Anda di halaman 1dari 99

TrEtniadiksiButon& Ritual Tradisi & Ritual

Etnik
Tradisi & Ritual
Buton
Sistem Budaya Buton yang terwujud dalam tatanan adat
adalah endapan saripati nilai-nilai Islam sebagai
Etnik Buton
rahmatan lilalamin yang digali dalam samudra
kemanusiaan. Kesadaran akan kemanusiaan dalam
dimensi ketauhidan inilah yang diempiriskan dalam
tatanan bangun struktural adat. Manusia adalah jalan
(medium) mengenal Tuhan, tajalli (perwujudan) Tuhan
yang paling sempurna adalah pada diri (qalbi) manusia.
Adat bertumpu di atas pilar agama dan pemahaman akan
hakekat agama diselami dalam lautan kemanusiaan.
Esensi agama, hakekat kemanusiaan, dan jiwa adat
merupakan triangulasi yang integral dalam tatanan jiwa
adat buton. Menjunjung tinggi adat sama artinya
menjunjung tinggi kemanusiaan (humanisme) yang
Prof. Sukri Palutturi, SKM.,M.Kes,MSc.PH.,Ph.D
Dr. Andi Asrina, SKM.,M.Kes.
Dr. Andi Tenri, M.Si.

sebangun dan searah dengan esensi ketauhidan.][


Dr. Andi Asrina, SKM.,M.Kes.
Prof. Sukri Palutturi, SKM.,M.Kes,MSc.PH.,Ph.D
Dr. Andi Tenri, M.Si.
TRADISI & RITUAL ETNIK
BUTON

Dr. Andi Asrinah, SKM., M.Si.


Prof. Sukri Palutturi, SKM., M.Kes., MSc.PH,Ph.D.
Dr. Andi Tenri, M.Si.

ABAL-ABAL
Penerbit
PENA INDIS
2018

i
TRADISI & RITUAL ETNI BUTON

Penulis:
Dr. Andi Asrinah, SKM., M.Si.
Prof. Sukri Palutturi, SKM., M.Kes., MSc.PH,Ph.D
Dr. Andi Tenri, M.Si.

Editor: Rasyidah Zainuddin, Harifuddin Halim

Edisi Pertama
Copyright © 2018

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


ISBN. 978-602-429-123-5
14 x 21 cm
vi + 93 hlm

Diterbitkan pertama kali oleh:

PENERBIT
PENA INDIS
Email: inteligensiapublishing@gmail.com
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari
penerbit

ii
SEPATAH KATA

Syukur tak terhingga penulis haturkan kehadirat


Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan. Sholawat
dan salam juga penulis persembahkan kehadirat nabi
Muhammad SAW atas kerja kerasnya membumikan
Islam.
Buku in merupakan hasil penelitian tim penulis
menyangkut kearifan lokal masyarakat di dataran Buton
Sulawesi Tenggara. Wilayah ini memiliki kekayaan
kearifan lokal yang hari ini merupakan keunikan yang
terlestarikan sebagai warisan nenek moyang mereka.
Salah satu keunikan tersebut adalah terkait
dengan aspek kesehatan. Bagi masyarakat Buton,
kesehatan merupakan aspek dasar dalam kehidupan
sehingga perlu diwujudkan secara sistem sosial budaya.
Inilah yang diuraikan secara detail dalam buku ini.
Harapan penulis, mudah-mudahan buku ini
dapat menjadi bagian penting dalam rangka
meningkatkan wawasan manusia terkait kearifan lokal
baik secar akademik maupun praktis kebijakan.
Ucapan terimakasih pada semua kontributor,
semoga menjadi berkah bagi kita semua. Amiin!!!!!

Tim Penulis,

iii
DAFTAR ISI

Sepatah Kata

1- Urgensi Sistem Sosial Budaya__1

2- Suku Buton: Sejarah & Budaya Tenggara__5

3- Dole-Dole & Budaya Buton__10

4- “Dole-Dole: Konteks Sosial-Budaya Buton__31

5- Dole-Dole & Agama__44

6- Dole-Dole & Kesehatan__51

7- Dole-Dole & Promosi Kesehatan__70

DAFTAR PUSTAKA__81
RIWAYAT HIDUP__83

iv
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Bisa’ pada tradisi dole-dole 14
2. Bisa’ dan perempuan paruh baya pada tradisi 16
dole-dole dengan sarung khas Buton
3. Ikan Baura yang sudah dibakar 16
4. Poluka Riti yang berisi makanan 17
5. Baskom berisi air 18
6. Kumpulan bunga dan daun dalam upacara 19
dole-dole
7. Impo 20
8. Daun pisang Oke, tempat anak diguling- 21
gulingkan
9. Wajan yang berisi minyak murni 21
10. Proses melilitkan benang pada poluka 22
(Pangnguri)
11. Dupa 23
12. Kue-kue pada upacara dole-dole 23
13. Bagian prosesi dole-dole: anak yang diangkat 25
oleh Bisa’ diatas Poluka
14. Prosesi dole-dole (guling-guling) di atas daun 26
pisang oke
15. Satu piring berisi berbagai makanan yang 28
merupakan isi dari Poluka beserta Pasali
16. Bisa’ mengikatkan benang pada pergelangan 29
leher, tangan, perut dan kaki anak yang sudah
di dole-dole
17. Anak-anak yang telah di dole-dole dan di 30
sunat duduk di pelaminan untuk menerima
ucapan selamat dan doa dari tamu undangan
18. Modifikasi teori H.L. Bloom dan L.Green: 68
Hubungan Status Kesehatan, Perilaku, dan
Promosi Kesehatan
19. Kerangka Precede-Proceed 72
20. Indicator, dimensi dan hubungan antar faktor- 73
faktor yang diidentifikasi pada fase 1, 2, dan 3
pada kerangka Preced-Proceed

v
Bab Satu
Urgensi Sistem Sosial Budaya

Terdapat berbagai variasi cara yang dilakukan oleh individu


dalam sebuah masyarakat sebagai usaha untuk meningkatkan
kesehatannya. Salah satunya adalah dengan melestarikan
tradisi yang dianggap sebagai hal yang positif untuk menjaga
kesehatan.
Diungkapkan oleh Prahasistiwi (2014) bahwa
pengaruh sosial budaya dalam masyarakat memberikan
peranan penting dalam mencapai derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Perkembangan sosial budaya dalam
masyarakat merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam
suatu daerah tersebut telah mengalami suatu perubahan dalam
proses berpikir.

1
Menurut Astuti (2013) hubungan antara budaya dan
kesehatan sangatlah erat, masyarakat desa yang sederhana
dapat bertahan dengan cara pengobatan tertentu sesuai tradisi
mereka. Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan
dan respon terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala
masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena itulah
penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya
mempromosikan kesehatan tapi juga membuat ,masyarakat
mengerti mengenai proses terjadinya suatu penyakit dan
bagaiman meluruskan kayakinan atau budaya yang dianut
hubungannya dengan kesehatan.
Kepercayaan-kepercayaan lokal muncul dan
berkembang di lokalitas dengan latar belakang kehidupan,
tradisi, adat istiadat dan kultur yang berbeda-beda. Disebut
kepercayaan lokal karena kepercayaan tersebut hanya dipeluk
oleh suku masyarakat setempat. Kenyataannya, kepercayaan
lokal itu tidak berkembang dan hanya dipeluk, dianut dan
dipraktikkan oleh suku yang mendiami daerah tertentu
(Permatasari, 2012).
Adanya kepercayaan dalam masyarakat mengenai
tradisi yang sah dilakukan turun temurun diyakini
memberikan manfaat seperti di Provinsi Sulawesi Tenggara
yang memilik beragam suku yakni suku Tolaki, suku buton,
suku Bajo, suku Jawa, suku Ambon dan Suku Bugis yang
memiliki kepercayaan dan tradisi masyarakat yang berbeda-

2
beda. Namun yang menarik adalah tradisi suku Buton yang
terdapat di kota Baubau yang mempunyai ‘Dole-dole’ sebagai
upaya pemberian kekebalan kepada bayi dan anak balita
(bawah lima tahun). Tradisi ini dianggap masyarakat Buton
sebagai imunisasi secara tradisional dan dipercaya tidak akan
mudah sakit dan akan terhindar dari segala macam penyakit
apabila anak telah melalui proses Dole-dole ini.
Kepercayaan masyarakat suku Buton terhadap tradisi
Dole-dole sudah melekat dan secara turun temurun
menganggap bahwa suatu keharusan dilaksanakan karena
adanya anggapan jika tidak melaksanakan tradisi ini, maka
anak akan mudah sakit. Meskipun sebagian besar masyarakat
suku Buton tidak memahami sepenuhnya makna dari tradisi
dole-dole, namun adanya kekhawatiran apabila tidak
dilaksanakan akan berakibat buruk bagi kesehatan anak-anak
mereka sehingga semua orang tua yang memilik bayi dan anak
balita senantiasa melestarikan tradisi dole-dole hingga saat ini.
Dole-dole menjadi hal penting dan dianggap sebagai
pencegahan penyakit bagi masyarakat suku Buton. Keyakinan
yang terbangun secara turun temurun ini bisa jadi
menyebabkan kurang tercapainya cakupan pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), khususnya cakupan imunisasi
pada bayi. Berdasarkan data dari dinas kesehatan Kota Baubau
terhadap cakupan imunisasi dasar lengkap pada tahun 2015
hanya 76% sedangkan target yang harus dicapai adalah 90%.

3
Begitupun adanya keyakinan bahwa penyakit yang tidak
kunjung sembuh seperti penyakit kulit lebih disebabkan
karena belum dilakukannya tradisi dole-dole.
Berdasarkan latar fenomena yang telah diuraikan
sebelumnya menjadi dasar untuk mengkaji lebih dalam
mengenai penguatan promosi kesehatan masyarakat dalam
tradisi dole-dole sebagai local wisdom pada suku Buton Kota
Baubau, baik dari segi pengetahuan, kepercayaan, pemaknaan
tradisi dole-dole termasuk didalamnya keyakinan terhadap
kesehatan sebagai jawaban atas kurang berhasilnya program
pelayanan KIA khususnya capaian imunisasi pada bayi dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan.[]

4
Bab Dua
Suku Buton: Sejarah & Budaya

Nama Buton perlu diterangkan karena adanya berbagai versi


yang dikenal. Rudyansjah (2009) mengungkapkan setidaknya
ada empat pengerrtian yang berhubungan dengan nama
tersebut, yaitu: pertama, sebagai nama yang diberikan untuk
sebutan sebuah pulau, yakni pulau Buton. Kedua, sebagai
nama untuk menyebut orang Buton, maka kata ini mengacu
pada penduduk yang tinggal di pulau Buton dan pulau-pulau
disekitarnya. Pada masa lalu, sebutan orang Buton menjadi
identifikasi penduduk yang tinggal di wilayah kesultanan
Buton. Ketiga, sebagai nama daerah otonom (kabupaten),
maka kata ini mengacu pada satu wilayah kabupaten yang

5
terletak dibagian selatan pada satu wilayah kabupaten yang
terletak dibagian selatan garis khatulistiwa. Keempat, sebagai
nama sebuah kesultanan, yang sebelum masuknya islam masih
berbentuk kerajaan, dan diperkirakan telah ada sebelum abad
ke-14. Wilayah kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama,
seperti Buton, Mjuna, Kobaena, gugusan Kepualuan Tukang
Besi (Wakatobi), dan dua daerah dibagian tenggara pulau
Sulawesi, yakni Poleang dan Rumbia, serta pulau-pulau kecil
disekitarnya (Munafi dkk, 2015).
Suku Buton adalah salah satu etnis yang mendiami
wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Kesultanan Buton
tersebut terletak di kepulauan Bau-bau provinsi Sulawesi
Tenggara. Suku Buton merupakan suku asli daerah Provinsi
Sulawesi Tenggara khususnya di Pulau Buton. Suku Buton juga
tersebar di beberapa daerah Sulawesi Tenggara misalnya di
Kota Kendari, Kabupaten Bombana dan daerah-daerah lainnya.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa nenek moyang dari
orang-orang Buton adalah “imigran” yang datang dari
wilayah Johor sekitar abad ke-15 Masehi yang kemudian
mendirikan kerajaan Buton. Pada tahun 1960, dengan
mangkatnya sultan yang terakhir, kesultanan Buton konon
“dibubarkan” tetapi tradisi-tradisi istana itu telah melekat erat
pada orang-orang yang mendiami wilayah tersebut.
Posisi wilayah Buton cukup strategis dalam jalur
pelayaran, baik Utara-selatan (Samudra Pasifik di bagian Utara

6
ke Samudra Hindia di bagian Selatan), maupun Timur-Barat.
Masyarakat Buton tergolong sebagai masyarakat yang
heterogen. Realitas heterogenitas masyarakat ini relevan
dengan ungkapan dalam bahasa Wolio bahwa, Wolio siy o
lipuna mia mopokawa-kawa, artinya: “ wolio atau Buton
adalah negeri tempat berhimpunnya para pendatang”.
Meskipun Masyarakat dalam wilayah Kesultanan Buton
tergolong cukup heterogen, namun mereka hidup dalam satu
kesatuan tatanan politik yang diwadahi Kerajaan dan dan
Kesultanan Buton pada masa lalu. Keberagaman asal-usul
masyarakat, yang kemudian menyatu dalam sebuah negara
inilah yang menyebabkan heterogenitas masyarakat dalam
wilayah kesultanan ini. Realitas heterogenitas tersebut juga
dapat ditelusuri melalui bahasa yang digunakan. Mereka tidak
menggunakan satu bahasa, tetapi beberapa bahasa yang
berbeda. Realitas ini sekaligus mendasari konsep multietnis
dan multikultural sebagai sebuah fenomena kemasyarakatan
dan Kebudayaan Buton. Meskipun demikian, karena ideologi
dan falsafah hidup yang begitu kokoh dipegang teguh,
masing-masing kelompok etnis yang ada menyebut diri
sebagai orang Buton (Munafi dan Tenri, 2015).

 Sistem Kepercayaan Masyarakat Buton

Sistem kepercayaan dalam wujud upacara-upacara


yang berkenaan dengan lingkaran hidup (life cycle) individu,
dari sejak bayi di dalam kandungan hingga seseorang

7
meninggal dunia, hingga sekarang masih dipertahankan
dalam kehidupan masyarakat Buton. Hal ini menunjukkan
betapa mereka masih terus mempertahankan tradisi yang
diwarisi dari leluhur. Hanafi, dkk: Bentuk-bentuk upacara
lingkaran hidup individu dalam kehidupan masyarakat Buton,
sebagai berikut:
1. Upacara menyambut kelahiran bayi pertama
Menyambut kelahiran anak pertama dari pasangan
suami-istri, orang Buton menggelar prosesi Pasipo
yakni upacara menyuapi ibu hamil pada masa
kehamilan yang pertama kali pada usia kehamiln tujuh
hingga sembilan bulan.
2. Upacara pengguntingan rambut bayi
Dalam adat masyarakat Buton, setelah bayi lahir,
diadakan prosesi alaana bulua, sebutan untuk upacara
pengguntingan rambut bayi. Upacara ini juga lazim
disebut pokuruia atau pencukuran rambut. Upacara ini
dianggap sebagai kewajiban suatu keluarga, meskipun
pelaksanaannya tidak dituntut meriah, biasanya
dilaksanakan setelah bayi berumur 40 tahun.
3. Upacara imunisasi balita (dole-dole)
Kegiatan imunisasi balita dalam kebudayaan Buton
ditunjukkan melalui prosesi upacara dole-dole, yang
secara harfiah berarti guling-guling. Upacara ini
diperuntukkan bagi usia bayi dan balita, terutama yang

8
sering sakit-sakitan. Kecuali itu, upacara ini juga
bertujuan untuk menghindarkan anak dari
kemungkinan pertumbuhan yang kurang normal.
4. Upacara khitanan
Dalam kebudayaan Buton, setelah anak memasuki usia
aqil baliqh, antara enam hingga tujuh tahun, diadakan
upacar khitanan. Upacara ini disebut tandaki bagi anak
laki-laki, dan posusu bagi anak perempuan.
5. Upacara Pingitan
Posuo adalah sebutan untuk upacara pingitan menurut
bahasa Buton. Posuo menandai peralihan status
perempuan, dari gadis remaja (kabuabua) ke status
gadis dewasa (kalambe). Biasanya upacara ini
dilaksanakan bagi anak usia 14-19 tahun.
6. Upacara Perkawinan
Kawia adalah sebuton untuk upacara perkawinan pada
masyarakat Buton.
7. Upacara Kematian
Mate adalah sebutan orang Buton untuk peristiwa
kematian. Serangkaian upacara kematian meliputi:
penerimaan Kala (kadha), memandikan jenazah,
mengkafani jenazah, menyembahyangkan Jenazah,
menguburkan Jenazah dan prosesi setelah penguburan.

9
Bab Tiga
“Dole-Dole” & Budaya Buton

Menurut Munafi dan Tenri Setiap ikhtiar untuk memahami


manusia Buton haruslah dimulai dari pengertian mereka
mengenai apa yang disebut adhati (adat), sebab inilah pribadi
kebudayaanya. Adat menjadi konsep kunci sebab keyakinan
orang Buton terhadap adatnya mendasari segenap gagasannya,
mengenai hubungan-hubungannya. Adat tidaklah berarti
hanya sekedar kebiasaan sebagaimana yang dipahami umum,
tetapi dalam pandangan Buton sama dengan syarat kehidupan
manusia. Maka, jika ada dilanggar berarti melanggar kaidah
kemanusiaan yang akibatnya bukan hanya dirasakan oleh
bersangkutan tetapi juga oleh lingkungan sosialnya (2014).

10
Perilaku yang dilakukan oleh seseorang secara terus-
menerus akan menjadi kebiasaan yang melekat dalam
kehidupannya dan akan ditiru oleh orang lain. Ketika
kebiasaan tersebut diikuti oleh anggota masyarakat, maka
kebiasaan tersebut menjadi adat atau tradisi.
Tradisi merupakan sesuatu yang telah dilakukan sejak
dahulu kala dan berlaku sampai saat ini dan mengikat
penerusnya untuk melestarikannya. Karena merupakan
sesuatu hal yang dilaksanakan turun-temurun, ada
kekhawatiran jika tidak melaksanakan tradisi maka akan
kualat atau sesuatu hal dapat menimpa. Hal ini berlaku dalam
pelaksanaan tradisi Dole-Dole yang tetap dilestarikan oleh
suku Buton hingga saat ini.
Semua tradisi pasti ada yang melatarbelakangi hingga
lestari, begitupun dengan tradisi Dole-Dole. Informasi yang di
dapatkan pada saat penelitian didapatkan informasi bahwa
“Upacara Dole-Dole bermula dari jaman Sipanjonga (salah
seorang dari Mia Patamiana; pendiri cikal bakal kerajaan
Buton). Perkawinan Sipanjonga dengan Sibaana (adik Simalui)
melahirkan seorang putra yang diberi nama Betoambari.
Konon, sejak masa bayi, Betoambari selalu sakit-sakitan.
Betoambari lahir dalam keadaan tidak sehat dan rendah daya
tahan tubuh. Sipanjonga berkhalwat mencari metode
penyembuhan yang sesuai dengan syariat Islam, Mendapat
petunjuk untuk melakukan ritual dengan hasil tanah (ubi

11
jalar, pisang, kunyit, beras, minyak kelapa, kapur sirih) yang
dipadukan dengan hasil laut (ikan). Setelah dilakukan ternyata
dapat menyembuhkan sehingga bernazar apabila anak
turunannya merasakan maupun merasakan sakit seperti yang
dialami Betoambari, maka wajib dilaksanakan. Upacara inilah
yang disebut Dole-Dole. Dari pengalaman tersebut,
Sipanjongan mewasiatkan agar kelak anak cucunya yang
masih berusia balita di Dole-Dole”.
Penuturan IK juga menegaskan bahwa “Dole-Dole
memang berdasarkan sejarahnya diperuntukkan untuk
menyembuhkan Betoambari dan itu dilestarikan hingga saat
ini. Meskipun ada sedikit pergeseran material yang digunakan
namun pada dasarnya tujuannya sama. Misalnya saja, konon
dahulu yang dipakai bukan ikan melainkan kambing namun
adanya keterbatasan ekonomi bagi penerusnya akhirnya
diapaki ikan Baura 2 ekor. Tapi, semua maknanya sama yaitu
merupakan simbol hasil bumi.”
Beragam informasi yang didapatkan terkait asal mula
tradisi Dole-Dole, namun pada intinya adalah untuk
pengobatan pada anak yang sedang sakit seperti yang
diungkapkan oleh H. Srl dan H.SlM bahwa “Dole-Dole bukan
hanya dianggap sebagai ritual, tapi juga merupakan nazar dari
orang tua anak. Nazar dikarenakan keturunan dari kakeknya
perempuan semua. Akhirnya dapat anak laki-laki, namun
sering sakit-sakitan akhirnya diadakanlah upacara Dole-Dole

12
ini. Ada juga yang mengatakan bahwa karena pada saat
hendak di Dole-Dole ada masalah ekonomi dan latar belakang
nelayan, saat pergi melaut tiba-tiba mendapat keajaiban di
bawah perahu dikelilingi ikan Baura kemudian ditangkap 2
ekor, itulah hingga kini keluarga harus menyiapkan ikan
Baura bila hendak melaksanakan ritual Dole-Dole.
Tradisi Dole-Dole pada pelaksanaanya banyak
diperuntukkan untuk mengobati penyakit meskipun ada juga
yang melakukan sebelum anak-anaknya mengalami sakit
seperti kudis-kudis, bisul, kelemahan, pertumbuhan dan
perkembangan yang tidak normal sesuai umurnya. Dole-Dole
juga diperuntukkan sebagai tolak bala ataupun untuk
mengobati penyakit yang dirasakan secara personal atau
metafisik. Berdasarkan literatur-literatur yang didapatkan
serta hasil penelitian, tradisi Dole-Dole pada awalnya untuk
mengobati Betoambari yang mengalami sakit dan kelemahan
yang tidak kunjung sembuh, sehingga orangtuanya
melaksanakan upacara penyembuhan yang hingga kini
dikenal dengan tradisi Dole-Dole.
Dole-Dole adalah salah satu tradisi yang merupakan
siklus kehidupan masyarakat Buton. Ada banyak tradisi dalam
suku Buton mulai dari lahir hingga meninggal yang masih
dilestarikan sampai sekarang. Dole-Dole merupakan salah satu
potret kebudayaan masyarakat Buton. Secara harfiah, Dole-
Dole artinya guling-guling Upacara yang dilakukan baik

13
untuk pencegahan penyakit maupun pengobatan, kelengkapan
atau semua material yang digunakan sama. Sebelum
melakukan upacara Dole-Dole, harus meminta hari yang
dianggap baik dahulu yang merupakan hasil rembuk
dilakukan oleh pihak keluarga dan dukun yang disebut Bisa’.
Bisa’ biasanya dari kaum perempuan yang perannya bukan
hanya sebagai hal yang sentral untuk upacara Dole-Dole, Bisa’
juga adalah dukun yang membantu persalinan. Bisa’ adalah
keturunan orang Buton (Walaka) yang biasanya turun
temurun.

Gambar 1.
Bisa’ pada tradisi Dole-Dole
Upacara Dole-Dole dipimpin oleh seorang Bisa’ untuk
pelaksanaan ritualnya dilengkapi oleh 8 orang perempuan
yang masih merupakan keluarga dari pelaksana Dole-Dole.

14
Pada tradisi ini memang didominasi oleh perempuan yang
biasanya sudah paruh baya yang terdiri 4 orang janda dan 4
orang perempuan yang masih memiliki suami. Apabila
dijumlahkan, menurut informasi yang didapatkan adalah 9-11
orang ( 8 perempuan yang dari pihak keluarga, 1 orang Bisa’,
1 orang yang menggendong setelah dilakukan Dole-Dole dan
orangtua dari anak/ibu). Para perempuan berpakaian formal
dengan memakai sarung khas Buton yang kaya warna dan
memiliki banyak motif. Sarung dalam hal ini menun jukkan
strata sosial penggunanya, seperti motif Betano Walona
Koncuapa. Pada perempuan kebanyakan Buton, memakai
motif Kesopa yang sederhana. Adapula motif Colo Makbahu
atau korek basah, motif delima Bongko (delima busuk, delima
sapuua, dan masih banyak motif lainnya. Namun, bagi
perempuan bangsawan, memakai motif Kumbaea yang
motifnya lebih rumit dan didominasi warna perak. Selain
sebagai perekat sosial, Kain khas Buton digunakan dalam
setiap upacara adat dan ritual keagamaan. Menurut
masyarakat Buton, jika kain tenun tersebut tidak disertakan
dalam setiap upacara adat dan ritual maka hakikat dan nilai
dari upacara dan ritual tersebut dinilai kurang sakral.

15
Gambar 2.
Bisa’ dan perempuan paruh baya pada tradisi Dole-Dole
dengan sarung khas Buton
Pada pelaksanaan tradisi Dole-Dole, beberapa material
yang digunakan antara lain Ikan Baura yang besar sebanyak 2
ekor yang dibakar yang dimaknai sebagai unsur protein dalam
pemenuhan gizi anak yang akan didole-dole.

Gambar 3.
Ikan Baura yang sudah dibakar

16
Pada tradisi Dole-Dole tertentu, terlihat pula jenis ikan
lain seperti Katamba (untuk panjang umur), Buke-buke
(murah rezeki), Ndoma dan Surabalangka.
Poluka Riti atau panci dari kuningan (kini, karena
panci jenis ini sudah jarang ditemui maka biasanya digunakan
panci biasa). Isi Poluka ini merupakan hasil tanah yang
direbus seperti nasi santan (nasi enak), nasi biasa, Kaopi (ubi
yang dibungkus daun Lapi’), saba’ (ubi yang dicampur gula),
pisang, ubi jalar yang jumlah tiap unsurnya sama. Selain itu,
isi Poluka juga berisi telur minimal 11 butir (biasanya
jumlahnya sama dengan isi poluka yang lain yang berasal dari
hasil bumi. Makna dari isi Poluka ini adalah gambaran
karbohidrat dan pemenuhan nutrisi lain yang dibutuhkan
anak untuk pertumbuhan dan perkembangannya, sedangkan
telur untuk kesembuhan dari penyakit bisul-bisul anak yang
diDole-Dole.

Gambar 4.
Poluka Riti yang berisi makanan

17
Kayu untuk pisau berupa kayu Bintonu, pisau ini
dipakai untuk memotong ikan yang dilakukan oleh Bisa ‘
setelah upacara Dole-Dole untuk dibagikan kepada 8
perempuan sepuh, orangtua anak dan untuk Bisa’ sendiri.
Loyang berisi air yang sebelumnya telah dibacakan
doa-doa oleh Bisa’, air ini nantinya dipakai untuk
mencelupkan bunga dan daun saat upacara Dole-Dole
berlangsung. Air ini akan dipakai untuk membasahi tubuh
anak yang diDole-Dole.

Gambar 5.
Baskom berisi air

Bunga-bunga dan daun berupa kamba Mpuu (Bunga


Melati), Kamba lagi, Kamba Manurung, Jampaka (Bunga
cempaka), Neke, Kusape, daun Libo’, daun pandan. Daun dan
bunga ini diikat menjadi satu dan dikebas-kebaskan ke badan

18
anak pada upacara Dole-Dole, maknanya agar kudis-kudisan
atau penyakit kulit yang diderita anak luruh atau menghilang.

Gambar 6.
Kumpulan bunga dan daun dalam upacara Dole-Dole

Impo, yang berisi: 1 biji kelapa yang masih utuh


dengan kulitnya yang diibaratkan sebagai kepala manusia,
jagung yang diikat dengan benang putih yang disimpan dalam
wadah Uko’ (rotan yang dirajut), maknanya agar
pertumbuhan anak berkembang dengan baik seperti cepat
duduk atau berjalan.

19
Gambar 7.
Impo
Daun pisang Oke untuk tempat berguling-guling anak
saat diDole-Dole yang di atasnya dioleskan minyak kelapa
murni, kunyit dan kapur sirih. Tempat dioleskan diibaratkan
pada posisi jantung, paru-paru dan pusat anak sebagai simbol
organ yang sangat penting bagi manusia.

20
Gambar 8.
Daun pisang Oke, tempat anak diguling-gulingkan

Wajan yang berisi minyak kelapa murni dari 1 biji


kelapa yang dimasak khusus oleh seorang gadis yang masih
lengkap kedua orang tuanya. Pada saat upacara Dole-Dole,
minyak kelapa tersebut dicampur kunyit, kapur sirih.

Gambar 9.
Wajan yang berisi minyak murni

21
Benang untuk diikatkan ke tangan, kaki, leher,dan
pinggang si anak setelah di Dole-Dole, benang ini diputar
mengelilingi Poluka, wajan dan Impo sebanyak 8 kali untuk
anak perempuan dan 9 kali untuk anak laki-laki, proses ini
dinamakan ‘pangnguri’. Arah berputarnya dari arah kiri ke
arah kanan lalu berbalik dari arah kanan ke arah kiri dan
seterusnya. Makna dari ritual ini supaya anak tidak bandel dan
berbicara bisa lancar dan jelas.

Gambar 10.
Proses melilitkan benang pada poluka (Pangnguri)

Dupa, yang dibutuhkan saat Bisa’ berdo’a sesuai niat


baik untuk anak (kesehatan, rezeki, panjang umur, tolak
bala,dan sebagainya).

22
Gambar 11.
Dupa
 Kue-kue yang manis dalam satu Katepi, agar anak
senantiasa dimurahkan rezeki.

Gambar 12.
Kue-kue pada upacara Dole-Dole
Pelaksanaan ritual Dole-Dole diawali dengan melilitkan
benang putih pada poluka. benang putih ini dililitkan
sebanyak 8 kali lilitan untuk anak perempuan dan 9 kali lilitan

23
untuk anak laki-laki. Benang itu melingkar dari ujung wajan
hingga panci dengan arah memutar searah lalu berbalik arah
lagi, begitu seterusnya. Benang tadi dililitkan secara estafet
oleh 8 perempuan paruh baya yang mengelilingi poluka dan
semua material Dole-Dole, proses ini dinamakan ‘pangnguri’.
Setiap perempuan tersebut harus menyentuhkan benang
hingga mengenai tiap sisi poluka, wajan dan impo, lalu benang
tersebut dibaluri kapur dan daun sirih . Begitu pula saat
mengangkat dupa untuk mengelilingi poluka, setiap tiba di
depan Bisa’, kembali ia menaburi kemenyan. Begitu seterusnya
sampai delapan atau sembilan kali tergantung jenis kelamin
anak.
Selanjutnya, seember air yang sudah diasapi dupa
dituang ke baskom, beberapa kembang yang telah diasapi
dilempar ke dalam air. Kembang-kembang itu dianggap
sebagai ramalan masa depan bagi si anak yang di Dole-Dole,
jika saat dilempar ke dalam air dan terbalik berarti ramalan
masa depan kurang baik tetapi apabila kembangnya saling
berjejer dan saling mengikuti berarti pertanda baik, maknanya
anak tersebut akan senantiasa menurut kepada kedua orang
tuanya, peduli dan selalu ingat kampung halamannya (Buton)
kemanapun si anak kelak merantau.
Tradisi Dole-Dole selanjutnya, Bisa’ mengangkat anak
yang sudah tidak memakai baju diatas tiga poluka (panci).
Ada poluka yang berisi telur rebus, pisang, kue ubi kayu

24
dicampur gula (Kaopi), Poluka berikut berisi nasi putih dan
poluka berisi beras yang dimasak dengan kelapa (nasi enak)
dan wajan yang berisi minyak murni. Di atas Poluka terdapat
Ikan Baura yang telah dibakar, ada pula yang menyiapkan
sekitar 6 atau 7 jenis ikan bakar diatas panci. Kemudian anak
diasapi dengan asap dupa sambil dibasahi air dari baskom,
anak posisikan tengkurap dan telentang sambil diayun-
ayunkan tetapi masih dalam gendongan Bisa’. Pada saat itu
pula, anak di suapkan berbagai makanan yang berasal dari isi
poluka dan ikan baura. Biasanya, saat dilakukan hal seperti ini,
anak-anak yang diDole-Dole akan menangis kencang karena
merasa takut. Namun, berdasarkan informasi yang didapatkan
bahwa semakin kencang tangisan anak akan semakin baik, hal
itu menandakan anak tersebut sehat dan kuat.

Gambar 13.
Bagian prosesi Dole-Dole: anak yang diangkat oleh Bisa’ diatas
Poluka

Setelah itu, anak ditidurkan dan diguling-gulingkan di


atas daun pisang Oke yang sudah dioleskan minyak, kunyit

25
dan kapur sirih. Prosesi ini dimulai dengan membalurkan
minyak dari kepala anak hingga ujung kaki sambil dikebas-
kebaskan kumpulan kembang dan daun yang sudah
dicemplungkan ke dalam air baskom ke tubuh anak, tujuannya
agar tidak mudah terkena penyakit, kesialan dan penyakit
yang diderita seperti kelemahan fisik, tumbuh kembang dan
penyakit kulit bisa hilang. Selanjutnya, anak digenggamkan
telur yang telah direbus dan harus dihabiskan oleh si anak
agar segala penyakitnya hilang. Kemudian anak diangkat dan
diberikan kepada gadis yang telah siap menggendongnya
dengan memakaikan sarung khas Buton kepada anak yang
telah di Dole-Dole. Gadis yang menggendong si anak
dinamakan Mosangona merupakan gadis yang sama
memasakkan minyak dari sebutir kelapa.

Gambar 14.
Prosesi Dole-Dole (guling-guling) di atas daun pisang oke

26
Ritual selanjutnya adalah Bisa’ membagikan makanan
dalam panci poluka sampai 9-11 bagian tergantung berapa
jumlah perempuan yang turut serta dalam upacara Dole-Dole.
Makanan tersebut tidak dihidangkan untuk tamu melainkan
dibagikan kepada delapan ibu paruh baya, orang tua anak dan
Bisa’ yang menjadi bagian penting dalam tradisi Dole-Dole.
Makanan itu disimpan dalam satu piring lengkap dengan
uang seikhlasnya dari orang yang melaksanakan Dole-Dole,
hal ini dinamakan Pasali. Penerimaan pasali tidak bisa
diwakilkan, hanya diberikan kepada orang yang terlibat
langsung dalam prosesi upacara Dole-Dole. Pasali bukan
sedekah tetapi hal wajib dan mengikat meskipun jumlahnya
tidak ditentukan atau tidak seragam. Bagian untuk empat
perempuan yang telah janda diberikan diatas Katepi (baki
besar) yang berbentuk bulat, sedangkan bagian untuk empat
perempuan yang masih bersuami diberikan langsung tanpa
Katepi.

27
Gambar 15.
Satu piring berisi berbagai makanan yang merupakan isi
dari Poluka beserta Pasali

Ritual terakhir adalah mengikatkan benang yang


telah dililit dipoluka tadi ke perut, pergelangan tangan. kaki
serta leher anak yang telah diDole-Dole disertai doa-doa dari
Bisa’ untuk kesehatan, rezeki, dan doa-doa terbaik untuk masa
depan si anak. Benang ini dipakai anak hingga terlepas
sendiri, makna lain dari adanya lilitan benang tersebut adalah
menandakan bahwa anak telah diDole-Dole. Sisa air kembang
yang masih ada di dalam baskom disimpan untuk dipakai
mandi biasanya selama empat kali.

28
Gambar 16.
Bisa’ mengikatkan benang pada pergelangan leher, tangan,
perut dan kaki anak yang sudah di Dole-Dole

Setelah semua rangkaian Dole-Dole dilaksanakan, anak


tersebut dipakaikan baju khas Buton untuk selanjutnya
didudukkan di pelaminan seperti layaknya pengantin untuk
mendapatkan ucapan selamat dan doa dari tamu yang hadir
yang sebelumnya diundang oleh pihak pelaksana Dole-Dole.
Namun ada pula yang melaksanakan Dole-Dole hanya untuk
pengobatan tanpa mengadakan pesta karena keterbatasan
biaya.

29
Gambar 17.
Anak-anak yang telah di Dole-Dole dan di sunat
duduk di pelaminan untuk menerima ucapan
selamat dan doa dari tamu undangan

Pada berbagai upacara pelaksanaan tradisi Dole-Dole,


biasanya dilakukan oleh beberapa orang dalam satu keluarga
serta dirangkaikan dengan sunatan dan aqiqahan sehingga
prosesinya lebih semarak dan melibatkan banyak lebih orang.[]

30
Bab Empat
“Dole-Dole”: Konteks Sosial-Budaya
Buton

A. Keyakinan Orang Buton

Keyakinan merupakan suatu sikap yang ditunjukkan


oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan
bahwa dirinya telah mencapai kebenaran, karena keyakinan
merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak selalu
benar atau keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran.
Terkait tradisi Dole-Dole, bagi masyarakat suku Buton yang
melaksanakannya meyakini jika tradisi tersebut merupakan
suatu kewajiban seperti yang diungkapkan oleh SRD bahwa
“Anaknya yang pertama dulu baru bisa jalan seminggu setelah
dilakukan Dole-Dole. Sebelum dilakukan Dole-Dole, sudah

31
ada keyakinan kalau anaknya akan sembuh...ini macam seperti
kewajiban sehingga harus diDole-Dole. Ini bagian tradisi
orang di sana, artinya ada keyakinan dan selalu seperti yang
diharapkan. Anaknya tersebut sudah minum obat, imunisasi
juga sudah tapi belum sembuh karena belum diDole-Dole.
Hanya tujuan ini saja. Ini bukan hanya pelestarian tapi
keyakinan bila tidak dilaksanakan maka akan selalu ada
rintangan seperti sakit-sakitan, lemah, sial, kurang beruntung,
dan sebagainya..” (Srd, 42 tahun, 15 Maret 2017)
Hal senada diungkapkan oleh AS bahwa “Apa yang
dirasakan anak-anak itu, namanya kaepeta.. segala sesuatu
yang dirasakan pokoknya kalo tidak ambil itu tidak akan
sembuh, kemudian mereka punya anak tidak akan sembuh.
Biasanya orang tua liat kalo sudah liat kedaannya, biasanya
orang tua bilang oohh ini belum di Dole-Dole, dia sudah minta
sara’nya ini karena dari bapaknya... adamih yang dia mau
katanya, nah itumih diambilkanmih Dole-Dole itu. Kalau dia
belum ambil, ada istilah kaepeta tadi, yang dia rasakan itu”
(As, 45 tahun, tanggal 04 Mei 2017). Ia menceritakan bahwa
memang sulit dipercaya tapi kenyataanya memang setelah
didole, anak dan cucunya sembuh..jadi bagaimana tidak
yakin? Memang ini harus diambil karna kalo tidak pasti kena
yang tidak bagus, biar besar (anak) diambil juga” (Wa M, 50
tahun, tanggal 13 Mei 2017).

32
Hal yang berbeda diungkapkan oleh informan lain yang
merupakan suku Buton tetapi tidak melakukan tradisi Dole-
Dole bahwa suami dan keluarganya mengambil tradisi tersebut
tetapi setelah mereka menikah, mereka tidak melaksanakan
Dole-Dole, tidak kenapa-kenapa juga...mungkin itu
barangkali, kembali ke kepercayaannya orang tetapi kalau
terlanjur mengambil harus dilaksanakan terus karena itumi,
bisa-bisa kena sakit dan segala macamnya (Ms, 53 tahun,
tanggal 13 Mei 2017).
Informasi mengenai keyakinan terhadap Dole-Dole
diperkuat oleh Bisa’ bahwa Dole-Dole dilakukan supaya anak-
anak sehat, rezekinya banyak. Ini Dole-Dole diambil supaya
tidak sakit-sakit, orang datang dari mana-mana untuk didole
kalau biasanya sudah lebaran supaya anak-anaknya tidak
sakit-sakit, tidak lemah, tidak sial-sial.. ada juga tidak
mengambil ini tapi kalo sudah ambil, harus anak
keturunannya juga bikin” (Mr, 62 tahun, tanggal 15 Maret
2017)
Informasi dari Bisa’ didukung oleh tokoh agama
setempat saat dilaksanakan FGD, bahwa sebenarnya, orang
melakukan Dole-Dole dengan penuh harapan untuk
mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan. Harapan ini
menjadi keyakinan karena sudah ke pelayanan kesehatan
namun belum sembuh, sehingga secara psikis dapat
merasakan kesembuhan. Bukan hanya itu saja, keyakinan ini

33
didukung oleh niat dari bisa’...intinya, kepercayaan
masyarakat terhadap tradisi ini (Dole-Dole) yang mensugesti
sembuh dan itu terjadi apalagi yang melakukan penuh
harapan untuk kesembuhan anaknya. Ada juga yang tidak
melaksanakannya karena memang leluhurnya tidak
melakukan, itu tidak apa-apa” (Lm.Ars, 49 tahun, tanggal 14
Mei 2015).
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa tradisi
Dole-Dole dilakukan melalui proses pewarisan dari generasi
ke generasi, meskipun sudah zaman modern namun
masyarakat Buton masih erat dengan tradisi yang menjadi
siklus hidupnya termasuk tradisi Dole-Dole, karena mereka
meyakini bahwa tradisi tersebut membawa berkah dan
kesehatan dan untuk masa depan bagi anak.
Meskipun pada umunya pelestari Dole-Dole susah
menjelaskan bagaimana tradisi tersebut bisa menyembuhkan,
namun dapat dikatakan bahwa keyakinan masyarakat Buton
akan ritual dalam kehidupannya berasal dari pemahamannya
terhadap penyebab penyakit. Hal ini sama yang diungkapkan
oleh Foster dan andersen (1986), bahwa ada dua macam
penyebab penyakit yaitu penyebab secara personalistik dan
naturalistik.
Pada tradisi Dole-Dole, terjadi dua macam pengobatan
berdasarkan penyebab yang dirasakan, namun lebih dominan
adalah secara personalistik yang berorientasi illness atau

34
penyakit yang dirasakan. Pandangan masyarakat Buton
terhadap penyakit yang dialami bahwa ketika anak sudah
merasakan atau yang orang Buton menyebutnya Kaepeta,
maka metode penyembuhannya adalah melaksanakan tradisi
Dole-Dole. Pelibatan Bisa’ pada ritual Dole-Dole diyakini bisa
menyembuhkan karena pengobatannya secara personalistik,
yakni melalui doa-doa dengan dasar kepercayaan bisa sembuh.
Berdasarkan penelitian, masyarakat Buton melakukan
tradisi Dole-Dole dimaksudkan untuk pencegahan terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan pada anak misalnya
keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, kelemahan
kondisi fisik ataupun terkena penyakit. Menurut Bisa’, untuk
pencegahan biasanya Dole-Dole sudah dapat dilakukan pada
bayi dengan umur 5 atau 6 bulan dengan asumsi bahwa pada
usia tersebut bayi belum terkena penyakit dan sudah bisa
mencicipi makanan serta tidak tersedak ketika menelan
makanan. Untuk pengobatan, sebenarnya tidak ada batasan
umur sepanjang ada permintaan dari pihak orangtua atau
keluarga untuk melakukan Dole-Dole. Tetapi pada umumnya
Dole-Dole dilakukan pada usia balita karena menurut
keyakinan masyarakat Buton pada usia tersebut biasanya
sudah memperlihatkan gejala-gejala sakit seperti kudis-
kudisan sehingga harus segera dilaksanakan Dole-Dole.
Menganalisa informasi dari pelaku Dole-Dole, selain
sebagai upaya preventif pengobatan terhadap penyakit pada

35
anak ada dua pola yang dilakukan oleh masyarakat Buton,
yaitu ada yang terlebih dahulu mengunjungi pelayanan
kesehatan namun tidak sembuh-sembuh akhirnya mengobati
dengan melakukan Dole-Dole. Adapula yang memang sejak
awal sudah meyakini bahwa apa yang dirasakan atau diderita
oleh anaknya hanya dapat diobati dengan upacara Dole-Dole,
namun ketika kemudian tidak sembuh juga barulah
memanfaatkan pelayanan kesehatan. berdasarkan penelitian
pula didapatkan bahwa perilaku kesehatan masyarakat Buton
bagaimanapun awal pola pencarian pengobatannya sampai
akhirnya sembuh, tetap saja meyakini bahwa Dole-Dole adalah
solusi bagi mereka yang mewarisi tradisi ini.
Menurut Foster dan Anderson (1986), gejala yang
muncul terhadap tiap individu akan di respon berbeda-beda
pula. Bila gejala yang muncul atau rasa tidak sehat pada tubuh
tidak terlalu dirasakan oleh orang yang mencari pengobatan
sampai penyakitnya bertambah parah, sebaliknya orang yang
lebih peka terhadap munculnya gejala akan lebih cepat dalam
mencari pertolongan pengobatan dan mendapatkan
pengobatan yang cepat pula. Jika dihubungkan dengan tradisi
Dole-Dole, gejala-gejala penyakit yang muncul dan
ditunjukkan oleh si anak akan diketahui oleh orangtuanya
sehingga melakukan pengobatan sesuai dengan tahapan
perilaku sehat yang diyakini.

36
Apabila mencermati teori Lawrence Green tentang
determinan perilaku kesehatan dikaitkan dengan tradisi Dole-
Dole, sangatlah berkaitan. Keyakinan masyarakat Buton
merupakan faktor predisposisi lestarinya suatu tradisi
termasuk tradisi Dole-Dole. Hal ini berarti bahwa tindakan-
tindakan yang dilakukan dalam usaha preventif, promotif
maupun kuratif masyarakat Buton senantiasa didasari oleh
faktor-faktor yang mempermudah perilaku seperti keyakinan
mereka mengenai penyebab penyakit dan penanganannya.
Pendapat L.Green ini didukung oleh Skinner bahwa
perilaku kesehatan (healthy behavior) diartikan sebagai respon
seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan
sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kesehatan seperti lingkungan, makanan, minuman, dan
pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, perilaku kesehatan
adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang
dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati
(unobservable), yang berkaitan dengan pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup
mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah
kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari
penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan.
Perilaku sehat ataupun sakit merupakan sifat pribadi
atau otonomi seseorang terhadap dirinya seperti kepercayaan,
keyakinan, motif, nilai, persepsi dan elemen kognitif lainnya

37
yang mendasari tindakan yang dilakukan individu untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk
pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, dan
sebagainya. Karena perilaku sehat ataupun sakit merupakan
sifat pribadi, maka keputusan dalam usaha promotif, preventif
maupun kuratif sepenuhnya adalah keputusan individu yang
bersangkutan. Keputusan yang didasari keyakinan ini akan
semakin menguat apabila didukung oleh lingkungan sekitar
seperti adanya nilai tradisi yang dianut dan dukungan orang-
orang sekitar serta tersedianya fasilitas untuk mewujudkan
keputusan tersebut. Berdasarkan keyakinan individu pula
perilaku sehat ditunjukkan dengan merasa dirinya sehat
meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul sehat.
Kepercayaan masyarakat Buton terhadap tradisi Dole-
Dole dapat dijelaskan oleh dukungan tokoh-tokoh masyarakat
yang mengungkapkan bahwa pada dasarnya masyarakat yang
terkena sakit sepenuhnya menyerahkan harapan yang besar
terhadap pengobatan melalui Dole-Dole setelah sebelumnya
melakukan pengobatan secara medis namun belum
menunjukkan kesembuhan. Harapan yang besar tersebut
menjadi sugesti yang dirasakan sehingga anak berangsur-
angsur pulih. Begitupun dengan adanya pengalaman sakit
akibat kelemahan fisik serta terlambatnya pertumbuhan dan
perkembangan anak sebelumnya yang menunjukkan adanya
kemajuan setelah dilakukan Dole-Dole semakin menguatkan

38
keyakinan masyarakat Buton dimanapun berada akan kembali
ke kampung halamannya untuk melakukan Dole-Dole.

B. Faktor Motivasi

Motivasi merupakan alasan yang mendasari sebuah


perbuatan yang dilakukan seseorang. Motivasi sebagai kondisi
internal maupun eksternal menyebabkan seseorang terdorong
untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi pada masyarakat
suku Buton dalam melakukan tradisi Dole-Dole tentu saja
didasari oleh tujuan tertentu informan seperti diungkapkan
bahwa Dole-Dole ini sudah dua kali dia lakukan setelah anak
pertamanya dahulu, yang pertama usianya sama yaitu
menjelang 2 tahun. Sebenarnya hal tersebut sudah lama ingin
dia lakukan tapi karena kesibukan pekerjaan sehingga bari
datang baru bisa datang saat itu. Dia datang jauh-jauh dari
Sorong khusus datang untuk melakukan Dole-Dole untuk anak
keduanya ini karena ada kudis-kudisannya yang tidak sembuh
(sambil memperlihatkan betis anaknya yang terlihat
mengalami radang kulit). Anak yang pertama dulu baru bisa
jalan seminggu setelah dilakukan Dole-Dole” (Srd, 42 tahun,
15 Maret 2017).
Ia melanjutkan bahwa munculnya kudis-kudisan
sekitar umur setahun lebih karena memang Dole-Dole itu
harus dilaksanakan setiap umur begitu, 1 tahun, 2 tahun, 3
tahun... karena kalo besar juga yaa tidak bisa malahan yaa..

39
sudah selsai begitu termasuk mereka-mereka ini kan ada anak-
anak cucu-cucunya itu (sambil menunjuk anak yang di Dole-
Dole) pokoknya kayak sakit-sakitan terus. Istilahnya mereka
itu, tururnannya mereka itu harus diambil ya istilahnya jangan
kita heran kalo semisal kudis-kudis, kurang sehat khusus
anaknya atau cucunya, yaa... dalam bahasa buton ada
koraeaka itu, artinya ada sebab musabab itu... itu tujuannya
supaya tidak ada nasib sial jadi harus di pedole” (As, 45 tahun,
tanggal 12 Mei 2017).
Selain termotivasi agar terhindar dari segala macam
kelemahan dan penyakit, tujuan dilaksanakan Dole-Dole agar
anak kelak ingat asal-usulnya seperti yang diungkapkan oleh
informan bahwa itu pedole supaya anak juga ingat
kampungnya kemanapun dia pergi tetap pulang, istilahnya
tidak lupa asal-usulnya, itulah ada kembang yang berapa
macam itu nanti diliat kalau sudah pedole, baku ikut-ikut
kembangnya atau tidak... artinya baku ikut itu selalu ingat
kami-kami ini.. semacam begitu juga itu jadi didole ( Wa M,
50 tahun, 14 Mei 2017).
Informasi yang telah diuraikan didukung oleh Bisa’
yang mengungkapkan bahwa orang ambil itu Dole-Dole
supaya sembuh dan diwariskan dari nenek-neneknya jadi
harus ambil, kapan tidak ambil kena sendiri...itulah banyak
yang ambil supaya tidak ada yang dirasa...” (Nr, 72 tahun, 13
Mei 2017).

40
Hal ini didukung oleh tokoh masyarakat pada pelaksanaan
FGD bahwa warga mau baik mereka semya supaya tidak ada
yang menimpa hal-hal yang tidak diinginkan, maka dilakukan
Dole-Dole, itu keturunannya jadi harus dilaksanakan” (H. Srl,
62 tahun, 14 Mei 2017).
Motivasi merupakan konsep psikologi yang intangible
atau tidak kasat mata, dalam artian kita tidak dapat melihat
motivasi secara langsung namun kita dapat mengetahui
motivasi seseorang dengan menyimpulkan perilaku, perasaan,
dan perkataannya ketika ingin mencapai tujuannya.
Berdasarkan penelitian, Pelaksanaan Dole-Dole jelas didasari
oleh tujuan dari masyarakat Buton. Hal ini dapat disimpulkan
dari perkataan maupun perilaku mereka bahwa selain untuk
masalah kesehatan dan kehidupan anak, Dole-Dole
merupakan pelestarian budaya yang diwariskan oleh
leluhurnya.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pelestarian
tradisi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, takut
kualat apabila tidak melakukan sehingga tanpa disadari dapat
terdorong untuk turut melaksanakan tradisi. Adanya istilah
‘koraeaka’ atau segala sesuatu yang terjadi karena ada sebab
musababnya, memotivasi masyarakat Buton untuk
melestarikan tradisi agar tidak tertimpa kesialan. Hal ini
menunjukkan bahwa perilaku itu ada penyebabnya, dan
terjadinya tidak dengan spontan, dan mengarah kepada suatu

41
sasaran baik secara ekslusif maupun inklusif. Terkait perilaku
kesehatan, istilah ‘koraeaka’ ini dapat diterapkan dalam
mempromosikan kesehatan agar budaya dan kesehatan dapat
berjalan beriringan. Persepsi masyarakat tentang sakit
merupakan konsep sehat-sakit masyarakat berbeda pada tiap
kelompok masyarakat dan juga berbeda apabila dibandingkan
. Konsep kelompok masyarakat yang satu berbeda dengan
konsep sehat-sakit kelompok yang lain. Untuk itu maka tiap-
tiap unit pelayanan kesehatan masyarakat perlu mencari
sendiri konsep sehat-sakit masyarakat yang dilayaninya.
Mengetahui motivasi masyarakat Buton dalam
melaksanakan tradisi Dole-Dole, memberikan kita pemahaman
bahwa kita harus berpikir mengenai apa yang mereka
butuhkan dan bukan apa yang terbaik bagi kesehatan.
Meskipun proses perubahan perilaku mempunyai kesamaan
untuk setiap individu tetapi tidak semua orang merasa bahwa
kesehatan merupakan suatu kebutuhan hingga saat mereka
sakit dan ketika sakit tersebutlah orang akan merasa bahwa
kesehatan adalah suatu kebutuhan. Hal inilah yang merupakan
salah satu pemicu munculnya motivasi. Perilaku pada
dasarnya berorientasi tujuan (goal oriented) artinya perilaku
pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk
mencapai tujuan tertentu. Pada tradisi Dole-Dole berbagai
motif yang melatari masyarakat Buton, sehingga dilestarikan
secara turun temurun, motivasi tersebut berupa pelestarian

42
budaya karena tidak ingin terkena hal-hal buruk, sebagai
pencegahan penyakit dan penyembuhan dari penyakit.
Menurut Feldman, pendekatan kognitif menjelaskan
bahwa motivasi merupakan produk dari pikiran, harapan dan
tujuan seseorang. Pendekatan ini dibedakan antara motif
instrinsik atau motif dari dalam diri seseorang, dan motif
ekstrinsik atau dari luar individu {Notoatmodjo, 2005:125).
Dalam hal ini, motivasi melakukan tradisi Dole-Dole didasari
oleh faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik karena
adanya hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya yang berasal
dari motif kepentingan yang disadari yakni melaksanakan
Dole-Dole karena pencegahan penyakit dan ingin anaknya
sembuh, tetapi karena pada pelaksanaan Dole-Dole juga untuk
melestarikan tradisi, maka faktor ekstrinsik atau faktor dari
luarlah yang turut pula mendasari perilaku masyarakat Buton
ini.[]

43
Bab Lima
“Dole-Dole” & Agama

Sistem Budaya Buton yang terwujud dalam tatanan adat adalah


endapan saripati nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lilalamin
yang digali dalam samudra kemanusiaan. Kesadaran akan
kemanusiaan dalam dimensi ketauhidan inilah yang
diempiriskan dalam tatanan bangun struktural adat. Manusia
adalah jalan (medium) mengenal Tuhan, tajalli (perwujudan)
Tuhan yang paling sempurna adalah pada diri (qalbi)
manusia. Adat bertumpu di atas pilar agama dan pemahaman
akan hakekat agama diselami dalam lautan kemanusiaan.

44
Esensi agama, hakekat kemanusiaan, dan jiwa adat merupakan
triangulasi yang integral dalam tatanan jiwa adat buton.
Menjunjung tinggi adat sama artinya menjunjung tinggi
kemanusiaan (humanisme) yang sebangun dan searah dengan
esensi ketauhidan (Munafi dan Tenri, 2014;43).
Tradisi yang ada di masyarakat Buton dapat pula dilihat
dari dimensi perkembangan kebudayaan Buton, dimana
presepsi yang diinternalisasikan dalam sistem kepribadian
merupakan perpaduan antara (1) tradisi kecil (pandangan
masyarakat Buton sebelum adanya pengaruh Hindu -Budha ),
(2) tradisi besar yaitu pandangan masyarakat Buton setelah
adanya pengaruh budaya Islam (3) Pengaruh tradisi modern
(Syahrun).
Buton dikenal dengan ajaran agama islam yang kental,
namun demikian tidak serta merta meninggalkan tradisi yang
telah diyakini oleh masyarakatnya. Banyak tradisi di Indonesia
yang berseberangan dengan ajaran agama islam karena
dianggap musyrik. Begitupun tradisi dole-dole, ada sebagian
kecil yang menganggap bahkan melarang untuk melaksanakan
dole-dole karena menganggap tidak sesuai syariat islam.
Informasi terkait tradisi dole-dole dan ajaran islam didapatkan
saat penelitian, bahwa Dole-dole merupakan turunan dari
orang tua atau leluhur kami, yang dulu anaknya sakit hampir
meninggal, setelah dipenuhi syarat untuk dole-dole lalu
sembuh. Dole-dole ini juga sebagai pengganti sementara

45
aqiqah, nanti kalau ada uangnya baru di aqiqah sebenarnya.
Bacaan-bacaan yang saya pakai dari al-qur’an disertai dengan
niat, alfatiha dan tiga qul...” (Nr, 72, tanggal 14 Mei 2017).
Informan lain jug mengemukakan bahwa ada juga
yang dulu selalu ambil dole-dole tapi begitu sudah kawin biasa
suaminya larang ambil karena katanya tidak sesuai syariat
islam. Nanti setelah suaminya keluar kota baru istrinya bikin
dole-dole nyatanya anaknya sembuh. Kan tidak adajih yang
melanggar islam ini... yang dibaca juga yang ada dalam
alqur’an” (Mr, 62 tahun, 13 Mei 2017).
Pernyataan informan sebelumnya dikuatkan oleh
budayawan Buton dan Tokoh agama setempat bahwa ada
informasi yang mengatakan bahwa tradisi dole-dole ini
dilakukan sebelum agama islam masuk, tidak jelas dulu
menggunakan bacaan apa... tapi sekarang ini dole-dole
dianggap sebagai jalan tengah karena material makanan yang
digunakan tidak ada yang diharamkan syariat islam, bacaan
yang digunakan juga adalah yang terdapat dalam al-qur’an.
Namun, dole-dole bukan pengganti aqiqah karena aqiqah
berbeda dengan dole-dole. Semua tradisi yang merupakan
local wisdom harus dijaga tapi tetap harus mempertimbangkan
toleransi dengan agama (IK, 25 tahun, 14 Mei 2017).
Selanjutnya, informan lain menceritakan bahwa
dengan sakitnya Betoambari, Sipanjonga berkhalwat mencari
metode penyembuhan yang sesuai dengan syariat Islam, lalu

46
mendapat petunjuk untuk melakukan ritual dengan hasil
tanah (ubi jalar, pisang, kunyit, beras, minyak kelapa, kapur
sirih) yang dipadukan dengan hasil laut (ikan) Setelah
dilakukan ternyata dapat menyembuhkan sehingga bernazar
apabila anak turunannya merasakan maupun merasakan sakit
seperti yang dialami Betoambari, maka wajib dilaksanakan.
Disini, Aspek filosofisnya adalah Pemujaan terhadap Tuhan
YME. Kemudian, pelaksanaan ritual atau tidak melaksanakan
lebih kepada agama dan keyakinan dari masyarakat Buton.
Bagaimana pun tradisi dole-dole ini tidak dapat ditinggalkan
begitu saja karena terbukti memberikan dampak positif bagi
kesehatan. Buktinya, ada yang tidak dibolehkan oleh suaminya
karena masalah agama tetapi begitu istrinya melaksanakan
dole-dole anaknya sembuh (L.M. Ars, 49 tahun, 14 Mei 2017).
Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari adat
istiadat, kebudayaan, agama dan tradisi dan saling
mempengaruhi satu dan lainnya. Sebagai makhluk sosial,
manusia dapat dipengaruhi oleh berbagai hal yang ada
dilingkungan sekitarnya termasuk unsur kebudayaan, tradisi
dan agama sehingga dalam kehidupannya manusia tidak
terlepas dari unsur-unsur tersebut. Kaitan dole-dole dan
agama islam yang dianut oleh masyarakat Buton berdasarkan
informasi yang didapatkan tidak dianggap suatu hal yang
melanggar syariat islam karena bacaan yang dipakai saat
pelaksanaan upacara dole-dole berasal dari Alquran begitupun

47
proses pelaksanaan dan material yang dipakai tidak ada yang
menyalahi ajaran islam.
Meskipun dianggap tidak menyalahi ajaran islam,
namun ada pula yang menganggap dole-dole tidak boleh
dilaksanakan karena keyakinan hanya kepada Allah yang
dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Kepercayaan
mengenai agama dan tradisi yang dijalankan setiap orang
berbeda-beda, banyak hal yang dapat mempengaruhi seperti
latar belakang pendidikan ataupun lingkungan sosial dimana
individu tersebut berada.
Berdasarkan uraian sebelumnya, setidaknya ada
beberapa hal yang perlu dipertegas berkaitan analisis dole-dole
dan aspek agama ini. Pertama, secara sosio historis tradisi
dole-dole dalam perkembangannya tampaknya berakukturasi
dengan Islam. Akulturasi dimaksud adalah proses bertemunya
tradisi budaya pra islam dengan masuknya agama Islam di
Buton di sekitar abad ke-15 (1412 M). Seperti sudah
disebutkan, asal-usul lahirnya tradisi dole-dole berkaitan
dengan peristiwa penyembuhan Betoambari. Episode
Betoambari dalam sejarah Buton diperkirakan terjadi pada
pertengahan abad ke-14, jadi setidaknya tradisi dole-dole telah
ada sekitar satu abad sebelum masuknya Islam ke Tanah
Buton. Agama Islam yang kemudian menjadi tradisi besar dan
dominan di Buton, dengan demikian telah mempengaruhi
khasanah kebudayaan Buton, tidak terkecuali tradisi dole-dole

48
dalam proses akulturasi sedemikian rupa serta berjalan dalam
proses sejarah yang panjang, sehingga tak heran jika terlihat
adanya pengaruh Islam dalam pelaksanaan tradisi dole-dole
hingga sekarang.
Pengaruh Islam ini dimaksudkan adalah adanya unsur-
unsur bacaan Al-Qur’an ketika bisa melakukan ritual dole-
dole. Berdasarkan wawancara kepada beberapa bisa di lokasi
penelitian, diperoleh informasi bahwa bacaan yang digunakan
dalam ritual dole-dole adalah ayat-ayat Al-Qura’an yang
disertai niat secara Islam dan Al-Fatiha. Pemahaman seperti ini
sama oleh para bisa meskipun pilihan terhadap ayat-ayat Al-
Qur’an yang digunakan tidak selalu seragam atau sama,
bergantung dari para bisa. Dengan demikian, poin penting
penafsiran ini hanyalah bersifat analisis sejarah-budaya (sosio-
historis-kultural), bukan persoalan aqidah atau fiqih Islam.
Penegasan ini dimaksudkan untuk menghindari perdebatan
apakah tradisi budaya penyembuhan secara dole-dole itu
sejalan atau bertentangan dengan ajaran Islam. Bagaimana
pun, saat FGD, berkembang pandangan yang beragam oleh
para peserta khususnya kalangan tokoh agama dan tokoh adat.
Pandangan yang mengemuka kuat adalah bersifat moderat,
dalam artian sebagian besar tidak mempersoalkan tradisi dole-
dole dilaksanakan karena budaya ini telah mengakar kuat
dalam masyarakat Buton. Akan tetapi, mereka juga
menghargai jika ada warga masyarakat yang tidak

49
melaksanakan dole-dole karena dianggap tradisi ini
bertentangan atau tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Kedua, berkaitan dengan analisis di atas, tradisi dole-
dole haruslah dipandang sebagai realitas budaya yang mau
tidak mau berkaitan dengan agama dan masyarakat. Ia tidak
mungkin terlepas dari agama Islam yang dianut oleh sebagian
besar masyarakat Buton. Budaya dan agama menjadi
suprastruktur masyarakat, sehingga sangat sulit dipisahkan
antara tradisi dole-dole ini dengan adanya pengaruh Islam
dalam pelaksanaannya. Namun demikian, pernyataan ini
tidaklah bermakna bahwa tradisi dole-dole merupakan
perintah atau bagian dari ajaran Islam. Ia hanya refleksi
budaya yang telah memperoleh pengaruh Islam, terbukti dari
adanya bacaan-bacaan Al-Qur’an yang digunakan dalam
proses ritual oleh para bisa. Tradisi, adat, agama, dan
masyarakat adalah pilar-pilar pranata sosial yang secara sosio-
kultural saling bertalian secara fungsional sepanjang pranata
itu masih tetap hidup pada masyarakat pendukungnya.[]

50
Bab Enam
“Dole-Dole” & Kesehatan

Keberagaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia


sangat berperan dalam mempengaruhi tingkah laku
masyarakat yang melestarikan suatu budaya. Hal ini tentu saja
memunculkan variasi dalam perilaku manusia termasuk
perilaku dalam aspek kesehatan baik positif maupun negatif.
terkait perilaku masyarakat suku Buton pada tradisi dole-dole,
pelaksanaanya diperuntukkan sebagai preventif dan kuratif.
Keterangan yang didapatkan dari seorang informan bahwa
bila sudah dirasakan mungkin anak-anak sudah tiba-tiba
kudis-kudis tangannya dan pokoknya gatal-gatal tidak
sembuh, mereka membawa ke dokter ahli dan semua obat
tidak sembuh..seperti seorang punya anak yang kakak,
disininya (sambil menunjuk muka dan tungkainya) pokoknya

51
penuh semua, habismih di dokter-dokter ahli, setelah adakan
itu (dole2) langsung hilang... tidak mengerti juga bagian mana
yang kasi sembuh tapi begitulah keadaannya, langsung
sembuh.. (Nrm, 42 tahun, tanggal 12 mei 2017).
Hal yang senada diungkapkan oleh dua informan
lainnya bahwa tidak akan sembuh memang kalau tidak
diambil ini (dole-dole) karena hal itu terjadi dari mereja tidak
melaksanakan tradisi yang sudah ada, biar berobat kemana-
mana... seperti ini sebelum ke Baubau mereka ini sudah ke
puskesmas eee ke dokter tapi tidak sembuh-sembuh juga... jadi
memang ini kepercayaan makanya harus diambil (Srd, 42
tahun, tanggal 15 Maret 2017).
Namun informan susah menjelaskan bagian mana dari
ritual atau material yang digunakan sehingga bisa
menyembuhkan seperti yang diungkapkan bahwa dirinya
tidak begitu paham unsur-unsur mana yang bisa
menyembuhkan tapi itu semua pasti berhubungan...
Sebenarnya semua hanya syarat saja yang sebenarnya adalah
keyakinan. Soal mnyembuhkan yaaa... kepercayaan, begitulah
budaya.. istilahnya mereka sudah jalankan dan terbukti,
padahal kita sudah dari dokter juga tapi tidak sembuh (As, 47
tahun, 12 Mei 2017).
Informasi mengenai hal ini didapatkan dari Bisa’ bahwa
semuan hal tersebut (material yang digunakan saat upacara
dole-dole), tidak boleh ada yang kurang karena menjadi satu

52
bagian, berhubungan semua... pokoknya setelah diberikan
minyak yang dimasak dari satu biji kelapa yang dicampur
kunyit dan kapur sirih baru di dole, dikasikan semua badannya
anak, nda lama itu sembuh juga (Nr, 72 tahun, tanggal 13 Mei
2017).
Ia juga menyatakan bahwa kalau untuk bisul-bisulnya
itu sembuh karena telur masak yang ada di dalam poluka
(panci),..yang kasi hilang kudis-kudisnya itu kembang yang
tujuh macam yang dipukul-pukulkan (dikebas-kebaskan) ke
badannya itu anak supaya kudis-kudisannya ikut jatuh, supaya
kulitnya jadi bersih (Mr, 62 tahun, tanggal 15 Maret 2017)..
Hal yang berbeda diungkapkan oleh informan lain
bahwa perlu diperjelas, apa memang Dole-Dole itu
menyembuhkan. Dirinya dulu pernah ada keluarga sakit,
sudah ke dokter kemudian di dole-dole tapi tidak sembuh juga
lalu pergi mandi ke Kasilae (sebuah tempat pemandian di
Waara) barulah sembuh....mungkin memang lebih kepada
keyakinan orang. Namun, ia sepakat bahwa Sara’ juga ritual
yang dilakukan untuk mencari penyembuhan dan tidak dapat
digantikan (IK, 25 tahun, 14 Mei 2017).
Penjelasan lebih detil diuraikan oleh informan lain
bahwa Dole-dole ini merupakan salah satu siklus kehidupan
masyarakat Buton. Apabila melihat semua material yang
digunakan dalam proses upacara dole-dole ini, semuanya
mengadung makna begitupun dalam hal kesehatan. misalnya

53
saja kunyit, kapur sirih, minyak kelapa. Kunyit atau
kurkuminoid, telah banyak diteliti sebagai anti inflamasi atau
peradangan, juga dapat sebagai antioksidan dan dahulu
dicampur dengan beras untuk dibuat bedak yang dapat
menghaluskan kulit, begitupun dengan minyak yang dapat
menghaluskan kulit juga. Kapur sirih dikenal memperhalus
wajah dan menyehatkan tubuh. Meskipun dipakai sekali saja
pada saat upacara dole-dole tetapi pendahulu kita sudah
mengetahui manfaatnya dan digunakan hingga kini termasuk
pada dole-dole. Materi yang lain, seperti kembang melati yang
dinamai disini kambang mpuu...itu juga untuk mempercantik
dan mengharumkan tubuh. Jadi, semua yang dipakai
maknanya itu ada dan meyakinkan setelah dole-dole si anak
sembuh. Kandungan daun-daun dan bunga terbukti secara
ilmiah dapat menyembuhkan” (LM.Ars, 49 tahun, tanggal 14
Mei 2017).
IK melanjutkan bahwa daun dan bunga yang
digunakan pada umumnya sama dengan yang digunakan pada
upacara lainnya (perkawinan)...Yang juga mendukung untuk
masalah kesehatan adalah bahwa material yang digunakan
hanya boleh dibakar dan direbus. Setelah melakukan ritual
menjadi sembuh lebih dikarenakan makbulnya doa dari bisa’,
dan kembali ke kepercayaan masing-masing (25 tahun, 14
Mei 2017).

54
Budaya sangat mempengaruhi perilaku kesehatan,
banyak hal yang tanpa disadari oleh seseorang bahwa perilaku
yang dijalankan sejak dahulu mempunyai dampak terhadap
kesehatan. Persepsi masyarakat mengenai penyakit berbeda
antara satu daerah dengan daerah lainnya, hal ini juga
tergantung dari kebudayaan yang ada di dalam masyarakat
tersebut. Seperti halnya dalam penelitian ini, persepsi
masyarakat terhadap penyebab penyakit terutama bagi anak
yang terkena kudis-kudis, bisul-bisul dan pertumbuhan
terganggu diyakini karena belum di dole-dole. Persepsi ini
menurun dari generasi ke generasi dan menjadi kepercayaan
masyarakat Buton dan tidak berani untuk dilanggar.
Dasar penentuan penyakit berdasarkan gejala yang
ditampakkan oleh si anak pada masyarakat Buton menentukan
intervensi untuk penyembuhannya. Menurut Anshari dan
Utami (2016:34), pandangan budaya tentang sakit adalah
pengakuan sosial bahwa seseorang itu tidak bisa menjalankan
peran normalnya secara wajar dan harus dilakukan sesuatu
terhadap kondisi tersebut. Dikaitkan dengan pandangan
masyarakat Buton yang mengatakan : “tidak akan sembuh
memang kalau tidak diambil ini (dole-dole) karna ini terjadi
dari kita tidak melaksanakan tradisi yang sudah ada, biar
berobat kemana-mana...”, pandangan penyakit ini menurut
Notoatmodjo (2005), merupakan fenomena subjektif tentang
perasaan yang dialami seseorang yang ditandai dengan

55
ketidaknyamanan. Sickness adalah illness yang dianggap
sebagai suatu konsep kebudayaan sebagai contoh konsep
penyebab sakit personalistik dimana dianggap munculnya
illness disebabkan oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat
berupa makhluk atau bukan manusia sehingga cara
penanganannya sesuai apa yang diyakini oleh masyarakat.
Sickness sering dikenali dari nama budaya seperti: masuk
angin, alergi, dan sebagainya.
Mengurai kembali apa yang diungkapkan pelaku dole-
dole bahwa sulit mengaitkan dan menjelaskan bagian material
yang digunakan sehingga menyebabkan anak sembuh. Satu
hal yang pasti bahwa untuk mencapai kesembuhan seperti
yang diharapkan, maka ritual harus dilakukan. Ritual
merupakan wujud budaya dan merupakan realitas subjektif,
sehingga apabila berbicara ritual tentu ada makna yang
terkandung di dalamnya. Berdasarkan penelitian, material
yang dipakai saat upacara dole-dole merupakan hasil tanah
dan laut yang dibakar dan dimasak, adapun kelengkapan
lainnya adalah daun-daunan, kembang, kunyit, minyak dan
kapur sirih yang secara farmakologi dipakai untuk
pengobatan. Seperti halnya kunyit, berbagai penelitian
mengungkapkan bahwa kunyit digunakan sebagai anti
inflamasi dan mempunyai kandungan antibiotik. Untuk
pemakaian yang teratur dan sesuai komposisinya, kunyit dan
lainnya memang berkhasiat untuk kulit namun pada dole-dole

56
pemakaian pada anak hanya saat dilakukan ritual dole-dole
saja. Meskipun hanya sekali pemakaian, orang yang
melakukan ritual dole-dole meyakini dapat menyembuhkan.
Intinya adalah material yang digunakan untuk ritual dole-dole
memuat berbagai simbol yang diyakini dapat membantu proses
penyembuhan.
Tradisi selayaknya dilestarikan sepanjang tradisi lokal
tersebut tidak memberikan dampak yang negatif pada
kesehatan masyarakat. Banyak tradisi yang masih dilestarikan
namun terkadang masyarakat kurang menyadari ketika tradisi
tersebut ternyata memiliki dampak yang kurang mendukung
capaian derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan informasi
yang didapatkan dole-dole bisa dilaksanakan pada bayi tanpa
harus menunggu pemberian ASI Eksklusif seperti yang
diungkapkan oleh informan bahwa anak dalam gendongan
umurnya 5 bulan masih menete tapi dibantu juga karna selalu
menangis kalau lapar jadi dikasi bubur yang halus”(Wa M. 50
tahun, 12 Mei 2017).
Pernyataan informan didukung oleh Bisa’ yang
mengungkapkan bahwa Pedole sudah bisa umur lima bulan
enam bulan umurnya anak yang penting tidak kesedak kalo
menelan tapi biasa hanya dikasi cicipi. Tetapjih dikasi ASI tapi
biasa dibantu juga karena tidak cukup ASInya mamanya jadi
kalau anaknya menangis karna masih lapar biasa dikasi
makan bubur yang lembut” (Mr, 62 tahun, 12 Mei 2017).

57
NR menyatakan bahwa ia tetap memberi ASI tapi biasa
itu anak menangis karna lapar tidak cukup air susunya ibunya
jadi dikasi makan pisang. Kalo tidak menangis menangis
anaknya tidak juga dikasi tapi kalo menangis dikasi pisang saja
jangan kasi bubur Sun, dikasi pisang saja supaya perutnya itu
anak tidak keras. Tiga bulan empat bulan sudah bisa dikasi
pisang.” (Nr, 72 tahun, 13 Mei 2017).
Menanggapi pernyataan informan sebelumnya, petugas
kesehatan mengatakan bahwa memang hal tersebut masalah
juga karena sudah sering dikasi penyuluhan tapi tetap saja
tidak didengar tetap juga dikasi makanan pendamping, kadang
mereka bilang memang itu anak bilang kalau lapar, itu
mamanya saja yang begitu padahal harusnya mamanya yang
makan banyak supaya ASInya cukup. Cakupan imunisasi dan
ASI eksklusif yang tidak memenuhi target memang itu selalu
masalah terutama ASI, ini berkaitan dengan kebiasaan
masyarakat itu memberikan makanan pendamping karena
mengira anaknya tidak kenyang padahal telah sering
dilakukan penyuluhan kepada masyarakat terkait ASI eksklusif
dan imunisasi” (Ms, 53 tahun, tanggal 14 Mei 2017)
Pemahaman informan mengenai pemberian ASI
Ekslusif merupakan potret kurangnya informasi yang
didapatkan sehingga manfaat ASI Eksklusif dirasakan tidak
begitu penting. Berdasarkan data dari Profile Kesehatan
Sulawesi Tenggara tahun 2015, cakupan AE (ASI Eksklusif)

58
untuk Kota Baubau adalah 38,50% jauh dari target yang
seharusnya yakni 90% dan imunisasi dasar lengkap
(UCI/Universal Child Immunization) untuk Baubau adalah
76% dari target seharusnya 90%. Rendahnya cakupan ini
dapat disebabkan oleh berbagai faktor baik internal maupun
eksternal dari masyarakat, misalnya pengetahuan yang kurang
akibat minimnya informasi yang didapatkan, dukungan
keluarga, dukungan petugas kesehatan, jarak, keyakinan,
tradisi, sarana prasarana, dan sebagainya.
Meskipun khasiat ASI yang begitu besar dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak serta antibodi yang
terkandung didalamnya yang dapat memberikan imunitas
terhadap penyakit namun tidak banyak masyarakat yang
menyadari hal tersebut. Seperti halnya kebiasaan informan
terkait sosial budaya yang memberikan susu formula, pisang
dan makanan pendamping lain kepada bayi apabila rewel
yang justru dapat mengakibatkan gangguan gizi yang
berdampak pertumbuhan dan perkembangan anak serta
kekebalan tubuh yang rendah sehingga rentan terkena sakit.
Masyarakat menganggap bahwa pada umumnya ibu
memberikan ASI kepada anaknya jadi bukan merupakan suatu
masalah. Namun, pemberian ASI yang tidak eksklusif dapat
menimbulkan masalah negatif pada kesehatan dan
pertumbuhan bayi. ASI merupakan makanan terbaik bayi yang
memiliki nilai gizi yang paling tinggi sehingga tidak

59
membutuhkan komposisi tambahan untuk dapat memenuhi
kebutuhan bayi pada enam bulan pertama kehidupannya.
Apabila dihubungkan dengan penyakit-penyakit yang
dialami oleh anak yang didole-dole, bisa jadi karena tidak
optimalnya pola pemberian ASI pada anak dan tidak
mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Rentannya terkena
sakit, gangguan pertumbuhan dan perkembangan serta
penyakit alergi yang dialami seperti kudis-kudis secara medis
dapat diakibatkan rendahnya daya tahan tubuh akibat nutrisi
yang terganggu karena anak tidak mendapat ASI Eksklusif dan
tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang
menyebabkan rentan terkena berbagai macam infeksi. Namun
pandangan medis ini tentu saja tidak sejalan dengan
pemahaman pelaku dole-dole yang menganggap bahwa
gangguan pertumbuhan dan perkembangan serta penyakit
yang diderita anak disebabkan belum dilakukan upacara dole-
dole. Tentu saja pemahaman masyarakat Buton ini beralasan
karena setelah tradisi dilaksanakan, penyakit yang diderita
anak pada kenyataanya bisa sembuh meskipun bisa jadi secara
medis belum betul-betul sembuh. Apabila dikaitkan dengan
tradisi, Kadang-kadang persepsi masyarakat mengenai sehat-
sakit dipengaruhi oleh kepercayaan yang sulit dijelaskan dan
sulit diterima dengan akal sehat.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syahrun
mengenai pengobatan tradisional orang Buton

60
mengungkapkan bahwa Bahwa pandangan masyarakat
Buton tentang penyakit merupakan rangkaian dari proses
kebudayaan. Di samping itu pandangan sakit bagi masyarakat
Buton dapat pula dilihat dari dimensi perkembangan
kebudayaan Buton, dimana presepsi yang diinternalisasikan
dalam sistem kepribadian merupakan perpaduan antara; (1)
tradisi kecil (pandangan masyarakat Buton sebelum adanya
pengaruh Hindu -Budha ); (2) tradisi besar yaitu pandangan
masyarakat Buton setelah adanya pengaruh budaya Islam; (3)
Pengaruh tradisi modern. Tradisi modern meberi corak pada
pandangan masyarakat Buton tentang penyakit saat ini.
Pandangan tentang sakit dan penyakit pada masyarakat Buton
pada saat ini masih didominasi oleh tradisi kecil dan tradisi
besar, pandangan mereka cenderung sakit yang disebabkan
oleh agen dan penyembuhan serta pencegahannya dengan
cara ritual (upacara-upacara)..
Terkait perilaku kesehatan, sehat-sakit pada
pelaksanaan tradisi dole-dole masyarakat Buton dapat
dikatakan bahwa pencarian pengobatan ada yang dari
tradisional ke medis bagi yang menganggap penyebab penyakit
secara personalistik atau memegang konsep illness dan ada
pula yang dari medis ke tradisional bagi masyarakat yang lebih
dominan memegang konsep etiologi naturalistik (disease).
Namun dapat dipastikan bahwa bagi mereka yang
melaksanakan dole-dole secara turun temurun, konsep

61
penyebab penyakit secara personalistik (illness) dan
paturalistik (disease) penyembuhannya tetap ada pada ritual
dole-dole. Hal ini dikuatkan berdasarkan informasi yang
didapatkan saat penelitian berlangsung. Sejalan dengan
pendapat Sudarma (2009:21), bahwa manusia sebagai
makhluk yang multidimensional, berpotensi muncul dimensi-
dimensi kesehatan yang berbeda. Perbedaan persepsi dapat
mengembangkan perbedaan dalam perilaku sehat individu,
bagi mereka yang sudah modern atau rasional telah
memandang bahwa layanan pengobatan modern merupakan
pilihan yang tepat dalam mendapatkan layanan kesehatan.
sedangkan bagi mereka yang masih memandang bahwa sakit
itu bukan hanya disebabkan oleh faktor-faktor jasmaniah
(bakteri dan virus) maka pengobatan alternatif merupakan
pilihan lain dalam mendapatkan layanan kesehatan diluar
layanan kesehatan medis.
Berdasarkan hasil penelitian, semua informan sepakat
akan melestarikan tradisi dole-dole dan akan mewariskan ke
anak cucu mereka. Meskipun mereka hidup di era modern
namun mereka tetap mempertahankan tradisi dan berharap
tidak mengalami pergeseran meskipun dalam pelaksanaanya
telah ada yang memodifikasi cara penyajiannya. Modifikasi
yang dimaksud adalah dari segi kepraktisan, misalnya ada
yang melaksanakan dole-dole makanan dari isi poluka tidak
lagi dalam piring untuk perempuan yang terlibat didalamnya

62
namun dikemas dalam dos tanpa mengurangi atau
meninggalkan ciri khas dari ritual dole-dole. Bagaimanpun
pengemasan ritualnya, Tradisi ini tidak akan hilang karena
merupakan warisan dan sudah ada jauh sebelum mereka lahir
sehingga sudah melekat dalam diri orang Buton.
Mengkaji teori H.L. Bloom, 1974 (Notoatmodjo, 2003)
mengenai faktor-faktor yang menentukan derajat kesehatan
individu, kelompok maupun masyarakat mengungkapkan
bahwa kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor.
Faktor-faktor tersebut adalah faktor internal (dari dalam diri
manusia) seperti fisik dan psikis dan faktor eksternal (di luar
diri manusia) seperti sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan
sebagainya. Berdasarkan urutan besarnya pengaruh terhadap
kesehatan, adalah:
1. Lingkungan, yang mencakup sosial. Budaya, politik,
ekonomi, dan sebagainya.Faktor lingkungan
mempunyai andil yang besar pada status atau derajat
kesehatan. kepercayaan mutlak masyarakat Buton pada
tradisi dole-dole dalam hal pencegahan dan
pengobatan penyakit pada bayi dan balita dapat
menyebabkan kurangnya pemanfaatan pelayanan
kesehatan. oleh karenanya, promosi kesehatan sangat
diperlukan agar kepercayaan masyarakat pada
pelayanan kesehatan dapat dimanfaatkan secara

63
optimal dan beriringan dengan kepercayaan
masyarakat terkait pelestarian budaya.
2. Perilaku. Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah
respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan
atau reaksi manusia baik bersifat pasif maupun bersifat
aktif. Oleh karena itu perilaku sangat penting untuk
diberikan intervensi melalui promosi kesehatan agar
masyarakat Buton dalam melestarikan tradisi dole-dole
tetap memanfaatkan fasilitas kesehatan, mengetahui
bagaimana cara pemeliharaan kesehatan (health
Maintenance), bagaimana meningkatkan,
mempertahankan, memelihara dan mencegah penyakit
serta mengetahui kemana seharusnya mencari
pengobatan apabila sakit. Promosi kesehatan sangat
diperlukan agar masyarakat mengetahui, menyikapi
dan mempraktekkan perilaku kesehatan dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas kesehatan
masyarakat tidak beriringan dengan optimalnya
pemanfaat pelayanan oleh masyarakat. Masih belum
optimalnya pelayanan kesehatan ini dapat disebabkan
oleh jangkauan akses terkait jarak tempuh maupun
akses informasi yang dibutuhkan masyarakat.

64
4. Keturunan (hereditas). seseorang berperilaku tertentu,
karena memang sudah demikianlah diturunkan oleh
orang tuanya. Dalam hal ini apa yang mewariskan
status kesehatan oleh orangtuanya kepada anak-
anaknya termasuk masalah kesehatan:penanganan dan
pencegahannya secara tepat ataupun sebaliknya akan
diadopsi oleh anak-anaknya.
Terkait perilaku kesehatan dan tradisi dole-dole,
menunjukkan bahwa perilaku merupakan resultan hasil atau
resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan respons
(faktor eksternal) dalam subjek atau atau orang yang
berperilaku tersebut. Menurut teori Lawrence Green
(Notoatmodjo, 2005:59), berangkat dari analisis penyebab
masalah kesehatan, yakni behavioral factors (faktor perilaku),
dan non behavioral factors (faktor non-perilaku):
1. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), yaitu
faktor yang mempermudah terjadinya perilaku
seseorang seperti pengetahuan, sikap, keyakinan,
kepercayaan, nilai-nilai tradisi yang dianut masyarakat
dan sebagainya. Tradisi dole-dole senantiasa
dilestarikan oleh masyarakat Buton karena adanya
kepercayaan dan keyakinan pada tradisi tersebut dapat
mencegah penyakit (preventif) dan pengobatan
(kuratif), nilai-nilai secara sintetik merupakan
hubungan yang seimbang antara manusia dan alam

65
sehingga keputusan bertitik tolak dari tradisi dan
kepercayaan pada dole-dole dapat sebagai tolak bala.
Kadang-kadang, tradisi, kepercayaan dan nilai-nilai
yang dianut masyarakat dapat mendorong atau
menghambat perilaku sehat sehingga diperlukan
promosi kesehatan untuk meluruskan faktor-faktor
yang menghambat perilaku sehat dan dapat sejajar
dengan tradisi yang dianut.
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah
faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi
perilaku atau tindakan. Dalam kesehatan, fasilitas
seperti bidan praktek, puskesmas, Rumah sakit dan
sarana pelayanan kesehatan lainnya, Fasilitas ini
hakekatnya mendukung atau memungkinkan
terwujudnya perilaku sehat. Faktor pemungkin dari
perilaku masyarakat Buton pada tradisi dole-dole
adalah fasilitas seperti tersedianya Bisa’ yang
memimpin acara dole-dole dan material yang
digunakan serta kemampuan secara ekonomi untuk
melakukan tradisi ini. Pada tradisi dole-dole, faktor
keuangan turut berperan karena pengadaan material
hingga terlaksananya upacara dole-dole membutuhkan
dana yang tidak murah. Bagi orang Buton yang tidak
mempunyai kemampuan untuk mengadakan semua
fasilitas yang dibutuhkan, maka akan mengikutkan

66
anak-anaknya pada keluarga yang melaksanakan dole-
dole, cara ini dinamakan pannimpa (menitipkan).
Tersedianya fasilitas kesehatan seharusnya
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menangani
masalah kesehatan mereka sehingga diperlukan
pendekatan secara persuasif agar masyarakat dalam
melestarikan tradisi atau kepercayannya tetap pula
memanfaatkan pelayanan kesehatan secara optimal .
3. Faktor-faktor penguat ( reinforcing factors), adalah
faktor-faktor yang mendorong atau menguatkan
terjadinya perilaku. Meskipun pelayanan kesehatan
dan petugas kesehatan senantiasa siap untuk melayani
masyarakat, namun bagi orang Buton yang
mempercayai dole-dole sebagai pencegahan dan
pengobatan penyakit tetap menyerahkan masalah
preventif dan kuratif pada ritual dole-dole karena
merupakan warisan leluhur yang diwariskan oleh
keluarga dan mendapatkan dukungan dari tokoh
agama dan tokoh masyarakat setempat. Untuk
berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan
hanya perlu pengetahuan yang positif dan dukungan
fasilitas saja, melainkan diperlukan contoh (acuan) dari
keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama dan petugas
kesehatan.

67
Jika ditelisik lebih jauh, teori Lawrence Green dan H.L
Bloom saling berkesinambungan terhadap perilaku
kesehatan dan dapat digambarkan sebagai berikut:

Keturunan

Pelayanan Status Lingkungan


Kesehatan Kesehatan

Perilaku

Proses
Perubahan

Predisposing Enabling Reinforcing


Factors Factors Factors

Pemberdayaan
Komunikasi Masyarakat Training
Penyuluhan Pemberdayaan
Sosial

Promosi
Kesehatan

Gambar 18. Modifikasi teori H.L. Bloom dan L.Green:


Hubungan Status Kesehatan, Perilaku, dan
Promosi Kesehatan (Notoatmodjo, 2003:15)

68
Berdasarkan Gambar 18, dapat dideskripsikan bahwa
teori Bloom yang menjelaskan derajat kesehatan yang
dipengaruhi oleh 4 faktor, yakni lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan, dan keturunan. Maka untuk melakukan
intervensi promosi kesehatan terhadap tradisi Dole-Dole pada
suku Buton hendaknya dimulai dengan mendiagnosis faktor
determinan perilaku dalam teori L. Green.[]

69
Bab Tujuh
Dole-Dole & Promosi Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu reaksi


seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang berkaitan
sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan
serta lingkungan. Reaksi tersebut bisa pasif (pengetahuan,
persepsi dan sikap) maupun aktif (berupa tindakan). Upaya
intervensi terhadap faktor perilaku yang paling cocok adalah
pendekatan secara pendidikan kesehatan (promosi Kesehatan)

70
sebagai pemecahan pemecahan masalah kesehatan
masyarakat. Promosi kesehatan sebagai pendekatan terhadap
faktor perilaku masyarakat Buton pada tradisi dole-dole tidak
terlepas dari faktor-faktor determinan perilaku.
Faktor-faktor tersebut dapat diintervensi dengan
mendiagnosis determinan perilaku dalam teori Lawrence
Green (1980), Pendekatan ini disebut model PRECEDE
(Predisposing, reinforcing and Enabling Causes in Educational
Diagnosis and Evaluation). Pendekatan ini disempurnakan oleh
Green pada tahun 1991 menjadi PRECEDE-PROCEED (Policy,
Regulatory, Organizational Construct in Edicational and
Environmental Development). Berikut Gambaran PRECEDE-
PROCEED:

71
PRECEDE

Phase 5 Phase 4 Phase 3 Phase 2 Phase 1


Administrasi & Educational and Behavioral and Epidemio- Social
Policy Diagnosis Organizational Environmental logical Diagnosis
Diagnosis Diagnosis Diagnosis

Predisposing
HEALTH
factors
PROMOTION

Health Reinforcing Behavior and


Education factors Lifestyle

Quality
Health of life
Policy Enabling
factors Environment
Regulation
organization

Phase 6 Phase 7 Phase 8 Phase 9


Implementation Process Evaluation Impact Evaluation Outcome Evaluation
PRECEDE

Gambar 19. Kerangka Precede-Proceed


72
Phase 3 Phase 2 Phase 1
Behavioral and Environmental Diagnosis Epidemiological Diagnosis Social Diagnosis

Behavior

Health Quality of life


Environment

Behavioral Environmental Vital indicators : Subjectively defined


indicators : Disability problems and priori ties on individuals or
indicator : communities
compliance economic Discomfort
consumption pattern physical Fertility Social indicators :
coping services Fitness Absenteeism
preventive actions social Morbidity Achievement
self care Mortality Aesthetics
utilization Dimentsions : Physiological risk Alienation comfort
Factors Crime
Access
Crowding
Dimensions: Affordability Discrimation
Frequency Equity Dimensions: Happiness
Persistence Distribution Hostility
Promptness Duration Illigitimacy
Quality Functional level Performance
Range Incidence Riots self esteem
Intensity Unemployment
Votes
Longevity
Wolfare
Prevalence

Gambar 20. Indicator, dimensi dan hubungan antar faktor-faktor yang diidentifikasi pada fase 1, 2, dan 3
pada kerangka PRECED-PROCEED.

73
Langkah-langkah PRECEDE-PROCEED
Fase 1: Diagnosis Sosial (Social Needs Assesment):
Hasil indepth interview dan FGD terkait tradisi dole-
dole pada masyarakat Buton, didapatkan bahwa:
 Dole-dole adalah imunisasi tradisional yang diyakini
dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit,
sebagai pencegahan dan pengobatan.
 Masyarakat Buton meyakini bahwa apabila bayi atau
anak yang sering sakit-sakitan, daya tahan tubuh
lemah, terkena penyakit kulit disebabkan karena belum
dilakukan upacara dole-dole.
 Masyarakat suku Buton sangat meyakini tradisi dole-
dole sebagai sarana preventif dan kuratif pada anak-
anak meskipun tetap memanfaatkan sarana pelayanan
kesehatan.
 Keyakinan masyarakat Buton yang tidak beriringan
dengan keyakinannya terhadap layanan kesehatan bisa
berdampak rendahnya pemanfaatan pelayanan
kesehatan: cakupan imunisasi dan ASI Eksklusif rendah
 Pelaksanaan tradisi dole-dole tidak harus menunggu
selesainya pemberian ASI Eksklusif
 Adanya persepsi anak rewel karena ASI tidak cukup
sehingga harus diberikan makanan tambahan di usia
dini.

74
 Pemberian imunisasi tidak sesuai umur bahkan ada
bayi yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap.
 Informasi yang minim terkait kesehatan sehingga
Pengetahuan dan pemahaman masyarakat minim.
Fase 2. Diagnosis Epidemiologi
 Menurut data primer penyakit kulit (kudis-kudis dan
Bisul), pertumbuhan terganggu akibat masalah gizi
teradi pada usia balita yang merupakan usia anak harus
didole-dole.
 Berdasarkan profil dinas kesehatan Propinsi sulawesi
Tenggara tahun 2015, capaian ASI Eksklusif untuk Kota
Baubau 38,50%, Imunisasi dasar lengkap 76%.
Fase 3. Diagnosis Perilaku dan Lingkungan
Faktor Perilaku:
 Saat muncul gejala ringan pada anak, kebanyakan
orang tua tidak segera membawa ke pelayanan
kesehatan tetapi hanya melakukan perawatan di
rumah.
 Saat anak belum sembuh, 2 alternatif dapat dilakukan
yakni pengobatan secara tradisional (dole-dole) lalu ke
pelayanan kesehatan atau ke pelayanan kesehatan lalu
ke tradisional (dole-dole).
 Meskipun ada yang memiliki persepsi sehat-sakit
berdasarkan etiologi naturalistik, namun keyakinan
untuk penyembuhan tetap tradisional.

75
Faktor Lingkungan:

 Sosial budaya masyarakat Buton terhadap pandangan


sehat-sakit
 Sosial ekonomi masyarakat
 Tersedia sarana-prasarana kesehatan yang dapat
dijangkau

Fase 4, Diagnosis Pendidikan dan Organisasional

Faktor Predisposisi:
 Keyakinan, motivasi dan nilai yang dianut mengenai
etiologi penyakit lebih ke personalistik.
 Masyarakat masih belum memahami bahwa penyakit
alergi kulit, daya tahan tubuh lemah dan pertumbuhan
terganggu dapat diakibatkan karena imunisasi yang tidak
sesuai usia bayi, imunisasi dasar tidak lengkap dan
pemberian ASI yang tidak Eksklusif.
 Pemahaman yang tidak benar mengenai usia pemberian
MP ASI

Faktor Enabling:

 Kemampuan masyarakat untuk mendapatkan


pengobatan sesuai keyakinan
 Terbatasnya petugas Promosi Kesehatan

76
 Tersedia tempat pelayanan kesehatan yang dapat
dijangkau

Faktor Reinforcing:

 Dukungan tokoh agama, tokoh masyarakat terhadap


tradisi dole-dole
 Tokoh-tokoh masyarakat Buton terbuka dan
mendukung program-program pelayanan kesehatan,
namun Pola pelayanan kesehatan kebanyakan berupa
kuratif, sedangkan untuk promotif dan preventif masih
belum banyak diterapkan.
 Untuk kasus tertentu terkait persepsi sehat-sakit, AE
dan imunisai bayi, Kesadaran masyarakat untuk
melakukan pemeriksaan di pelayanan kesehatan
setempat masih kurang dimanfaatkan.

Fase 5. Diagnosis Administrasi Kebijakan

 Semua Stakeholder mendukung pelestarian tradisi dole-


dole tanpa mengabaikan pelayanan kesehatan dalam
rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
 Meskipun petugas kesehatan setempat sudah
melakukan penyuluhan terkait kesehatan namun pada
kenyataannya pemahaman masyarakat masih minim.
a. Prioritas Masalah

77
1. Masyarakat Buton dalam persepsi sehat-sakit lebih
cenderung berpikir secara personalistik (illness)
sehingga pencegahan dan pengobatan yang
dilakukan sesuai yang diyakini/tradisional.
2. Keyakinan pada pelaksanaan upacara dole-dole tidak
beriringan dengan keyakinan pada pelayanan
kesehatan sebagai upaya dalam penanganan
masalah-masalah kesehatan yang dihadapi.
3. Petugas kesehatan perlu mencari konsep sehat-sakit
masyarakat yang dilayaninya, istilah “Koraeaka”
memberikan pemahaman bahwa kita harus berpikir
mengenai apa yang mereka butuhkan dan bukan apa
yang terbaik bagi kesehatan (Bottom-Up).
4. Status kesehatan masyarakat setempat belum sesuai
yang diharapkan hal ini ditandai masih kurangnya
capaian program AE dan imunisasi dasar lengkap
pada bayi yang belum mencapai target dan belum
termaanfaatkannya pelayanan kesehatan secara
optimal.
5. Pola pelayanan kesehatan kebanyakan berupa kuratif,
sedangkan untuk promotif dan preventif masih
belum banyak diterapkan.
6. Kesadaran masyarakat untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan di pelayanan setempat masih
kurang dimanfaatkan.

78
7. Masalah kesehatan yang muncul berhubungan
dengan tingkat pemahaman yang kurang.
b. Tujuan
1. Pengetahuan masyarakat mengenai upaya promotif,
preventif dan kuratif meningkat, sejalan dengan;
2. Tradisi dole-dole masyarakat Buton tetap dilestarikan
sebagai local wisdom yang mendukung capaian
derajat kesehatan yang optimal.
3. Status kesehatan masyarakat meningkat dan
senantiasa dipertahankan dengan pemberian edukasi.
c. Sasaran Promkes
Sasaran Langsung: ibu yang memiliki bayi dan balita.
Sasaran tidak langsung: Keluarga, Bisa’, kader kesehatan,
Toma, Toga.
d. Isi / Materi Promkes
1. Budaya dan perilaku kesehatan
2. Persepsi sehat-sakit
3. Promotif, preventif dan kuratif
4. ASI Eksklusif dan MP ASI
5. Imunisasi
6. Peran serta masyarakat dalam kesehatan untuk
menyelenggarakan usaha-usaha kesehatan.

79
e. Metode Promkes
Metode yang akan digunakan dalam promosi kesehatan
ini adalah ceramah, diskusi, simulasi dan tanya jawab
dan dilaksanakan dalam bentuk pelatihan.
f. Media Promkes
Lcd Proyektor, Laptop, Slide PPT, Video.
g. Rencana Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan pada saat kegiatan berlangsung
dengan melakukan pengamatan dan saat setelah
kegiatan berlangsung dengan memberikan pertanyaan-
pertanyaan (kuesioner) yang telah disusun sesuai
dengan tujuan penelitian. Penilaian keberhasilan
edukasi dapat dilihat dengan peningkatan pengetahuan
masyarakat terkait upaya-upaya promotif, preventif
dan kuratif. Penilaian juga dapat dilihat dengan
meningkatanya pemanfaatan layanan kesehatan
dengan indikator: capaian ASI Eksklusif meningkat,
cakupan Imunisasi meningkat, dan seterusnya.
Penilaian dilakukan dengan memanfaatkan data hasil
kegiatan Puskesmas.[]

80
DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Muhammad dan Utami T. 2016. Membangun


Paradigma Penelitian BDPB. Ponorogo: Forum Ilmiah
Kesehatan (FORIKES).

Anwar, Yesmil dan Adang. 2013. Sosiologi untu Universitas.


Bandung: Aditama.

Astuti Lia Yuliana. 2013. Tingkat pengetahuan ibu tentang


pijat bayi di BPS Suratini Soewarno Mojosonokti .
Surakarta. KTI. 2013.

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2016. Profile


Kesehatan Sulawesi Tenggara Tahun 2015.
Foster, Anderson. 1984. Antopologi Kesehatan. Jakarta: UIP.

Kuncoroningrat. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta:


Jambatan.

Munafi La Ode Abdul dan Tenri,Andi. 2014. Dinamika Tanah


Wolio. Makassar: Fahmis Pustaka.
Munafi La Ode Abdul, dkk. 2015. Kebudayaan Buton.
Makassar: Bappeda Kota Baubau Bekerjasama dengan CV
Optimal Nusa Engineering dan Penerbit Identitas
UNHAS.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku


Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu


Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

81
Permatasari,Dina. 2012. Gambaran Perilaku Masyarakat Suku
Jawa dalam Hal Pijat Bayi di Kelurahan Pinangsori
Kabupaten Tapanuli Tengah.
Prahastiwi. 2014. Budaya Ceprotan Masyarakat Desa Sekar
Kecamatan Donorojo Kabupatern Pacitan.
Purwanto S.U. 2007. Sosiologi Untuk Pemula. Yogyakarta:
Media Wacana.
Safitri, Sri Wahyu. 2016. Tradisi Dole-dole sebagai determinan
Masalah Kesehatan Ibu dan anak pada Masyarakat Buton
Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara. Skripsi FKM
UMI, tidak dipublikasikan.
S. Kalangie, Nico. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan,
Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui
Pendekatan sosialbudaya. Jakarta: Kesaint Blanc.
Sudarma, Momon. 2009. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Syahrun. Pengobatan Tradisional Orang Buton (Studi Tentang
Pandangan Masyarakat Terhadap Penyakit di Kecamatan
Betoambari Kota Bau-Bau Propinsi Sulawesi Tenggara).
Sztompka, Piort. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta:
Pernada Media Grup.

82
RIWAYAT HIDUP

Dr. Andi Asrina, SKM, M.Kes.

lahir di Bulukumba pada 3 Agustus 1974 oleh pasangan


H. A. Aofuddin (alm.) dan Hj. A. Marhumah sebagai
anak keenam dari sepuluh bersaudara.
Sejak tahun 1994 diangkat menjadi PNS di
bidang kesehatan dan bertugas di Bulukumba hingga
tahun 1997 dan pada tahun 1998 pindah tugas ke
Dinas Kesehatan Kota Makassar.
Tahun 2000 melanjutkan pendidikan tinggi ke
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Tamalatea
Makassar, selesai pada tahun 2003, tahun 2004

83
kemudian melanjutkan pendidikan Pascasarjana di
universitas Hasanuddin jurusan Kesehatan masyarakat,
selesai pada 2006.
Sejak tahun 2008 bergabung di Kopertis
Wilayah IX Sulawesi, Makassar dan menjadi dosen DPK
pada STIK Tamalatea Makassar. Pada 2010 melanjutkan
pendidikan Program Doktor (S3) dengan kekhususan
bidang Sosiologi di Universitas Negeri Makassar (UNM)
dan selesai pada tahun 2014. Juli 2014 pindah tugas
sebagai dosen DPK di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Muslim Makassar (FKM UMI) hingga
sekarang. Selama menjadi dosen DPK ,penulis
mengemban tugas pokok tridharma perguruan tinggi –
mengajar, meneliti dan mengabdi pada masyarakat.
Diantara karya ilmiah yang pernah
dipublikasikan adalah: Mutu Pelayanan PT. Askes Kota
Makassar, Perilaku Perokok Pemula (studi kasus pada
SMPN 30 makassar), Faktor-faktor yang berhubungan
dengan ketepatan sistem pencatatan dan pelaporan
Terpadu Puskesmas Di Kab.Takalar, Mutu Pelayanan PT.
ASKES pada Pasien rawat Jalan di Puskesmas
Tamalanrea, Perilaku Perokok Pemula pada Remaja
SMPN 30 Makassar, dan Keberhasilan Pengobatan TB

84
Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Tamalanrea
Kota Makassar, tahun 2011, Hubungan Pengetahuan
dan sikap terhadap Praktek Pemeriksaan VCT
(Voluntary Counseling Testing) HIV/AIDS pada Pekerja
Gedung Teknik Universitas Hasanuddin Gowa, Perilaku
Merokok Masyarakat Miskin Perkotaan di Kota
Makassar, dan beberapa penelitian lainnya.
Selain pendidikan formal, penulis juga pernah
mengikuti pendidikan dan pelatihan diantaranya:
Pelatihan Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik
Instruksional (PEKERTI), Penataran Program Pendekatan
terapan/Applied Approach (AA), Pelatihan dan
Lokakarya Penulisan Ilmiah Dosen Perguruan Tinggi,
Pelatihan Pengukuran Tes Penilaian Hasil Belajar
Pendidikan Tinggi dosen PTS Kopertis Wilayah IX
Sulawesi, Makassar, Pelatihan UKOM.[*]

85
Sukri Palutturi, SKM., M.Kes., MSc.PH,Ph.D

Kelahiran Tanatoa, 29 Mei 1972


Alamat Rumah Jl. Mappala Blok A5 No.1E Kota Makassar.
Alamat Kantor Jl. Perintis Kemerdekaan KM.12, Makassar
Alamat E-mail sukritanatoa72@gmail.com

A. Pendidikan
S1 S2 S3
Nama Universitas Univ. Hasanuddin Griffith
Perguruan Hasanuddin Makasar dan Griffith University,
Tinggi Makassar University, Australia Australia

Bidang Kesehatan Kesehatan Masyarakat Environment


Ilmu Masyarakat dan Environment and and
Population Health. Population
Health

86
B. Penelitian
Tahun Judul Peneltian

2013 Healthy Cities Implementation in Indonesia: Challenges and


determinants of Succesful partnership development at local
government.
2013 Penyusunan rencana Aksi Daerah (RAD) terhadap
percepatan Pencapaian Tujuan MDGs di Kab.Nunukan
Kerjasama LP2M Unhas
2014 Penelitian Partnership Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kota
terhadap Implementasi Healthy Cities di Indonesia

2014 Monitoring dan Evaluasi Program JKN di Indonesia


Kerjasama WHO Indonesia dan Public Health Research
Center FKM Unhas
2014 Evaluasi Pelaksanaan MDGs di Kab. Kepulauan Selayar

2014 Tim Penyusun Rancangan Perda tentang Sistem Kesehatan


Kota (SKK) Kota Makassar
2011 Penelitian Analisis Pemetaan Tarif Pelayanan Kesehatan
berdasarkan Kemempuan dan Kemauan Membayar (Ability
and Willingness to Pay) Pasien Rawat Inap RSUD Kabupaten
Mamuju

C. Penulisan Artikel Jurnal Ilmiah


Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor/Ta Nama Jurnal
hun
Comparison Between Vol.9 (1) Januari Malaysian Journal of
Healthy Cities and 2013:35-45, Medicine and Healty
Adipura in Indonesia Science

Pentingnya Politik Vol.2 No.03,2013 Jurnal Administrasi dan


Bidang Kesehatan Kebijakan Kesehatan
Indonesia

87
D. Presenter Pada Pertemuan/Seminar Ilmiah
Nama Pertemuan/
Judul/Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
Seminar
Presenter seminar Mewujudkan penerapan FKM Unhas, 10
nasional kebijakan health cities Maret 2012
menuju kota dunia

Workshop Penyusunan Proposal PPM Auditorium


Unggulan Dikti Tahun Politeknik Negeri
2013 Makassar, tgl 17-
18 Mei 2013

Seminar Nasional Memperkuat Sistem Politik Hotel Clarion, 18


dan Kebijakan Pembiayaan Januari 2014
Kesehatan melalui
Implementasi SJSN

Konferensi Course On Project Univ.Udayana 20-


Internasional Management of Tobacco 24 Januari 2014
Control
Workshop Akreditasi Internasional Unhas 14-15
Program studi S1 maret 2014

Workshop Penyusunan Finalisasi Universitas


Kurikulum Baru Program Hasanuddin
Studi Kesehatan tanggal 6 Agustus
Masyarakat Fakultas 2014
Kesehatan Masyarakat

Lokakarya Lokakarya Sosialisasi Universitas


Rancangan Kurikulum Hasnuddin tanggal
Baru Berdasar KKNI 8 Juli 2014
Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas
Kesehatan Masyarakat.
Konferensi Partnership Challenges and Unhas 11 April
Internasional needs in the 2015
implementation of healthy
cities in Indonesia

88
Konferensi Healthy cities: concept and Unhas, 11 April
Internasional success factors 2015
Konferensi Global trennds in academic 20-25 April 2015
Internasional research Kuala Lumpur

E. Pengalaman Penulisan Buku


Judul Buku Tahun Penerbit
Kesehatan itu Politik 2014 e-Media Solusindo, Semarang

Public Health 2014 Pustaka Pelajar,Yogyakarta


Leadership

-------***---------

89
Dr. Andi Tenri, M.Si.

Lahir di Parepare 31 Desember 1965 oleh


pasangan Andi Machmud Sessu (almarhum) dan Hj.
Sitti Khadijah sebagai anak pertama dari empat
bersaudara. Menamatkan pendidikan S1 di IKIP Ujung
Pandang 1990, S2 di Universitas Padjadjaran 1998, dan
S3 di Universitas Negeri Makassar 2011.
Sejak 1991 diangkat sebagai dosen Kopertis Wil. IX
dipekerjakan pada Universitas Dayanu Ikhsanuddin
(Unidayan) Baubau. Kini berpangkat akademik Lektor
Kepala Golongan IV/c. Selama di Unidayan, selain
mengembang tugas pokok tridarma perguruan tinggi,
juga diberi kepercayaan memangku jabatan struktural,
mulai dari ketua jurusan, pembantu dekan, asisten
direktur, kepala biro akademik, hingga pembantu
rektor. Sekarang dosen tetap Program Pascasarjana

90
Unidayan. Jabatan struktural Wakil Rektor Bidang
Kemahasiswaan dan Alumni (2015-2019).
Karya ilmiah berupa jurnal nasional dan
internasional yang telah dipublikasikan antara lain:
Transformasi Mentalitas: Kognisi Adab-Karsa Menjawab
Tantangan Krisis (PROSPEK Kopertis Wil. IX, 2004);
Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural
(PREDESTINASI, UNM, 2008); Merantau Keluar Negeri:
Perubahan Sosial pada Komunitas Desa Pantai di
Wakatobi (PREDESTINASI, UNM, 2008); Peranan Sultan
dalam Pengembangan Tradisi Tulis di Kesultanan Buton
(JUMANTARA, PNRI, 2012); Ramai-ramai Melawan
Negara: Dramaturgi Sehari-hari di Balik Interaksi
Pengelolaan Hutan (PROSIDING, ISI-USM, Surakarta
2013); Dinamika Hubungan Patron-Klien dalam
Transformasi Masyarakat Maritim di Buton
(PROSIDING, KNS II APSSI, Makassar, 2013);
Transformasi Sosiokultural: Studi Berbasis Pemetaan Isu
Mutakhir Sosiologi (PROSIDING, KNS IV & Kongres
APSSI II, Manado, 2015); Social Changes in Peasant
Community Due to Gold Mine (Scientific Journal of PPI-
UKM, Vol. 3, 2016); Timber Theft in Forest as the Form
of Daily Resistence of Kontu Community of Muna

91
District of South East Sulawesi Province (International
Journal of Humanities and Cultural Studies-IJHCS,
Special Issue, 2016); Strategi Adaptasi Nelayan dan
Perkembangan Modernisasi Perikanan di Kota Baubau
(DIMENSI, FISIB UTM, 2016).
Menulis beberapa buku antara lain: Perlawanan
terhadap Negara; Dramaturgi Sehari-hari di Balik
Pengelolaan Hutan (Orbit Publishing, Jakarta, 2012);
Dinamika Tanah Wolio; Sejarah, Kontinuitas, dan
Perubahan (Fahmis Pustaka, Makassar, 2014); dan
Kebudayaan Buton (Bappeda Baubau-Optimal Nusa
Engineering-Identitas Unhas, 2015).
Telah banyak mengikuti pendidikan dan pelatihan
terkait peningkatan profesionalitas dosen dan peneliti.
Diantaranya achievement motivation training,
penataran metodologi penelitian, lokakarya penulisan
ilmiah dosen; lokakarya pengukuran tes penilaian hasil
belajar pendidikan tinggi, PEKERTI, program Applied
Approach (AA). Juga pernah mengikuti Sandwich
Programme di Universitas Newcastle, Australia
(2008/2009). Aktif mengikuti seminar dan konferensi
ilmiah baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

92
Pengalaman sebagai anggota organisasi profesi dan
kemasyarakatan diantaranya: pengurus Masyarakat
Sejarawan Indonesia Sulawesi Tenggara; Anggota
Panitia Panwaslu Kabupaten Buton (1999); Ketua
Forum Lintas Pelaku Kabupaten Buton (1999-2001);
Dewan Pakar ICMI Kota Baubau (2000-sekarang);
Ketua KKSS Kota Baubau (2002-2006); Dewan
Penasehat HIPMI Kota Baubau (2002-2012); Ketua
Panwaslu Kota Baubau (2003-2004), anggota Ikatan
Sosiologi Indonesia (2012-sekarang).
Memperoleh penghargaan Satyalencana Karya
Satya 10 Tahun (2008) dan Satyalencana Karya Satya
20 Tahun (2012). Memperoleh penghargaan sebagai
lulusan terbaik tingkat doktoral pada Program
Pascasarjana UNM (2011).
Alamat Jalan Sapati Manjawari 09 Baubau, HP
085608561965/081355351965, dan email:
anditmach65@gmail.com.

-------***---------

93

Anda mungkin juga menyukai