Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HUKUM INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

ASPEK HUKUM PERJANJIAN MELALUI INTERNET

DOSEN PENGAMPU:
HARISMAN, SH., MH.

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
KHORINNISA NASUTION (2106200130)
DEA ALFI (2106200135)
AHMAD RIZKI LUBIS (2106200140)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini sebatas
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Serta, kami juga berterima kasih pada Bapak
Harisman, SH., MH. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Informasi dan Transaksi
Elektronik yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang baik.

Adapun makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang diperoleh
dari berbagai sumber yang berkaitan dengan sosiologi serta infomasi dari media massa yang
berhubungan dengan tema. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kelompok
kami maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan di masa akan datang.

Medan, Oktober 2023

Hormat kami.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3

A. Konsep Perdagangan Elektronik (E-Commerce)......................................... 3

B. Jenis Perdagangan Elektronik (E-Commerce) ............................................. 5

C. Aspek Hukum Perjanjian dalam Transaksi Elektronik................................ 4

D. Keabsahan dan Legalitas Perjanjian dalam Transaksi Elektronik ............... 7

E. Penyelesaian Sengketa pada Transaksi Elektronik ...................................... 9

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 12

A. Kesimpulan .................................................................................................. 12

B. Saran ............................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Melalui internet saat ini mulai tumbuh komunitas-komunitas yang mengkhususkan


diri dalam memperdagangkan barang-barang tertentu. Pelaku pelaku bisnis sekarang mulai
bergabung dalam situs-situs yang mewadahi komunitas mereka. Situs-situs tersebut
mewajibkan penggunanya untuk menjadi anggotanya terlebih dahulu, namun ada juga yang
tidak. Sebagaimana sebuah toko online yang menawarkan barang untuk diperjualbelikan
melalui internet (E commerce).

Perkembangan internet merubah gaya hidup dan perilaku masyarakat dunia yang
biasanya informasi dan komunikasi dengan menggunkan sebuah kertas berubah menjadi
elektronik. Tidak menutup kemungkinan terjadinya transaksi di bidang bisnis. Transaksi yang
terjadi antara permintaan dan penawaran dapat dengan mudah dilakukan walaupun yang
bersangkutan berada di wilayah yang berbeda karena kemajuan teknologi informasi, yang
dalam ini adalah teknologi e-commerce.1

Perbuatan hukum berupa transaksi elektronik yang dibuat antara pihak dalam
transaksi, tidak lepas dari permasalahan hukum yang terjadi. Wanprestasi adalah salah satu
perbuatan hukum yang menciderai proses transaksi elektronik yang sering terjadi, seharusnya
salah satu pihak dalam transaksi harus melaksanakan prestasinya, namun dalam
perjalanannya salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi yang diperjanjikan.
Berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata, apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak
memenuhi prestasi yang telah menjadi kesepakatan (wanprestasi), sehingga akibat dari
perbuatan yang dilakukan itu mengakibatkan kerugian materil. Oleh sebab itu, perbuatan
yang merugikan tersebut akibat dari salah satu pihak yang tidak melaksanakan
tanggungjawabnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati melalui media online dapat
digugat secara hukum melalui pengadilan.

Perjanjian sebagai hubungan hukum secara privat yang terjalin antara pihak yang
telah melakukan perjanjian, atas objek yang telah diperjanjikan sebagai wujud pemenuhan
1
Desak Putu Pradnyamitha, Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi, 2016, “Keabsahan Transaksi Online
Ditinjau Dari Hukum Perikatan”, ojs.unud.ac.id, URL :
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/download/38336/23260/, diakses tanggal 9 Oktober 2023,
jam 19.31 WIB.

1
hak dan kewajiban, setelah terciptanya kesepakatan dari para pihak yang telah mengikatkan
diri atas suatu perjanjian. Oleh karena itu, perjanjian harus memenuhi unsur-unsur syarat
sahnya perjanjian, sehingga memiliki kekuatan hukum bagi kedua pihak yang membuat
perjanjian, khususnya perjanjian melalui transaksi internet. Perjanjian yang memiliki
kekuatan hukum adalah perjanjian yang memenuhi unsur-unsur hukum yang telah dijelaskan
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Mengingat pentingnya perlindungan hukum yang perlu
dilaksanakan guna untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
menggunakan transaksi melalui media elektronik/internet, maka peran pemerintah sebagai
pemberi kepastian hukum bagi warga negara Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) sebagai payung hukum.

Transaksi/perjanjian elektronik yang dibuat untuk menjalankan metode jual beli


online, tentunya harus sama kuatnya dengan perjanjian secara umum, walaupun perjanjian
elektronik tersebut dibuat secara online. Ketentuan hukum untuk membuktikan kekuatan
perjanjian elektronik dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (1) UU ITE yaitu, ”transaksi elektronik
yang dituangkan kedalam kontrak elektronik mengikat para pihak”. Permasalahan yang
terjadi biasanya adalah kecakapan para pihak dalam melakukan transaksi jual beli, karena
dalam jual belli online seorang tidak mengetahui apakah orang tersebut telah cakap hukum
atau tidak sesuai penjelasan Pasal 1330 KUHPerdata.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep perdagangan elektronik (e-commerce)?


2. Apa saja jenis perdagangan elektronik (e-commerce)?
3. Bagaimana aspek hukum perjanjian dalam transaksi elektronik?
4. Bagaimana keabsahan dan legalitas perikatan dalam transaksi elektronik?
5. Bagaimana penyelesaian sengketa pada transaksi elektronik?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep perdagangan elektronik (e-commerce).


2. Untuk mengetahui jenis perdagangan elektronik (e-commerce).
3. Untuk mengetahui aspek hukum perjanjian dalam transaksi elektronik.
4. Untuk mengetahui keabsahan dan legalitas perikatan dalam transaksi elektronik.
5. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa pada transaksi elektronik.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Perdagangan Elektronik (E-Commerce)

Menurut Jony Wong menyatakan bahwa, “E-commerce adalah pembelian, penjualan


dan pemasaran barang serta jasa melalui sistem elektronik. Seperti radio, televisi dan jaringan
komputer atau internet”.2 Dalam perdagangan elektronik, pemasaran barang dan jasa yang
dilakukan secara elektronik melibatkan data dan sistem yang dijalankan secara otomatis.
Macam-macam kegiatan yang umumnya dilakukan dalam e-commerce melibatkan transaksi
seperti jual beli, pemasaran online, transfer dana, dan lain-lain. Maka berdasarkan pengertian
yang telah tertera diatas dapat disimpulkan bahwa e-commerce esensinya dapat dipahami
sebagai suatu proses transaksi jual beli yang dilaksanakan secara elektronik (digital) dan
digunakan sebagai sebuah sarana dalam menyelesaikan proses transaksi jual beli tersebut.

B. Jenis Perdagangan Elektronik (E-Commerce)

Menurut Kotler dan Armstrong, terdapat empat macam perdagangan elektronik, yakni
terdiri dari:3

1. Business to Business (B2B), dimana transaksi elektronik ini dilaksanakan oleh dua
pihak yang memiliki kepentingan bisnis mutual. Bisnis dan juga transaksi elektronik
yang dijalankan kedua pihak tersebut saling mengerti dan juga memahami bisnis yang
dijalankan dan umumnya berkesinambungan secara berkelanjutan. Model umum yang
digunakan dalam e-commerce jenis ini ialah peer to peer, dimana processing
intelligence dapat didistribusikan oleh kedua belah pihak pelaku bisnis tersebut.
2. Business to Consumer (B2C), dimana jenis e-commerce ini terbuka untuk diakses
secara umum dan servis yang digunakan merupakan berdasarkan permintaan sehingga
penjual selaku produsen perlu untuk memenuhi dan merespon baik dari permintaan
konsumen tersebut. Sistem pendekatan dalam jenis e-commerce ini layaknya transaksi
antara penjual-pembeli biasa (client-server).

2
Wong, Jony. (2010). Internet Marketing for Beginners, Elex Media. Komputindo: Jakarta. hlm. 33.
3
Kotler & Amstrong. (2016). Principles of Marketing Sixteenth Edition Global Edition. England: Pearson
Education Limited.

3
3. Consumer to Consumer (C2C), dalam model e-commerce ini, sarana website
marketplace dijadikan sebagai perantara antara penjual dan pembeli. Website
marketplace tersebut tidak hanya mempromosikan barang saja, melainkan juga turut
memberikan.
4. Consumer to Business (C2B), dalam jenis e-commerce ini, konsumen berperan
sebagai penjual sedangkan perusahaan bertindak sebagai pembeli.

C. Aspek Hukum Perjanjian dalam Transaksi Elektronik

Rosalinda Elsina menjelaskan bahwa, “Transaksi perdagangan secara elektronik ini


sesungguhnya mengandung banyak sekali aspek hukum yang harus diperhatikan, misalnya
tentang keabsahan perjanjian jual beli yang dibuat secara elektronik, tentang perlindungan
hukum bagi konsumen yang dirugikan, maupun tentang mekanisme penyelesaian sengketa
antara pelaku usaha dan konsumen”.4

Syarat sah dalam sebuah perjanjian yang telah disebutkan dalam sub bab sebelumnya
juga berlaku pada perikatan jual beli dalam transaksi elektronik. Terkait hal tersebut
dijelaskan dalam pasal 47 PP PSTE:

1. Transaksi Elektronik dapat dilakukan berdasarkan Kontrak Elektronik atau bentuk


kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak.
2. Kontrak Elektronik dianggap sah apabila terdapat kesepakatan para pihak; dilakukan
oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; terdapat hal tertentu; dan objek transaksi
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan
ketertiban umum.

Sugeng Santoso menjelaskan bahwa dalam perdagangan secara elektronik, dalam


hukum perdata terdapat beberapa asas-asas hukum perjanjian. Hal tersebut tertulis dalam
Buku III KUH Perdata dimana terdapat tiga asas pokok dalam pembuatan dan juga
pelaksanaan sebuah perjanjian, terdiri dari:5

1. Asas kebebasan berkontrak atau sistem terbuka, artinya para pihak bebas membuat
suatu perjanjian dan mengatur sendiri isi perjanjian itu, sepanjang memenuhi

4
Latumahina, Rosalinda Elsina. (2015). Aspek-Aspek Hukum Dalam Transaksi Perdagangan Secara Elektronik.
Jurnal GEMA AKTUALITA, Vol. 4 No. 1. hlm. 2.
5
Santoso, Sugeng. (2016). Sistem Transaksi E-Commerce Dalam Perspektif Kuh Perdata Dan Hukum Islam.
IAIN Tulungagung Research Collections. hlm. 230-233.

4
ketentuan memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian; tidak dilarang oleh undang-
undang; sesuai dengan kebiasaan yang berlaku; dan sepanjang perjanjian tersebut
dilaksanakan dengan iktikad baik. Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi
dari sistem terbuka (open system) dari hukum perjanjian. Hal tersebut diatur dalam
pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
2. Asas konsensualisme, merupakan dasarnya perjanjian dan perikatan yang dilahirkan
sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian sudah sah apabila
sudah sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas
tertentu, kecuali untuk perjanjian yang memang oleh undang-undang dipersyaratkan
suatu formalitas tertentu. Asas konsensualisme merupakan pemenuhan dari Pasal
1320 KUH Perdata, dimana tertulis bahwa perjanjian secara sah diperlukan empat
syarat yakni salah satunya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
3. Asas iktikad baik. Iktikad baik dalam pengertiannya secara subjektif merupakan sikap
batin seseorang pada saat melaksanakan sebuah hubungan hukum yang sah yakni
kejujuran. Sementara iktikad baik dalam pengertian objektif ialah kepatutan dari isi
perjanjian itu sendiri. Iktikad baik sendiri disebutkan dalam pasal 1338 ayat 3
KUHPerdata yang berbunyi, “Suatu perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik”.
Asas ini mengharuskan sebuah perjanjian untuk dilaksanakan secara jujur dengan
mempertahankan norma kepatutan dan kesusilaan.

Transaksi jual beli secara elektronik pada hakikatnya sama dengan jual beli biasa
sehingga peraturan serta ketentuannya tetap berpandangan pada regulasi jual beli dalam
KUHPerdata. Pasal 7 Undang-Undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur
terkait pelaku usaha selaku penjual diharuskan untuk memberikan ganti rugi atas barang yang
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan kepada konsumennya. Sementara dalam Pasal 6 UU
Perlindungan Konsumen, diatur hak dari penjual yakni terdiri dari::

1. Menentukan dan menerima harga pembayaran atas penjualan barang sesuai dengan
kesepakatan antara penjual dan pembeli.
2. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan pembeli yang beriktikad tidak baik.
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian sengketa.
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum merugikan konsumen
yang tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

5
Tidak hanya penjual, pembeli selaku salah satu pihak yang andil dalam transaksi juga
memiliki kewajiban serta hak nya masing-masing. Kewajiban pembeli diatur dalam Pasal 5
UU Perlindungan Konsumen yang terdiri dari:

1. Membaca informasi dan mengikuti prosedur atau petunjuk tentang penggunaan dan
atau jasa yang dibelinya.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi jual beli barang atau jasa tersebut.
3. Membayar harga pembelian sesuai dengan yang telah disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut apabila timbul sengketa dari proses
jual beli tersebut.

Sedangkan dalam rangka perlindungan konsumen, pembeli memiliki perlindungan


dari hal yang dapat merugikan, serta juga terperinci terkait hak-hak dari seorang pembeli
yang diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen terdiri dari:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan
atau jasa.
2. Hak memilih serta mendapatkan barang dan atau jasa dengan kondisi yang sesuai
dengan yang diperjanjikan.
3. Mendapatkan informasi secara benar, jujur, dan jelas mengenai barang atau jasa yang
diperjualbelikan.
4. Mendapatkan pelayanan dan perlakuan secara benar dan tidak diskriminatif.
5. Didengarkan pendapatnya atau keluhannya atas kondisi barang dan atau jasa yang
dibelinya.
6. Mendapatkan perlindungan hukum secara patut apabila dari proses jual beli tersebut
timbul sengketa.
7. Mendapatkan kompensasi atau ganti rugi apabila barang dan atau jasa yang dibelinya
tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.
8. Mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

Atik Winanti dan Tangkas Hadi menjelaskan terkait asas dari perlindungan
konsumen, yang terdiri dari:6

1. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,


pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual;

6
Atik Winanti & Tangkas Hadi. (2020). Perlindungan Konsumen Terkait Iklan Yang Menyesatkan. 2nd
National Conference on Law Studies: Legal Development Towards A Digital Society Era. hlm. 316.

6
2. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
3. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan
dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.

D. Keabsahan dan Legalitas Perjanjian dalam Transaksi Elektronik

Di dalam Burgerlijk Wetboek atau yang dikenal sebagai Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata (KUHPer) yaitu pada Pasal 1320 KUH Perdata diatur mengenai syarat sah
nya perjanjian. Pada ketentuan pasal tersebut dikatakan bahwa terdapat 4 (empat) syarat sah
nya suatu perjanjian, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.


Terhadap para pihak yang mengikatkan dirinya harus terdapat kesepakatan terlebih
dahulu mengenai hal-hal pokok atau materi yang akan diperjanjikan. Di dalam suatu
perjanjian, tidak bisa dikatakan sepakat jika terdapat suatu unsur paksaan, penipuan,
dan/atau kekhilafan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Pada dasarnya, setiap orang dianggap cakap dalam melakukan suatu tindakan hukum,
kecuali terhadap yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum. Pada ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata diatur mengenai subyek
hukum yang dianggap tidak cakap untuk melakukan suatu perjanjian, yaitu:
a. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian perjanjian tertentu;
b. Orang yang belom dewasa; dan
c. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

7
Dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan
pada nomor 3 dihapus. Maka, subyek hukum yang dianggap cakap oleh Pasal 1330
KUH Perdata untuk melakukan perbuatan hukum maupun membuat perjanjian ialah
orang orang yang sudah tidak dibawah pengampuan serta sudah dewasa baik secara
umur maupun pikiran.7

3. Suatu hal tertentu


“Suatu hal tertentu” memiliki arti bahwa terhadap objek perikatan atau apa yang
diperjanjikan ialah harus jelas adanya. Barang yang menjadi objek perikatan tersebut
harus jelas serta dapat dilaksanakan.
4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal, memiliki artian bahwa perjanjian yang dilakukan ialah tidak
bileh melanggar kaidah-kaidah hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Keempat unsur dari syarat sahnya perjanjian ini juga berlaku pada transaksi elektronik
(e-commerce). Hal ini tertuang pada ketentuan dari Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) yang
berbunyi, yaitu:

1. Transaksi Elektronik dapat dilakukan berdasarkan Kontrak Elektronik atau bentuk


kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak.
2. Kontrak Elektronik dianggap sah, apabila:
a. Terdapat kesepakatan para pihak;
b. Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau berwenang mewakili sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Terdapat hal tertentu; dan
d. Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan, dan ketertiban umum.

Lebih lanjut, pada Pasal 47 PP PSTE dijelaskan lebih lanjut mengenai persyaratan
tambahan dari Kontrak Elektronik yang merupakan bagian dari sebuah Transaksi Elektronik.
Disebutkan dalam Pasal 47 PP PSTE bahwa:

1. Kontrak Elektronik yang dibuat dengan klausula baku harus sesuai dengan ketentuan
mengenai klausula baku sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

7
Iman Nurul Hikmah, “Analisis Terhadap Keragaman Batas Umur Anak Ditinjau Menurut Peraturan
Perundang-Undangan Dan Putusan Hakim Dalam Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri.,” Jurnal Ilmu Hukum
unsyiah 3, no. 1 (February 17, 2015): 66–75,

8
2. Kontrak Elektronik dan bentuk kontraktual lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1) yang ditujukan kepada penduduk Indonesia harus dibuat dalam
Bahasa Indonesia.
3. Kontrak Elektronik paling sedikit memuat:
a. Data identitas para pihak;
b. Objek dan spesifikasi;
c. Persyaratan Transaksi Elektronik;
d. Harga dan biaya;
e. Prosedur dalam hal terdapat pematalan oleh para pihak;
f. Ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat
mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdaoat cacat
tersembunyi; dan
g. Pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.

E. Penyelesaian Sengketa pada Transaksi Elektronik

Secara garis besar, penyelesaian sengketa pada transaksi elektronik (e-commerce)


dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu penyelesaian sengketa secara damai dan penyelesaian
sengketa secara adversarial.8 Terhadap penyelesaian sengketa secara damai lebih merujuk
kepada penyelesaian yang mengedepankan musyawarah mufakat, sehingga terhadap hasilnya
merupakan kehendak dari kedua belah pihak yang bersengketa. Sedangkan, penyelesaian
sengketa secara adversarial ialah dimana pihak ketiga selaku pihak yang tidak terlibat pada
sengketa tersebut berfungsi sebagai pemutus suatu sengketa.

1. Penyelesaian Sengketa Transaksi Elektronik Secara Damai9

a. Mediasi

Terhadap sengketa yang terjadi pada lingkup e-commerce, maka penyelesaian melalui
mediasi ialah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang kerap digunakan. Di dalam
tahapan mediasi, peran mediator hanya menjadi fasilitator saja. Ia harus bisa mengidentifikasi
permasalahan yang menjadi sengketa, memberi fasilitas terhadap kedua belah pihak sehingga
komunikasi antara kedua belah pihak yang bersengketa dapat berlangsung dengan lancar.
8
Rochani Urip Salami and Rahadi Wasi Bintoro, “Aletrnatif Penyelesaian Sengketa Dalam Sengketa Transaksi
Elektronik (E-Commerce),” Jurnal Dinamika Hukum 2, no. 4 (January 30, 2008): 124–35,
https://doi.org/10.20884/1.JDH.2013.13.1.161.
9
Muskibah, “Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa,” Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Volume 4
N (2018), https://repository.unja.ac.id/17562/1/Jurnal Komunikasi Hukum.pdf.

9
b. Negosiasi

Pada dasarnya, proses negosiasi dilakukan saat proses persidangan. Pada hukum acara
perdata, terkandung prinsip bahwa hakim bersifat pasif, dalam hal ini jika kedua belah pihak
yang bersengketa ingin mengakhiri sengketa, maka Hakim tidak boleh menghalangi niat
mereka. Para pihak yang bersengketa dalam sengketa e-commerce dalam penyelesaiannya
cenderung tidak memerlukan pihak ketiga, karena pada sengketa yang terjadi pada lingkup e-
commerce berkaitan dengan permasalahan yang sebenarnya bisa dilakukan musyawarah
seperti tentang harga, kualitas barang dan juga mengenai jangka waktu pengirimannya. Lalu,
tidak jarang juga terhadap produk yang menjadi objek sengketa nilainya tidak lebih besar dari
biaya yang harus mereka keluarkan untuk membayar jasa dari pihak ketiga tersebut.

c. Konsiliasi

Peyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang tidak memihak dan netral ialah
konsiliasi. Tugas yang dimiliki seorang konsiliator ialah menjadi fasilitator dalam suatu
upaya penyelesaian sengketa. Di dalam prosesnya, pihak konsiliator bersifat aktif dalam
memberi arahan kepada kedua belah pihak untuk dapat menemukan kesimpulan yang
disepakati oleh kedua belah pihak. Seorang konsiliator dalam proses konsiliasi dituntut untuk
memahami situasi yang terjadi dan mengetahui apa yang menjadi keinginan dari masing-
masing pihak, sehingga dapat timbul suatu titik terang yang akan menjadi suatu kesimpulan.

2. Penyelesaian Sengketa Transaksi Elektronik Secara Adversarial10

a. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi atau lembaga peradilan negara berarti
sengketa tersebut akan diperiksa oleh hakim pengadilan dalam persidangan. Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi
merupakan penyelenggara peradilan di Indonesia. Dalam mengemban fungsinya sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman, pengadilan bertugas untuk menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya. Terdapat 3 (tiga) macam
kekuatan yang menjadi keistimewaan dari penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu :

10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1993). h. 177- 182.

10
1) Kekuatan mengikat
Hakim dalam memberikan putusannya ialah dengan memberi putusan yang bersifat
mengikat, artinya bahwa putusan tersebut mengikat para pihak yang bersengketa
sehingga terhadap apapun putusannya harus dijalankan bagi yang memiliki kewajiban
untuk menjalankannya. Jika Hakim telah memutus suatu sengketa, maka terhadap
putusan tersebut ialah memiliki kekuatan hukum tetap. Cara untuk mengubah putusan
tersebut ialah dengan mengajukan upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali).
2) Kekuatan pembuktian
Dalam putusan Hakim, terdapat juga kekuatan pembuktian di dalamnya, yang berarti
dengan putusan hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung
dalam putusan itu. Dituangkannya putusan hakim dalam bentuk tertulis yang
merupakan akta otentik tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti
bagi para pihak untuk mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali atau upaya
hukum lainnya, dan untuk keperluan pelaksanaan putusan.
3) Kekuatan eksekutorial
Kekuatan yang menjadi keistimewaan penyelesaian sengketa melalui pengadilan ialah
terhadap putusannya memiliki kekuatan eksekutorial, yang berarti bahwa terhadap
sebuah putusan, putusan tersebut tidak hanya menyelesaikan suatu perkara dan
menetapkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, namun juga agar
tereralisasinya putusan tersebut dalam hal ini dengan diadakanna eksekusi secara
paksa bagi pihak yang kalah. Kekuatan mengikat saja belum dapat dikatakan cukup
serta tidak akan berarti bila tidak diadakannya eksekusi atas putusan tersebut.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dalam perdagangan elektronik, pemasaran barang dan jasa yang dilakukan secara
elektronik melibatkan data dan sistem yang dijalankan secara otomatis. Macam-
macam kegiatan yang umumnya dilakukan dalam e-commerce melibatkan transaksi
seperti jual beli, pemasaran online, transfer dana, dan lain lain. Perjanjian dalam
transaksi jual beli dapat dipahami sebagai sebuah ikatan yang sifatnya timbal balik
antar pihak dimana pihak yang satu memiliki kewajiban untuk menyerahkan barang
dan pihak lainnya memiliki kewajiban untuk membayar harga yang sudah ditentukan
dan disepakati sebagai bentuk pembayaran.
2. Perikatan merupakan sebuah peristiwa yang terjadi ketika seseorang telah
melaksanakan kesepakatan yang mengikat dirinya baik kesepakatan tersebut secara
lisan ataupun dalam tulisan untuk membuat sebuah perjanjian yang menimbulkan hak
serta kewajiban dari pihak yang terlibat tersebut. Buku III KUHPerdata Pasal 1233
mengatur terkait perikatan yang berbunyi, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”.
3. Transaksi jual beli secara elektronik pada hakikatnya sama dengan jual beli biasa
sehingga peraturan serta ketentuannya tetap berpandangan pada regulasi jual beli
dalam KUHPerdata. Pasal 7 Undang-Undang No. 8/1999 tentang Perlindungan
Konsumen mengatur terkait pelaku usaha selaku penjual diharuskan untuk
memberikan ganti rugi atas barang yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan
kepada konsumennya. Sementara dalam Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen, diatur
hak dari penjual. Tidak hanya penjual, pembeli selaku salah satu pihak yang andil
dalam transaksi juga memiliki kewajiban serta hak nya masing masing. Kewajiban
pembeli diatur dalam Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen. Sedangkan dalam rangka
perlindungan konsumen, pembeli memiliki perlindungan dari hal yang dapat
merugikan, serta juga terperinci terkait hak-hak dari seorang pembeli yang diatur
dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen.
4. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yaitu pada Pasal 1320
KUH Perdata diatur mengenai syarat sah nya perjanjian. Pada ketentuan pasal tersebut

12
dikatakan bahwa terdapat 4 (empat) syarat sah nya suatu perjanjian. Keempat unsur
dari syarat sahnya perjanjian ini juga berlaku pada transaksi elektronik (e-commerce).
Hal ini tertuang pada ketentuan dari Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun
2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).
5. Mediasi, konsiliasi, dan negosiasi merupakan bentuk-bentuk dari bagaimana
penyelesaian sengketa secara damai dilakukan. Selain dilakukan secara damai,
penyelesaian sengketa dalam perkara transaksi elektronik dapat pula diselesaikan
melalui suatu lembaga penyelesaian sengketa atau kerap kali disebut sebagai
penyelesaian sengketa secara adversarial.

B. Saran

1. Seiring dengan perkembangan zaman, tentu semakin banyak dari kebutuhan kita
sehari-hari yang akan dilaksanakan secara digital, tidak terkecuali transaksi jual beli.
Maka sebagai seorang konsumen dalam melaksanakan transaksi jual beli tersebut
hendaknya mengerti serta paham secara jelas terkait transaksi jual beli secara
elektronik dari seorang penjual. Hal tersebut juga berlaku kepada pihak penjual agar
dapat menghindari segala permasalahan yang akan muncul akibat misinformasi terkait
akibat hukum dari tindakan jual beli secara elektronik.
2. Maka sebagai lanjutan dari rumusan saran pertama tersebut, penulis nilai perlu adanya
sosialisasi yang dilaksanakan pemerintah ataupun badan berwenang lainnya secara
skala besar terhadap masyarakat terkait Undang-Undang ITE sehingga masyarakat
dapat memahami aspek hukum, keabsahan, dan juga berbagai persengketaan dan
penyelesaiannya yang mungkin akan terjadi dari sebuah transaksi jual beli secara
elektronik (E-commerce). Sosialisasi tersebut bertujuan agar masyarakat umum dapat
meaksanakan jual beli secara digital sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sehingga pemahaman serta persepsi dalam pelaksanaannya bisa lebih
baik lagi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Atik Winanti & Tangkas Hadi. 2020. Perlindungan Konsumen Terkait Iklan Yang
Menyesatkan. 2nd National Conference on Law Studies: Legal Development Towards
A Digital Society Era. hlm. 316.

Desak Putu Pradnyamitha, Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi, 2016, “Keabsahan
Transaksi Online Ditinjau Dari Hukum Perikatan”, ojs.unud.ac.id, URL :
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/download/38336/23260/,
diakses tanggal 9 Oktober 2023, jam 19.31 WIB.

Iman Nurul Hikmah, 2015, “Analisis Terhadap Keragaman Batas Umur Anak Ditinjau
Menurut Peraturan Perundang-Undangan Dan Putusan Hakim Dalam Perkara Perdata
Di Pengadilan Negeri.,” Jurnal Ilmu Hukum Unsyiah 3, No. 1 (February 17, 2015):
66–75.

Kotler & Amstrong. 2016. Principles of Marketing Sixteenth Edition Global Edition.
England: Pearson Education Limited.

Latumahina, Rosalinda Elsina. 2015. Aspek-Aspek Hukum Dalam Transaksi Perdagangan


Secara Elektronik. Jurnal GEMA AKTUALITA, Vol. 4 No. 1. Hlm. 2.

Muskibah, 2018, Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jurnal Komunikasi


Hukum (JKH) Volume 4, https://repository.unja.ac.id/17562/1/Jurnal Komunikasi
Hukum.pdf.

Rochani Urip Salami and Rahadi Wasi Bintoro, 2008, “Aletrnatif Penyelesaian Sengketa
Dalam Sengketa Transaksi Elektronik (E-Commerce),” Jurnal Dinamika Hukum 2,
no. 4 (January 30, 2008): 124–35, https://doi.org/10.20884/1.JDH.2013.13.1.161.

Santoso, Sugeng. 2016. Sistem Transaksi E-Commerce Dalam Perspektif Kuh Perdata Dan
Hukum Islam. IAIN Tulungagung Research Collections.

Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia Yogyakarta: Liberty.

Wong, Jony. 2010. Internet Marketing for Beginners, Jakarta : Elex Media. Komputindo.

14

Anda mungkin juga menyukai