Skandal Enron yang muncul pada bulan Oktober 2001 adalah sebuah skandal besar
yang menyebabkan kebangkrutan Perusahaan energi Enron, yang berbasis di Houston, Texas.
Skandal menyeret Lembaga audit dan akuntansi Arthur Andersen sehingga harus dibubarkan.
Enron merupakan hasil dari merger dua perusahaan gas alam, Houston Natural Gas dan
InterNorth. Merger ini dilakukan oleh pembisnis Kenneth Lay pada tahun 1985. Pada awal tahun
1990-an, Lay menginisiasi penentuan harga pasar untuk listrik serta mendorong kongres
Amerika Serikat melakukan deregulasi terkait penjualan gas alam. Hal ini memungkinkan Enron
untuk menjual energi dengan harga yang lebih tinggi sehingga berpengaruh positif terhadap
keuntungan Perusahaan.
Kesuksesan ini menempatkan Enron sebagai produsen gas alam terbesar di Amerika
Utara sejak 1992 dengan memiliki kontrak senilai 122 juta dollar Amerika Serikat. Dalam
perkembangan usahanya, Enron melakukan strategi diversifikasi dengan merambah bisnis
pembangkit tenaga listrik, parbrik pulp dan kertas, pengolahan air bersih, dan
layanan broadband di seluruh dunia. Termasuk juga mendirikan pembangkit tenaga listrik di
negara lain seperti di Filipina, Indonesia, dan India.
Kombinasi dari sekian banyak isu ini kemudian menyebabkan kebangkrutan Enron. Di
samping itu Enron menerapkan praktik akuntansi yang dikenal sebagai mark-to-market
accounting dimana pencatatan aset didasarkan pada nilai pasar bukan pada nilai bukunya..
Praktik akuntansi ini juga memungkinkan Enron melaporkan profit berdasarkan proyeksi bisnis
bukan berdasar profit sebenarnya.
Pada tanggal 20 September 2000, The Wall Street Journal memuat sebuah tulisan yang
menyoroti praktik akuntansi mark-to-market terutama di sektor energi. Membaca berita tersebut,
Jim Chanos - seorang spekulan saham - kemudian meneliti form 10-K (laporan tahunan
perusahaan publik di AS kepada Security Exchange Commision) dan melihat laporan tersebut
tidak masuk akal. Saat itu Enron melaporkan lini bisnis broadband-nya tumbuh cepat justru di
tengah permasalahan yang tengah menimpa bisnis ini. Chanos juga memperhatikan bahwa
saham Enron mulai dilepas dalam jumlah besar.
Sebuah artikel di majalah Fortune berjudul Is Enron Overpriced? yang ditulis oleh
Bethany McLean juga mempertanyakan bagaimana Enron mampu mempertahankan harga
sahamnya, yang diperdagangkan senilai 55 kali dari nilai penghasilannya. McLean berpendapat
bahwa analis dan investor Enron tidak sepenuhnya memahami bagaimana cara Enron meraih
keuntungan. Berdasar informasi dari Chanos, McLean kemudian juga meneliti formulir 10-K
Enron dan menemukan transaksi-transaksi aneh, arus kas yang tidak stabil, serta hutang yang
besar. Hutang yang besar terutama menjadi perhatian McLean karena bagaimana mungkin
sebuah perusahaan dengan profitabilitas yang baik justru menambah hutangnya dalam skala
yang cepat.
Pada akhir 1990-an, saham Enron diperdagangkan dengan harga antara $80–90 per
lembar dan sedikit sekali yang mempertanyakan ketidakjelasan pelaporan kinerja keuangan
perusahaan ini. Pada pertengahan Juli 2001, Enron melaporkan penghasilan senilai $50.1 miliar,
hampir tiga kali lipat dari penghasilan tahun sebelumnya, tetapi meski begitu margin profit
perusahaan masih tetap berkisar pada angka 2.1%, dan harga saham perusahaan turun hingga
lebih dari 30% dibandingkan harga pada kuartal yang sama tahun 2000.
Pada tanggal 14 Agustus, Skilling mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi CEO
Enron setelah berada di posisi tersebut hanya enam bulan. Skilling menyebutkan alasan pribadi
sebagai dasar pengunduran dirinya tersebut. Namun, pengamat memperhatikan bahwa
beberapa bulan sebelum pengunduran diri tersebut, Skilling telah menjual 450.000 lembar
saham Enron miliknya senilai $33 juta. Meski begitu, Kenneth Lay yang menjabat sebagai
chairman Enron memastikan bahwa tidak ada permasalahan di dalam kinerja perusahaan di
balik pengunduran diri Skilling. Lay kemudian mengambil alih peran sebagai CEO.