenaran sejati sebagai pedoman hidup (way of life) manusia. Melalui Al-Quranlah Allah SWT
menyatakan kehendak-Nya. Mengikuti tuntunan dan tuntutan Al-Quran berarti mengikuti
kehendak-Nya.

Itulah sebabnya Allah sendiri yang menjamin keaslian Al-Quran sejak pertamakali
diturunkan. Makanya, hingga kini apa yang ada dalam Al-Quran, itu pula yang diterima dan
dicatat para sahabat Nabi Saw. Hingga kini isinya masih dalam teks asli, tanpa sedikit pun
perubahan, baik dalam jumlah surat, ayat, bahkan huruf. Tidak tercampur di dalamnya ucapan
Nabi Muhammad Saw atau perkataan para sahabat.

Q. S. Al-Hijr : 9 :

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami tetap


memeliharanya” (Q.S. 15:9).

Salah satu indikasi keaslian al-Quran adalah tidak adanya “Quran tandingan” karena manusia
yang paling cerdas sekaligus paling membenci al-Quran pun tidak akan sanggup membuatnya.
Allah SWT sendiri menantangnya. (Q.S. 2:23-24).
“Jika kamu masih ragu-ragu tentang kebenaran apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad), silakan kamu membuat satu surat saja yang sama dengannya (al-Quran).
Panggilah saksi-saksi (pemuka dan para ahli) kamu (untuk membantumu) selain Allah,
sekiranya kamu benar (bisa melakukan hal itu). Jika kamu tidak sanggup membuatnya dan
sekali-kali kamu tidak akan sanggup, takutilah api neraka yang kayu bakarnya manusia dan
bantu yang disediakan bagi orang-orang kafir (yang menentang kebenaran al-Quran)” (Q.S.
2:23-24)

” (Q.S. 17:88).

“Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk mengadakan yang serupa
dengan Al-Quran ini, niscaya tidak mereka akan dapat membuatnya, biarpun sebagian mereka
membantu sebagian yang lain” (Q.S. 17:88).

Ayat pertama yang diturunkan adalah Iqra’ (bacalah!) yang mengindikasikan kewajiban
pertama manusia adalah membaca, baik dengan pancaindera maupun mata hati.

Dari ayat pertama itu saja, Al-Quran sudah menunjukkan bahwa ia rahmat dan
bimbingan bagi manusia. Membaca adalah jalan untuk memperoleh ilmu. Dengan ilmu itu
manusia bisa mengenal baik dan buruk menurut Allah SWT, mengenal dirinya, juga mengenal
Tuhannya. Rahasia alam akan tersingkap denan membaca, juga pembentukan kebudayaan
termasuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk “menaklukkan” alam.

Allah SWT mewahyukan Al-Quran tidak lain agar menjadi pedoman bagi hidup umat
manusia. Dengan pedoman itu, manusia akan menjalani kehidupan ini dengan baik dan benar,
sehingga tercipta ketentraman, keharmonisan, dan kebahagiaan hidup.

(Q.S. 35:29).

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian harta dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-
diam dan terang-terangan. Mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”
(Q.S. 35:29).

Kewajiban manusia untuk mengimani, membaca, menelaah, menghayati, dan


mengamalkan ajaran Al-Quran secara keseluruhan, serta mendakwahkannya

(Q.S. Al-'Ashr:1-3).
1. Demi Masa

2. Sesungguhnya Manusia itu benar-benar dalam kerugian

3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Jika kita memang benar-benar beriman kepada Allah SWT atau mengaku Muslim. Membacanya
saja sudah berpahala, bahkan kata Nabi Saw satu huruf mengandung 10 pahala, apalagi jika
mengamalkannya.

Isi Al-Quran meliputi segala hal, mulai soal keimanan atau akidah hingga fenomena alam.
Al-Quran mengajari manusia bersikap ilmiah atau berdasarkan ilmu

(Q.S. 17:36),

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.mendorong manusia melakukan penelitian untuk menyibak tabir alam

(Q.S.
10:101),

Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan
Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".
Menaklukkan angkasa luar (Q.S. 55:33),

Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.

mengabarkan prediksi ilmiah tentang rahim ibu (Q.S. Az-Zumar:6),

Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia
menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu
dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan (Tiga kegelapan itu ialah kegelapan
dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim).
yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. tidak ada
Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?
Gaya berat atau gravitasi (Q.S. Ar-Rahman:7),

Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).

Pemuaian alam semesta atau expanding universe Q.S. Adz-Dzariyat:47,

Demi (angin) yang menerbangkan debu dengan kuat.

Al-Anbiya: 104,

(Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran - lembaran kertas.
Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya.
Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.
Ruang hampa di angkasa luar (Q.S. Al-An’am:125),

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki
Allah kesesatannya[503], niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia
sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak
beriman.

Tentang geologi, gerak rotasi, dan revolusi planet bumi (Q.S. An-Naml:88).

Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia
berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh
tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Allah SWT mengingatkan dalam Al-Quran tentang terbaginya umat Islam kedalam tiga
golongan dalam menyikapi Al-Quran (Q.S. Faathir [35]:32).

1. Golongan zhalimu linafsih (menganiaya diri sendiri).

2. Golongan saabiqun bil-khairi (cepat berbuat kebajikan).


3. Golongan muqtashid (pertengahan).

Dewan Penerjemah Al-Quran Depag RI (Al-Quran dan Terjemahannya, Depag RI)


memaknai ketiga golongan tersebut sebagai berikut: golongan pertama adalah "orang yang lebih
banyak kesalahannya daripada kebaikannya"; golongan kedua adalah "orang yang kebaikannya
amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan; dan golongan "pertengahan" adalah mereka
yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya.

Dapat dikatakan, golongan zhalimu linafsih adalah orang yang mengabaikan Al-Quran
sebagai pedoman dalam hidupnya. Disebut "menganiaya diri sendiri" karena dengan
mengabaikan ajaran Allah ia sesat dalam hidupnya, dunia dan akhirat. Ia menolak untuk
mengikuti aturan yang sudah jelas akan menyelamatkannya dunia-akhirat.

Golongan sabiqun bil-khair adalah mereka yang cepat mengamalkan Al-Quran begitu
mereka baca dan pahami. Persis sebagaimana dicontohkan Nabi Saw dan para sahabat. Para
sahabat bahkan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan (fastabiqul khairat) sebagai
pengamalan ajaran Al-Quran (Islam).

Sedangkan golongan muqtashid dapat dikatakan parsial dalam pengamalan Al-Quran.


Mereka mencampuradukkan antara ibadah dan maksiat, hak dan batil, ajaran Al-Quran dan
ajaran di luar Al-Quran. Mereka tentu termasuk orang yang merugi karena Allah memerintahkan
agar kita berislam secara totalitas (kaffah). Wallahu a'lam.

2. Al Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam yang kedua

1. Pengertian Al-Hadits

Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu
yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan
dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan,
dan perkataan.
Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam
berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan
melakukan shalat lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan
ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi
SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya
dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu,
sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu perbuatan
atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa
yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak
menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu
dapat dilakukan pada dua bentuk :
Pertama, Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam
hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan perbuatan
yag pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan
bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Dalam bentuk lain, Nabi tidak mengetahui
berketerusannya si pelaku itu melakukan perbuatan yang di benci dan dilarang itu. Diamnya
Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula
haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan keberatan
untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal
ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesaahan ; sedangkan Nabi terhindar
bersifat terhindar dari kesalahan.

1. Kedudukan Hadits
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-
Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.
Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran,
tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di
tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan
sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama.
Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa
Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh
sumber lain.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah
Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.
Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :

1. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull
sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat
An-Nisa : 59 :
artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti
mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80:
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-apa yang
dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu mempunyai kekuatan
sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan
hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran materinya
dan keduadari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya
kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat,
yaitu: mutawatir, masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga
kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini
kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak
banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar
mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran
tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil
pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu
yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu
secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk
sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di
antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-
syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.

1. Fungsi Hadits
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam
Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan
tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk
menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits
disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-
Qur’an, ia menjalankan fungsi senagai berikut :

1. Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut


fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang
tersebut dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110 yang
artinya :
“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang
artinya :
“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan
muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat.

2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih samar
artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum
waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan
pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu
Nabi bersabda :inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagimana kamu melihat saya
mengerjakan shalat.

3. Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya
bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada
hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas
apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan
memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat
dikatakan sebagai hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang
diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami
lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Al-
Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.
1. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena
pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala
bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an
adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi
pengalaman hukum Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya
hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan
oleh umat.
Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat
hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat
dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-
Qur’an yang utama adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-
Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam
kedudukannya sebagai bayani maka dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits
menjalankan fungsi sebagai berikut :

1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut
fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang
tersebut dalam Al-Qur’an.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an

Sumber Ajaran Islam

Berdasarkan hadist dari Muadz bin Jabal, sumber ajaran islam terdiri dari :
1. Kitabullah (Al-quran)
2. As-Sunnah (hadist)
3. Ra’yu (Akal Fikiran)

Al-quran
Al-quran merupakan mukjizat yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-quran di
berikan ke Nabi Muhammad secara bertahap. Proses itu selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Al-
quran terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.666 ayat, 74.499 kata, dan 325.345 huruf. Ayat pertama
yang diberikan kepada Nabi Muhammad adalah surat Al-Alaq 1-5 pada usia 40 tahun saat
berada di gua Hira. Ayat terakhir yang diberikan yaitu surat Al-Maidah 5 pada saat usia 63
tahun.
Al-Quran dibagi menjadi 2 jenis ayat, yaitu :

1. Ayat-ayat Makkiyah
Ciri-ciri ayat Makkiyah :
1. Ayatnya pendek-pendek
2. Kebanyakan di awali dengan “ya ayyuhan nas”.
3. Berisi ajaran Tauhid, hari kiamat, akhlak dan kisah-kisah

2. Ayat-ayat Madaniyyah
Ciri-ciri Ayat Madaniyyah :
1. Ayatnya panjang
2. Kebanyakan di awali dengan “ya ayuuhal ladzina”
3. Berisi ayat-ayat hukum, keadilan, masyarakat

As-Sunnah (Hadist)
Hadist artinya segala perbuatan, perkataan dan sikap Nabi. Peran dan fungsi Hadist yaitu :
1. Menegaskan ketentuan dalam Al-Quran, misalnya kewajiban shalat, zakat, puasa, haji dll.
2. Penjelasan isi Al-quran, misalnya raka’at shalat.
3. Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada dalam Al-quran. Misalnya
pengharaman keledai piaraan, binatang bertaring, dsb.
Hadist Qudsi : Hadist yang disandarkan pada Allah, tetapi lafadznya dari Nabi Muhammad.
Perbedaan hadist Qudsi dan Al-Quran :
Lafadz hadist Qudsi dari Nabi Muhammad sedangkan Al-quran berasal langsung dari Allah. Al-
Quran dibaca pada saat shalat sedangkan hadist Qudsi tidak dibaca.

Ra’yu (akal pikiran)


Ada istilah ijtihad yaitu dimana usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seseorang atau
beberapa orang yang memilki ilmu pengetahuan dan agama yang lebih banyak daripada orang
biasa untuk menentukan dan menetapkan apa yang belum jelas norma-norma yang ada di Al-
Quran. Orang-orang yang melakukan ijtihad adalah mujtahid.

Syarat-syarat Mujtahid :

1. Menguasai bahasa Arab


2. Mengetahui Nasakh dan Mansukh dalam Al-Quran.
3. Mengerti Sunnah.
4. Mengerti letak ijma dan khilaf
5. Mengetahui Qiyas
6. Mengetahui maksud-maksud hukum
SISTEMATIKA SUMBER AJARAN ISLAM

AL-QUR'AN

AL-HADITS/AS-SUNNAH

IJTIHAD

IJMA'

QIYAS

ISTIHSAN

MASLAHAH MURSALAH

'URF

ISTISHAB

SADDUDZDZARA'IYAH
PENGERTIAN SUMBER AJARAN ISLAM
1. AL-QUR’AN
Etimologi : Bacaan
Terminologi : Firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi dan RasulNya
Muhammad SAW dengan perantara Malaikat Jibril
2. AL-HADITS/AS-SUNNAH
Etimologi : Tradisi, Adat Kebiasaan
Terminologi : Perbuatan, ucapan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW tau disebut AF’AL,
QAUL dan TAQRIR.
3. IJTIHAD
Etimologi : Mengerjakan segala sesuatu dengan segala kesungguhan.
Terminologi : Menggunakan seluruh kemampuan berfikir untuk menetapkan hukum-hukum
agama.
4. IJMA’
Etimolologi : Menghimpun, mengumpulkan atau bersatu dalam pendapat.
Terminologi : Kesepakatan para Ulama Mujtahid terhadap suatu masalah sepeninggal
Rasulullah SAW.
5. QIYAS
Etimologi : Mengukur sesuatu menurut contoh yang lain
Terminologi : Menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam
Al-Qur’an dan Hadits Nabi dengan jalan menyamakan dengan masalah lain yang ada
ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi, karena ada sebab yang
menyamakan keduanya.
6. ISTIHSAN
Etimologi : Menganggap baik suatu hal
Terminologi : Menjalankan keputusan yang tidak didasarkan kepada Qiyas, tetapi
didasarkan atas kepentingan umum atau keadilan.
7. MASLAHAH MURSALAH
Etimologi : Mnecari Kebenaran
Terminologi : Kebaikan yang tidak di singgung-singgug oleh syara’ untuk mengerjaka atau
meninggalkan, tetapi jka di kerjakan akan membawa manfaat atau terhinddar dari
keburukan.
8. ‘URF :
Etimologi : Adat / Tradisi
Terminologi : Tradisi-tradisi suatu masyarakat baik berupa pengertian bahasa ataupun
perbuatan, dengan syarattidak berlawanan dengan hukum Allah SWT dan peraturan-
peraturan agama.

9. ISTISHAB
Etimologi : Menetapkan suatu hukum
Terminologi : Menajdikan hukum yang telah tetap pada masa lampau terus berlaku sampai
sekarang karena tidak diketahui ada dalil yang mengubahnya.
10. SADUDZDZARA’IYAH;
Etimologi : Menutup/Menyumbat jalan
Terminologi : Menutup (melarang) perkara yang lahiriyahnya Mubah (boleh), karena
membuka jalan atau mendorong kepada perbuatan yang dilarang oleh agama.

 Lapangan Ijtihad.
1. Perkara-perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an
atau Hadits Nabi.
Seperti : Kasus Bayi Tabung, Bank Sperma, Trnspalansi (Pencangkokan) Tubuh
Manusia dan operasi penggantian jenis kelamin.
2. Ayat-ayat Al-Qur’an tertentu atau Hadits-Hadits Nabi yang sebagitu jauh tidak begitu
bjelas maksudnya.

 Kedudukan ijtihad
 Ijtihad merupakan dasar atau norma sumber hukum Islam yang ketiga disamping Al-
Qur’an dan Al-Hadits
 Untuk Kemerdekaan kebebasan berfikir bagi umat Islam dengan tidak keluar dari
jalur ajaran Agama Islam.
 Hukum Ijtihad
 Hukumnya adalah Fardhu Kifayah.
KETERANGAN SUMBER AJARAN ISLAM

 Ijma’

Ijma’ ada 2 macam :

1. Ijma’ Sharih : Ijma’ para ulama Mujtahidin yang dinyatakan secara terang atau jelas,
baik dengan perkataan, tulisan ataupun perbuatan.

Contoh :

 Kesepakatan para sahabat Nabi dalam pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah.

 Kesepakatan para sahabat Nabi untuk memerangi orang-orang Islam yang enggan
membayar zakat samapai mereka kembali taat kapada Agama Islam.

2. Ijma’ Sukuti : Ijma’ atau kesepakat pendapat diantara para ulama Mujtahidin secara
diam menyetujuinya.

Contoh :

 Kesepakatan secara diam para ulama tentang hukum haramnya operasi penggantian
jenis kelamin. Ini dilakukan oleh HAMKA 1970.

 Qiyas

 Asal / pokok
Sesuatu yang mempunyai ketentuan hukum dalam Al-Qur’an atau Sunnah, yang
dijadikan sebagai ukuran atau yang merupakan tempat untuk menyamakan atau
menyerupakan.

 Far’un atau Cabang

Sesuatu yang tidak mempunya ketentuan hukum dalam Al-Qur’an atau Sunnah

 Illat atau Sebab

Sifat atau keadaan yang mempertemukan/menyamakan antara pokok dan cabang

 Hukum

Hukum yang ditetapkan kepada cabang yang disesuaikan dengan hukum yag ada pada
pokok, kalau hukum yang ada pada pokok haram maka hukum yang ditetapkan
kepada cabang juga haram.

Contoh :

a. Boleh membayar zakat fitrah dengan menggunakan beras

b. Haram membakar harta anak yatim yang di qiyaskan kepada memakan harta anak
yatim

 Istihsan

Perpindahan Hukum

Contoh :

 Boleh tidaknya perempuan Haid membaca Al-Qur’an menurut Qiyas : Haram


perempuan Haid membaca Al-Qur’an karena di samakan dengan orang junub. Tetapi
menurut Istihsan Boleh berdasarkan kepentingan umum kaum wanita perempuan
Haid tidak bisa disamakan dengan dengan orang junub karena waktunya berbeda.
 Maslahah Mursalah

Contoh :

 Pengumpulan / penulisan Al-Qur’an pad masa Khalifah Abu Bakar demi kebaikan
ummat Islam

 Disyaratkan keharusan adanya surat nikah untuk syahnya gugatan dalam soal
perkawinan.

 ‘Urf

Adat / Tradisi masyarakat di luar Arab

 Istishab

Menetapkan suatu hukum pekerjaan yang ada pada masa lampau, karena di sangka tidak
ada pada masa sekarang.

Contoh :

 Seseorang yakin bahwa dia suci sebab dia telah berwudhu’, tiba-tiba dia syak/ragu
dengan kedatangan hadats di hukumkanlah bahwa dia masih suci sebagaimana yang
sudah itu (menurut Imam Syafi’i) namun Imam Hanafi sebaliknya.

 Saddudzdzara’iyah

Perkara yang lahiriyahnya mubah tetapi membuka jalan kepada yang dilarang.

Contoh :

 Cerai / Thalaq..

Anda mungkin juga menyukai