Anda di halaman 1dari 11

MAKNA YANG TERSIRAT DI BALIK PERTANYAAN DALAM

ALQURAN

Nurin Nabilah
Yayasan Alfalah Kadur
Email: nurinnabilah445@gmail.com
Abstrak
Alquran memiliki keindahan bahasa yang sangat tinggi, serta menyimpan
pesan yang perlu ditafsirkan. Sehingga kaidah kebahasaan perlu dipahami yang
sebagai penunjang kebahasaan dalam bahasa turunnya Alquran. Salah satu kaidah
kebahasaan yang digunakan Alquran yaitu istifham atau kata tanya. Kaidah
bahasa yang terdapat dalam Alquran memiliki dua makna, yakni makna haqiqi
(makna tekstual) dan makna majazi (makna kontekstual). Makna haqiqi (makna
tekstual) adalah kalimat yang menunjukkan arti sebenarnya. Sedangkan, makna
majazi (makna kontekstual) adalah makna yang tersembunyi berdasarkan konteks
kalimat.
Kata Kunci: Kaidah Bahasa, Bahasa Arab, Tafsir, Istifham
Pendahuluan
Makna tidak pernah hadir kecuali dalam intertekstualitas tanda. Derrida
mengajak untuk melampaui bahasa seperti yang dihasilkan oleh sistem linguistik
dan logika. Hubungan antara bahasa dan pikiran merupakan hubungan yang
timpang. Pikiran selalu diperlakukan lebih tinggi daripada kata-kata, Pikiran
menjadi sumber dari bahasa, sementara bahasa hanya kepanjangan tangan dari
pikiran. Bahasa bertugas menyampaikan sesuatu yang ingin diekspresikan oleh
pikiran. Derrida menolak supremasi pikiran sebagai fakultas tersendiri yang bebas
dari bahasa, dan sebaliknya menegaskan bahwa pikiran juga terkontaminasi oleh
bahasa dan diferensialitas tanda-tanda.
Oleh karena itu, perlu diketahui makna-makna yang tersimpan di balik teks
dalam Alquran yang dijadikan sumber ajaran Islam, dan juga sebagai petunjuk
bagi umat Islam. Dalam hal ini, isi kandungan Alquran perlu dikaji agar petunjuk-
petunjuknya dapat dipahami dan diamalkan. Untuk mengkaji pengetahuan,
khususnya tafsir Alquran, perlu hal-hal mendasar yang harus diperhatikan agar
tujuan yang diinginkan didapatkan dengan mudah.
Salah satunya, kaidah-kaidah yang digunakan dalam suatu ilmu, khususnya
dalam menafsirkan Alquran. Dengan itu, dalam menafsirkan Alquran diperlukan
untuk memahami kaidah-kaidah tafsir, di antaranya kaidah istifham yang
digunakan di dalam Alquran.

1
Pengertian Istifham
Sebelum mamasuki pemahaman tentang istifham yang merupakan salah satu
kaidah dari tafsir, lebih baiknya mengetahui arti dari sebuah kaidah tafsir itu
sendiri. Istilah kaidah-kaidah tafsir dalam bahasa Arab adalah “qawa’id al-tafsir”,
dan perkataan qawa’id al-tafsir terdiri dari kata “qawa’id” yang disandarkan pada
kata “al-tafsir” (Tasbih, 2013). Sedangkan qawa’id adalah bentuk jamak dari
qa’idah yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kaidah” dengan makna:
rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti; patokan; dalil (dalam
matematika). Dalam bahasa Arab makna qa’idah adalah peraturan, prinsip, dasar,
asas, pondasi, model, pola, mode (Syamsuri, 2011).
Harun (2014) berpendapat bahwa definisi dari Qawa’id al-Tafsir ‘Kaidah-
kaidah Tafsir’ adalah prinsip-prinsip dasar yang perlu diindahkan dalam usaha
memahami makna yang diyakini benar dari ayat-ayat Alquran. Secara operasional
Qawa’id al-Tafsir didefinisikan:
kan l Tafsi ϴTϴ n ϴy ki ϴ ψki ຀ n aafi ki kт γ aό aki ϴ Βki ΒϮ i
“Aturan-aturan umum yang menyampaikan kepada dipahaminya makna Alquran
Al-‘Azdim dan diketahuinya penggunaannya (aturan-aturan itu)”.
Memasuki pengertian Istifham, menurut etimologi kata istifham merupakan
bentuk dari kata masdar yaitu kTafi . Jika ditinjau dari segi bahasa, Istifham
memiliki arti pertanyaan, meminta keterangan, meminta penjelasan (Munawwir,
1997). Sedangkan menurut terminologi, istifham berarti harapan untuk
mengetahui sesuatu yang belum diketahui sebelumnya dengan menggunakan
salah satu perangkat dari beberapa perangkat istifham(Nurdiyanto, 2016). Dari
pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian istifham
mempunyai satu maksud pokok yaitu mencari pemahaman tentang suatu hal
sebagaimana yang diungkapkan pengarang kitab al-Itqan fi ulumil Qur’an(Izzan,
2009).
Klarifikasi Istifham
Jeremy & Mustofa (1951) menyatakan bahwa dalam kajian bahasa Arab,
istifham diklasifikasikan menjadi dua pola, yang pertama istifham haqiqi dan yang
kedua adalah istifham majazi.Istifham haqiqi bermakna pertanyaan seseorang
kepada orang lain tentang sesuatu yang memang benar-benar belum diketahui
sebelumnya. Adapun istifham majazi adalah pertanyaan tentang sesuatu yang
sebenarnya sudah diketahui. Dalam kondisi ini, fungsi yang dimiliki oleh kalimat
istifham tersebut tidak lagi orisinil sebagai pertanyaan yang mengharapkan
jawaban, namun beralih kepada fungsi-fungsi lainnya semisal larangan, perintah,
pengingkaran, doa, harapan, sangkalan, serta tujuan lainnya.
Adawatul Istifham
Dilihat dari fungsinya, huruf istifham dibagi menjadi 3 klasifikasi. Pertama,
Istifham untuk yang bertujuan untuk menggambarkan sesuatu (al-tashawwur).
Kedua, istifham untuk membenarkan sesuatu (al-tashdiq). Ketiga, istifham yang

2
berfungsi sebagai al-tashawwur di satu sisi dan sebagai al-tashdiq di sisi lain
(Nurdiyanto, 2016).
Chirzin (1998) menyatakan bahwa kata tanya atau adawatul istifham ini dalam
pembagiannya dibagi menjadi 2:
a. Huruf istifham yaitu berupa hamzah dan hal yang kedua-duanya
mempunyai arti apakah.
b. Isim istifham dimana adawatul istifham ini terdiri dari selain yang telah
disebutkan. Isim istifham ini terdiri dari ma (apa), man (siapa), kaifa
(bagaimana), mata (kapan), ayyana (bilamana), anna (dari mana), kam
(berapa), aina (dimana), dan ayyun (apa,siapa).

Makna yang Tersirat dari Istifham dalam Alquran


Terkadang, lafal-lafal Istifham itu keluar dari makna aslinya. Maka dari itu
terkadang sang penanya (mutakallim) sebenarnya telah mengetahui jawaban atas
pertanyaan yang diajukannya. Hal ini dapat diketahui dengan cara menganalisa
konteks kalimat pertanyaan tersebut (Hasyim, 2005).Nurdiyanto (2016)
menyatakan beberapa contoh istifham yang sering digunakan dalam Alquran
berdasarkan sesuai dengan fungsinya masing-masing:
1. Hal/ (Apakah)
Kata tanya hal yang digunakan untuk menanyakan sesuatu yang
jawabannya bersifat dikotomis, yakni jawaban na’am-‘iya’ atau la-“tidak”.
Menurut Al-Hasyimi, kata tanya hal ini disebut hal tashdiq.
Biasanya memiliki fungsi sebagai:
a. Nafi (meniadakan)
Fungsi istifham untuk menafikan sudah banyak sekali diterapkan
baik dalam percakapan bahasa Arab, karya pustaka maupun
Alquran.Contoh dari pada pola istifham yang memiliki tujuan untuk
menafikan adalah surat al-Baqarah (2) ayat 210:
10: i Ro 0k 0 n0 i 0 ˵Η0 0ΒU0D0Kki0 0K0 ki 0Rn 0 Ϝ Ro k0ϴiϴ0ό 0m Rs 0 ya0ό 0
έ n i
Artinya: “Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya
Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan
diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan
segala urusan.”
Istifham yang bermakna nafi (meniadakan) dalam ayat ini
digunakan sebagai sebuah sindiran kepada orang-orang yang
meninggalkan agama Islam atau tidak mau masuk Islam. Maksudnya
adalah, bahwa pada hakikatnya, orang-orang yang meninggalkan atau
enggan untuk masuk agama Islam sama saja dengan pasrah dan tidak
mampu berbuat apa-apa selain menunggu kebaikan dan kemurahan
Tuhan semata. Ini disebabkan karena mereka tidak memiliki bekal apa-
apa. Ini sekaligus membantah bahwasannya orang yang tidak masuk
Islam dan yang masuk Islam kedudukannya sama di akhirat.

3
b. Al-Tamanna (harapan yang tidak mungkin tercapai)
Pola ini banyak sekali dipakai baik dalam bahasa Arab maupun
dalam alQur’an pengungkapan tamanna dengan menggunakan pola
istifham dan bukan dengan kalimat biasa memunculkan pada akhirnya
memang memunculkan estetika berbeda dalam kalimat tersebut. Contoh
dari kalimat ini salah satunya terdapat dalam surat al-A’raf (7) ayat 53:
˷ 0 k т 0a˷т0έ fέ ˸0ϟ 0: R0Η 0Η Rn ˸ 0຀ 0Rό Rki Ϧ ψ0ό ό ϴ0i iϴ0ό 0 0ό 0 ό ϴ0i Rs 0 ya0ό 0
ka0΄ R 0˸0 k0 T຀0m i 0˴ R0Η 0K 0຀ Ra Rki 0 ϴ0 0 0K 0a0 l0 ຀ 0m 0a0k i 0T˴0ϴ0 0ϟ 0 0T Rn 0a0k 0k0
0 0aT0ό i ຀ 0 0n
Artinya: “Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya
kebenaran) Al Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan
Al Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu:
"Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang
hak, maka adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan memberi
syafa'at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia)
sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami
amalkan?". Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan
telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan.”
Dalam ayat ini ketika orang-orang yang merugi tersebut
menggunakan kalimat istifham, pada dasarnya mereka berharap agar
datang seorang penolong bagi mereka untuk mengembalikan mereka ke
dunia untuk memperbaiki kesalahan dan beramal baik. Namun, harapan
mereka tersebut hanyalah harapan yang tidak mugkin terwujud. Oleh
karena itu, maka kalimat istifham dalam ayat ini berfungsi untuk
menampilkan sebuah harapan yang tidak akan mungkin terjadi
(tamanna).
c. Ta’ajub (keheranan)
Seperti dalam QS. Al-Isra’ (17): 93
˸˵0 ψ0຀ ήт 0a 0aϴ0 0΄ 0Ϧ˷ 0ai Ra0Ϯ 0Ϛ˷ϴΗ k 0Rn˵຀ R0k0 ϟ 0KR ki 0Η 0i 0m Ϛ ˴ϴ Rn Ϛϴ0т 0Ϛ0k 0 Β0ό 0m
ήs f0έ iή 0˴0т Rs Ϛa 0 ˷т0έ 0 0 f Η
Artinya: “Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu
naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai
kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang
kami baca". Katakanlah: "Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya
seorang manusia yang menjadi rasul?"
Kata istifham pada ayat di atas adalah istifham dengan menggunakan
kata pada kalimat ήs f0έ iή 0˴0т Rs Ϛa 0 ˷т0έ 0 0 f Η yang artinya
katakanlah Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang
manusia yang menjadi rasul? Selebihnya tidak, maksudnya ialah bahwa
Nabi Muhammad mengucapkan subhana rabbi atau subhannallah!
Untuk menjelaskan bahwasannya Allah ta’ala bukanlah tidak berkuasa
buat mengabulkan permintaan mereka itu atau menyatakan rasa takjub
atau heran memikirkan sampai demikian kufur dan keras kepala mereka,
sehingga mereka meminta yang tidak-tidak. Sedangkan aku hanyalah
seorang manusia yang diutus oleh Allah, sama seperti rasul-rasul
terdahulu.
Jadi Istifham pada ayat di atas mempunyai makna ta’ajub
(keheranan), yaitu keheranan Nabi Muhammad terhadap kekufuran dan

4
keras kepalanya orang-orang kafir Quraisy dengan meminta hal yang
menyampaikan kepada umat manusia tentang risalah-risalah Allah dan
memberi nasehat-nasehat kepada mereka. Adapun urusan mengenai
permintaan-permintaan itu, terserah kepada Allah.
2. Hamzah/m (Apakah)
Kata tanya berupa hamzah memiliki persamaan makna dengan kata
tanya hal. Akan tetapi, dari sisi penggunaannya ada sedikit perbedaan.
Kata tanya hamzah disamping menuntut jawaban iya atau tidak (tashdiq)
sebagaimana pada penggunaan kata tanya hal juga dapat digunakan untuk
menjawab pertanyaan dengan memilih salah satu atau beberapa jawaban
dari kemungkinan jawaban yang ada. Oleh Al-Hasyimi fungsi kata tanya
ini disebut hamzah lit tashawwur dan dalam konstruksi kalimat, kata tanya
hamzah ini disertai dengan piranti alternatif yang berupa kata ‘am yang
artinya atau yang oleh para linguis Arab disebut ‘am mu’adalah (‘am yang
berfungsi untuk membandingkan). Dengan ungkapan lain, jawaban yang
diminta dari hamzah lit tashawwur ini bukanlah jawaban iya atau tidak,
melainkan langsung menyebutkan salah satu alternatif dari pilihan yang
ada.
Berikut beberapa fungsi yang dimiliki kata tanya hamzah yang
digunakan dalam Alquran:
a. Al-Taswiyyah (Menyamakan)
Pola ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kalimat sebelum dan
sesudah huruf istifham memiliki kedudukan yang sama. Contoh dari
kalimat istifham yang berfungsi untuk menyamakan (altaswiyyah)
adalah apa yang terdapat dalam surat al-Baqarah (2) ayat 6:
0 an˵ό 0s έ ai 0k 0m k0iέ0 ຀0m0m kϴ0 0΄ ϟi0 0f i 0T0 0Rό Rki R
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka,
kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak
juga akan beriman.”
Dalam ayat ini istifham dengan menggunakan “hamzah” berfungsi
untuk menyamakan watak dan kondisi orang kafir, baik itu ketika diberi
peringatan atau tidak diberi peringatan. Penyamaan atau taswiyyah
dalam suatu kalimat dengan menggunakan uslub istifham memang akan
lebih memunculkan estetika kebahasaan kalimat tersebut, dibanding
jika penyamaan tersebut diungkapkan dengan menggunakan pola
kalimat biasa.
b. Ikhbar (Menginformasikan)
Ikhbar adalah pemberian informasi tentang sesuatu. Pola istifham
semacam ini bertujuan untuk menguatkan infomasi atau kabar yang
disampaikan dalam suatu kalimat. Seperti dalam ayat 12 surat al-
Baqarah:
0 ˴0ό 0s RΒ0k0 0 R TKki kR຀ 0s0m
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang
membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”
c. Nahi (larangan)
Dalam kondisi ini kalimat istifham berfungsi untuk menegaskan
tentang pelarangan terhadap sesuatu. Salah satu contoh kalimat Alquran

5
yang menggunakan pola kalimat ini adalah kalimat yang tercantum
dalam surat al-Taubah (9) ayat 13:
R 0 k0຀ 0˴ 0i0m R 0n 0ϦR 0m ϟ0R0т 0 Ϧ fR ki i0 ˴ т i K0 0 k0຀ 0Kό0m i ˵0Β0຀ ήn 0Η 0 i 0ψi 0s0m
0Rϴan˵n aa ˸ 0˴ 0i 0m 0Ϯ0m
Artinya: “Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang
merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya
untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi
kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang
berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”
Kalimat “Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allahlah
yang berhak untuk kamu takuti” dalam ayat ini sebenarnya bermakna
larangan untuk takut terhadap mereka (orang-orang kafir), sebab hanya
Allah sebagai Tuhan lah yang berhak untuk ditakuti.
d. Ta’ajjub (Keheranan)
Contoh dalam surat Shad (38) ayat 5:
0 ΄ ϟ 0˴0k i0 0 R iήRϮi0 ήk0k 0 0kkDi 0 0 0:0m
Artinya: “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu
saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat
mengherankan.”
e. Ungkapan kepastian yang mengandung kesombongan
Contoh QS. Al-Zukhruf (43): 51
0D0 0m a 0i Rn 0i έ 0k຀0 i ˸ 0 0 0 ϧn Ϛ n k 0έϴ0k0m 0Η 0ό 0Ϧ 0Η n 0Η 0΄ ϥ0l 0຀0
0 ϧi
Artinya: “Dan Fir'aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: "Hai
kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah)
sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak
melihat(nya)?”
f. Mengandung celaan
Contoh, QS. al-Nisa’ (4): 97
i k 0Η έ0 i 0RϴT0 ˵0a n Ra i k 0Η aa 0 ϴ i k 0Η k T຀0m Kk 0Ϝ 0ΒU0D0Kki R 0 0i 0Rό Rki R
iή ϴϧ0n ˸0ϟ 0f0 Ra0k0: i0 ϴ0n 0Ϛ˶0k ϴ0 0kϴ i : 0ka0 ή 0 fi0 Ro έ0m RΒ0i 0k0m
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam
keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:
"Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah
kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat
berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah
di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
g. Mengandung teguran
Contoh QS. Al-Hadid (57): 16
0 0aΒki i i m 0Rό Rk 0 i ຀ Β0ό 0s0 ˷ 0 ki 0Rn 0Ϧ0 0຀ 0n0 Ro k kт Η 010˴ 0i 0m i a0nϴ 0Rό R k ϴ0ό 0k0m
0 ψf 0 kan ϴ˵0 0 kт Η Ϛ0 0ψ0 R0n0 i kϴ0 0΄ 0Ϧ 0 0 0Η Rn
Artinya: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman,
untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang
telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang
yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi

6
keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang
fasik.”

3. Man/Rn (Siapa)
Menurut Al-Ghalayaini kata tanya man dan man dza digunakan untuk
menanyakan sesuatu yang berakal. Kadang-kadang keduanya bukan
digunakan untuk menanyakan sesuatu, melainkan digunakan untuk
menafikan (menegasikan) sesuatu.
Berikut fungsi dari kaidah istifham man dalam Alquran:
a. Khabar (menginformasikan)
Cirinya: biasanya diatafkan dengan kalimat yang dinafikan. Contoh
QS. Ar-Rum (30): 29
0Rό γ 0຀ Rn k0k 0n0 Ro R 0˸0m R0n Rk0ό R0K0 ΄ ϴ0 т 0ϟi0 0m i K0 0Ϝ 0Rό Rki 010 Rii 0т
Artinya: “Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya
tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang
yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang
penolongpun.”
b. Al-Ta’zim (pengagungan)
Contoh QS. Al-Baqarah (2): 255
຀ϧ т Rs ˸0Ra΄ 10T˴0ό Rki i0ϧ R0n
Artinya: “Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-
Nya?”
c. Inkar
Contoh QS. Al-Isra’ (17): 51
0 ˵ aϴ0 0 R 0n 0ϦR 0m 0 0 0 Rki Η 0຀Rϴ ό R0n 0 k ψ0ϴ0 0 έ Rγ Β0ό RKn ήψ 0˴
ή ό 0Η 0 Β0ό 0m 0 0΄ Η 0 0a0n 0 k ψ0ό0 k0f ϟέ 0Ϛϴ0k
Artinya: “atau suatu makhluk dari makhluk yang tidak mungkin (hidup)
menurut pikiranmu". Maka mereka akan bertanya: "Siapa yang akan
menghidupkan kami kembali?" Katakanlah: "Yang telah menciptakan
kamu pada kali yang pertama". Lalu mereka akan menggeleng-
gelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata: "Kapan itu (akan
terjadi)?" Katakanlah: "Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat"
Kata istifham pada ayat di atas adalah kata “Rn” pada kalimat “ Rn
຀Rϴ ό” yang artinya “siapakah yang akan menghidupkan kami
kembali?”. Sedangkan Allah berkuasa menghidupkan mereka kembali,
meskipun menjadi apapun juga, itulah sebabnya Allah SWT
memerintahkan kepada rasul-Nya agar menjawab dengan tegas yang
akan menghidupkan mereka itu adalah zat yang menciptakan mereka
kembali kali yang pertama. Mereka apabila Allah swt berkuasa
menciptakan mereka pada kali yang pertama dari tanah, diapun
berkuasa pula untuk menghidupkan mereka kembali setelah menjadi
tanah. Tetapi mereka justru menggeleng – gelengkan kepala, sebagai
bertanda bahwa mereka itu mendustakan Allah. Penafsiran di atas
menunjukan bahwa istifham “Rn” di atas bermakna inkar, yaitu
pengingkaran orang-orang kafir yang tidak percaya bahwa Allah
mampu menghidupkan mereka kembali meskipun telah menjadi apa
saja.

7
4. Ma/ n (Apa)
Kata tanya ma dan ma dza digunakan untuk menanyakan sesuatu yang
tidak berakal (misalnya binatang).Berikut beberapa fungsi istifham ma
yang digunakan dalam Alquran:
a. Ifham (pemberian pemahaman)
Contoh surat Thaha (20) ayat 17:
0f n 0ό 0ϚaϴK0ϴт 0Ϛ i 0n0
Artinya: “Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?”
Pertanyaan ini dijawab di ayat berikutnya untuk memberikan sebuah
pemahaman.
b. Al-Amr (perintah)
Pada jenis ini, pola istifham memiliki estetika sendiri. Sebab istifham
yang semula berfungsi untuk meminta pemahaman tentang sesuatu
yang belum diketahui, ternyata dapat beralih fungsi sebagai kalimat
perintah. Contoh kalimat istifham yang berfungsi memerintah salah
satunya adalah ayat 75 surat al-Nisa’ (4):
0aRт0έ 0 k ψ0ό 0Rό Rki i0Rk ki0 ϟ 0 ˷aki0 Ϧ 0:˷ ki 0Rn 0RϴT0 ˵0a Kki0 Ro ϴ 0f 0 i 0ψi 0s Β0k 0n0
iή ϴϧ0຀ 0Ϛ຀R0k Rn 0a0k 0 :i0 Vϴk0 0Ϛ຀R0k Rn 0a0k 0 :i0 0k 0m k Ryki 0ό 0ψki ˸ 0 Rn 0a: ˴0m
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan
(membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita
maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami,
keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya
dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong
dari sisi Engkau!".
Dalam ayat ini, kalimat perintah tidak hanya menggunakan fi’il amr
seperti kalimat lazimnya, namun menggunakan uslub istifham untuk
memunculkan estetika yang lebih kuat dalam kalimat tersebut.
c. Nahy (larangan)
Contoh QS. Al-Infitar (82): 6
ό 0Βki 0Ϛ˷т0 т 0˴R 0 0n 0 ຀香i 0kό0m 0ό
Artinya: “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu
(berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.”
d. Al-Tahwil (mengintimidasi, menakut-nakuti)
Contoh QS: Al-Haqqah (69): 3
RΗ 0 ki 0n 0˴i0έl0m 0n0
Artinya: “Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?”
e. Al-Tashil dan Takhfif (memudahkan, meringankan)
Contoh QS. An-Nisa’ (4): 39
ήKϴ 0΄ kт Ro 0 0 0 Ro k0Η0ϴ0έ RKn i ψ0T຀0m0 ˴Di 0ϴki0 R т i a0nϴ 0k kϴ0 0΄ i0ϧ 0n0
Artinya: “Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka
beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian
rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah
Maha Mengetahui keadaan mereka.”
5. Kaifa/ ϴ (Bagaimana)
Kata tanya kaifa digunakan untuk menanyakan suatu keadaan, Dan
kadang-kadang digunakan untuk fungsi yang lain, misalnya untuk
menyatakan heran (ta’ajjub) menafikan dan mengingkari, serta fungsi

8
menghina. Berikut contoh penggunaan kaifa di dalam Alquran terdapat
pada Surah Al-Isra’ (17):
ήDϴ˵T0i 0 0m0 ˸ 0:0έ0l 0 0m 0 ˴沠0k0 ϛ 0т 0 0΄ k0˵ 0т 0a R˵0 0 ϴ0 y຀i
Artinya: “Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka
atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi
tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.”
ϛ 0т 0 0΄ k0˵ 0т 0a R˵0 0 ϴ0 y຀i yang artinya: Perhatikanlah bagaimana
Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain).
Maksudnya adalah tidak peduli apakah yang dilebihkan dalam kehidupan
dunia itu seorang mukmin atau kafir. Sudah terang bahwa sejak asal
semula jadi manusia ini tidaklah terdapat hidup yang sama rata, sebab
kecerdasan dan kemampuan tidak sama. Dari uraian di atas kata ϴ
bermakna hakiki yaitu Ϧ i Rϴ i т ό untuk menanyakan ketarangan
keadaan yaitu tentang manusia di dunia, ada yang mendapatkan kelebihan
diantara yang lainya.
6. Mata/ an (Kapan)
Kata tanya mata digunakan untuk menanyakan waktu, baik masa
lampau maupun masa akan datang. Beberapa penggunaan istifham mata di
dalam Alquran:
a. Taubikh (pencelaan)
Contoh QS. Al-Mulk (67) ayat 25:
0RϴΗl 0γ aa R΄0 ki i0 0 0a0n 0 k ψ0ό0
Artinya: “Dan mereka berkata: "Kapankah datangnya ancaman itu jika
kamu adalah orang-orang yang benar?"
b. Al-Istibta’
Contoh, QS. Al-Baqarah (2): 214
Ro ϧ0຀ 0a0n 0 0n i a0nϴ 0Rό Rki0 Ϧ fR ki 0Ϧ ψ0ό Ra0Ϯ
Artinya: “sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?"
7. Ayyana/ όi (Bilamana)
Dalam kaidah istifham haqiqi, kata ayyana berfungsi untuk
menanyakan keterangan waktu yang akan datang secara khusus, di mana
masa yang dimaksud merupakan masa yang secara spesifik dikategorikan
bersejarah. Seperti yang terdapat dalam surah An-Nazi’at (79) ayat 42:
0 0 f n 0 R ό 0 m 0 ΄ R ki R0 ΄ 0 Ϛ 0 ຀ k0 ϴ 0 ό
Artinya: “ (Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”
8. Anna/ ຀i(Dari Mana)
Kata anna memiliki tiga makna sekaligus, yaitu: bagaimana, dari mana,
dan kapan. Seperti dalam surah Maryam (19) ayat 8:
V ϴ a ΄ 0 Β ki 0 R n Ϛ 0 0 т R0 Η 0 iή Η 0 ΄ i0 m 0 ni Ϛ0 ຀ 0 0 0 D k Β0 ό R ຀ 0 m ˷ 0 έ 0 Ϧ 0 Η
Artinya: “Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak
bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri)
sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua".
9. Kam/ (Berapa)
Kata tanya kam digunakan untuk menanyakan bilangan atau jumlah,
juga dapat digunakan untuk menanyakan waktu. Seperti dalam surah Al-
Baqarah (2) ayat 259:

9
0Ϛ ˵ 0k 0 0Ϧ 0Η
Artinya: “Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?"
10. Aina/Rόi (Di mana)
Kata tanya aina digunakan untuk menanyakan tempat. Seperti dalam
surah At-Takwir (81) ayat 26:
0 0 0 i 0 R ό0 ϴ 0
Artinya: “maka ke manakah kamu akan pergi?”
11. Ayyun/ i (Apa, Siapa)
Kata tanya ayyun digunakan untuk menentukan sesuatu, termasuk di
dalamnya untuk memilih salah satu dari dua hal atau lebih, juga dapat
digunakan untuk menanyakan tempat atau waktu terjadinya suatu
peristiwa atau kegiatan. Seperti dalam surah Al-An’am (6) ayat 81:
R n0 т 0 Ϯ 0 m R ϴ0 ψ ό 0 T ki 0 ϴ 0
Artinya: “Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak
memperoleh keamanan (dari malapetaka)”
Kesimpulan
Kata tanya atau dalam bahasa Arab disebut istifham merupakan ulumul Quran
yang sangat menarik untuk dikaji. Di dalam istifham ini terdapat bermacam-
macam kalimah dan tentunya berbeda-beda pula maknanya. Istifham dalam
keberadaannya dalam Alquran adalah sebagai pengingat bagi mereka orang-orang
yang lalai atas perintahNya.
Namun kadang-kadang lafadz istifham ini keluar dari polanya yang biasa.
Istifham sendiri adalah kata tanya yang tidak selalu harus di jawab. Ada pula
istifham yang keberadaannya hanya untuk pengingat berita.

10
Daftar Pustaka
Al-Hasyim, Sayyid Ahmad. (2005). Jawahir al-Balaghah. Kairo: Penerbit
Maktabah Al-Adab.
Al-Zarkasyi. al-Burhan fi Ulum al-Qur’an.
Ariwidodo, Eko. (2013). Logosentrisme Jacques Derrida dalam Filsafat Bahasa.
Karsa, 21(2), 340-355. doi: http://dx.doi.org/10.19105/karsa.v21i2.38.
Chirzin, Muhammad. (1998). Al Quran dan Ulumul Quran. Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Yasa.
Harun, Salman. (2014). Perkembangan Saintifik Ilmu Qawa’id al-Tafsir. Journal
of Qur’an and Hadith Studies, 3(1), 17-40.
Izzan, Ahmad. (2009). Studi Kaidah Tafsir Al-Qur’an Menilik Keterkaitan
Bahasa-Tekstual dan makna- kontekstual Ayat. Bandung : Humaniora.
Jeremy, Amin Ali Al, & Mustofa. (1951). Al-Balaghah.Al-Wadhihhah. Mesir:
Dar Al-ma’arif.
Munawwir, Ahmad Warson. (1997). Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.
Nurdiyanto, Ade. (2016). Istifham dalam Alquran: Studi Analisa Balaghah. El-
Wasathiya: Jurnal Studi Agama, 4(1), 39-52.
Syamsuri. (2011). Pengantar Qawa’id Al-Tafsir. Sulesana, 6(2), 91-97.
Tasbih. (2013). Kedudukan dan Fungsi Kaidah-Kaidah Tafsir. Jurnal Farabi,
10(1), 107-118.

11

Anda mungkin juga menyukai