Anda di halaman 1dari 25

Nama : Hasni Saputri

NIM : 190230023
Mata Kuliah : Antropologi Kependudukan

Tugas Meresume Buku Transmigrasi dari Kolonisasi sampai Swakarsa

BAB I
SEJARAH KOLONISASI DAN TRANSMIGRASI
Transmigrasi
Transmigrasi merupakan suatu aktivitas yang dilakukan manusia yang berupa
mobilitas atau perpindahan, dan juga merupakan sebutan untuk perpindahan penduduk dari
suatu daerah lainnya.

Jenis-jenis transmigrasi
a. Transmigrasi lokal
Transmigrasi ini dilakukan oleh orang-orang yang masih dalam suatu wilayah atau
suatu provinsi.
b. Transmigrasi swakarya
Transmigrasi ini bertujuan untuk memberikan pekerjaan pada transmigran, dan juga
merupakan program dari departemen transmigran selama beberapa bulan.
c. Transmigrasi sektoral
Transmigrasi ini merupakan jenis transmigrasi yang dibedakan dari pembiayaannya,
dan ditanggung oleh transmigrannya sendiri.
d. Transmigrasi umum
Transmigrasi ini merupakan jenis transmigrasi yang dilakukan karena adanya faktor-
faktor pendorong yang berasal dari daerah asal.
e. Transmigrasi swakarsa atau spontan
Transmigrasi ini merupakan transmigrasi yang dilakukan dengan biaya sendiri, namun
berdasarkan bimbingan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah.
f. Transmigrasi bedol desa
Transmigrasi ini merupakan salah satu transmigrasi masal, karena transmigran nya
banyak atau lebih dari satu orang.

Dampak transmigrasi
Dampak transmigrasi ada 2 yaitu:
1. Dampak positif
• Lahan kosong dapat dimanfaatkan
• Penduduk yang ditransmigrasikan kehidupannya dapat lebih baik secara ekonomi
• Meningkatkan produksi, terutama dibidang pertanian
• Dapat mempercepat pemetaan penduduk
• Menggurangi jumlah pengangguran, terutama bagi mereka yang ditansmigrasikan
2. Dampak negative
• Transmigrasi memerlukan dana yang cukup besar sehingga banyak menghabiskan uang
negara
• Terkadang mendorong kecemburuan sosial antara masyarakat setempat dan transmigran
• Adanya transmigran yang kurang sungguh-sungguh dapat menyebabkan kegagalan
dalam pelaksanaan transmigrasi sehingga dana yang dikeluarkan menjadi sia-sia

Bab I Sejarah Kolonisasi Dan Transmigrasi


1. Ikhtiar dan Penilaian Penting Tentang Usaha Kolonisasi Oleh Pemerintahan
Hindia Belanda
Pemerintahan Belanda tidak menaruh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap
kolonisasi perhatian sampai tahun 3 puluhan, walaupun kebutuhan akan tindakan-tindakan
untuk mengurangi desakan penduduk di Jawa nyata-nyata diakui pada mulanya, pada decade
pertama abad ini. Untuk mengembangkan suatu rencana kolonisasi yang dapat dilaksanakan
dan memberi harapan, serta yang menekan biaya pemerintah untuk setiap keluarga yang
dimukimkan sampai rendah-rendahnya, diperlukan waktu kurang lebih seperempat abad
untuk melakukan eksperimen-eksperimen yang terhenti-henti. Banyak kesalahan telah dibuat
di Gedong Tataan, tetapi setiap kesalahan ini, walaupun mahal, terbukti berharga karena
kesalahan ini memberikan sumbangan kearah pengembangan prosedur yang lebih efisien.
Sejarah Gedong Tataan antara tahun 1905 dan 1932 mencerminkan sikap pemerintah
selama periode itu. Pemerintah Belanda tidak yakin akan keberhasilan kolonisasi pertanian
secara besar-besaran. Pemerintah malahan memutuskan perhatian pada beberapa tindakan
yang dimaksud untuk memperbaiki keadaan masa di Jawa saja. Diantara tindakan ini adalah
usaha-usaha itensifikasi pertanian di jawa dengan membangun sistem-sistem irigasi, usaha
pendidikan, penyuluh pertanian, pembagian bibit unggul, dan demonstrasi metode-metode
pembudidayaan yang sudah ditingkatkan.
Kunci keberhasilan sejarah kolonisasi yang baru adalah pelaksanaan survei
pendahuluan, ditambah dengan seleksi yang membedakan para calon kolonis, dan
dihentikanya usaha yang memaksakan konsep barat terhadap para buruh tani bangsa Jawa.
Pinjaman jangka Panjang dari bank, misalnya dihentikan malahan para pengelola proyek
yang baru memanfaatkan praktek praktek yang sesuai dengan cara berpikir orang Indonesia,
misalnya gotong royong dan pemberian upah dalam bentuk bawon.
Pengaruh kolonisasi pertanian yang besar-besaran ini terhadap masyarakat di luar
Jawa lebih besar, lebih nyata, dan lebih permanen daripada pengaruh terhadap masyarakat di
jawa. Di Jawa kerenggangan yang disebabkan oleh migrasi segera terisi sedangkan diluar
Jawa kolonisasi membawa perubahan yang radikal.
Kolonisasi mempunyai akibat penting lainnya diluar Jawa, tepatnya pada
penduduknya. Dengan rangsangan dari contoh orang jawa, penduduk asli yang sampai waktu
ini mempraktekkan pertanian berpindah-pindah berubah menjadi pertanian tetap.

2. Penyelenggaraan Kolonisasi dan Transmigrasi


I. Penyelengaraan Kolonisasi
a. Dari tahun 1905 hingga 1911
Dalam masa ini penyelenggaraan kolonisasi merupakan pekerjaan percobaan-
percobaan untuk mencari suatu dasar cara menyelenggarakan kolonisasi.
b. Dari tahun 1912 hingga 1922
Sesudah Direktur mengadakan peninjauan ke daerah-daerah kolonisasi Lampung
dalam tahun 1910, lalu ia menerapkan suatu sistem kolonisasi yang didasarkan pada utang.
Tujuannya yang utama dari sistem ini ialah penghematan biaya kolonisasi tetapi cara-cara
penyelengggaran dianjutkan sebagaimana biasa.
c. Dari tahun 1932 hingga 1942
Baru dalam tahun 1932 dimulai lagi pengiriman kolonis, karena desakan dari negeri
belanda, berhubungan dengan akan dihapusnya Poenale Sanksy. Sistem bawon yang diambil
sebagai dasar penyelenggaraan kolonisasi dalam masa itu ternyata memberi hasil yang
memuaskan bagi pemindahan kolonis dalam jumlah yang besar dengan biaya yang kecil.

Bab II Peyelenggaraan Transmigrasi


Tujuan transmigrasi bukanlah untuk mengurangi kepada tanatan kelebihan penduduk
pulau Jawa saja, tetapi seperti termakub dalam peraturan pemerintah tanggal 17 februari 1953
No. BU/1-7-2/501 ialah mempertinggi tingkat kemakmuran rakyat. Adapun sistem yang
dipakai pemerintah RI dalam penyelenggaraan transmigrasi sekarang, hampir bersamaan
dengan sistem utang yang dilakukan Belanda dari tahun 1912 hingga 1922.

3. Marga Lampung dan kedudukan kaum pendatang


1. Susunan adat lampung dan pemerintah bermarga
Mayarakat Lampung mempunyai dasar genealogis yang tegas, baru kemudian faktor
territorial penting menurut sifatnya dan sejarahnya. Menurut cerita yang dicatat oleh van
royen. Golongan adat lampung mempunyai daerah asal di pengunungan bukit barisan di
sekitar dan danau-danau :
Belalau (segala berak) kelompok yang tersebar itu yang bermoyang di daerah asal Belalau,
sesudah berkembang atas berbagai cabang keturunan, konon pernah mengenal empat atau
enam “ratu” di Lampung .
Van Der Zwaal menyebut beberapa angka : luas rata-rata sesuatau marga di Sumatra
selatan: 500 km 2; di lampung rata-rata penduduk suatu marga : 5.234 jiwa (tahun 1930) dan
rata-rata suatu marga terdiri atas delapan kampung (“pekon” di Lampung ).
2. Masuk nya orang-orang bukan seadat ke dalam marga
Pendirian kampung baru boleh diizinkan sesudah ada bukti pengakuan dari
pendatang-pendatang itu akan wewenang marga atas hakulayat marga. Selama marga di
Lampung tak diakui oleh pemerintah hindia Belanda , pada hakekatnya adat itu hidup terus:
orang-orang pendatang itu membayar “ulasan” (uang pengakuan) kepada pengetua marga
sehingga jika ketahuan, pemerintah waktu itu menganggapnya sebagai pemerasan.

4. Target-Target Trasmigrasi dan Realisasinya


Karena perubahan-perubahan yang terjadi pada lokasi badan urusan transmigrasi dan
juga pada kebijaksanaan-kebijaksanaan transmigrasi selama periode 1950-1974, pelaksanaan
trasmigrasi juga mengalamiperubahan-perubahan arah. Karena alasan inilah maka
pembahasan tentang sasaran-sasaran dan prestasi-prestasikan dibagi atas empat periode:
(1) Periode 1950-1959 ketika badan ini masih di bawah wewenang kementerian sosial .
(2) Periode 1960-1968 ketika dinas transmigrasi dipindahkan dari kementerian / departemen
transmigrasi dan koperasi, transkopemeda.
(3) Periode 1969 -1974 ketika arahnya didasarkan pada repelita I;
(4) Periode 1974- 1977 ketika transmigrasi dilaksanakan sesuai dengan repelita II
BAB II
PENGGUNAAN TANAH DI DAERAH PEMUKIMAN BARU
Tanah untuk pertanian merupakan insentif yang utama yang mendorong para
transmigran, baik umum maupun swakarsa untuk berpindah dari Pulau Jawa dan Pulau Bali.
Berbeda dengan daerah lainnya dimana keadaan geografis dapat dipakai untuk penempatan
transmigran terutama dalam hal tanah, topografi dan sumber daya air. Terdapat beberapa
kenyataan jika keadaan di wilayah yang disediakan untuk proyek transmigrasi yaitu pertama
tidak ada daerah subur yang penduduknya jarang; kedua, adanya rawa-rawa yang luas sekali
didaerah pantai Sumatera bagian timur dan pulau-pulau lain sangat membatasi usaha
pertanian; ketiga, topografi di daerah pedalaman tetap menghalangi perkembangan pertanian;
keempat, daerah yang tidak berawa yang cukup datar untuk pemukiman dan pertanian
ditutupi oleh alang-alang yang sulit di hilangkan.

5. Transmigrasi dan Produksi Pertanian di Provinsi Lampung (K. H. Junghans)


Transmigrasi di provinsi Lampung telah berlangsung sejak pelaksanaan proyek irigasi
dimulai pada zaman penjajahan Belanda. Menurut laporan-laporan serta sumber lain
pelaksanaan proyek tersebut bertujuan untuk memberi dukungan pemerintah pada
perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke Lampung yang telah berlangsung sebelumnya
serta untuk meningkatkan swasembada beras di keresidenan yang sangat tergantung pada
impor beras.
Saat itu kondisi Lampung merupakan daerah penghasil lada terbesar di seluruh
Nusantara yang dikekola oleh keluarga setempat dan terpaksa menggunakan buruh tani dari
Jawa Barat untuk bekerja dengan mereka, karena pemerintah Belanda berencana untuk
menempatkan beberapa ribu pemetik lada asal Jawa sebagai petani di tengah daerah
Lampung dengan mempunyai tujuan tertentu. Sehingga dibangunlah jaringan irigasi yang
besar dan setiap transmigran diberi jatah dua hektak tanah irigasi. Proyek tersebut berhasil
serta pendekatan yang dipakai menjadi patokan bagi semua proyek transmigran berikutnya
yang disponsori oleh pemerintah.
Namun hal ini menimbulkan keberatan dan pendapat krisis dari tim survei tentang
proyek Pringsewu antara lain :
a. Transmigrasi berlandaskan proyek-proyek irigasi tidak lagi merupakan langkah yang
layak, artinya murah untuk meningkatkan produksi beras agar tercapai swasembada
beras di Sumatera. Dapat dikatakan bahwa pada masa lampau investasi modal dalam
jangka panjang guna untuk penyuburan serta pemanfaatan tanah dibutuhkan untuk
meningkatkan produksi padi, namun berbeda dengan keadaan saat ini dimana kemajuan
teknologi mengizinkan kita untuk menggantikan investasi jangka panjang dengan input-
input modal jangka pendek. Bukan perluasan areal yang ditanami padi namun produksi
padi yang tinggi per unit areal yang merupakan cara paling ekonomis untuk mencapai
swasembada beras di Sumatera.
b. Transmigrasi berdasarkan proyek-proyek irigasi adalah cara penyelesaian jangka pendek.
Sejak awal pelaksanaan proyek, cara penyelesaian itu menimbulkan keresahan sosial dan
mengandung kelemahan-kelemahan dalam struktur agraria dan sistem pemilikan tanah.
c. Transmigrasi berdasarkan proyek-proyek irigasi mengadakan pembatasan-pembatasan
terhadap pemanfaatan penuh dari semua potensi pertanian di Sumatera.
Penulis mengungkapkan bahwa terdapat beberapa argumentasi ekonomis dan
agronomis untuk memperlihatkan kelemahan dari pola transmigrasi dewasa ini yang
berdasarkan proyek-proyek irigasi. Terdapat tiga kesimpulan dari jawaban, pandangan serta
argumentasi yang didapatkan sebagai berikut:
1) Para transmigran terutama datang dari Pulau Jawa dan tetap memakai pola produksi
pertanian tradisional yaitu penanaman padi disawah yang di airi. Setelah beberapa
generasi barulah mereka mengenal tanaan tahunan dan tanaman kering lain sebab
persawahan adalah ciri dari tradisi kebudayaan mereka sulit ditinggalkan. Hanya sawah
irigasilah yang menarik para petani Jawa untuk bermigrasi.
2) Telah diusahakan untuk memukimkan transmigran-transmigran di daerah tanah kering
tanpa irigasi. Tetapi proyek-proyek tersebut kurang stabil selama pelaksanannya, hasil
pertanian menurun sedemikian hingga petani meninggalkan proyek setelah 8-10 tahun.
3) Irigasi merupakan langkah pembangunan yang paling diinginkan oleh DPRD setempat
serta para gubernur, bupati dan camat.
Seluruhnya 18 wawancara telah dilakukan, hasilnya hampir sama dengan wawancara
yang dilakukan oleh para pamong barat 1971/1972. Hasil wawancara sebagai berikut:
- Program intensifikasi pertanian telah dilaksanakan di Sumatra barat 1968. Dengan
melibatkan kegiatan dari pihak Indonesia, terkhusus bidang rehabilitas fasilitas irigasi.
- Di sumatera barat penilain tiap camat diwawancarai mengenai irigasi seimbang dengan
cara produksi di wilayah lain. Namun hanya 10 dari pamong provinsi lain yang
mengetahui tentang cara alternatif pembangunan pertanian.
- Dinas pembangunan pertanian telah Menyusun enam rencana proyek walaupun belum
rampung.
- Proses peningkatan pelayanan pertanian hampir tak berkembangan di lampung. Urusan
irigasi adalah tanggung jawab dinas pekerjaan umum, dinas dapat merancang
pembangunan pertanian yang paling teradisional dengan cara yang efesien. Maka jelas
mengapa DPRD, mendesak pembangunan, karena hanya dnas umumlah yang mampu
mewujudkannya.
Alam Analisa diatas, pertama memberikan informasi sebagai latar belakang historis
yang diperlukan untuk memahami renacana trasmigrasi pada sumatera utara selatan.Kedua,
pola pemukiman petani tradisional yang ada, dihadapkan pada keberhasilan produksi
pertsnisn modern. Beberapa saran umum untuk proyek trasmigrasi di masa mendatang.
1. Tujuan dari transmigrasi harus diubah, transmigrasi bukan untuk penyelesaian
pertambahan penduduk melainkan adalah untuk menggunakan tanah cadangan yang luas
di sumatera sehingga bermanfaat bagi perekonomian nasional dan memperbaiki
keterbatasan sosial, ekonomi petani.
2. Sedapat mungkin faktor modal untuk produksi harus diganti dengan tanah di tingkat
usaha tani.
3. Adanya pendapatan yang cukup tinggi dan terjamin untuk menarik trasmigrasi.
4. Membentuk fasilitas rehabilitas di pemukiman.
5. Adanya pelayanan pekreditan yang efesian diikuti pembatasan serius dari dana kredit
6. Hadirnya peyuluhan yang efesian bagi trasmigran yang dilaksanakan oleh dinas
peyuluhan departemen pertanian
7. Prosedur perencanaan dan pelaksanaan proyek harus dilaksanakan.
a. Survey penggunaan tanah terperinci dari propinsi bersangkutan untuk menentukan
kedudukan tanah cadangan menurut potensinya di daerah pemukiman.
b. Desain pola produksi pertanian bagi usaha tani keluarga harus sesuai dengan kebutuhan.
c. Desain dan perkiraan biaya fasilitas sarana sosial dan prasarana
d. Latihan intensif bagi petugas peyuluhan pertanian serta petugas peyuluhan sosial
e. Penjatahan dana produksi pertanian, pembentukan badan pekreditan dan Latihan
personalitas.
f. Pembangunan fasilitas sarana bidang sosial dan prasarana.
g. Penjatahan tanah dan penempatan transmigrant
h. Penyuluhan serta pelayanan kredit bagi para petani baru.

1. Intensifikasi dari proyek irigasi yang ada usaha tani keluarga telah diteliti sebanyak 450
pada proyek trasnmigrasi di irigasi pringsewu, metro dan kota Angung.
a. Kelemahan dalam penanganan air, contohnya desa pringsewu, 60% petani hanya
menanmi padi satu kali setahun.
b. Pemakaian input bidang produksi yang rendah,krena kurang dari 20% petani memakai
pupuk.
c. Hasil padi rendah, rata-rata 2,0-2,3 ton tiap ha.
d. Tekanan kependudukan luas tanah tani berkurang menjadi 0,6-0,9 ha.
Analisa dari situasi menghasilkan rekomenasi berikut:
1. Perluasan selanjutnya proyek irigasi seharusnya tidak izinkan, kegiatan pemerintah
dipusatkan.
2. Petak percontohan padi memperlihatkan hasil 3,5 -4 ton padi tiap hektar diharapkan
terjamin dengan adanya alat produksi dan penanganan air yang baik.
- Dinas umum perlu menjamin tersedia air sepanjang tahun.
- Pelayanan penyuluhan dari departemen pertanian harus di rehabilitasi.
- Pekreditan jangka pendek perlu diadakan untuk menjamin tersedia uang bagi petani dan
juga kebutuhan lainnya.
- Pelipat gandaan benih perlu segera ditngkatkan. Jangka waktu pertumbuhan yang lebih
singkat itu memudahkan petani menghasilkan dua panenan setahun.
3. Produksi persawahan irigasi perlu dilaksanakan terkhusus di musim kemarau. Untuk
menimalisir kebutuhan air di musim kemarau.
4. Diperkirakan program tersebut meliputi 30.000-40.000 usaha tania tau 20.000-25.000
hektar perswahan irigasi. Layak dibuat pekreditan jangka empat tahun guna kebutuhan di
biang produksi 15.000-20.000 ton pupuk, 150-200 ton pestisida serta area pembiakan
benih seluas 40-50 ha diperlukan. 4-5 truk peyediaan pupuk akan mengurangi
kemungkinan gagal proyek.
5. Peningkatan hasil padi menjadi 3,5 ton tiap ha dpat diharapkan. Jika 75% petani daerah
proyek berpartisipasi, sekitar 15.000-18.000 ha dapat diolah, sehingga panen dua kali
tiap tahun dapat di jalankan.

Proyek-proyek trasmigrasi berlandaskan penanaman tanaman pangan di tanah kering


1. Produksi tanaman pangan sebaikanya dipusatkan pada tanah cadangan yang datar atau
sedikit berombak. Di lampung tiga wilayah:
- Daerah barat laut terbanggi besar,
- Daerah sebelah barat jalan raya dari Merakbatin ke Terbanggi besar.
- Daerah perbatasan dengan Sumatera Selatan
2. Fasilitas prasarana memerlukan perluasan. Dibangun jalan kabupaten yang terhubung
dengan jalan utama. Serta cocok untuk pengangkutan barang dengan truk dan dibangun
sekolah serta puskemas.
3. Pertimbangan sistem pertanian area transmigrant harus dimulai. Transmigrant umunya
datang dari daerah miskin dengan pendapatan rendah, untukitu harus adanya aminan
pendapatan mereka sekurang-kurangnya sama rata dengan orang Indonesia.
Produksi maksimum dalam survei usaha tani 20 ton ubi kayu tiap usahan tani.
Pengahsilan rata-rata Rp. 40.000.namun lambat laun hasil pertanian akan berkuarang. Selama
8 tahun produksi rata-rata merosot sampai 8 ton tiap ha. Mengatasi masalahnya
a. Tanah pertanian diolah dengan memakai mesin seperti dalam sistem pertanian tanah
kering.
b. Tanah pertanian dapat diolah secara mekanis dan digunakan pola penanaman intensif.
Sistem dalam produksi tanpa modal banyak, sistem pertama memerlukan penggunana
traktor karena tiap tahun tanah perawan ditumbuhi alang harus dibajak, dan tidak dapat di
kerjakan hewan Tarik. Jika diusahkan tractor dapat membajak petak tanah secara bersilang.
Tidak ada pekerjaan berulang setelah pemukiman didirikan dan tanah pertanian digarap
berulang. Namun akhirnya sistem pertanian pertama beralih ke sistem kedua, disebabkan
pertambahan keluarga dan aspirasi ekonomi mereka yang meningkat. Untuk memperoleh
pendapatan lebih tinggi.
4. Jika dapat dijamin bahwa tiap keluarga transmigran menggarap sekurang-kurangnya dua
hektar tiap tahun ddan tiga panen diproleh dari tanah.

Hubungan-hubungan antara pertanian intensifikasi dan pertanian tanah kering


Akhirnya tidak kurang penting diterapkan hubungan anatar program intensifikasi
penanaman padi dan proyek pemukiman tanah kering. Jika transmigran dimasa mendatang
didasarkan pada pertanian tanah kering, beras tambahan akan dibutuhkan, sekitar 25.000 ha
sawah cocok untuk intensifikasi. Produksi tambahan akan menyediakan beras untuk sekitar
60.000 keluarga transmigran. Meskipun program transmigran masa mendatang tidak meliputi
pertanian sawah yang dairi, tetapi penempatan petani hanya ditanah kering tiak akan
membahayakan persediaan beras di Provinsi Lampung.

6. Transmigrasi dan Pengembangan Wilayah Marjinal (Arthur J. Hanson)


Transmigrasi dapat dipandang sebagai salah satu unsur dari kerangka eksperimen
yang sangat pentingg dalam usaha pemanfaatan lahan marjinal di Indonesia. Hal ini dikaitkan
dengan masalah yang sangat mendesak sehubungan dengan peledakan penduduk di pedesaan
Jawa dan Bali, dan kadang kala masih dipandang sebagai jawaban dalam mengatasi masalah
perkembangan penduduk di Jawa, walaupun pandangan semacam ini tidak dapat
dipertahankarn lagi. Mungkin alasan yang lebih tepat, adalah kaitannya dengan pengelolaan
daerah aliran sungai bagian hulu di Jawa dan pembangunan wilayah di luar Jawa. Usaha-
usaha lagi. Transmigrasi umumnya dikaitkan dengan situasi politik yang semakin jelas
setelah kemerdekaan.
Transmigrasi merupakan hanya salah satu jalur yang nuengarah ke perluasan daerah
pertanian di pulau lain. Perkebunan tanaman pangan, dilakukan petani kecil setcmpat
merupakan beberapa alternatif pendekatan yang dianggap berkompetisi untuk menduduki
lahan yang terbaik. Walaupun usaha transmigrasi di masa mendatang mempunyai peluang
keberhasilan yang lebih besar, perlu diketahui implikasi yang luas dari kegagalan program-
program, dewasa ini, Pertama, kegagalan transmigrasi akan merupakan pukulan hebat
terhadap berbagai konsep pertanian skala kecil dalam pembangunan lahan baru, karena
proyek-proyek transmigrasi yang didirikan sekarang ini menyediakan berbagai tingkat
pcngclolaan yang paling intensif yang tersedia dewasa ini. Di antara pulau-pulau ini,
kebanyakan percobaan dilakukan di Sumatra. Dalam Dasawarsa mendatang propinsi-
propinsi di pulau ini akan dihubungkan oleh satu jalan raya menelusuri sepanjang kaki
gunung dari Aceh sampai ke Lampung. Pilihan-pilihan pembangunan wilayah dengan jelas
dapat dibedakan menjadi dua kelompok.
Perbedaan-perbedaan tersebut, selain berlaku bagi Sumatra, juga berlaku bagi pulau-
pulau lainnya. Hampir dalam tiap keadaan akan dijumpai kendala kesuburan tanah atau
kondisi penghambat penghambat perkembangan lainnya. Namun demikian, perlu diingat
bahwa berbagai sistem pertanian, baik yang berpindah atau yang menetap, berkembang
dalam lingkungan semacam itu. Selanjutnya, di daerah yang relatif subur sekalipun, dapat
saja timbul permasalahan akibat cara bercocok-tanam yang kurang tepat, yang mengakibat-
kan degradasi lingkungan yang cepat atau ditinggalkannya daerah rendah adalah tingkat
keragaman setempat di dalam itu.
Pemerintah sampai dengan tahun 1966 telah memproyeksikan pemindahan penduduk
yang jumlahnya mencapai 2 juta keluatga ke lahan-lahan semacam ini setiap tahun.Proyeksi
tahun 1978 adalah memukimkan kembali 50 ribu keluarga. Jumlah sebesar ini masih
dianggap berada pada tingkat proyek perintis bila dibandingkan dengan proycksi jangka
panjang sebesar 100 ribu sampai 250 ribu keluarga per tahun. Para optimis, yang
menganggap pemindahan sebanyak itu sangat mungkin dilaksanakan, berpendapat bahvwa
pengembangan transmigrasi pertanian dapat mengurargi sebagian besar impor beras dan
bahan pangan lainnya, di samping menghasilkan berbagai hasil bumi untuk diekspor.
Sebagian besar lahan rawa pesisir di Indoncsia merupakan hutan rawa air tawar
bertepi hutan bakau , yang meliputi sekitar 20% dari wilayah itu. Rawa di hutan bakau ini
tidak sesuai bagi padi tanpa pembangunan bangunan air dan usaha rekiamasi yang sangat
maha!.Rawa ini sukar untuk dicapai dan merupakan ekosistein yang rawan; karenanya
menimbulkan pertanyaan tentang latar belakang pemilihan daerah ini sebagai daerah
pengembangan transmgrası. Permasalahan yang selalu dihadapi adalah di mana pemukim
yang dibantu pemerintah ini akan diterima, dari apa yang harus mereka lakukan setelah
mereka menetap. Di tempat-tempat di mana hak-hak ini diterapkan pemindah- an hak usana
tanah merupakan masalah yang sangat pelik. Jadi, umumnya daerah kering di Sumatra
menampilkan keadaan yang sulit untuk menyelesaikan persoalan hak usaha tanah. Selain itu
pemukiman-pemukiman yang ditcmpatkan lebih dahulu di lahan kering di Lampung
didasarkan pada anggapan bahwa petani Jawa akan menetap bila mereka dapat
mengusahakan persawahan yang beririgasi.
Pengembangan pertanian lahan rawa pesisir telah berkembang jauh scbclum lahirnya
negara Republik Indonesia, bahkan scbelum periode Pemerintah Belanda menaruh perhatian
pada program transmigrasi. Masyarakat Banjar menarik keuntungan dari saluran navigası
Belanda. Perkembangan budi daya padi pasang-surut semenjak itu mengabadikan kelestarian
daya tarik daerah ini bagi para insinyur Belanda dan Indonesia.Dan juga merupakan rekaman
sejarah yang berhubungan erat dengan transımigrasi sejak 1937.
Lahan rawa di Sumatra dan Kalimantan merupakan mbungan gambut yang terbentuk
di atas tanah liat bahari bila kering, tanah liat ini teroksidasi menjadi tanah asam sulfat, tetapi
bila lembab, lapisan tanah dasar ini cukup baik untuk bercocok-tanam padi. Selain itu,
ditemukan keragaman kesuburan tanah yang besar. Akibatnya, saran-saran penggunaan
pupuk dan pemeliharaan tanah sering bertentangan dan sering menunjukkan hasil-hasil yang
berbeda. Sistem/teknik tersebut merupakan adaptasi terhadap pola banjir dan perembesan
garam yang bersifat setempat. Program-program pemerintah menerapkan teknologi
pembangunan saluran yang sederhana dengan membuat saluran selebar 30 m dengan
kedalaman 5 m. Saluran ini berfungsi mengalirkan air dari rawa dan menyediakan air untuk
irigasi dari sungai sepanjang musim banjir. Saluran ini tentunya juga memungkinkan
perembesan air payau apabila letaknya berdekatan dengan lingkungan estuarina.
Berbagai teknik mekanisasi dalam pembangunan salaran telah dipertimbangkan sejak
tahun tiga puluhan dan dengan mengandalkan sistem saluran tertutup yang memerlukan
pemompaan. Butir analisa terakhir tentang komitmen pemnanfaatan lahan rawa pesisir
berkaitan dengan peran Departemen PUTL yang sangat menonjol dalam merencanakan
rancangan berbagai program tersebut. Pada saat ini Departemen PUTL menguasai 40%
anggaran pembangunan negara dan merupakan instansi dengan organisasi terbaik dalam
implementasi fisik berbagai proyek pengembangan lahan atau air. Akibatnya, tanggung jawab
dibagi antara setidak-tidaknya tiga atau empat departemen. Hasil-hasil penelitian ini
diharapkan dapat menyelesaikan perbedaan pendapat kelayakan investasi proyek ini.
Data/informasi yang tersedia pada saat ini, telah cukup untuk menjawab sebagian
pertanyaan di atas dan akan juga, melalui deduksi, menjawab pertanyaan yang lebih luas,
apakah pembangunan pertanian di daerah ini dapat mcmberi harapan untuk menckan impor
padi Indonesia sebesar 1 juta ton lebih setiap tahunnya. Di Delta Upang, suatu daerah
transrmigrasi di Sumatra Selatan, produksi padi tidak mencapai target/sasaran, karena musim
tananı yang dapat dikerjakan hanya satų kali dari dua kali per tahun yang diharapkan.
Sekalipun demikian, produksi yang diperoleh berada pada tingkat yang memuaskan selama
lima sampai tujuh tahun setelah musim tanam pertama.
Usaha-usaha untuk mengembaıngkan berbagai teknik yang diperlukan seperti
pengendalian air, pengendalian hama, dan penjadwalan musim tanam kedua, setidaknya
menuntut eksperimen lapang yang intensif selama sepuluh tahun. Pandangan optimistis
menyatakan bahwa 500 ribu ha lahan yang baik, 300 ribu ha di antaranya terletak di Sumatra,
darpat dibuka dalam 15 tahun. Jadi program pembangunan lahan berawa dapat berpcngaruh
secara nyata terhadap kebijaksanaan pangan jangka-panjang. Dampaknya akan lebih nyata
apabila pemukim Bagis dan penduduk setempat melaksanakan ekstensifikasi dan intensifikasi
produksi. Kesimpulan itu diperoleh dari berbagai dara tentang tanah dan pola tataguna tanah
yang terkumpul hingga saat ini.
Dipandang dari perspektif lingkungan yang lebih luas, pengenbangan lahan rawa yang
berhasil melibatkan unsur lain di luar kerusakan secara ekologis dimulai sejak pembukaan
hutan dan pembuatan saluran. Kejadian ini merupakan permasalahan sumber alam dan
lingkungan yang penting. Berbagai kegiatan yang menyebabkan timbul adalah dampak
pembangunan terhadap sumber daya yang ukan merupakan pokok perhatian proyek ini.
Para ahli tanah yang telah mensuryei daerah-daerah bertanah podzol merah-kuning,
sependapat pada dua kesimpulan penting. Pertama, adanya keraguan kesuburan tanah yang
besar. Kedua, kecenderungan menyempitnya unit-unit yang sesuai untuk bercocok-tanam,
tanah tanaman pangan secara intensif di tanah kering (tanah hujan). Hal-hal yang di anggap
penting dalam setiap saran adalah penggunaan pupuk organik atau anorganik dengan dosis
yang cukup tinggai dan jadwal bercocok taman dalam setahun yang terperinci.Permasalahan
itu menjadi pusat perhatian di baturaja, satu daerah transmigrasi di Sumatra yang menampung
4500 keluarga petani dengan tanah garapan seluas 5ha per keluarga, sebagai suatu prototip
pemukiman di daerah yang tidak dapat diairi. Setidak-tidaknya tiga model transmigrasi di
tanah kering yang telah di usulkan dapat diuji di lokasi ini.Di antara ketiga model tersebut
pisang dan nanas.
Musim tanah biasanya dimulai pada bulan September dan Oktober tergantung
turunnya hujan, dan dikerjakan oleh kekuarag petani bantuan dari luar. Penggunaan produk
sangat jarang, kecuali petani yang lebih baik keadaannya dan umumnya menggunakan
kompas, urea, dan superfosfat (TS). Keterbatasan tenaga kerja manusia, hewan atau mesin,
memaksa sekeluarga petani untuk bercocok-tanam di atas sebidang tanah yang luasanya
jarang melebihi 3 ha. Sebagian besar hasil panennya di gunakan untuk konsumsi rumah
tangga dan sebagian di sisihkan untuk sediaan benih musim tanah. Di bagian terdahulu
makalah ini telah ditemukan tentang kekhawatiran interaksi dengan petani setempat yang
telah menetap di daerah tanah hujan merupakan salah satu faktor yang menjadikan
pemukiman di lahan berawa lebih menarik.nyatanya,dengan hanya mempertimbangkan
implementasi proyek transmigrasi ke lahan-lahan ini, nampaknya permasalahan ini dapat di
selesaikan. Kenyataan bahwa transmigrasi mungkin merupakan satu-satunya kelompok yang
dapat menguasai tanah (secara sah) adalah suatu kenyataan yang ironis.
Masalah yang lebih mendasar lagi adalah sampai sejauh mana program-program
pemukiman kembali ini dapat menggang siklus pemanfaatan lahan tradisional yang ekstensif.
Makan dapat di perkirakan terjadinya degradasi yang cepat di sekitar daerah pemukiman
transmigrasi. Jadi perhatian yang seimbang perlu diberikan kepada keperluan pemukiban
setempat dalam perencana pengembangan daerah tanah ujan. Akan kesuburan tanah yang
baik seperti yang ditemukan.Dipandang dari segiekologi manusia yang lebih luas,
pengembangan daerah kering dapa dijadikan pusan pengembangan yang penting untuk
memperkenalkan konsep-konsep pengelolaan lingkungan dan konservasi sumberdaya.
Tujuan-tujuan yang berkaitan dengan masalah lingkungan:
1. Lingkungan kemungkiman yang mampu memenuhi tingat penghidupan yang rendah
contok penyediaan air minum sepanjang tahun.
2. Merangsang pengembangan masyarakat dalam penyediaan beras.
3. Stabilitas sosial antar hutan selain beras.
4. Kelestarian panen hasil bumi dan utan selai padi.
5. Pembangunan prasarana fisik yang stabil dan efisien.
6. Perlindungan daerah khusus untuk kepentingan yang pesifik.
7. Kompenen lain di ekosistem pesisir.
8. Konserpasi pola pemanvaatan sumberdaya yang berkaitan dengan budaya setempat.
9. Menekan kerusakan marga satwa.

Ringkasan pertanian berpindah yang masih berlaku di tanah kering sumatra selatan
sebagai berikut:
Tanaman yang berpindah-pindah di daerah sekitar pemukiman, tanaman pangan
dengan tanaman pokoko biasa karet. Departeman PUTL secara beransur-ransul akan
memegang peran yang lebih dominal dalam pelaksanaan fisik, dan kesediaan PUTL
menerima anggaran yang di ikuti oleh tindak lanjutnya, mencakup perencaan regional analisa
ekologi dan pengolaan sumberdaya yang menyeluruh sampai kepada berbagai kegiatan.
Faktor-faktor yang mungkin menyebabkan keadaan didaerah kering seperti
baturaja,mencakup faktor-faktor sosial ekonime dan ekologi. Permasalahan yang berkaitan
dengan penyediaan benih dan ternak mungkin tidak segawat penyediaan pupuk dan
penyelihan siskul bercocok tanam. Sekalipun dengan masukan untuk perbaikan tanah yang
ideal, petani transmigran di daerah tanah ujan masih di hadapkan pada berbagai gangguan
yang mungkin akan merusak citra rancangan proek yang berkonsepsi baik.
Ditahun-tahun mendatang pendirian satu pusan untik melakeanakan berbagai kegiatan
eksperimen, penyeluhan, monitoring, merupakan keharusan selama ini. Berdasarkan evaluasi
ekonomi yang berlaku atau berdasarkan dampak jangka pendek terhadap produksi
pertanian,transmigrasi ke lahan-lahan marjina Sumatra dan Kalimantan tak mungkin dinilai
sebangai kegiatan yang berhasil baik, terlebih bila di perhatikan tingkat kemampuan
mengelola dan pelaksanaan dewasa ini
Dengan pengelolaan yang baik, pemiliham lokasi secara teliti, pembiayaan yang
memadai dan perhatian yang cukup kepada keperluan dan hak kelompok-kelompok petani
setempat, unsur-unsur yang mungkin sangat penting bagi keberhasilan atau kegagalan
program dimana mendatang adalah :
1. Konsepkuensi sosial dan ekologik akiban perencanaan dan evaluasi proyek yang kurang
sempurna
2. Permasalaham struktual dan perencanaan di lembaga-lembaga pelaksana dan pengelola
3. Pengaruh bantuan dana dan ahli luar negri dalam skala besar
Transmigrasi juga merupakan mekanisme yang dapat di andalkan untuk menyebarkan
pengaruh pemerintah pusat kewilatah-wilayah yang masih dikuasai oleh sistem pemerintahan
tradisional yang sangat menonjol. Dukungan pembiayaan bagi program-program transmigrasi
di peroleh dari berbagai lembaga dinas maupun dari pemerintah indonesia. Lembaga-lembaga
internasional niscaya akan terus memusatkan perhatiannya pada transmigrasi sebagai salah
satu cara meningkatkan produksi pertanian.

BAB III
PENGALAMAN-PENGALAMAN DI DAERAH TRANSMIGRASI
Dalam bab ini dibahas beberapa studi mengenai penyelenggaraan transmigrasi ditahun-
tahun yang lalu. Maksud studi-studi tersebut ialah mengetahui motivasi para transmigran
yang telah berpindah ke daerah baru serta pengalaman mereka sesudah bermukim kembali.
Selama program transmigrasi mulai diselenggarakan sejak tahun 1950 tidak ada keseragaman
dalam jenis maupun jumlah bantuan yang disponsori pemerintah.
Proyek-proyek transmigrasi biasanya digolongkan menurut daerah penempatan yaitu
daerah yang bukan pasang-surut dan daerah yang pasang-surut. Dalam hal proyek golongan
pertama dibedakan antara proyek beririgasi dan proyek tadah hujan. Di antara para
transmigran sendiri terdapat tiga golongan: transmigran umum yang menerima bantuan penuh
dari pemerintah, transmigran swakarsa yang sama sekali tidak dapat bantuan, transmigran
yang di tempatkan di proyek transmigran umum dengan hanya mendapatkan sebagian
bantuan seperti yang diberikan kepada transmigran umum (transmigran spontan dengan/tanpa
bantuan biaya.
Dilihat dari segi sejarah transmigrasi, proyek-proyek baru dapat dibedakan dari proyek
kelanjutan kolonisasi yang didirikan sebelum 1941. Kebanyakan proyek yang dibuka antara
tahun 1950 dan 1955 merupakan perluasan proyek lama (hampir semua proyek di Lampung
Selatan dan Belitang di Sumatra Selatan).
Di pemukiman Belitang, yang didirikan sebagai proyek kolonisasi pada tahun 1937,
lokasi desa-desa baru dipilih dengan baik; selain itu keadaan topografi serta adanya sungai
yang dapat dipakai sebagai sumber air irigasi yang memungkinkan pembuatan air irigasi
untuk para pemukim menanam padi sebagai dasar ekonomi mereka. Disini generasi pertama
dan kedua mencapai tingkat kesejahteraan yang memuaskan, namun generasi ketiga sekarang
harus menghadapi masalah kepadatan penduduk dan fragmentasi tanah usaha tani, seperti
telah diramalkan oleh Pelzer pada tahun 1940.
Kesulitan-kesulitan yang dapat timbul di proyek daerah kering apabila para keluarga
transmigran tidak diberi bantuan serta input-input yang diperlukan. Seperti hal pada banyak
proyek di Lampung, jaringan irigasi direncanakan tapi pembuatannya tidak dilaksanakan,
sehingga petani-petani terpaksa menanam singkong sebagai bahan utama. Sebagai akibat
kurang berkembangnya proyek, banyak transmigran meninggalkan proyek untuk mencari
nafkah di daerah/bidang lain.
Masalah-masalah timbul bukan hanya pada proyek di Sumatra tetapi juga pada proyek
di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, juga pada transmigran-transmigran yang
ditempatkan di daerah tadah hujan dan di proyek pasang surut juga menghadapi banyak
kesulitan.
Motivasi yang mendorong para transmigran untuk berpindah tanpa bantuan pemerintah
diteliti secara mendalam dala, suatu studi mengenai pemukiman transmigran swakarsa di
Parigi, Sulawesi Tengah, suatu daerah yang terkenal karena berhasilnya pendatang baru di
Bali. Analisa ini menunjukkan bahwa transmigran swakarsa juga dapat berhasil di daerah
berawa.

7. Pengalaman Selama Empat Puluh Tahun di Daerah transmigrasi Belitang, Sumatra


Selatan
Baru-baru ini sejumlah tulisan tentang program transmigrasi di Indonesia telah
meneliti sejarah dan arah-arah dimasa menadatang secara menyeluruh. Sebegitu jauh tidak
ada studi-studi yang teperinci yang meliputi periode yang panjang, yang memungkinkan kita
melihat daerah-daerah transmigrasi tertentu yang berkembang dalam keadaan yang berbeda-
beda serta pada tahap-tahap yang berbeda pula.
Untuk mengisi kekurangan ini sebuah studi diselenggarakan di daerag Blitang
(Provinsi Sumatra Selatan) pada tahun 1977. Daerah Blitang dipilih karena daerah tersebut
telah mengalami sejarah transmigrasi yang sangat lama (sekitar 40 tahun sejak dibuka pada
tahun 1937). Belitang terletak di Kabupaten Ogan Komering Ulu di Provinsi Sumatra Selatan
sekitar 200 km kearah barat daya dari ibu kota provinsi (Palembang). Sebuah sungai besar
bernama Komering mengalir sepanjang pinggiran daerah ini di Sebelah Barat. Ketika daerah
in dibuka sebagai daerah kolonisasi oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1937, hampir tidak
ada penduduk asli; daerah ini masih tertutup hutan dan hanya terdapat satu jalan menuju
lokasi proyek.
Empat puluh tahun kemudian, pada tahun 1977, daerah belitang telah berubah sebagai
akibat dari perpindahan transmigran terus-menerus, yang berjumlah paling sedikit 130.000
transmigran umum serta sejumlah besar transmigran swakarsa. Salah satu hal yang penting
dalam perkembangan daerah transmigrasi ini adalah salurran irigasi sepanjang 40 km yang
dibangun oleh pemerintah belanda antara tahun 1937-1943. Topografi daerah ini datar dan
tanahnya subur sehingga dapat dipanen dua kali setahun asalkan ada irigasi.
Daerah Belitang mempunya tiga ciri kunci keberhasilan sebagai daerah transmigrasi.
Pertama, daerah ini merupakan suatu lokasi yang secara alamiah cocok sekali untuk
pemukiman baru; tanahnya subur dan lokasinya tidak jauh dari jalan raya. Kedua, daerah ini
sangat beruntung karena input-input direncanakan dengan baik pada tahun-tahun pertama dari
masa penempatan, terutama sistem perairannya serta pola penempatan yang disebar di
beberapa dukuh kecil pada tahap pertama dari penempatan para kolonis. Ketiga, selama
empat puluh tahun banyak transmigran baik umum maupun swakarsa menetap di daerah ini,
meskipun begitu kebanyakan penduduk sekarang adalah orang Jawa atau keturunan Jawa.

Metodologi
Tiga metode digunakan dalam penelitian ini untuk mengumpulkan data. Yang
pertama adalah 10% sampel survei di lima desa yang didirikan pada periode yang berbeda;
maksud seleksi desa-desa ini adalah untuk memberi gambaran mengenai keadaan yang
berbeda-beda di antara 1937 dan 1974 (desa Sidomulyo (1937), Sukanegara (1953),
Margacita (1954), Karangmenjangan (1965), Harjomulyo (1974). Penduduk desa ini
termasuk generasi pertama, kedua dan ketiga dari para transmigran umum dan swakarsa,
tergantung pada tahun desa didirikan. Metode yang kedua adalah pengamatan mendalam atas
empat desa yang dilakukan oleh tim ahli Antropologi. Peneliti-peneliti ini tinggal di desa
selama dua bulan dan membuat laporan-laporan mengenai desa-desa itu dan riwayat hidup
dari beberapa transmigran yang dipilih. Sebagai metode ketiga, wawancara-wawancara
diselenggarakan dengan para transmigran umum maupun swakarta, para pejabat petugas
pemerintah dan para penduduk setempat.

Perkembangan Ekonomi
Pendapatan keluarga dari para responden di lima desa tersebut diatas pada umumnya
baik dan dapat dianggap sangat baik dibandingkan dengan pendapatan rata-rata keluarga
petani di Pulau Jawa yang ditafsirkan Rp 82.526 pada tahun 1977. Indikator ekonomi lainnya
yang diselidiki termasuk mutu perumahan, barang milik rumah tangga, konsumsi makanan
dan adanya uang untuk ongkos pulang-pergi ke Jawa.
Pemilikan Tanah dan Fragmentasi
Melihat pada fragmentasi dan konsentrasi pemilikan tanah, maksudnya ialah untuk
mengetahui apakah masih ada/terdapat distribusi tanah yang cukup merata, dan juga untuk
mengetahui seberapa jauh daerah transmigrasi Belitang telah memberikan suatu tingkat
kehidupan yang wajar kepada para transmigran dari generasi pertama dan kedua, dengan
dasar pemikiran bahwa generasi ketiga dan yang berikutnya akan mendapatkan kesempatan
kerja di luar bidang pertanian dengan berkembangnya proyek transmigrasi itu sendiri serta
daerah sekitarnya, sebagaimana halnya di tiap pola pemukiman baru.

Hasil-hasil yang lain


Penelitian tentang Belitang ini juga memberikan data mengenai dua aspek lainnya
yang sering terjadi (muncul) di daerah transmigrasi di Indonesia, yaitu persengketaan atas
kepemilikan tanah serta peranan para transmigran swakarsa. Seringnya terjadi pertengkaran
tanah di Belitang sangat berbeda-beda di lima desa yang diteliti, tetapi ternyata ada dua pola.
Bilamana terjadi pertengkaran disuatu desa, biasanya ada hubungannya dengan tiadanya
suatu persetujuan yang jelas antara marga setempat dan pihak pemerintah mengenai hak-hak
atas tanah itu sebelum dibuka menjadi daerah pemukiman.
Transmigran-transmigran swakarsa yang menjadi responden dalam penelitian ini
pindah ke Belitang terutama disebabkan tertarik akan kesempatan kerja yang lebih baik yang
terdapat di daerah itu, bukan karena menginginkan tanah pertanian.
Ringkasan
Pembukaan tanah untuk pemukiman baru, seperti yang diselenggarakan oleh program
transmigrasi di Indonesia, sering kali dilihat sebagai suatu proses akhir dimana masalah-
masalah seperti fragmentasi tanah, seandainya hal tersebut terjadi, dipandang sebagai tanda
kegagalan. Dalam kenyataannya tidak ada suatu pemukiman baru yang dapat dianggap
“berhasil” andai kata tidak adanya masalah-masalah tanah dan lain-lain dianggap sebagai
kriteria keberhasilan.
Dalam rangka ini proyek transmigrasi Belitang memberi dua pelajaran. Pertama,
pemukiman tersebut membuktikan bahwa program transmigrasi di Indonesia dapat berjalan
dengan baik di suatu daerah luas yang sebelumnya tidak dikembangkan, meskipun memakan
waktu yang lama. Kedua, walaupun pemilikan atas tanah semakin lama semakin sempit
karena fragmentasi telah terjadi, generasi pertama dan kedua masih memiliki tanah usaha tani
yang cukup besar serta pendapatan yang cukup baik. Walaupun pendapatan dari bidang
pertanian semakin kecil bagi generasi ketiga, kesempatan kerja di bidang bukan pertanian
semakin berkembang pula di daerah-daerah sekitar desa-desa baru.

8. Perlunya Suatu Pendekatan Baru


Ada dua kenyataan penting yang perlu disebutkan sebelum hasil penelitian ini
disimpulkan serta diajukan saran-saran untuk menyusub kebijaksanaan yang akan datang.
Pertama bahwa penelitian ini dilakukan hanya pada beberapa proyek transmigrasi pada dua
pulau luar Jawa, sehingga hanya menampilkan sebagian dari proyek-proyek yang diadakan
selama periode Pelita. Kedua, kebanyakn proses transmigrasi yang dibicarakan dalam
karangan ini telah ditinjau kembali dalam pembahasannya, sehingga beberapa pengamatan
kami mengenai sampel para transmigran yang ada ini mungkin tidak tepat berlaku bagi para
transmigran yang berpindah tempat pada tahun 1978.

I. Hasil Survei
a. Tipe orang yang ditransmigrasikan
Keadaan yang miskin sehingga mendorong kebanyakan kepala keluarga mendaftarkan
diri untuk bertransmigrasi dengan harapan akan mendapat tanah, karena bagi penduduk desa
Jawa dan Bai tanah merupakan sesuatu yang sangat berharga.
b. Layanan pemerintah
Kriteria seleksi transmigran yang ditetapkan oleh Dirjen Transmigrasi tidak diikuti
secara tegas, terutama yang berkaitan dengan umur kepala keluarga. Para calon transmigran
sering kali tidak diberikan penjelasan tentang daerah tujuan mereka, tentang kondisi
sebenarnya yang terdapat disana, dan juga tentang waktu berangkat yang tepat.
c. Perkembangan para mukim
Para pemukim segera mengalami berbagai masalah yang timbul karena perubahan di
daerah penempatan mereka, disebabkan oleh penenabangan hutan yang mengganggu
keseimbangan alam. Para transmigran tidak mengetahui tentang kecocokan beberapa tanaman
dan bahkan gagal menanam tanaman perkarangan yang paling dapat diandalkan seperti
pisang. Di berambai penggunaan pestisida yang berlebihan dapat membahayakan persedian
air, di Luwu sebagian diantara tanah itu masih dalam sengketa.
Lima belas dari 368 transmigran di Barambai pada tahun 1973 berhasil dalam
memproduksi panen seharga Rp. 200.000,-. Rata-rata keluarga ini mempunyai dua orang
anak berumur sepuluh tahun atau lebih yang dapat menolong dalam usaha tani.
Hubungan sosial pada umumnya ditentukan oleh kondisi ekonomi. Di Luwu persedian
tanahnya terbatas dan sumber makanan dari penduduk asli terancam, hubungan antara
transmigran dan penduduk desa kurang baik walaupun kerja sama antarpribadi tetap ada.
d. Pemukim-pemukim spontan
Pemukim-pemukim di Binuang secara relatif telah memperlihatkan kemajuan yang
baik jika dibandingkan dengan para transmigran umum. Hubungan antara para petani yang
sudah mapan di daerah yang merupakan hal yang sangat berperan dalam keberhasilan
pemukim-pemukim baru.

II. Saran-saran
Program transmigrasi sebagaimana kenyataannya pada tiga daerah yang dipelajari
disini, jelas tidak berhasil. Penulis memberikan saran bahawa seharusnya program
transmigrasi lebih ditentukan oleh prioritas pengembangan regional, daripada mencoba
mencapai kedua sasaran ini sekaligus. Baik sumber penghasilan di laut maupun di darat
hendaknya perlu diperhitungkan dan proyek percobaan mulai dikerjakan untuk
pemanfaatannya.

III. Komunikasi para imigran dengan desa asal mereka


Dari data survei waktu itu memperlihatkan bahwa para pemukim yang lebih berhasil
lebih banyak berkomunikasi dengan kaum kerabatnya didaerah asal mereka. Meskipun para
pemukim di Barambai dan Luwu telah menetap lebih lama, namun mereka lebih kerap
berhubungan dengan desa-desa asal mereka daripada yang ada di Tambarangan.

IV. Perbaikan terhadap proyek-proyek transmigrasi


a. Seleksi transmigran
Kelancaran berbahasa Indonesia dari kepala keluarga dan istrinya akan meningkatkan
kemungkinan integrasi mereka dalam masyarakat pemukiman yang baru.
b. Penerangan bagi calon transmigran
Perlu diberikan kepada para imigran suatu gambaran yang nyata dan sedetail mungkin
mengenai kehidupan baru.
c. Pemilihan dan persiapan tempat
Tempat harus mudah dicapai untuk melancarkan pemasaran produksi, serta
memudahkan perpindahan para pemukim spontan dikemudian hari.
d. Petugas lapangan
Koordinasi antara petugas lapangan dan kantor di tingkat provinsi maupun pusat perlu
ditingkatkan, supaya para migran tiba pada waktu yang tepat dan mereka mendapatkan
perlakuan yang baik. Petugas lapangan pun memerlukan latihan khusus guna mengatasi
kondisi-kondisi pertanian dan sosial ditempat yang baru.
e. Pembinaan
Tim penelitian diperlukan untuk memberikan bimbingan dalam hal pengolahan tanah,
seleksi tanaman, pupuk, pestisida, tata air, dan penyediaan bibit yang cocok dengan kondisi
tanah dan air setempat.
f. Tahun-tahun pertama
Penyeluruhan tentu saja diperlukan pada tahun pertama ketika penerimaan jatah
berlangsung dan ketika pertama kali para migran menghadapi masalah-masalah.
g. Perkembangan usaha tani
Ada yang melarikan diri dari proyek, ada pula yang melalaikan usaha tani mereka
untuk bekerja diluar, sedangkanyang lain mulai menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi
pertanian yang baru. kelompok terakhir inilah yang perlu diperhatikan dengan tambahan jatah
berupa tanah dan bibit dengan bimbingan lebih lanjut dan akurat.
h. Hubungan kemasyarakatan
Unit RT yang terdiri dari 10-15 keluarga seharusnya merupakan kesatuan etnis yang
paling luas, sehingga kelompok-kelompok etnis dan sub-etnis dengan bebas bercampur
melampaui batas-batas RT dalam RW yang sama. Setiap RT (kelompok etnis) mempunyai
wakil pada pertemuan-pertemuan RW pada waktu masalah kemasyarakatan dibahas.
i. Hubungan dengan penduduk asli
Dewan pengembangan regional setempat harus memberi nasihat kepada pemerintah
mengenai kebijakan daerah dan meneruskan keprihatinan penduduk kepada para pejabat.
Dewan serupa itu harus terdiri dari wakil-wakil baik dari para penduduk asli maupun
pemukim yang merupakan suatu forum untuk dapat membahas masalah kepentingan dan
keprihatinan bersama.

Penutup
Para transmigran membutuhkan bimbingan yang akurat sebagai pelopor dari
pengembangan regional. Kualitas pemukimlah yang kami tekankan disini, jika kualitas ini
dibuktikan walaupun dengan jumlah para pemukim yang sedikit pada permulaannya, daerah
dan pembaharuan ekonomi yang dipelopori oleh para transmigran akan menark sejumlah
migran spontan yang terus meningkat. Orang-orang indonesia (termasuk orang Jawa) tidak
segan-segan memanfaatkan kesempatan ekonomi dengan pindah antar pulau menempuh jarak
yang jauh.

9. Transmigrasi Swakarsa: Kasus Parigi


Pada tahun 1950 masyarakat Bali di Parigi (provinsi Sulawesi Tengah) terdiri hanya
tujuh belas rumah tangga. Mereka semuanya adalah keturunan para keluarga Bali beragama
Hindu yang dibuang ke Sulawesi pada tahun-tahun abad ini karena pelanggaran hukum adat.
Antara tahun-tahun 1906 dan 1928 sekitar enam puluh keluarga dibuang ke Parigi dan
mereka menetap diantara suku-suku bergama islam di daerah itu. Berkat pergunungan yang
tinggi serta curah hujan sepanjang tahun, mereka dapat menggunakan sistemirigasi
tradisional dan menghasilkan padi sawah sehingga pada awal tahun 1920-an tanaman mereka
tumbuh subur dan masyarakat hidup dengan baik.

Pelajaran-pelajaran dari kasus parigi


a. Kekurangan tenaga kerja menyebabkan peningkatan migrasi
b. Migrasi tersebut terjadi karena telah ada suatu rangkaian migrasi sebelumnya.

10. Pelaksanaan transmigrasi umum di Way Abung, Provinsi Lampung


Way Abung, seperti halnya dengan Parigi, sebagian besar ditempati setelah tahun1965
dan kebanyakan transmigran di kedua daerah itu tiba antara tahun 1972-1974. Para
transmigran di Way Abung terdiri dari 12.000 kepala keluarga (60.000 jiwa) sebenarnya
semuanya dimukimkan kesana llewat program transmigrasi pemerintah yan biasa dengan
bantuan biaya yang berbeda-beda.
Way Abung yang luasnya sekitar 30.000 hektar sebagian besar terdiri dari padang
alang-alang dan hutan sekinder. Daerah itu terletak di Provinsi Lampung, 24 km dari jalan
raya terdekat. Para transmigran tidak diberi keperluan atau kebutuhan yang memadai di Way
Abung.

Pelajaran-pelajaran dari proyek Way Abung


a. Seperti di Parigi, para pemukim yang pertama mengalami hal-hal yang sulit
b. Para transmigran yang setengah dibiayai sama keberhasilan mereka dengan para
transmigran yang dibiayai penuh, setidak-tidaknya apabila mereka tiba pada
gelombang kedua
c. Areal-areal ditempati secara keseluruhan sedikit potensinya untuk pengembangan dan
diversifikasi di masa mendatang.

11. Lima puluh tahun transmigrasi spontan dan transmigran pemerintah di tanah
berawa kalimantan.
Tanah berawa di Indonesia: sumber marjinal
Dalam 10 tahun terakhir ini, usaha-usaha pemerintah dalam pengembangan
eksploatasi tanah-tanah berawa semakin betambah. Tanah-tanah berawa ini dianggap
marjinal karena tanahnya peka dan rapuh, lokasi dan kesulitan untuk mengubah tanah berawa
bagi pertanian.

Transmigrasi pemerintah dan transmigrasi spontan ditanah berawa


Sebagai ringkasan dari perkembangan pembukaan tanah berawa oleh pemerintah;
proyek-proyek yang sudah selesai, dalam konstruksi atau pada tingkat perencanaan, daerah-
daerah lebak dan pasang-surut yang akan dibuka dimasa mendatang, yang terbagi dalam
provinsi ditaksir ada 177.000 hektar tanah yang berpotensi di Kalimantan yang mungkin akan
dapat dibuka untuk pertanian.

Samuda Kecil: transmigrasi spontan orang Jawa dan orang Banjar kerawa pasang-
surut di Kalimatan Tengah Infografis Desa
Desa Samuda Kecil memiliki komoditas perkebunan kelapa rakyat dan sawah.
Tanaman tumpang sari yang ditanam di antara pohon kelapa ialah kopi. Daerah
inidipengaruhi pasangsurut yang merupakan rawa gambut dengan tebal gambut 2 meter. Desa
ini memiliki 800 hektar kebun kelapa dan 329 hektar sawah.

Sistem bercocok tanam


Sistem bertani yang mereka dengan menyesuaikan keadaan ekologi ialah dengan
membuka hutan, menanam padi, dan bercocoktanam kelapa di tanah sawah. Pada umumnya
sistem yang digunakan orang Banjar adalah dengan cara membuka rawa-rawa yang
dipengaruhi pasang-surut untuk bertanam padi, dan diikuti dengan produksi kelapa.

Proses menanam padi


Biasanya petani akan membuka sendiri rawa dengan memperlebar dan memperdalam/
memperpanjang aliran kecil dan dibersihkan. Pohon-pohon ditebang. Setelah pohon-pohon
ditebang mereka membiarkan daerah tersebut mengering selama tiga bulan. Setelah cukup
kering, lalu dibakar (mencucul). Panen (mengetam) dimulai selama satu bulan. Mereka
membangun pondok di sawah untuk penyortiran padi, setelah padi tersebut kering mereka
membawanya pulang kerumah. Suatu masalah yang tak terpecahkan di tanah-tanah pasang-
surut dan tanah gambut ialah kecenderungan menurunnya hasil padi setiap tahun.

Sistem Kerja
Menurut diskusi kelompok dengan petani, ada tiga cara untuk membuka hutan guna
produksi padi dan untuk mengusahakan tanaman kelapa. Beberapa desa dekat Samuda Kecil,
hampir seluruh penduduknya berasal dari Madura.

BAB IV
MASA DEPAN PROGRAM TRANSMIGRASI
1. Transmigrasi umum dan swakarsa dalam konteks target-target pelita
Sejak awal pelita I dalam tahun 1969 transmigrasi telah ditekankan sebagai unsur
penting dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan. Hasil program yang relatif baik
yang di capai dalam pelita I mendorong pemerintah untuk menetapkan target sebanyak
250.000 Kepala Keluarga (KK) untuk elita I dan target yang bahkan lebih besar untuk pelita
III.

Kebijaksaan mengenai transmigrasi umum


Hambatan-hambatan utama yang menghalangi peningkatan jumlah Kepala Keluarga
yang dimukimkan sebagai transmigran umum ada dua macam:
• Yang menyangkut pentediaan dan penyiapan tanah proyek, dan
• Yang menyangkut pengkoordinasian dalam kegiatan-kegiatan pemindahan dan
penempatan.
Keputusan Presiden bahwa hutan-hutan primer tidak boleh dibuka untuk proyek
transmigrasi, meskipun sebenarnya sangat bijaksana. Pada dasarnya transmigrasi adalah
program yang mencakup berbagai sektor dan yang memerlukan sumbangan dari berbagai
departemen dan lembaga untuk pelaksanaan yang berhasil.
Departemen yang khusus harus mempunyai anggaran belanja, staf dan wewenang
menangani semua persoalan yang berkaitan dengan penerimaan, transportasi dan penempatan
para transmigrasi.
Sifat transmigrasi swakarsa
Yang dimaksud transmigrasi swakarsa adalah perpindahan penduduk dari Pulau Jawa
tanpa bantuan pemerintah dan tanpa organisasi dalam bentuk apapun juga. Pasal 2 Undang-
undang No. 3 tahun 1972 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi menyatakan
bahwa:
“sasaran kebijaksanaan umum transmigrasi ditujukan kepada terlaksananya swakarsa
(spontan) yang teratur dalam jumlah yang sebesar-besarnya.”
Program transmigrasi spontan dimulai pada tahun 1957 dalam usaha memindahkan
lebih banyak penduduk dengan biaya rendah, sebab transmigrasi umum, yang biayanya
penuh oleh pemerintah, akan tetap mahal biayanya. Pada tahun 1930-an Pemerintah Belanda,
karena merasa kolonisasi yang dibantu penuh sangat mahal, telah menggunakan system
bawaon dan kemudian pada tahun 1937 memulai keluraga tang dianggap para perencana
sebaai “jembaan untuk mencapai kolonisasi spontan”
Selama tahun 1960-1970an Direktorat Jendral Transmigrasi melanjutkan
kebijaksanaan pemindahan transmigrasi yang tidak diberi bantuan penuh dalam usaha
menghemat pembiayaan, meskipun pada tahunn 1974 telah diputuskan menghentikan sistem
ini. Ada dua hal penting dalam pemindahan transmigran yang tidak dapat bantuan apapun,
sepeti telah dikemukakan oleh Guinness dalam uraiannya mengenai transmigran-transmigran
swakarsa di Kalimantan Selatan: “Mereka sama sekali tergantung pada jasa baik dan teman-
teman dan kerabat mereka di daerah baru dan juga pada tenaga kerja sendiri”. Guinness juga
mengemukakan bahwa keadaan keuangan transmigran-transmigran swakarsa waktu tiba
didaerah baru tidak berbeda dengan keadaan transmigran umum, mereka juga mempunyai
latar belakang sama dan berasal dari desa yang miskin.

Anda mungkin juga menyukai