Anda di halaman 1dari 25

PENGEMBANGAN WISATA PANTAI LAWATA DALAM PENGEMBANGAN

WILAYAH DI KOTA BIMA

Urgensi:
Pengembangan wisata pantai Lawata dalam pengembangan wilayah di Kota Bima memiliki
urgensi yang signifikan karena banyak alasan sebagai berikut:

1. Peningkatan Ekonomi Lokal: Wisata pantai Lawata dapat menjadi sumber pendapatan
bagi masyarakat setempat. Dengan meningkatnya jumlah wisatawan, akan tercipta
peluang usaha baru, seperti penginapan, restoran, toko suvenir, dan layanan transportasi.
Hal ini akan memberikan dampak positif pada pendapatan masyarakat dan pertumbuhan
ekonomi lokal.

2. Penciptaan Lapangan Kerja: Pengembangan wisata pantai akan menciptakan lapangan


kerja langsung dan tidak langsung. Ini akan membantu mengurangi tingkat pengangguran
dan meningkatkan kesejahteraan penduduk.

3. Promosi Daerah: Wisata pantai Lawata yang berkualitas dan terkelola dengan baik
dapat meningkatkan citra dan promosi Kota Bima. Ini dapat menarik lebih banyak
wisatawan dan investasi ke wilayah tersebut.

4. Pengembangan Infrastruktur: Pengembangan wisata pantai sering kali memerlukan


perbaikan dan pengembangan infrastruktur seperti jalan, sanitasi, dan fasilitas umum. Ini
akan memberikan manfaat jangka panjang bagi warga setempat.

5. Konservasi Alam: Melalui pengembangan wisata yang berkelanjutan, dapat diterapkan


praktik-praktik konservasi alam. Ini akan membantu dalam pelestarian keanekaragaman
hayati dan lingkungan alam pantai Lawata.

6. Pendapatan Pajak: Peningkatan aktivitas ekonomi di sekitar wisata pantai akan


meningkatkan pendapatan pajak bagi pemerintah daerah. Pendapatan ini dapat digunakan
untuk pembangunan dan layanan publik.

7. Pemberdayaan Masyarakat Lokal: Pengembangan wisata pantai Lawata dapat


memberdayakan masyarakat lokal dengan melibatkan mereka dalam manajemen dan
pemasaran wisata. Hal ini dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dan memastikan
keberlanjutan pengembangan.

8. Pengembangan Budaya dan Pendidikan: Wisata juga dapat menjadi sarana untuk
mempromosikan budaya lokal dan pendidikan. Ini akan meningkatkan pemahaman dan
penghormatan terhadap budaya dan sejarah setempat.
9. Pendapatan Devisa: Wisatawan internasional yang berkunjung ke pantai Lawata dapat
memberikan pendapatan devisa bagi negara, yang dapat digunakan untuk berbagai
kepentingan nasional.

1.1 Latar Belakang


Pariwisata merupakan salah satu kegiatan industri pelayanan dan jasa yang menjadi
andalan Indonesia dalam rangka meningkatkan devisa negara disektor non migas. Adanya
krisis ekonomi, sektor pariwisata diharapkan menjadi sumber pertumbuhan yang paling
cepat, dikarenakan infrastruktur kepariwisataan tidaklah mengalami kerusakan, hanya saja
faktor keamanan yang menyebabkan wisatawan mancanegara mengurungkan kepergiannya
ke Indonesia (Hakim, 2012). Walaupun penghasilan seringkali lebih dikaitkan dengan jumlah
wisatawan mancanegara, karena menghasilkan devisa, namun wisatawan nusantara sangat
mempengaruhi kegiatan kepariwisataan, termasuk hotel, restoran maupun industri
cinderamata. Selain menghasilkan pendapatan bagi negara, pengembangan obyek wisata juga
untuk menciptakan lapangan kerja baru (Darmasih, 2020).
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 yang menjadi landasan berlangsungnya sistem
desentralisasi, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah berlangsung sejak 1 Januari
2001 yang dilaksanakan di seluruh daerah di Indonesia. Dengan adanya otonomi daerah
pemerintah pusat harus memberikan pembagian kekuasaan kepada daerah untuk mengelola
sumber daya sehingga ada tanggung jawab dari pemerintah daerah untuk mengelolanya
secara efisien dan efektif yang nantinya akan menjadi sumber daerah dalam penerimaan
Pendapatan Asli Daerah untuk memenuhi kebutuhannya (Mahardika, 2018). Hakekat
otonomi daerah adalah adanya hak penuh untuk mengurus dan melaksanakan sendiri apa
yang menjadi bagian atau kewenangannya, oleh sebab itu otonomi daerah yang ideal adalah
membutuhkan keleluasaan dalam segala hal. Dengan begitu maka daerah berkewajiban untuk
mengelola potensi daerah dalam rangka pencapaian tujuan peletakan kewenangan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah tersebut (Ginting,2014).
Sebagai sebuah kota yang baru terbentuk di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bima
awalnya merupakan kota administratif. Terbentuk pada tanggal 10 April 2002 melalui
Undang-undang tentang Kota Bima Nomor 13 Tahun 2002 , Kota Bima juga merupakan
salah satu daerah yang diberikan wewenang oleh pemerintah pusat untuk mengelola dan
memanfaatkan sumber daya daerahnya sendiri.
Konsekuensi yang besar ditanggung pemerintah Kota Bima dalam menjalankan fungsi
pemerintahannya, fungsi pemerintahan itu antara lain fungsi pelayanan masyarakat (public
service function), fungsi pelaksanaan pembangunan (development function), dan fungsi
perlindungan kepada masyarakat (protective function) (Widjojanto, 2016). Untuk
melaksanakan ketiga fungsi pemerintahan tersebut tentunya memerlukan dana yang tidak
sedikit, dalam situasi ini daerah pasti berusaha menggali dan memajukan potensi yang ada
dalam daerahnya guna memakmurkan daerah dan masyarakat setempat mengingat saat ini
sudah menjadi otoritas daerah itu untuk mengatur dan membangun daerahnya.
Pemerintah Daerah Kota Bima dihadapkan dengan dua masalah sekaligus, yang
pertama adalah kenyataan bahwa pembiayaan untuk menjalankan pemerintahan agar dapat
melaksanakan fungsinya dengan baik sangat besar, di sisi lain daerah tersebut merupakan
daerah yang minim sumber daya alam (Imaduddin, 2017). Sehingga pemerintah daerah
dalam hal ini pemerintah Kota Bima harus dapat mengembangkan sumber daya yang ada
dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kota Bima. Untuk merealisasikan tujuan
tersebut banyak usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bima dalam mengembangkan
sektor-sektor unggulan yang mampu 4 memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan
warga masyarakat di Kota Bima. Salah satu yang dikembangkan oleh pemerintah adalah
sektor pariwisata dimana salah satunya adalah obyek wisata alam (Adnan, 2022). Dari
banyaknya wisata alam di Bima, ada beberapa obyek daya tarik wisata yang cukup dikenal
dan diperkenalkan sebagai obyek daya tarik wisata alam Kota Bima salah satunya adalah
Pantai Lawata.
Pantai Lawata merupakan salah satu kawasan wisata alam pantai yang terdapat di Kota
Bima dan sudah sejak tahun 1961 Pantai Lawata menjadi sebuah obyek wisata atau tempat
piknik bagi masyarakat Bima (Imaduddin, 2017). Pantai Lawata terletak di Kelurahan
Sambinae dengan jarak 5 km dari pusat Pemerintahan kota Bima. Di Pantai Lawata terdapat
bukit-bukit kecil yang memiliki dua buah gua kecil, dengan panorama alam yang indah serta
pantainya sangat jernih sebagai tempat yang bagus untuk olahraga air atau sebagai tempat
permandian air laut. Lawata ibarat sebuah gerbang selamat datang, memberi isyarat bahwa
perjalanan akan segera memasuki Kota Bima. Panjang pantai kira-kira setengah kilometer
yang dikelilingi perbukitan yang indah. Di bawah bukit berbatu terdapat 6 sebuah goa
peninggalan Jepang. Dahulu tempat ini merupakan tempat peristrahatan bagi para bangsawan
Bima dan kemudian menjadi tempat rekreasi andalan masyarakat yang selalu ramai
dikunjungi (Syamsudin, 2017).
Pemerintah Kota Bima terus membenahi Pantai Lawata untuk menjadi salah satu obyek
wisata pantai andalan di kota Bima dengan membangun berbagai sarana dan prasarana wisata
seperti rumah makan terapung, perlengkapan berenang, panggung hiburan rakyat serta
sederetan penataan lainnya (Syuryati, 2021). Sarana pariwisata Lawata Beach Hotel
Restaurant and Swimming Pool telah dibangun sejak dulu. Tempat ini dulu menjadi hotel
yang selalu ramai dikunjungi wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Pantai Lawata adalah pantai yang dikelola oleh pemerintah Kota Bima dan bekerjasama
dengan pihak ketiga. Namun setelah kontrak kerja sama pemerintah Kota Bima dan pihak
ketiga diputuskan sekarang keberadaan sarana dan prasarana pariwisata tersebut sangat
memprihatinkan karena sudah ditinggalkan oleh pengelolanya. Bangunan yang rusak dan
tidak terawat tersebut memberikan kesan kumuh bagi Pantai Lawata yang sangat indah.
Pantai Lawata adalah pantai yang dikelola oleh pemerintah Kota Bima dan bekerjasama
dengan pihak ketiga. Namun setelah kontrak kerja sama pemerintah Kota Bima dan pihak
ketiga diputuskan sekarang keberadaan sarana dan prasarana pariwisata tersebut sangat
memprihatinkan karena sudah ditinggalkan oleh pengelolanya. Bangunan yang rusak dan
tidak terawat tersebut memberikan kesan kumuh bagi Pantai Lawata yang sangat indah.
Menurut Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bima, Pantai Lawata kini sudah dibuatkan
master plan dan sudah ada investor baru yang akan membangun berbagai sarana pariwisata di
sana. Bangunan bekas hotel akan dipugar menjadi tempat rekreasi yang menarik dan nyaman
bagi pengunjung.
Fasilitas pariwisata yang ada di Pantai Lawata berupa shelter dan panggung hiburan
yang akan menampilkan berbagai macam hiburan dan kesenian rakyat. Di areal sekitar Pantai
Lawata, di atas bukit yang menghadap ke arah pantai juga telah dibangun rumah makan dan
tempat lesehan yang menyajikan berbagai makanan daerah Bima (Nurmelani, 2008).
Pemandangan Pantai Lawata menarik untuk dikembangkan. Pantai yang asri dengan airnya
yang tenang sangat cocok untuk olah raga air.
Panorama keindahan Teluk Bima yang tenang terlihat jelas jika berdiri di atas bukit
Pantai Lawata. Memandang ke arah barat daya terlihat Pulau Kambing dan Pelabuhan Bima.
Di sebelah utara, hamparan pohon kelapa dari perkebunan penduduk, bukit yang menjulang,
dan keindahan taman kota Ama Hami menambah daya tarik Pantai Lawata. Tempat ini
sangat ideal untuk dikembangkan wisata bahari karena air lautnya tenang. Jenis atraksi yang
bisa dikembangkan antara lain memancing, menyelam, berperahu, berselancar, dan berlayar
menuju Pulau Kambing, Desa Kolo, dan Wadu Pa,a (batu pahat yang menjadi situs
peninggalan pemujaan agama Budha di Desa Sowa Kabupaten Bima).
1.2 Identifikasi Masalah
Dari beberapa uraian yang dikemukakan pada latar belakang, maka dapat diidentifikasi
masalah-masalah sebagai berikut :
1. Terdapat mobilitas sosial masyarakat sekitar, dimana masyarakat banyak yang bekerja
atau berjualan di kawasan Wisata Pantai Lawata
2. Kurangnya infrastruktur pendukung Wisata Pantai Lawata
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang telah dibatasi, maka rumusan masalah adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana daya tarik wisata yang ada di Objek Wisata Pantai Lawata dalam
pengembangan pariwisata di Kota Bima?
2. Bagaimana pengembangan Objek Wisata Pantai Lawata dalam pengembangan wilayah di
Kota Bima?
1.4 Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui daya tarik wisata yang ada di Objek Wisata Pantai Lawata dalam
pengembangan pariwisata di Kota Bima.
2. Untuk mengetahui pengembangan Objek Wisata Pantai Lawata dalam pengembangan
wilayah di Kota Bima.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat yang secara umum yaitu:
1. Sebagai ilmu pengetahuan dalam rangka pengembangan dan penyelesaian berbagai
masalah kepariwisataan.
2. Sebagai bahan bacaan, referensi maupun penelitian lebih lanjut bagi mahasiswa ataupun
pihak lain yang tertarik pada penelitian tentang pengembangan wisata.
1.6 Ruang Lingkup
1.6.1 Lingkup Wilayah
Pantai lawata terletak di kelurahan sambinae Kecamatan Mpunda, dengan jarak 5 km
dari pusat Balai Kota Bima. Pantai lawata memiliki bukit kecil dengan dua buah gua
kecil, panorama alam yang indah dan pantai yang sangat jernih cocok untuk olahraga
air dan berenang. Pantai ini memiliki panjang sekitar 0,5 km. Adapun batas-batasnya
adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kelurahan Sadia


Sebelah Timur : Kelurahan Mpanggi
Sebelah Selatan : Kelurahan Wadu Mbolo
Sebelah Barat : Teluk Bima

1.6.2 Lingkup Materi


Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan dari penelitian ini, maka lingkup
pembahasan dalam ppenelitian ini dibatasi pada bentuk pengembangan Objek Wisata
Pantai Lawata terhadap pengembangan wilayah di Kota Bima.
1.7 Sistematika Penulisan
Secara garis besar pembahasan pada penelitian ini terbagi dalam beberapa bagian,
antara lain :
BAB I Pendahuluan, menguraikan latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat, ruang lingkup, sistematika penulisan dan kerangka berpikir
BAB II Tinjauan Pustaka, menjelaskan mengenai pariwisata dan pengembangan wilayah,
potensi wisata,
BAB III Metode Penelitian, menguraikan tentang lokasi dan waktu penelitian, jenis dan
sumber data, metode pengumpulan data, variabel penelitian, metode analisis data yang
digunakan.
1.8 Kerangka Berpikir

Pengembangan Objek
Wisata Pantai Lawata

Daya Tarik Objek Bentuk Pengembangan


Wisata Pantai Lawata Objek Wisata Pantai
Lawata

Atraksi Aksesibilitas Amenitas Ancillary Ekonomi

Lingkungan

Masyarakat

Pengembangan Wisata
Pantai Lawata Dalam
Pengembangan
Wilayah Di Kota Bima
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terminologi Judul
Penelitian ini berjudul Pengembangan Wisata Pantai Lawata Dalam Pengembangan
Wilayah Di Kota Bima dengan terminologi sebagai berikut:

Pengembangan : Adalah proses mengembangkan sesuat (KBBI)


Wisata : Adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi
tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan
pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata
yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara (Surur,
2020)
Pantai : batas pertemuan darat dan laut
yaitu batas pasang surur air laut.(Sugandi, 2011)
Wilayah : Wilayah merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek
fungsional (KBBI)
2.2 Tinjauan Teori
2.2.1 Pengertian Pariwisata
Istilah pariwisata (tourism) baru muncul di masyarakat kira-kira pada abad ke-
18, khususnya sesudah Revolusi Industri di Inggris. Istilah pariwisata berasal dari
dilaksanakannya kegiatan wisata (tour), yaitu suatu aktivitas perubahan tempat tinggal
sementara dari seseorang, diluar tempat tinggal dengan suatu alasan apa pun selain
melakukan kegiatan yang bisa menghasilkan upah atau gaji. Pariwisata adalah
aktivitas, pelayanan dan produk hasil industri pariwisata yang mampu menciptakan
pengalaman perjalanan bagi wisatawan (Muljadi, 2009:7).
Pariwisata merupakan salah satu dasar kebutuhan manusia. Sebagai kebutuhan
dasar manusia, pariwisata akan memenuhi kebutuhan manusia untuk berlibur dan
berekreasi, kebutuhan pendidikan dan penelitian, kebutuhan keagamaan, kebutuhan
kesehatan jasmani dan ruhani, minat terhadap kebudayaan dan kesenian, kepentingan
keamanan, kepentingan politik, dan hal-hal yang bersifat komersialisasi yang
membantu kehidupan ekonomi masyarakat. Pariwisata dilakukan baik secara
individual, keluarga, kelompok, dan paguyuban organisasi sosial.
Arti pariwisata belum banyak diungkapkan oleh para ahli bahasa dan
pariwisata Indonesia. Kata pariwisata berasal dari dua suku kata yaitu pari dan wisata.
Pari berarti banyak, berkali-kali dan berputar-putar, sedangkan wisata berarti
perjalanan atau berpergian. Jadi pariwisata berarti perjalanan atau berpergian yang
dilakukan secara berkali-kali atau berkeliling. Pariwisata adalah padanan bahasa
Indonesia untuk istilah tourism dalam bahasa Inggris (Muljadi, 2009:8).
Selain itu, Hunziker dan Kraft mendefenisikan pariwisata sebagai keseluruhan
hubungan dan gejala-gejala yang timbul dari adanya orang asing dan perjalannya itu
tidak bertempat inggal menetap dan tidak ada hubungan dengan kegiatan untuk
mencari nafkah. Menurut Instruksi Presiden Nomor 19 Tahun 1969 kepariwisataan
adalah merupakan kegiatan jasa yang memanfaatkan kekayaan alam dan lingkungan
hidup yang khas, seperti hasil budaya, peninggalan sejarah, pemandangan alam yang
indah dan iklim yang nyaman (Muljadi, 2009:9).
Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan,
pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk
pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dibidang ini.
Sedangkan pengertian pariwisata menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2009 adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta
layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah
daerah.
Menurut E. Guyer-Freuler (Suwandi, 2006:34) bahwasanya pariwisata dalam
arti modern adalah merupakan gejala zaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan
akan kesehatan dan pergantian hawa, penilaian yang sadar dan menumbuh terhadap
keindahan alam, kesenangan dan kenikmatan alam semesta, dan pada khususnya
disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas dalam masyarakat
sebagai hasil perkembangan perniagaan, industri dan perdagangan serta
penyempurnaan alat-alat pengangkutan. Menurut Hunziker dan Krapf bahwa
pariwisata adalah sejumlah hubungan-hubungan dan gejala-gejala yang dihasilkan dari
tinggalnya orang-orang asing, asalkan tinggalnya mereka itu tidak menyebabkan
timbulnya tempat tinggal serta usaha-usaha yang bersifat sementara atau permanen
sebagai usaha mencari kerja penuh.
Suwantoro (Anastasia, 2014:34) mendefinisikan istilah pariwisata, yaitu suatu
perubahan tempat tinggal sementara seseorang diluar tempat tinggalnya karena suatu
alasan dan bukan untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan upah. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih
dengan tujuan antara lain untuk mendapatkan kenikmatan dan memenuhi hasrat ingin
mengetahui sesuatu. Dapat juga karena kepentingan yang berhubungan dengan
kegiatan olahraga untuk kesehatan, konvensi, keagamaan, dan keperluan usaha
lainnya.
Sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh setiap daerah, maka timbul lah
berbagai bentuk dan jenis pariwisata yang dapat digunakan untuk keperluan
perencanaan dan pengembangan pariwisata suatu daerah. Bentuk pariwisata (Suwandi,
2006:36) dibagi menjadi 5 kategori yaitu menurut asal wisatawan, menurut akibatnya
terhadap neraca pembayaran, menurut jangka waktu, menurut jumlah wisatawan dan
alat angkut yang digunakan.
1. Menurut asal wisatawan
Terdiri dari dua, yaitu pariwisata domestik dan pariwisata internasional.
Pariwisata domestik adalah wisatawan yang pindah tempat sementara di dalam
lingkungan wilayah negerinya sendiri, sedangkan pariwisata internasional adalah
wisatawan yang datang dari luar negeri.

2. Menurut akibatnya terhadap neraca pembayaran


Terbagi menjadi dua, yaitu pariwisata aktif dan pariwisata pasif. Pariwisata
aktif adalah wisatawan yang datang dari luar negeri ke suatu tujuan wisata,
sedangkan pariwisata pasif adalah wisatawan yang keluar dari negerinya sehingga
ia memberikan dampak terhadap neraca pembayaran.
3. Menurut jangka waktu
Terdiri dari dua, yaitu pariwisata jangka pendek dan pariwisata jangka
panjang. Waktu yang digunakan untuk mengukur lamanya ia tinggal di tempat
atau negara yang bersangkutan tergantung pada ketentuan masing- masing negara.
4. Menurut jumlah wisatawan
Terdiri dari pariwisata tunggal dan pariwisata rombongan. Pariwisata
tunggal adalah wisatawan yang datang sendiri ke obyek atau suatu tempat,
sedangkan pariwisata rombongan adalah pariwisata yang dilakukan secara
bersama-sama.
5. Menurut alat angkut yang digunakan
Dilihat dari segi alat angkut yang digunakan oleh wisatawan, maka kategori
ini dibagi menjadi pariwisata laut, kereta api dan mobil.
Ditinjau dari segi ekonomi, pembagian kategori bentuk-bentuk pariwisata
dengan istilah-istilah tersebut sangat penting, karena klasifikasi tersebut akan
berguna untuk menyusun statistik kepariwisataan dan untuk perhitungan pendapatan
industri pariwisata. Selain berdasarkan bentuk, pariwisata perlu diklasifikasikan
berdasarkan jenisnya. Hal ini diperlukan untuk menyusun data- data penelitian dan
peninjauan yang lebih akurat di bidang pariwisata, sehingga pembangunan pariwisata
dapat dilakukan secara optimal. Suwandi (2006:37) mengemukakan jenis-jenis
pariwisata yang terbagi menjadi pariwisata budaya, kesehatan, olah raga, komersial,
industri, politik, konvensi, sosial, pertanian, maritim (bahari), cagar alam, buru,
pilgrim, wisata bulan madu dan wisata petualangan.
1. Wisata Budaya
Wisata budaya yaitu perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan
untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan
kunjungan atau peninjauan ke tempat lain atau ke luar negeri, mempelajari
keadaan rakyat, kabiasaan dan adat istiadat, cara hidup, budaya dan seni di
daerah tujuan wisata. Jenis wisata ini paling populer di Indonesia karena
wisatawan yang datang dari luar negeri ke Indonesia ingin mengetahui
kebudayaan, kesenian, adat istiadat dan kehidupan seni Indonesia.
2. Wisata Kesehatan
Wisata kesehatan yaitu perjalanan wisatawan dengan tujuan untuk
menukar keadaan dan lingkungan tempat sehari-hari di mana ia tinggal demi
kepentingan beristirahat secara jasmani dan rohani dengan mengunjungi tempat
peristirahatan seperti mata air panas yang dapat menyembuhkan, ke suatu tempat
yang beriklim menyehatkan dan sebagainya.
3. Wisata Olahraga
Wisata olahraga yaitu perjalanan yang dilakukan dengan tujuan berolah
raga, mengikuti atau menyaksikan pesta olahraga ke suatu negara misalnya
Asian Games, Olympiade, berburu, memancing, berenang dan sebagainya.
4. Wisata Komersial
Wisata komersial yaitu perjalanan yang dilakukan dengan maksud untuk
mengunjungi pameran-pameran dan pekan raya yang bersifat komersial seperti
pameran industri, pameran dagang dan sebagainya. 5) Wisata Industri Wisata
industri yaitu perjalanan yang dilakukan ke suatu daerah perindustrian dengan
tujuan untuk mengadakan penelitian atau peninjauan.
5. Wisata Politik
Wisata politik yaitu perjalanan yang dilakukan untuk mengunjungi atau
mengambil bagian aktif dalam kegiatan politik seperti ulang tahun 33 perayaan
17 Agustus di Jakarta, perayaan 10 Oktober di Moskow, maupun kegiatan
politik seperti konferensi, musyawarah, kongres atau konvensi politik yang
selalu disertai dengan darma wisata.
6. Wisata Konvensi
Wisata konvensi yaitu perjalanan yang dilakukan untuk mengikuti suatu
pertemuan seperti konferensi, musyawarah, konvensi dan lain-lain baik yang
bersifat nasional maupun internasional.
7. Wisata Sosial
Wisata sosial yaitu pengorganisasian suatu perjalanan murah serta mudah
untuk memberi kesempatan kepada golongan masyarakat ekonomi lemah untuk
mengadakan perjalanan seperti kaum buruh, pemuda, pelajar, mahasiswa dan
sebagainya.
8. Wisata Pertanian
Wisata pertanian yaitu perjalanan ke suatu proyek-proyek pertanian,
perkebunan, ladang pembibitan dan sebagainya untuk tujuan studi maupun
rekreasi.
9. Wisata Maritim (bahari)
Jenis wisata ini banyak dikaitkan dengan kegiatan olah raga air seperti
memancing, berlayar, menyelam dan sebagainya untuk memperoleh suatu
kesenangan. Jenis wisata ini disebut juga dengan wisata tirta.
10. Wisata Cagar Alam
Wisata cagar alam yaitu perjalanan yang dilakukan ke tempat cagar alam,
taman lindung, hutan di daerah pegunungan dan sebagainya yang kelestariannya
dilindungi oleh undang-undang. Jenis wisata ini banyak dikaitkan dengan
kegemaran akan keindahan alam, kesegaran udara pegunungan, keajaiban hidup
binatang maupun tumbuhan yang jarang terdapat di tempat lain.
11. Wisata Buru
Wisata buru yaitu jenis wisata yang dilakukan di suatu daerah atau hutan
tempat berburu yang dibenarkan oleh pemerintah.

12. Wisata Pilgrim


Wisata pilgrim yaitu jenis wisata yang dikaitkan dengan agama, sejarah,
adat istiadat dan kepercayaan umat atau kelompok masyarakat seperti kunjungan
ke tempat-tempat suci, keramat, makam-makam yang diagungkan, tempattempat
yang mengandung legenda dan sebagainya.
13. Wisata Bulan Madu
Wisata bulan madu yaitu suatu penyelenggaraan perjalanan bagi pasangan
pengantin baru dengan fasilitas khusus.
14. Wisata petualangan
Dikenal dengan istilah Adventure Tourism, seperti masuk hutan yang
tadinya belum pernah dijelajahi yang penuh dengan binatang buas, mendaki
tebing yang sangat terjal, terjun ke dalam sungai yang sangat curam dan
sebagainya.
Jenis-jenis pariwisata tersebut bisa bertambah, tergantung pada kondisi dan
situasi perkembangan dunia kepariwisataan di suatu daerah. Hal ini berkaitan
dengan kreativitas para ahli profesional yang berkecimpung 35 dalam industri
pariwisata. Semakin kreatif dan banyak gagasan yang dimiliki, maka semakin
bertambah pula bentuk dan jenis wisata yang dapat diciptakan bagi kemajuan
industri pariwisata.
2.2.2 Pengertian Pengembangan
Pengembangan adalah suatu strategi yang digunakan untuk memajukan,
memperbaiki, dan meningkatkan kondisi suatu objek wisata dan daya tarik sehingga
dapat dikunjungi oleh para wisatawan dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat
sekitar ataupun pemerintah (Suryanti, 2021). Dengan adanya pengembangan objek
wisata tersebut, diharapkan taraf hidup masyarakat meningkat. Pengembangan suatu
tempat wisata melalui penyediaan fasilitas insfrastruktur hendaknya memperhatikan
berbagai aspek seperti aspek budaya, sejarah dan ekonomi daerah objek wisata.
Sedangkan menurut Yoeti (2008), pengembangan adalah usaha atau cara untuk
memajukan serta mengembangkan sesuatu yang sudah ada.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan
adalah sebuah kegiatan dalam rangka menata dan memajukan suatu objek wisata untuk
dikembangkan menjadi lebih baik dan lebih layak. Pengembangan objek wisata alam
sangat erat kaitannya dengan peningkatan sumber daya alam dalam konteks
pembangunan ekonomi, sehingga sering melibatkan aspek kawasan hutan, pemerintah
daerah, aspek masyarakat, dan pihak swasta di dalam suatu sistem tata ruang wilayah.
Pengembangan sebuah pariwisata sebaiknya memperhatikan prinsip dasar
pengembangan. Idealnya pengembangan suatu pariwisata berlandaskan pada 4 prinsip
dasar sebagai berikut (Yoeti, 2006) pertama adalah keberlangsungan ekologi, yaitu
sebuah pengembangan pariwisata harus mampu menjamin adanya pemeliharaan
danproteksi sumber-sumber. Kedua,keberlangsungan kehidupan dan budaya, yaitu
bahwa pengembangan pariwisata harus mampu meningkatkan peran masyarakat dalam
pengawasan tata kehidupan melalui nilai-nilai yang telah diciptakan dan dianut
bersama sebagai identitas dan kemandirian. Ketiga keberlangsungan ekonomi, yaitu
bahwa pengembangan pariwisata harus menjamin adanya kesempatan bagi semua
pihak untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi melalui suatu kompetisi yang ketat.
Keempat, memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat melalui
pemberian kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam pengembangan
kepariwisataan.
Dalam pengembangan objek wisata alam tentunya terdapat beberapa kendala,
seringkali kendala pengembangan tersebut berkaitan erat dengan instrumen kebijakan
dalam pemanfaatan dan pengembangan fungsi kawasan untuk mendukung potensi
objek wisata alam, efektivitas fungsi dan peran objek wisata alam ditinjau dari aspek
kerjasama intansi terkait, kapasitas institusi dan kemampuan SDM dalam pengelolaan
objek wisata alam kawasan hutan, dan mekanisme peran serta masyarakat dala
pengembangan pariwisata alam. oleh sebab itu untuk mengatasai kendala tersebut
diperlukan adanya beberapa elemen dalam proses pembangunan objek wisata.
2.2.2 Pariwisata Dalam Pengembangan
Wilayah Dalam era otonomi daerah, dimana daerah memiliki kewenangan
dalam merencanakan dan menyelenggarakan pembangunan maka diperlukan suatu
model pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan, kapasitas serta karakteristik
wilayah masing - masing, sehingga diperlukan upaya untuk menggali potensi daerah
sebagai dasar dalam perumusan strategi pembangunan. Menurut Tantra (2014) dalam
merencanakan dan melaksanakan pembangunan diperlukan sebuah kerangka teoritik,
yaitu paradigma berpikir yang memperhatikan ruang secara realistik. Ruang tidak
berarti fisik, tetapi juga lingkungan sosial budaya dalam arti luas. Pola dasar
pembangunan yang memperhatikan ruang (fisik dan non fisik) secara holistik yaitu
ruang sebagai kesatuan wilayah administratif, ekonomi, historis dan empiris. Dengan
demikian pola pembangunan dirumuskan berdasarkan kondisi dan potensi lingkungan
dan manusianya.
Pengembangan pariwisata merupakan bagian dari pengembangan wilayah.
Pendekatan pengembangan pariwisata dengan mendasarkan pada pandangan
keruangan, maka pengembangan pariwisata dapat dilaksanakan diantaranya dengan
beberapa teori pengembangan wilayah seperti dengan teori kutub pertumbuhan atau
dengan konsep tempat sentral (Christaller). Teori kutub pertumbuhan dari Christaller
dapat dioperasikan atas dasar tiga konsep dasar yakni:
1. konsep leading industry,
2. konsep polarization,
3. konsep spread effects.
Konsep leading industry mendasarkan pemikiran bahwa obyek wisata yang
dijadikan sebagai leading industry adalah obyek wisata yang mempunyai potensi
tinggi sehingga dengan potensi yang dimiliki dapat mempengaruhi perkembangan
obyek-obyek wisata kecil di sekitarnya.
Konsep polarisasi mendasarkan pemikiran, bahwa suatu obyek wisata dapat
berkembang kalau masing-masing obyek wisata dapat berkembang kalau
masingmasing obyek wisata tersebut mempunyai identitas yang khas. Artinya perlu
adanya diversifikasi produk-produk wisata. Konsep spread effects didasarkan pada
pemikiran, bahwa obyek wisata yang potensial perlu dilengkapi sarana-prasarana agar
dapat memacu pertumbuhan perekonomian daerah tempat obyek wisata.
Pengembangan destinasi wisata dalam kerangka pembangunan daerah memiliki
hubungan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi dalam tataran makro, serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam tataran mikro. Sehingga pengembangan
pariwisata daerah haruslah juga memperhitungkan keuntungan dan manfaat bagi
banyak pihak, terutama masyarakat lokal. Pengembangan pariwisata yang baik dapat
mendorong terbukanya peluang kerja, pengembangan produk lokal,serta kesempatan
pendidikan dan pelatihan masyarakat. Secara harafiah pengembangan diartikan
sebagai proses atau cara. Pengembangan sebagai suatu proses, cara, perbuatan
mengembangkan sesuatu menjadi lebih baik, maju sempurna dan berguna, sehingga
pengembangan merupakan suatu proses/aktivitas memajukan sesuatu yang dianggap
perlu untuk ditata sedemikian rupa dengan meremajakan atau memelihara yang sudah
berkembang agar menjadi menarik dan lebih berkembang (KBBI).
Pariwisata dikatakan sebagai katalisator dalam pembangunan, karena dampak
yang diberikannya terhadap kehidupan perekonomian di negara yang dikunjungi
wisatawan. Kedatangan wisatawan mancanegara (foreign tourists) pada suatu Daerah
Tujuan Wisata (DTW) telah memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi
penduduk setempat, di mana pariwisata itu dikembangkan (Yoeti, 2008). Menurut
Yoeti (2008), dilihat dari kacamata ekonomi makro, jelas pariwisata memberikan
dampak positif, karena sebagai suatu industri:
1. Dapat menciptakan kesempatan berusaha. Dengan datangnya wisatawan, perlu
pelayanan untuk menyediakan kebutuhan (need), keinginan (want) dan harapan
(expectation) wisatawan yang terdiri berbagai kebangsaan dan tingkah lakunya.
2. Dapat meningkatkan kesempatan kerja (employments). Bayangkan saja, bila
sebuah hotel dibangun dengan kamar sebanyak 400 kamar, paling sedikit
diperlukan karyawan 600 orang dengan ratio 1: 1,5.
3. Dapat meningkatkan pendapatan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan
masyarakat, sebagai akibat multiplier effect yang terjadi dari pengeluaran
wisatawan yang relatif cukup besar itu.
4. Dapat meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah. Seperti
kita ketahui tiap wisatawan berbelanja selalu dikenakan pajak sebesar 10 persen
sesuai Peraturan Pemerintah yang berlaku.
5. Dapat meningkatkan pendapatan nasional atau Gross Domestic Bruto (GDB).
6. Dapat mendorong peningkatan investasi dari sektor industri pariwisata dan sektor
ekonomi lainnya.
Menurut Suwantoro (2002) pengembangan adalah memajukan dan
memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Dengan demikian
pengembangan pariwisata dapat diartikan sebagai sebuah proses untuk
mengembangkan destinasi, kawasan serta usaha pariwisata menjadi lebih baik
sehingga dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, terutama bagi masyarakat.
Grady dalam Suwantoro (2002) menjelaskan bahwa kriteria pengembangan pariwisata
haruslah selalu melibatkan masyarakat lokal sehingga pengembangan yang dilakukan
memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat.
Pengembangan juga harus diarahkan agar tidak merusak nilai – nilai dalam
masyarakat, serta minimalisasi dampak melalui penyesuaian program dengan kapasitas
sosial masyarakat. Kriteria tersebut sejalan dengan konsep dasar pariwisata berbasis
masyarakat (communitybased tourism) serta pembangunan pariwisata berkelanjutan
(sustainable tourismdevelopment). Hal yang sama juga tertuang dalam kebijakan
pemerintah tentang kepariwisataan. Dalam Undang – Undang nomor 10 tahun 2009
disebutkan bahwa prinsip dasar pengembangan pariwisata agar berkelanjutan yaitu:
1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat,
3. Menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, serta melestarikan alam
lingkungan dan budaya.
Menurut Spillane (1989), dampak pariwisata terhadap suatuwilayah adalah
cukup kompleks. Untuk itu pengembangan pariwisata harus mempertimbangkan hal-
hal sebagai berikut:
1. Perencanaan pengembangan pariwisata harus menyeluruh, sehingga semua segi
pengembangan pariwisata memperhitungkan pula untung rugi apabila dibanding
dengan pembangunan sektor lain. Keuntungan yang diharapkan biasanya adalah
membuka kesempatan kerja, pendapatan masyarakat, menambah devisa negara,
merangsang pertumbuhan kebudayaan asli Indonesia dan menunjang gerak
pembangunan daerah. Sedangkan kerugian antara lain lingkungan menjadi rusak,
pariwisata beralih ke tangan asing, pencarian benda-benda kuno, berubahnya
tujuan kesenian rakyat dan upacara adat tradisional, timbulnya industri seks, dan
lain-lain.
2. Pengembangan pariwisata harus diintegrasi kedalam pola dan program
pembangunan semesta ekonomi, fisik dan sosial suatu Negara.
3. Pengembangan pariwisata dapat membawa kesejahteraan ekonomi yang tersebar
luas dalam masyarakat.Dari berbagai penjelasan, maka dapat dilihat hubungan
dalam memberikan konsep secara operasional tentang pengembangan pariwisata.
Pengembangan pariwisata yang dimaksud dalam pengembangan wisata pantai di
Kota Bima merupakan sebuah proses untuk mengarahkan kegiatan pariwisata
menjadi lebih baik, dengan berorientasi pada keberlanjutan lingkungan dan
pemberdayaan masyarakat, sehingga kegiatan pariwisata dapat memberikan
manfaat bagi sumber daya yang terkait di dalamnya.
4. Pengembangan pariwisata harus sadar “lingkungan”. Dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan ekosistem dan menjaga kelestarian lingkungan yang telah ada.
5. Pengembangan pariwisata dapat mengarahkan perubahan-perubahan sosial yang
positif.
6. Penentuan tata cara pelaksanaan harus disusun sejelas-jelasnya dengan pencatatan
(monitoring) terus menerus mengenai pengaruh pariwisata terhadap suatu
masyarakat dan lingkungan kehidupan masyarakat.
Menurut Mill dalam bukunya yang berjudul “The Tourism, International
Business” (2000, p.168-169), menyatakan bahwa : “pariwisata dapat memberikan
keuntungan bagi wisatawan maupun komunitas tuan rumah dan dapat menaikkan taraf
hidup melalui keuntungan secara ekonomi yang dibawa ke kawasan tersebut” Bila
dilakukan dengan benar dan tepat maka pariwisata dapat memaksimalkan keuntungan
dan dapat meminimalkan permasalahan. Penduduk setempat mempunyai peran yang
sangat penting dalam upaya pengembangan obyek wisata, karena penduduk setempat
mau tidak mau terlibat langsung dalam aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan
kepariwisataan di daerah tersebut, misalnya bertindak sebagai tuan rumah yang ramah,
penyelanggara atraksi wisata dan budaya khusus (tarian adat, upacara-upacara agama,
ritual, dan lain-lain), produsen cindera mata yang memiliki ke khasan dari obyek
tersebut dan turut menjaga keamanan lingkungan sekitar sehingga membuat wisatawan
yakin, tenang, aman selama mereka berada di obyek wisata tersebut. Akan tetapi
apabila suatu obyek wisata tidak dikembangkan atau ditangani dengan baik atau tidak
direncanakan dengan matang, dapat menyebabkan kerusakan baik secara lingkungan
maupun dampak-dampak negatif terhadap ekonomi maupun sosial.
Perlu dikemukakan juga bahwa dalam melihat dampak sosial budaya
pariwisata terhadap masyarakat setempat, masyarakat tidak dapat dipandang sebagai
suatu yang internally tottaly integrated enity, melainkan harus juga dilihat segmen-
segmen yang ada, atau melihat berbagai interest groups, karena dampak terhadap
kelompok sosial yang satu belum tentu sama bahkan bisa bertolak belakang dengan
dampak terhadap kelompok sosial yang lain. Demikian juga mengenai penilaian
tentang positif dan negatif, sangat sulit digeneralisasi untuk suatu masyarakat, karena
penilaian positif atau negatif tersebut sudah merupakan penilaian yang mengandung
nilai (value judgement), sedangkan nilai tersebut tidak selalu sama bagi segenap
kelompok masyarakat. Artinya, dampak positif ataupun negatif masih perlu
dipertanyakan, “positif untuk siapa dan negatif untuk siapa?” (Pitana, 1999).
2.2.3 Daya Tarik Wisata
Suwarno (2002) mengatakan bahwa daya tarik wisata adalah sesuatu yang harus ada,
karena daya tarik merupakan unsur utama produk pariwisata seperti diungkapkan.
Menurut Undang Undang No 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan menyatakan
bahwa daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut destinasi pariwisata adalah
kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di
dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas,
serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
Daya Tarik Wisata menurut Undang Undang No 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan 28 nilai
yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang
menjadi sasaran atau tujuan kunjungan.
Cooper dan Wanhil (1995) menjelaskan bahwa daerah tujuan wisata harus didukung
empat komponen utama yang dikenal dengan istilah 4A yaitu: Atraction atau atraksi
adalah objek atau daya tarik wisata yang dimiliki oleh suatu lokasi. Atraksi yang
menarik kedatangan wisatawan ada tiga yaitu potensi alam, wisata budaya dan wisata
buatan.
1. Amenities atau fasilitas
Merupakan fasilitas-fasilitas yang menunjang kegiatan pariwisata di daerah
tujuan wisata seperti akomodasi atau usaha penginapan, restoran atau usaha
makanan dan minuman serta fasilitas umum seperti toilet, toko oleh-oleh dan
lainnya.
2. Accessibility atau aksesibilitas
Merupakan kemudahan untuk bergerak bagi wisatawan, mulai dari
kemudahan jalan menuju objek wisata hingga kemudahan mencari objek wisata
tersebut.
3. Ancillary service atau pelayanan tambahan
Merupakan pelayanan yang menunjang kegiatan pariwisata seperti adanya
kelompok sadar wisata atau lembaga swasta untuk mengelola pengembangan
wisata di suatu daerah tujuan wisata, adanya TIC (Tourist Information Center)
yang memberikan informasi kepada wisatawan baik berupa brosur, buku, peta dan
lain sebagainya serta adanya pemandu wisata yang kompeten di bidangnya.
2.2.4 Pendekatan Dalam Pengembangan Pariwisata
Begitu pula halnya di bidang pariwisata, strategi awal adalah pelaksanaan
pengembangan dengan fokus kepariwisataan, perencanaan merupakan faktor yang
perlu dilakukan dan dipertimbangkan.
Menurut Inskeep (1991: 29), terdapat beberapa pendekatan yang menjadi
pertimbangan dalam melakukan perencanaan pariwisata, diantaranya :
1. Continous Incremental, dan Flexible Approach, dimana perencanaan dilihat
sebagai proses yang akan terus berlangsung didasarkan pada kebutuhan dengan
memonitor feed back yang ada.
2. System Approach, dimana pariwisata dipandang sebagai hubungan sistem dan
perlu direncanakan seperti dengan tehnik analisa sistem.
3. Comprehensive Approach, berhubungan dengan pendekatan sistem diatas, dimana
semua aspek dari pengembangan pariwisata termasuk didalamnya institusi elemen
dan lingkungan serta implikasi sosial ekonomi, sebagai pendekatan holistik.
4. Integrated Approach, berhubungan dengan pendekatan sistem dan keseluruhan
dimana pariwisata direncanakan dan dikembangkan sebagai sistem dan
keseluruhan sistem yang terintegrasi dalam seluruh rencana dan total bentuk
pengembangan pada area.
5. Environmental and sustainable development approach, pariwisata direncanakan,
dikembangkan, dan dimanajemeni dalam cara dimana sumber daya alam dan
budaya tidak mengalami penurunan kualitas dan diharapkan tetap dapat lestari
sehingga analisa daya dukung lingkungan perlu diterapkan pada pendekatan ini.
6. Community Approach, pendekatan yang didukung dan dikemukakan juga oleh
Peter Murphy (1991) menekankan pada pentingnya memaksimalkan keterlibatan
masyarakat lokal dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan
pariwisata, untuk dapat meningkatkan yang diinginkan dan kemungkinan, perlu
memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan manajemen
yang dilaksanakan dalam pariwisata dan manfaatnya terhadap sosial ekonomi.
7. Implementable Approach, kebijakan pengembangan pariwisata, rencana, dan
rekomendasi diformulasikan menjadi realistis dan dapat diterapkan, dengan tehnik
yang digunakan adalah tehnik implementasi termasuk pengembangan, program
aksi atau strategi, khususnya dalam mengidentifikasi dan mengadopsi.
8. Application of systematic planning approach, pendekatan ini diaplikasikan dalam
perencanaan pariwisata berdasarkan logika dari aktivitas.
Perkembangan pariwisata di suatu negara atau suatu daerah akan meningkat
terus dikarenakan jumlah penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu terutama
jumlah penduduk kelompok umur remaja dan muda semakin tinggi, meningkatnya
pendapatan perkapita sehingga meningkatkan kemampuan daya beli yang lebih tinggi,
dan kemajuankemajuan dalam bidang transportasi membuat prospek pariwisata ke
depan sangat menjanjikan bahkan memberikan peluang besar bagi perkembangan
pariwisata (Soedjarwo, 1978). Ditinjau pada daerah tujuan wisata yang merupakan
tempat di mana segala kegiatan pariwisata dilakukan dengan tersedianya segala
fasilitas dan atraksi wisata untuk wisatawan. Suatu daerah tujuan wisata hendaknya
memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a. sesuatu yang dapat dilihat,
b. sesuatu yang dapat dilakukan,
c. sesuatu yang dapat dibeli (Yoeti, 1988).
Menurut Suwantoro (1997), pembangunan suatu obyek wisata harus dirancang
dengan bersumber pada potensi daya tarik yang dimiliki obyek tersebut dengan
mengacu pada kriteria keberhasilan pengembangan yang meliputi :
1. Kelayakan Finansial : Studi kelayakan ini menyangkut perhitungan secara
komersial dari pembangunan obyek wisata tersebut. Hal ini berkaitan dengan sifat
dasar industri pariwisata, yakni sifat mencari keuntungan.
2. Kelayakan Sosial Ekonomi Regional : Studi kelayakan ini untuk melihat dampak
sosial ekonomi regional yang ditimbulkan dari investasi pembangunan obyek
wisata.
3. Kelayakan Teknis : Studi kelayakan ini menyangkut pembangunan obyek wisata
yang harus dapat dipertanggungjawabkan dengan melihat daya dukung yang ada.
4. Kelayakan Lingkungan : Studi kelayakan ini berdasarkan analisis dampak
lingkungan yang dijadikan sebagai acuan kegiatan pembangunan suatu obyek
wisata.
Menurut IUOTO (International Union of Official Travel Organization) yang
dikutip oleh Spillane (1993), pariwisata mestinya dikembangkan oleh setiap negara
karena 8 alasan utama seperti berikut ini :
1. Pariwisata sebagai faktor pemicu bagi perkembangan ekonomi nasional maupun
internasional.
2. Pemicu kemakmuran melalui perkembangan komunikasi, transportasi, akomodasi,
jasa-jasa pelayanan lainnya.
3. Perhatian khusus terhadap pelestarian budaya, nilai-nilai sosial agar bernilai
ekonomi.
4. Pemerataan kesejahteraan yang diakibatkan oleh adanya konsumsi wisatawan pada
sebuah destinasi.
5. Penghasil devisa.
6. Pemicu perdagangan internasional.
7. Pemicu pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan profesi pariwisata
maupun lembaga yang khusus yang membentuk jiwa hospitality yang handal dan
santun, dan
8. Pangsa pasar bagi produk lokal sehingga aneka ragam produk terus berkembang,
seiring dinamika sosial ekonomi pada daerah suatu destinasi.
2.3 Tinjauan Kebijakan
2.3.1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan
Undang-undang republik indonesia tentang kepariwisataan. Penyelenggaraan
kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan
kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, dan kepercayaan
pada diri sendiri.
2.3.2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009
 Pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan
kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi
tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan tidak sesuai lagi dengan tuntutan
dan perkembangan kepariwisataan sehingga perlu diganti, dengan membentuk
Undang-Undang tentang Kepariwisataan yang baru.
 Dasar hukum undang-undang ini adalah:
Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

 Dalam Undang-undang ini diatur tentang :


Hak dan kewajiban masyarakat, wisatawan, pelaku usaha, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, pembangunan kepariwisataan yang komprehensif dan
berkelanjutan, koordinasi lintas sektor, pengaturan kawasan strategis,
pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah di dalam dan di sekitar destinasi
pariwisata, badan promosi pariwisata, asosiasi kepariwisataan, standardisasi
usaha, dan kompetensi pekerja pariwisata, serta pemberdayaan pekerja pariwisata
melalui pelatihan sumber daya manusia.
2.4 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Metode Hasil


1 Shobaril Analisis potensi Observasi lapangan Mengkaji obyek wisata
Yuliadi (2011) pengembangan obyek didukunng dengan alam yang dapat menjadi
wisata alam di data sekunder wisata unggulan dan
kabupaten Kendal faktor-faktor yang
menyebabkan kurangnya
pengunjung obyek wisata
alam di Kabupaten
Cilacap.
2 Choiri3n Nisak Identifikasi potensi Analisis data Mengkaji potensi internal
(2012 pantai untuk sekunder, survey: dan eksternal dari
pengembangan sensus, kuesioner, masingmasing obyek
pariwisata pantai di indepth, interview wisata pantai sehingga
kabupaten Bantul dengan key person. memberikan usulan
arahan pengembangan
masingmasing obyek
wisata bagi Pemda .
3 Wardana Potensi dan Strategi Analisis data Hasil penelitian
(2017) Pengembangan sekunder, dan primer menunjukkan bahwa
Pariwisata di Dinas Pariwisata
Kabupaten Pesisir memiliki strategi untuk
Barat mengembangkan potensi
pariwisata yang
dianalisis melalui unsur
6M, yaitu: man, money,
material, method, market,
machine (namun unsur
ini tidak terdeskripsikan)

Anda mungkin juga menyukai