Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pariwisata saat ini telah berkembang menjadi suatu fenomena global, menjadi

kebutuhan dasar, serta menjadi bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati

dan dilingdungi. Pariwisawata juga merupakan sektor penting dalam pembangunan,

karena dengan adanya dampak yang diberikan kepada perekonomian negara. Dari

pembangunan pariwisata sendiri memiliki banyak dampak positif, di antaranya,

menciptakan kesempatan berwirausaha, meningkatkan penerimaan pajak ke

pemerintah, dan juga dapat mendorong peningkatan investasi dari sektor industri

pariwisata dan sektor ekonomi lainnya. Oleh karena itu pengembangan pariwisata ini

sebagai salah satu pembangunan nasional yang harus dilakukan oleh pemerintah.

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Pariwisata,

Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas

serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan

Pemerintah Daerah. Berdasarkan Undang-Undang yang sama , Kepariwisataan juga

berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan

dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk

mewujudkan kesejahteraan rakyat1. Pembangunan Kepariwisataan dilakukan

berdasarkan asas-asas kepariwisataan yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana

1
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata, Pasal 6

1
2

pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan dan

kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata.2

Beberapa alasan perlunya pengembangan pariwisata adalah alasan utama

sangat erat kaitannya dengan pembangunan ekonomi daerah atau suatu nagara

tersebut. Seperti dibangunnya sarana dan prasarana tentunya akan mengundang

proyek proyek pembangunan fasilitas seperti air, listrik, jalan, terminal, angkutan,

objek wisata, perhotelan, restoran pusat pemberlanjaan dan lain sebagainya akan

menciptakan lapangan kerja yang cukup luas bagi penduduk setempat. Alasan kedua

pengembangan pariwisata lebih bersifat non ekonomis. Yang mana wisatawan yang

dating berkunjung bertujuan untuk melihat keindahan alam, seperti sawah, lading,

bangunan-bangunan kuno, tempat bersejarah, candi-candi, kebun raya, cagar alam

dan lain sebagainya. Dan semua itu memberlukan biaya untuk pemeliharaannya yang

terbilang tidak seperti perbaikan, restorasi, atraksi wisata, objek wisata. Hal ini untuk

terciptanya suasana harmonis dan menyenangkan bagi pengunjung. Alasan yang

ketiga yaitu tempat bertukar pikiran untuk menghilangkan kepicikan berpikir,

mengurangi salah pengertian dan juga dapat mengetahui tingkah laku seseorang yang

berkunjung. Hal ini dikarenakan wisatawan yang berkujung tentu berasal dari suku,

ras, agama dan ideology yang berbeda-beda .

Provinsi Jambi termasuk daerah yang memiliki potensi sektor pariwisata akan

tetapi cukup berbeda dengan provinsi tentangga yang relative banyak, Provinsi Jambi

memiliki pariwisata yang cukup terbatas. Pariwisata yang dikemas di Provinsi Jambi
2
Ibid
3

memiliki objek wisata yang relatif masih alami, seperti peninggalan sejarah,

keanekaragaman adar istiadat dan budaya masyarakat, seni budaya, serta adanya

dukungan wilayah yang luas dengan keindahan panorama alam, sungai, danau, raim

dan jeram, hingga pegunungan yang sangat menakjubkan. Potensi ini berhasil

mengundang wisatawan untuk berkunjung ke Provinsi Jambi. Tercatat total

kunjungan wisatawan ke Jambi tahun 2018 mencapai 2.399.560 orang, meningkat

237.405 orang (11 persen) dibanding total kunjungan wisata tahun 2017 sekitar

2.162.155 orang. Bila dibandingkan dengan kunjungan wisata ke Jambi tahun 2012

sekitar 1.287.471 orang, maka kunjungan wisatawan ke daerah itu tahun lalu naik

1.112.089 orang (86 persen).3

Salah satu kabupaten yang menjadi destinasi pariwisata di Provinsi jambi

ialah Kabupaten Muaro Jambi. Selain Terkenal dengan Wisata Budaya/Sejarah yaitu

Candi Muaro Jambi, Kabupaten Muaro jambi memiliki Jenis Wisata yang cukup

beragam, dari Ecopark Lubuk Penyengat, Agrowisata Alam Sebapo, hingga Wisata

Alam Air Waterbom Citra Raya, dan Danau Tangkas dan lain sebagainya Adapun

jumlah objek wisata di Kabupaten Muaro Jambi sebagai berikut.

Table 1. 1 Jumlah Objek wisata di Kabupaten Muaro Jambi


2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021

11 9 18 5 - - - - 6 7

3
Radesman Saragih.Geliat Pariwisata Jambi. Sumber: Berita Satu, diakses dari
https://www.beritasatu.com/archive/532935/geliat-pariwisata-
jambi#:~:text=Sedangkan%20total%20kunjungan%20wisatawan%20ke,2017%20sekitar%202.162.15
5%20orang. pada 16 mei 2022. Pukul 10:15 WIB.
4

Sumber. BPS Kabupaten Muaro Jambi dan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda

dan Olahraga..

Dari data diatas menunjukan potensi pariwisata di Muaro Jambi terus

dikembangkan dengan bertambahnya objek wisata di Kabupaten Muaro Jambi. salah

satu objek wisata yang dikembangkan ialah Objek wisata Danau Tangkas yang

berada di Desa Tanjung Lanjut. Wisata ini yang diresmikan oleh Bupati Muaro Jambi

Hj. Masnah Busro, S.E.,M.Tr.IP. pada tanggal 19 Agustus 2018 dan di bentuk

melalui BUMDes menggunakan Dana Desa dari Pemerintah Desa Tanjung Lanjut.

Desa Tanjung Lanjut merupukan desa yang berada di Kecamatan Sekernan

Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi yang memiliki wisata alam yang sangat

menarik yaitu Wisata Alam Danau Tangkas. Wisata Danau Tangkas merupakan

salah satu pariwisata yang menarik untuk dikaji terkait pengembangan pariwisata.

Wisata yang baru terbentuk ini memiliki luas danau sekitar ±250 hektar yang

menawarkan keindahan danau yang ditumbuhi oleh pohon putat. Selain itu banyak

fasilitas dan wahana yang dikemas dalam wisata ini yaitu berupa permainan air,

camping dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil data pengunjung pada gambar.1

mengenai data pengunjung tahun 2020 terlihat bahwa wisata danau tangkas berada

pada posisi ke 3 dalam jumlah pengunjung terbanyak dan danau tangkas menjadi

wisata alam yang lebih banyak pengunjung dibandingkan wisata alam lainnya.
5

Table 1. 2 Objek wisata di Kabupaten Muaro Jambi, 2020


No Nama Objek Pengelolah Jumlah Pengunjung

1 Candi Muaro Jambi Pemerintah 60.000

2 Danau Tangkas Pemerintah desa dan 13.126

Masyarakat

3 Lubuk Penyengat Pemerintah desa dan 1.158

masyarakat

4 Water Boom Citraraya Swasta 26.971

City

5 Wisata Alam Sebapo Swasta 2.798

6 Taman Aci Swasta 877

Sumber: Dinas Kebudayaan, Pariwisata ,Pemuda dan olahraga Kabupaten Muaro Jambi

Danau tangkas sebagai objek wisata yang dikelolah oleh pemerintah dalam

hal ini pemerintah desa yang bekerja sama dengan masyarakat mengambil cukup

banyak perhatian masyarakat yang ditunjukan dari jumlah pengunjung terbanyak ke 2

pada objek wisata yang dikelolah oleh pemerintah.dan posisi ke 3 terbanyak secara

keseluruhan. Selain itu lokasi objek wisata yang masih arsi ini memiliki lokasi yang

cukup strategis karena bertempat di Kabupaten Muaro Jambi yang berada dekat

dengan Kota Jambi selaku ibukota Provinsi Jambi dan Kabupaten Batanghari

sehingga penunjung dari Kota Jambi dan Kabupaten Batanghari dapat menikmati

suasana objek Wisata Danau Tangkas.


6

Sebagai wisata yang baru diresmikan pada tahun 2018, wisata ini masih

terbilang cukup baru, dan antusias masyarakatnya sangat besar dalam menciptakan

wisata ini melalui BUMDes Tanjung Lanjut. Adapun partisipasi dari berbagai pihak

dalam mengembangkan wisata ini baik dari pemuda atau yang dikenal sebagai

Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang ikut mengelolah wisata, dari swasta yang

ikut dalam menyuport fasilitas, serta tenaga pendidik yang terus melakukan penelitian

dalam upaya mengengembangkan wisata danau tangkas ini. Tidak hanya itu danau

tangkas pun mendapat perhatian dari Kementerian Desa dengan membangun 2

bangunan homestay dan jembatan gantun yang senilai 8 milyar pada tahun 2021.4

Pengembangan objek wisata yang dilakukan sejauh ini berjalan cukup baik.

Namun masih harus ditingkatkan lagi agar lebih maksimal. Hal ini dikarenakan masih

adanya faktor faktor penghambat seperti masih kurangnya peran pemerintah daerah,

pemerintah daerah hanya berperan sebagai monitoring. Dana dalam pengembangan

yang masih kurang karna hanya bermodalkan dana desa, scr dari swasta serta

distribusi dari tiket masuk wisata dan wahana wisata. letak wisata yang berada di

pelosok Kabupaten Muaro Jambi pun menjadi salah satu kendala karena jarak yang

jauh serta kondisi jalan menuju objek wisata yang masih kurang baik. Masalah dan

hambatan ini pun tidak dapat diselesaikan karena adanya keterbatasan yang diluar

jangkaun dari pemerintah daerah dan memerluka kerja sama dalam menyelesaikan

masalah dalam pengembangan pariwisata Danau Tangkas.

4
Hasil penelitian awal bersama Ketua Badan Usaha Milik Desa Tanjung lanjut, Pak Arief di
desa tanjung lanjut, pada tanggal 14 maret 2021.
7

Berdasarkan masalah-masalah hambatanan diatas, dalam pengembangan

pariwisata diperlukan cara yang lebih sistematis lagi. Pemerintah dengan

keterbatasannya perlu melakukan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam

mengembangkan Pariwisata. Upaya Kerja sama antar pemangku kepentingan inilah

yang sering juga di sebut sebagai collaborative governance. Collaborative

governance diyakini dapat menjadi metode yang lebih efektif dalam pengembangan

pariwisata karena adanya peran aktif dari pemangku kepentingan didalamnya yang

bekerja sama. Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pariwisata, Pemuda dan

Olahraga selaku landing sector dalam menata sektor-sekor pariwisata dan

pengembangan pariwisata, serta masyarakat dan swasta. Masyarakat dalam hal ini

yang terbentuk dalam BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang ikut

mengembangkan bidang pariwisata dengan mengelola pariwisata di pemerintah desa

dan Komunitas pariwisata Kelompok Sadar Wisata.

Oleh karena itu collaborative governance dalam pengembangan pariwisata

dianggap perlu di lihat bagaimana penerapannya. Selain untuk mencapai tujuan

bersama, collaborative governance pun jadi dasar bagi Pemerintah Kabupaten Muaro

Jambi dalam hal ini Dinas Pariwisata , Pemuda dan Olahraga untuk

mengembangakan pariwisata sebagai penggerak dalam pengembangan pariwisata.5

Peran masyarakat dalam collaborative governance sebagai partisipasi dalam bentuk

pemberian input, pelaksanaan kegiatan, pemantauan, dan mengawasan serta

5
Totok mardikanto dan poerwoko soebianto, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif
Kebijakan Publik (Bandung: Alfabeta, 2019), Hlm 22-23
8

pemanfaatan hasil.6 Selanjutnya peran serta swasta sebagai pemangku kepentingan

yang berperan sebagai pemberi kontribusi berupa material dan non materian seperti

penyedia dan penyelenggaraan jasa.7

Terkait dengan penulisan ini terdapat penelitian terdahulu yang di lakukan

oleh peneliti dari penelitian yang dilakukan oleh Putu Nomy Yashinta (2020) tentang

Collaborative Dalam Kebijakan Pembangunan Pariwisata Di Kabupaten Gianyar.

Dengan penelitian Deskriptif melalui pendektan kualitatif. Peneltian ini dilaksanakan

di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Dengan fokus pada konsep proses

Collaborative Governance oleh Willem dan Gash. Penelitian ini mengungkapkan

dalam konsep kolaborasi yang dilakukan berdasarkan indikator sebagai berikut : Face

to face (dialog anar muaka) terjadi dialog antar muka namun belum dapat

mengakomodasi kepentingan seluruh stakeholder. Dari segi Trush Buildling

(membangun kepercayaan) terjadi kepercayaan dikarenakan visi dan misi yang sama.

Selanjutnya segi Commite to proses diikat melalui kontrak kerja sama akan tetapi

masih kurang jelas kontribusi yang di berikan oleh swasta dan masyarakat. Dan dari

segi pencapaian sementara telah berhasil mengundang wisatawan walaupun masih

wisatawan lokal yang mendominasi kawasan tersebut. Namun dari segi membangun

relasi masih kurang optimal.8

6
Ibid.
7
Armela Shintani, ‘Relasi Pemerintah Daerah Dan Swasta Dalam Pengelolaan Destinasi
Wisata Di Kelurahan Sei Gohong.’, JISPAR, Jurnal Ilmu Sosial, Politik Dan Pemerintahan, 9.2 (2020),
hlm 30.
8
Putu Nomy Yasintha, ‘Collaborative Governance Dalam Kebijakan Pembangunan
Pariwisata Di Kabupaten Gianyar’, Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial, 4.1 (2020), 1
<https://doi.org/10.38043/jids.v4i1.2219>. Hlm.19-20
9

Penelitian selanjutnya oleh Imam Surya, Sanny Nofrima, Hendri Arie Saputra,

dan Niken Nurmiyat (2021) tentang Collaborative Governance Dalam

Pengembangan Pengelolaan Wisata Berkelanjuan Di Kabupaten Kulon Progo (Studi

Kasus: Wisata Kebun Teh Nglinggo). Penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif bersifat deskriptif. Yang bertempat di Kabupten Kulon Progo Provinsi

Daerah Istimewayogyakarta. Menggunakan Yang berfokus pada analisis prespektif

colaborative governance dalam pengelolaan pariwisata berkelanjutan. Dengan hasil

penelitian adalah pembangunan wisata berkelanjutan merupakan salah satu penerapan

sustainable development goals guna untuk menciptakan pariwisata yang ramah

lingkungan sehingga dapat di manfaatkan oleh masyarakat setempat dalam

mengurangi angka pengangguran. dan memerlukan publikasi dalam media sosial,

daya tarik media sosial dangat berpengaruh karena merupakan teknologi informasi

yang cepat dan akurat guna untuk meningkatkan daya tarik pengunjung.9

Selanjutnya ada penelitian yang dilakukan dari Ani Julian Safitri (2021)

tentang Kemitraan Pemerintah Dan Masyarakat Dalam Pengelolaan Wisata Danau

Tangkas Di Desa Tanjung Lanut Kabupaten Muaro Jambi. dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dengan sifat deskriptif. Yang bertempat di

Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. yang berfokus pada kemitraan stakeholder

dalam hal ini pemerintah dan masyarakat. Dari hasil penelitian ini menyimpulkan

system pengelolaan wisata tersebut dilaksanakan oleh pemerintah desa dengan

9
Iman Surya and others, ‘Collaborative Governance Dalam Pengelolaan Wisata
Berkelanjutan Di Kabupaten Kulon Progo (Studi Kasus: Wisata Kebun Teh Nglinggo)’, Jurnal
Pemerintahan Dan Politik Islam, 6.2 (2021), 190–99.
10

pengembangan desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yaitu dengan

managemen perencanaan pengembangan wisata, pengorganisasian dengan

pembentukan struktur dan pembagian tugas kerja dari pengurus, pengawas dan

koordinasi dengan melibatkan masyarakat didalamnya. Dengan konsep masyarakt

diikut sertakan menjadi anggota BUMDes yang saling memberikan manfaat dan

saling menguntungkan. Namun masyarakat yang tidak ikut dalam keanggotaan

BUMDes tidak terlihat partisipasinya.dan kendala yang di alami berupa masalah

SDM, kurangnya modal, partisipasi masyarakat dan kendala terkait infrasruktur jalan

dan objek wisata.10

Terlihat dari penelitian sebelumnya, penelitian ini berbeda dari penelitian yang

akan peneliti lakukan tentang Collaborative Governance dalam mengembangkan

pariwisata. Yang mana penelitian ini memfokuskan penerepan Collaborative

Governance sebagai upaya memperkuat kelembangaan antar Pemerintah,

Masyarakat, dan swasta untuk mengembangkan Parawisata. Dengan judul

“PENERAPAN COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM

MENGAMBANGKAN PARIWISATA DANAU TANGKAS KABUPATEN

MUARO JAMBI”.

10
Ani Julia Safitri, Skripsi, "Kemitraan Pemerintah Dan Masyarakat Dalam Pengelolaan
Wisata Danau Tangkas Di Desa Tanjung Lanjut Kabupaten Muaro Jamb" (Jambi: UIN Sultan Thaha
Saifuddin, 2021).
11

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka identifikasi masalah penelitian

adalah sebagai berikut.

1. Sejauh mana Penerapan model collaborative governance memberikan dampak

pengembangan pariwisata Danau Tangkas.

2. Faktor apa yang menentukan keberhasilan model collaborative governance

dalam mengembangkan Pariwisata Danau Tangkas.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, tujuan penelitian ini yaitu :

1. Untuk menganalisis sejauh mana Penerapan model collaborative governance

memberikan dampak pengembangan pariwisata Danau Tangkas.

2. Untuk mendeskripsikan faktor apa yang menentukan keberhasilan model

collaborative governance dalam mengembangkan Pariwisata Danau Tangkas.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi berbagai

pihak, adapun aspek manfaat penelitian ini antara lain ;

1. Aspek teoritis diharapkan memberikan manfaat :

a. Sebagai bahan study lanjutan yang berkaitan dengan collaborative

governance.
12

b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembang

disiplin Ilmu Pemerintahan.

c. Sebagai bahan perbandingan atau lanjutan atas penelitian serupa.

2. Aspek Praktis, diharapkan memberikan manfaat :

a. sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan dan

kebijakan pembangunan oleh pemerintah daerah,

b. bahan pertimbangan dan masukan untuk pengembangan pariwisata

dan statregi kolaborasi antara pemerintah, stakeholder dan masyarakat.

1.5 Landasan Teori

Landasan teori mengemukakan tentang teori teori atau temuan ilmuah yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti, agar penelitian ini lebih terarah dan tepat.

1.5.1 Collaborative Governance

Kolaborasi yang dikutip oleh abdulsyani, Roucek dan Werreen

mengatakan bahwa kolaborasi berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai

tujuan bersama. Ia adalah suatu proses social yang paling dasar. Biasanya

kolaborasi melibatkan pembagian-pembagian tugas, dimana setiap orang

mengerjakan setiap pekerjaan yang merupakan tanggung jawabnya demi

tercapainya tujuan mereka.

Menurut Ansell dan Gash (2007) Collaborative governance adalah

serangkaian peraturan dimana satu atau lebih lembaga public yang melibatkan
13

secara langsung stakeholders non-state didalam peroses pembuatan kebijakan

yang bersifat formal, berorientasi consensus dan deliberative yang bertujuan

untuk membuat atau mengimplemantasikan kebijakan publik atau mengatur

program publik atau asset. 11

Ansel dan gash (2007) memaparkan Model Collaborative Governance

dalam proses melakukan kolaborasi sebagai berikut;

Gambar 1. 1 Model Collaborative Governance

Sumber. Ansell & Gash, 2007

11
La Ode Syaiful Islamy, “Collaborative Governance konsep dan Aplikasi”, (Bau Bau:
Deepublish, 2018), Hlm 12.
14

Model collaborative governance ini memiliki empat variable yaitu:

1. Kondisi Awal

Ansel Dan Gash (2008) merangkum beberapa permasalahan yang

didapatkan dari berbagai literature yang teliti dan menemukan bahwa dalam

proses kolaborasi banyak terjadi kegagalan dikarenakan perbedaan antara

pemangku kepentingan dan stakeholder dalam sudut pandangan

berdasarkan pengalaman pahit yang pernah dialami oleh stakeholder

berupa isu local emotional dimana munculnya anggapan saling bermusuhan

yang mempengaruhi kepercayaan dan saling mencurigai. Dari

permasalahan ini Ansel Dan Gash (2008) merincikannya menjadi 3 variable

yaitu :

- Adanya ketidak seimbangan sumber daya dan pengetahuan antar

pelaku kolaborasi. Jika tidak memiliki kapasitas , organisasi , status tau

sumber daya untuk berpartisipasi secar setara dengan pemangku

kepentingan yang lain maka kan rentan kolaborasi yang terjadi akan

dikuasasi oleh actor yang lebih kuat.

- Harus ada insentif yang jelas dalam kolaborasi. Sifat dari partisipasi

sendiri adalah secara sukarela. Oleh sebab itu, penting memahami

intensif yang dimiliki pemangku kepentingan yntuk terlibat dalam tata

kelolah kolaboratif dan faktor yang membentuk intensif

tersebut.intensif bergantung pada harapan pemangku kepentingan


15

tentang proses kolaboratif akan benghasilkan hasil yang berarti,

terutama terhadap keseimbangan waktu dan energy.

- sejarah konflik / kerjasama dimasa lalu diantara para pemangku

kepentingan. Sejarah konflik antara pemangku kepentingan dapat

menghabat atau memfasilitasi kolaboratif. Jika terdapat konflik antar

pemangku kepentingan kolaboratif akan sulit tercapai kecuali terdapat

tingkat ketergantungan antar pemangku kepentingan.

2. Design kelembagaan

Design kelembagaan disini mengacu pada protokol dasar dan aturan

dasar untuk kolaborasi, yang sangat penting untuk legitimasi dari proses

kolaboratif. Akses ke kolaboratif itu sendiri mungkin merupakan masalah

design yang paling mendasar yaitu siapa yang harus disertakan. yang

mana kolaborasi harus melibatkan pemangku kepentingan secara luas

terpengaruh atau peduli terhadap masalah sehingga dapat

mengembangkan “komitmen terhadap proses”. Ini yang menjadi inti dari

proses legitimasi yaitu (1) memberi kesempatan kepada pemangku

kepentingan untuk berunding dengan dengan orang lain tentang hasil

kebijakan dan (2) dapat menghasilkan kebijakan yang mewakili konsesus

berbasis luas.

Pemangku kepentingan harus memiliki aturan-atuan dasar yang

mendukung kolaboratif, namun adapun pemanggu kepentingan yang

tidak memiliki intensif dalam berpartisipasi antara lain dikarenakan


16

dikucilkan sehingga mencari tempat alternative dalam menjalankan

agenda mereka. Oleh sebab itu perlunya kepemimpinan fasilitatif agar

tercapainya kolaboratif yang adil, merata dan transparan bagi pemangku

kepentingan.

3. Kepemimpinan fasilitatif

Kepemimpinan fasilitatif dapat dilihat dari bagaimana pembawaan

seorang pemimpin dalam membawa semua pihak ke meja perundingan

untuk mengarahkan mereka melakukan perundingan-perundingan dan

negosiasi guna mencegah masalah yang mungkin akan timbul dalam

proses kolaborasi. Kepemimpinan fasilitatif penting untuk menyatukan

pemangku kepentingan dan membuat mereka terlibat satu sama lain

dalam semangat kolaborasi. Dalam hal ini disarankan menggunakan

teknik mediasi intervensionis, yang mana fasititasi adalah yang paling

tidak mengganggu hak prerogative pemangku kepentingan. Mediasi

meningkatkan intervensi pihak ketiga dalam perincian substansi

negosiasi, menjajaki kemungkinan keuntungan yang saling

menguntungkan dan memberika solusi yang tidak mengikat jika tidak

terjadi kesepakatan. Oleh sebab itu para pemimpin harus sering

melakukan intervensi dengan yang lebih direktif untuk membentuk

agenda.
17

Kepemimpinan sangat penting untuk menetapkan dan

mempertahankan aturan dasar yang jelas, membangun kepercayaan,

memfasilitasi dialog, dan mengeksplorasi keuntungan. Pemimpin

kolaboratif digambarkan sebagai pengurus proses dalam hal ini seperti

perubahan, pelayanan, atau kepemimpinan fasilitatif yang dapat

mengambil tindakan tegas dan dapat memperdayakan dan mewakili

pemangku kepentingan yang lemah. Ketika pemangku kepentingan tidak

saling percaya satu sama lain maka kepempinan harus berperan sebagai

perantara yang jujur. Peran perantara yang jujur biasanya diberikan

kepada mediator yang tidak memiliki kepentingan pribadi terhadap

hasilnya namun juga memiliki sedikit pengaruh dengan berbagai

pemangku kepentingan.

4. Proses kolaborasi

Proses ini dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut:

a. Trustbuilding, bagaimana membangun kepercayakan antara peserta

kolaborasi. Hal ini merupakan bagian yang tidak terlepas dari dialog tatap

muka dan memerlukan kepemimpinan fasilitatif yang baik agar

menyadarkan bahwa mereka harus membangun kepercayaan antar pihak

sebelum memulai strategi kolaboratif.

b. Komitment to proses, komitmen terhadap proses memiliki faktor penting

dalam memfasilitasi kolaborasi. Motivasi awal untuk berpartisipasi adalah


18

untuk memastikan prefektif mereka tidak diabaikan atau hanya

mengamantan legitimasi mereka atau hanya memenuhi kewajiban hukum.

Pemangku kepentingan mengembangkan keyakinan untuk itikat baik

menawar untuk kepentingan bersama dalam mencapai hasil kebijakan

yang diinginkan. Komitmen terhadap proses membutuhkan kesediaan

diawal untuk mematuhi hasil musyawarah. Komitmen tergantun juga

pada kepercayaan bahwa pemangku kepentingan lain akan menghormati

prefektif dan kepentingan serta keyakinan bahwa negosiasi dan

musyawarah memiliki integritas. Mengapa harus berkomitmen terhadap

orang yang tidak di percayai ? oleh sebab itu membangun keyakinan atau

kepercayaan menjadi bagian yang penting kepada pemangku kepentingan

dalam berkomiten terhadap proses.

c. Shared understanding, pada titik tertentu pemangku kepentingan harus

mengembangkan pemahaman bersama tentang apa yang dapat dicapai

bersama, atau dapat diartikan misi visi bersama, tujuan bersama pada arah

yang jelas dan strategis atau penyelarasan nilai inti. Kondisi dimana

adanya kesepakatan tentang pengetahuan yang relavan yg diperlukan

untuk mengatasi suatu masalah.

d. Intermetiade outcomes, kolaborasi lebih mungkin terjadi ketika

kemungkinan tujuan dan keuntungan dari kolaboratisi relative konkret

dan ketika kemenangan kecil dari kolaboratif dimungkinkan. Ini

merupakan hasil proses kritis yang penting untuk membangun momentum


19

yang mengarah pada kolaborasi yang berhasil berupa rencana stategis

yang berasal dari penemuan fakta bersama. Dengan kemenangan kecil ini

dapat memberikan umpan balik dalam proses kolaboratif, mendorong

siklus pembangunan kepercayaan dan komitmen yang baik.

e. Face to face dialogue, dengan melakukan negosiasi secara tatap muka

antara pemangku kepentingan. Dengan dialog antar muka dapat terjalin

komunukasi yang baik antara pemangku kepentingan dan mematahkan

stereotip yang buruk sehingga menjadi dasar proses membangun

kepercayaan, saling menghormati, pemahaman bersama dan komitmen

terhadap proses.

Definisi ini melibatkan enam kriteria : (1) forum yang diprakarsai oleh

lembaga-lembaga publik; (2) peserta dalam forum ini termasuk actor non-

state; (3) peserta terlibat dalam pengambilan keputusan dan tidak hanya

:berkonsultasi”, (4) forum secara resmi diselenggarakan, (5) forum bertujuan

untuk membuat keputusan dengan consensus; dan (6) fokus kerjasama dalam

kebijakan publik atau manjemen publik. Yang ditekankan disini ialah forum

yang dilaksanakan terorganisir secara resmi, dilakukan secara teratur,

dianggotai oleh lembaga publik, swasta, non-state, dan masyarakat umum

dalam mengambil sebuah keputusan yang bukan hanya berupa konsultasi.


20

Dalam menentukan apakah collaborative governance itu berhasil atau


12
tidak, Deseve mengindentifikasi 8 indikator yang menjadi tolak ukur dalam

keberhasilan suatu kolaborasi yaitu :

1. Network structure (struktur jaringan)

menjelaskan tentang deskripsi konseptual suatu keterkaitan antara elemen

yang satu dengan elemen yang lain yang menyatu secara hjbersama-sama

yang mencerminakan unsur-unsur fisik dari jaringan yang ditandatangani.

2. Commitment to a common purpose (komitmen terhadap tujuan)

mengacu pada alasan mengapa sebuah jaringan harus ada, yaitu karena

perhatian dan komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan yang positif.

3. Trust emong the participants (adanya saling percaya diantara

pelaku/peserta)

didasarkan pada hubungan profesional atau sosial, yakni keyakinan

bahwa para partisipan mempercayakan informasi- informasi atau usaha-

usaha dari stakeholder lainnya dalam suatu jaringan untuk mencapai

tujuan bersama.

4. Governance (kejelasan dalam tata kelola)

kejelasan dalam tata kelola atau governance, meliputi:

a) Boundary dan exclusivity menegaskan siapa yng termasuk anggota dan

bukan termasuk anggota dalam jaringan/kolaborasi.

12
Kedasi Silayar, ‘Tata Kelola Pemerintahan Kolaboratif Dalam Pengembangan Pariwisata
Di Kabupaten Kepulauan Sula’, Jurnal Renaissance, 6.2 (2021), 859
<https://doi.org/10.53878/jr.v6i2.155>.
21

b) Rules (aturan-aturan) menegaskan sejumlah pembatasan-pembatasan

perilaku anggota dengan ancaman bahwa mereka akan dikeluarkan jika

perilaku mereka menyimpang (tidak sesuai atau bertentangan dengan

kesepakatan yang telah disetujui bersama). Ada aturan main yang jelas

tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak

dilakukan.

c) Self determination Yakni kebebasan untuk menentukan bagaimana

network atau kolaborasi akan dijalankan dan siapa saja yang diijinkan

untuk menjalankannya.

d) Network management Yakni berkenaan dengan resolusi

penolakan/tantangan, alokasi sumberdaya, kontrol kualitas, dan

pemeliharaan organisasi. Kemudian tersedia sumberdaya manusia yang

memiliki kompetensi yang memenuhi persyaratan dan tersedia sumber

finansial yang memadai berkesinambungan.

5. Access to authority (akses terhadap kekuasaan)

Yakni tersedianya standar (ukuran-ukuran) ketentuan prosedur-prosedur

yang jelas yang diterima secara luas.

6. Distributive accountability/responsibility (pembagian

akuntabilitas/responsibilitas)

Yakni berbagai governance (penataan, pengelolaan, manajemen secara

bersama- sama) dan berbagai sejumlah pembuatan keputusan dengan

seluruh anggota jaringan.


22

7. Information sharing (berbagi informasi)

Yakni kemudahan akses bagi para anggota, perlindungan privacy

(kerahasiaan identitas pribadi seseorang) dan keterbatasan akses bagi

yang bukan anggota sepanjang bisa diterima oleh semua pihak.

8. Acces to resources (akses sumber daya)

Yakni ketersediaan sumber keuangan, teknis, manusia, dan sumberdaya

lainnya yang diperlukan.

Berdasarkan konsep collaborative governance diatas, peneliti memilih

konsep indikator proses kolaborasi dalam Model Collaborative Governance oleh

Ansel dan Gash dan didukung oleh indikator keberhasilah collaborative

governance Edward Deseve karena menjabarkan bagaimana seharusnya para

stakeholder bekerja sama dan terliba aktif untuk menjapai tujuan. Serta

mendeskripsikan penerepan collaborative governance dalam mengembangkan

pariwisata Danau Tangkas di Kabupaten Muaro Jambi.

1.5.2 Pariwisata

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009

menjelaskan Pariwisata adalah segala macam kegiatan wisata yang didukung

berbagai fasilitas serta kayanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,

pemerintah dan pemerintah daerah. Sedangkan menurut Spillane Pariwisata

adalah kegiatan melakukan perjalanan dengan tujuan mendapat keninkmatan,


23

mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki kesehatan, menikmati

olahraga atau istirahat, menuaikan tugas , berziarah, dan lain-lain. Oleh sebab itu

dapat disimpulkan bahwa pariwisata adalah suatu kegiatan perorangan atau

kelompok yang bertujuan memenuhi kebutuhan jasmani daan rohani dengan

melakukan kegiatan wisata sementara waktu. Orang yang melakukan kegiatan ke

tempat wisata disebut dengan wisatawan.

Keparawisataan menyangkut kepentingan segala lapisan masyarakat. jika

di tinjau dari negara, kepariwisataan memiliki fungsi dalam meningkatkan

pendapatan daerah yang mana merupakan salah satu strategi mewujudkan

kesejahteraan rakyatnya. Apabila di tinjau dari masyarakat, kepariwisataan

memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan intelektual

masyarakat. oleh karena itu kepariwisataan menjadi salah satu sektor yang

stategis.

Maclntosh (1955) mengatakan “ Parawisata sebagai kumpulan fenomena

dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, pemasok bisnis , pemerintah

tuan rumah, dan komunitas tuan rumah dalam proses menarik dan menampung

wistawan ini dan pengunjung lain”.13 Maclntosh menyebutkan empat unsur

penting dalam pariwisata yaitu (a) Wisatawan, (b) Pemasok bisnis, (c) Pemerintah

tuan rumah, (d) komunitas tuan rumah.

13
Oka Yoeti. Perencanaan & Pengembangan Pariwisata. (Jakarta: Balai Pustak,2007), Hlm
9.
24

1.5.3 Dasar Pengembangan pariwisata

Pada Undang-Undang No.10 Tahun 2009 Tentang Pariwisata menjelaskan

tujuan periwisata pada pasal 4 yaitu :

(a) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi

(b) Meningkatkan kesejahteraan rakyat

(c) Menghapus kemiskinan

(d) Mengatasi pengangguran

(e) Melestarikan alam, lingkungan dan sumber saya

(f) Memajukan kebudayaan

(g) Mengangkat citra bangsa

(h) Menumpukan rasa cinta tanah air

(i) Memperkukuhjati diri dan kesatuan bangsa

(j) Mempererat persahabatan antar bangsa.

Berdasarkan undang-undang yang sama dalam penyelenggaraan


pengembangan pariwisata terdapat prinsip-prinsip nya yaitu:

(1) Menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawatahan

dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan

Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesame manusia dan hubungan

antara manusia dan lingkungan.

(2) Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya dan kearifan local
25

(3) Memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan dan

proposionalitas

(4) Memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup

(5) Memperdayakan masyarakat setempat

(6) Menjamin keterpaduan antarsektor, antar daerah, antara pusat dan daerah yang

merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta

keterpaduan antara pemangku kepentingan

(7) Memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


26

1.6 Kerangka Berfikir

Gambar 1. 2 Kerangka berfikir

Gambaran Kondisi Pariwisata

Collaborative Governance

Collaborative governance menurut ansell & gash Indikator Keberhasilan Kolaboratif


Deseve

 Network structure
 Commitment to a common
purpose
 Kondisi awal
 Trust among the partisipants
 Design institusional
 Governance
 Kepemimpinan fasilitatif
 Access to authority
 Proses kolaboratif
 Distributive
accountability/responsibility
 Information sharing
 Access to resource

pemerintah swasta masyarakat

Pengembangan Pariwisata
27

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Peneliti akan menggunakan jenis penelitian Kualitatif dengan tipe

penelitian deskriptif. Menurut Meleong (2002) menjelaskan penelitian kualitatif

adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, presepsi, motivasi, tindakan,

dll. Secara Holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

Bahasa, pada suatu konteks khusus alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai

metode alamiah.14

Menurut Sugiyono (2017) menyatakan “Metode Penelitian kualitatif

adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme atau

penterpretetif digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah, dimana

peneliti adalah instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara

triangulasi ( gabungan obsevasi, wawancara, dokumentasi), data yang diperoleh

cenderung kualitatif, analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian

bersifat untuk memahami makna, memahami keunikan, mengkonstruksi

fenomena dan menemukan hipotesis.15

Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa penelitian

deskriptif dengan pendekatan kualitatif adalah suatu penelitian yang memberikan

14
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Pt Remaja Rosdarkarya,
2016) hlm. 6
15
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Fan R&D, (Bandung: Alfabeta,2017),
Hlm 9
28

gambaran atas suatu fenomena yang menjadi objek penelitian yang kemudian

diuraikan secara sistematis, factual, akurat dan jelas.

Dengan demikian, peneliti ingin menggunakan penelitian kualitatif

dengan metode kualitatif karena penelitian ini bertujuan untuk memberikan

gambaran serta analisis yang deskriptif atau mendalam mengenai Penerapan

Collaborative Governance Dalam Pengembangan Pariwisata Danau Tangkas

Kabupaten Muaro Jambi.

1.7.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat yang sebenarnya peneliti

mengungkapkan fenomena dari objek yang ditelitinya sehingga memperoleh data

atau informasi yang diperlukan.

Pada penelitian ini peneliti akan melakukan penelitian yang berlokasi di

pertama yaitu Dinas Pariwisata,Pemuda dan Olahraga Kabupaten Muaro Jambi.

Penentuan Lokasi Penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwasannya Dinas

Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Muaro Jambi merupakan instansi

pemerintah yang mempunyai tugas dan wewenang dalam urusan pemerintah

bidang pariwisata dan memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan

pariwisata di Kabupaten Muaro Jambi. kedua Badan Perencanaan Daerah Muaro

Jambi selaku opd yang bertugas dalam perencanaan daerah termasuk dalam

perencaan pengembangan pariwisata Muaro Jambi. dan yang terakhir Desa


29

Tanjung Lanjut yang merupakan Desa Wisata yang menunjukan objek wisata

Danau Tangkas.

1.7.3 Fokus Penelitian

Tujuan fokus penelitian adalah agar penelitian yang dilakukan tidak

bersifat meluas. Pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada:

1. Penguatan kelembagaan dari pemangku kepentingan dalam pariwisata.

2. Penelitian ini hanya menggunakan indicator teori Model Collaborative

Governance Ansel dan Gash serta indicator keberhasilan Collaborative

Governance Deseve.

3. Pengembangan Pariwisata yang dilakukan pada wisata Danau Tangkas.

1.7.4 Sumber Data

1. Data primer

Data primer adalah sumber data yang diperoleh peneliti dari objek

yang diteliti melalui observasi dan wawancara secara langsung dengan

narasumber.

Data primer pada penelitian ini digunakan untuk menjawab bagaimana

proses kolaborasi yang dilakukan oleh beberapa pihak, data yang

diperoleh akan didapatkan dari narasumber yang terlibat dalam proses

kolaborasi dengan mewanwancarai informan secara langsung

mengunakan pedoman wawancara dengan indikator pertanyaan


30

berdasarkan teori collaborative governance untuk menjawab rumusan

masalah pada penelitian ini.

Hasil data primer yang didapatkan yaitu hasil Dokumentasi

Wawancara berupa photo, audio rekaman wawancara, serta transkip

wawancara dari informan-informan.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh peneliti dari bahan

kepustakaan berupa dokumen, publikasi, laporan, catatan, literature, dan

sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan objek yang diteliti

secara tidak langsung..

Data sekunder yang dibutuhkan dari penelitian ini untuk melengkapi

dan mendukung informasi yang didapatkan dari narasumber. Data ini

berupa dokumentasi dan laporan proses kolaborasi antar beberapa pihak

yang dipublikasikan oleh media, laporan kegiatan atau notulen forum

kolaborasi, data-data pihak pihak yang ikut bekerja sama dalam

pengembangan pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsung,

data presensi pihak yang ikut terlibat dalam forum kolaborasi, dll.

Data sekunder yang telah didapatkan yaitu berupa Surat Undangan

Forum dari Bappeda, serta Laporan Kajian Pengembangan Pariwisata

Danau Tangkas yang di susun oleh CV. Pometia konsultan.


31

1.7.5 Teknik Penentuan Informasi

Penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling dan Snowball

Sampling. Menurut Sugiyono Teknik Purposive adalah teknik pengambilan data

yang didasarkan dengan pertimbangan tertentu. Dan Teknik Snowball Sampling

adalah teknik pengambilan data yang pada awalnya berjumlah sedikit kemudian

menjadi membesar, dikarenakan sumber yang sedikit belum mampu memberikan

data yang memuaskan. 16

Dengan kedua teknik ini peneliti memilih orang-orang yang dianggap lebih

terpercaya mengetahui tentang pariwisata serta collaborative governance dan

menambah narasumber yang kiranya memiliki informasi yang lebih akurat untuk

dijadikan sebagai informan. Dalam hal ini informannya berupa:

a. Pemerintah

1. Kepala Dinas Pariwisata,pemuda dan olahraga

2. Kepala bidang pengembangan destinasi wisata

3. Kepala Desa Tanjung Lanjut

b. Pihak Swasta

1. PT. Kirana Sekernan

c. pihak masyarakat

1. BUMDes Tanjung Lanjut

16
Ibid
32

1.7.6 Teknik Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data yang valid dan relavan dibutuhkan teknik

pengumpulan data dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Maka peneliti

mengambil tiga teknik, yaitu di antaranya:

1. Wawancara (interview) yaitu teknik mengumpulkan data dan informasi dari

narasumber dengan melalui percakapan, sesi Tanya jawab yang dilakukan

oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

pertanyaan dan terwawancara (interviewer) atau dikenal sebagai narasumber.

Teknik ini perlu menggunakan pedoman wawancara.

2. Observasi yaitu teknik pengumpulan data dengan mengamati objek yang

ingin diteliti secara sistematika terhadap perkembangan Wisata. Menurut

Nasution dengan melakukan observasi , peneliti belajar tentang perilaku,

dan makna dari perilaku tersebut. Menurut Sugiyono (2017) , mengatakan

bahwa objek observasi terdiri atas tiga komponen, melimputi ; Place

(tempat), Actor (pelaku), dan actifity (kegiatan). 17

3. Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan mengambil data yang

diperoleh dari dokumen-dokumen , arsip , buku, laporan, keterangan-

keterangan tertulis, bergambang, terekam maupun tercetak.

Pada Penelitian ini Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu :

a. Wawancara, dengan mewawancarai informan/narasumber yang telah

ditentukan dari penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang

17
Ibid.
33

disiapkan. Pedoman wawancara berupa pertanyaan-pertanya yang

berindikator pada Proses Colaborative dalam Model Collaborative

Governance Dari Ansel Dan Gash (2008). Dan 8 Indikator Keberhasilan

Collaborative Governance menurut Deseve.

b. Dokumentasi, digunakan untuk mengambil data dari Narasumber dan

Lembaga berupa struktur organisasi Dinas Pariwisata, Pemuda Dan Olahraga

Kabupaten Muaro Jambi, data-data mengenai pariwisata kabupaten muaro

jambi dan gambaran dilapangan, rekam wawancara informan, publikasi

proses kolaborasi dari media infomasi, dokumentasi proses kolaborasi

berupa data presensi, data laporan kegiatan dari dinas, komunitas, swasta dan

masyarakat.
34

1.7.7 Teknik Analisis Data

Huberman dan miles (1992) memberikan model analisis data kualitatif yang

disebut Interactive Model.

Gambar 1. 3 Komponen Analisi Data Model Interaktif

Pengumpulan data Penyajian data

Reduksi data

Kesimpulan & verifikasi

Sumber: Metthew B. Miles & A. Michael Huber,am, 1992, Analisis Data Kualitatif,
UI press,Jakarta, Hlm.20

Model ini terdiri dari 3 langkah yaitu18:

a. Kondensasi data (Data Condensation)

Kondensasi data atau reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan,

memfokusan data, pengabstrakan, dan tranformasi data kasar yang diperoleh

dari catatan-catatan di lapangan, transkip wawancara, dokumen dan bahan

empiris lainnya yang sesuai dengan tujuan penelitian.

Dalam tahap ini peneliti akan memilah data dengan memilih yang sesuai

dengan fokus penelitian ini dan membuang data yang tidak sesuai focus

penelitian.

18
Agus Salim. Teori Dan Paradigm Penelitian Sosial. (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2006).Hlm.22
35

b. Penyajian Data (Data Display)

Penyejian data , yang mana data yang tercatat dilapangan di peroleh dari

hasil observasi dan wawancara disusun dan disajikan dalam bentuk teks

naratif seperti catatan observasi dan catatan wawancara.

Peneliti menampilkan data data berupa catatan wawancara yang tersusun

dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan

sejenisnya agar lebih mudah dipahami.

c. Menarik Kesimpulan Atau Verifikasi (Conclusion Drawing/Verifying)

Verifikasi merupakan tahap akhir dalam proses pengumpulan data

berdasarkan data yang sudah di kondensasi dan ditampilkan lalu menarik

kesimpulan.

Peneliti membuat kesimpulan dari catatan yang telah ditampilan

dengan bukti yang kuat dan menjadi jawaban dari rumusan masalah dan

pertanyaan penelitian ini.

1.7.8 Keabsahan Data

Untuk menguji keabsahan data peneliti dengan upaya validasi dan kredibilitas

data menggunakan teknik triangulasi, yaitu kombinasi beragam sumber data,

tenaga peneliti, teori dan teknik metodologis dalam suatu penelitian atau gejala

social. Meleong berpendapat bahwa “ Triangulasi adalah teknik pemeriksaan

keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar data itu untuk
36

pengecekan atau sebagai bahan pembandingan terhadap data itu.” Moleong

(2017) juga menjabarkan empat kriteria keabsaan data , sebagai berikut:19

1) Credibilitas (derajat kepercayaan)

Teknik pemeriksaan yang digunakan untuk meningkatkan derat

kepercayaan terhadap data adalah dengan memperpanjangan keikutsertaan

pada latar penelitian dan ketekunan pengamatan yang memungkinkan.

2) Transferability (keteralihan)

Konsep ini menyatakan bahwa generalisasi suaru pertemuan dapat

berlaku atau diterapkan pada semua konteks dalam populasi yang sama atas

dasar penemuan yang diperoleh pada sampel yang secara representatif

mewakili populasi itu.

3) Dependability (Ketergantungan)

Untuk menentukan ketergantungan data peneliti menggunakan teknik

audit ketergantungan dengan mengecek sejauh mana data digunakan dalam

analisis.

4) Confirmability (kepastian)

Untuk menentukan kepastian data maka peneliti menggunakan teknik

audit kepastian dengan menelusuri kembali jejak penelitian mulai dari catatan

wawancara, dokumen sampai analisis datanya.

19
Lexy J Moleong, Op.Cit, Hlm.324.
37

Untuk menguji keabsahan data yang dapat dilakukan melalui perpanjangan

pengamatan, peningkatan ketekunan dalam observasi dan melakukan triangulasi.

Sugiyono (2017) membedakan tiga macam triangulasi, sebagai berikut :20

1. Triangulasi sumber

Triangulai dengan sumber yaitu untuk menguji kredibilitas data yang

dilakukan dengan cara mengecek data yang telah di peroleh melalui beberapa

sumber suatu informasi. Data yang telah dianalisis oleh peneliti tersebut

menghasilkan kesimpulan, selanjutnya di mintakan kesepakatan (member

check) dari sumber data tersebut.

2. Triangulasi teknik

Triangulasi dengan teknik yaitu menguji kredibilitas data dengan cara

mengecek data kepada sumber data yang sama dengan teknik yang berbeda.

3. Triangulasi waktu

Triangulasi dengan waktu yaitu untuk menguji kredibilitas data yang

dilakukan dengan cara mengecek data dengan teknik wawancara di pagi hari

pada saat narasumber masih segar, dan pada sore hari saat narasumber sudah

merasa jenuh dan di penuhi oleh masalah. Apabila hasil uji menghasilkan data

yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang hingga di temukan

kepastian datanya.

20
Sugiyono, Op Cit, Hlm.125.
38

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik kredibilitas dengan

teknik keabsahan data atau Triangulasi Sumber, setelah mengambil

kesimpulan peneliti akan kembali berdiskusi dengan informan dengan tujuan

hasil kesimpulan yang ditarik oleh peneliti dapat sesuai dan sepemikiran

dengan apa yang dimaksudkan oleh informan.

Anda mungkin juga menyukai