Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT


DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
PANCASILA
Dosen Pengampu:
Dr. H. Metroyadi, S.H, M.Pd dan Zain Ahmad Fauzi, M.Pd

Disusun Oleh:
Kelompok 6
Angela 2310125220081
M. Ajmul Nashir 2310125210076
Musdalifah 2310125320017
Nazwa Azkia Ramadhani 2310125320022
Nur Haliza 2310125320016
Nurlayalia Ramadhini 2310125220059
Nur Inayah 2310125120033
Rakhmadaniati Faznur 2310125220063
Siti Jamilah 2310125320026

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
TAHUN 2023
DAFTAR TUGAS

NAMA NIM TUGAS


Angela 2310125220081 Meresume subbab 2.1, Membuat
PPT & Operator
M. Ajmul Nashir 2310125210076 Meresume subbab 2.4 & Pemateri
Musdalifah 2310125320017 Meresume subbab 2.4 & Pemateri
Nazwa Azkia Ramadhani 2310125320022 Meresume subbab 2.3 & Pemateri
Nur Haliza 2310125320016 Meresume subbab 2.2 & Pemateri
Nurlayalia Ramadhini 2310125220059 Meresume subbab 2.2, Membuat
Makalah & Moderator
Nur Inayah 2310125120033 Meresume subbab 2.3 & Pemateri
Rakhmadaniati Faznur 2310125220063 Meresume subbab 2.3 & Pemateri
Siti Jamilah 2310125320026 Meresume subbab 2.1 & Pemateri
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Pancasila Sebagai Sistem Filsafat"
ini dengan penuh kemudahan, tanpa pertolongan-Nya mungkin makalah ini tidak dapat kami
selesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Tujuan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila Sebagai
Sistem Filsafat.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. H. Metroyadi, S.H, M.Pd. dan Zain
Ahmad Fauzi, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Pancasila yang telah
membimbing kami dalam belajar dan juga pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangannya.
Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan, waktu, serta sumber yang kami miliki. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan
penyusunan selanjutnya.

Akhir kata semoga Makalah "Pancasila Sebagai Sistem Filsafat" bermanfaat bagi para
pembaca. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu meridhoi usaha kami.

Banjarmasin, September 2023

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1

1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2

2.1 Pengertian Filsafat.......................................................................................................2

2.2 Rumusan Kesatuan Sila-sila sebagai Suatu Sistem.....................................................5

2.3 Kesatuan Sila-sila sebagai suatu Sistem Filsafat.......................................................10

2.4 Pancasila sebagai Dasar Fundamental.......................................................................21

BAB III PENUTUP..................................................................................................................25

3.1 Kesimpulan................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................26

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap negara atau bangsa di dunia ini mempunyai sistem nilai (filsafat)
tertentu yang menjadi pegangan bagi anggota masyarakat dalam menjalankan
kehidupan dan pemerintahannya. Filsafat negara merupakan pandangan hidup bangsa
yang diyakini kebenarannya dan diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat yang
mendiami negara tersebut. Pandangan hidup bangsa merupakan nilai-nilai yang
dimiliki oleh setiap bangsa, Nilai-nilai tersebut akan mempengaruhi segala aspek
suatu bangsa. Nilai adalah suatu konsepsi yang secara eksplisit maupun implisit
menjadi milik atau ciri khas seseorang atau masyarakat. Pada konsep tersembunyi
bahwa pilihan nilai merupakan suatu ukuran atau standar yang memiliki kelestarian
yang secara umum digunakan untuk mengorganisasikan sistem tingkah laku suatu
masyarakat.
Sistem nilai (filsafat) yang dianut suatu bangsa merupakan filsafat masyarakat
budaya bangsa. Bagi suatu bangsa, filsafat merupakan sumber dari segala sumber
hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karena itu,
filsafat berfungsi dalam menentukan pandangan hidup suitu masyarakat dalam
menghadapi suatu masalah, hakikat dan sifat hidup, hakikat kerja, hakikat kedudukan
manusia, etika dan tata krama pergaulan dalam ruang dan waktu, serta hakikat
hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Indonesia adalah salah satu negara yang juga memiliki filsafat seperti bangsa-
bangsa lain. Filsafat ini tak lain adalah yang kita kenal dengan nama Pancasila yang
terdiri dari lima sila Pancasila merupakan filsafat hidup bangsa Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Filsafat?
2. Bagaimana rumusan kesatuan sila-sila sebagai suatu sistem?
3. Bagaimana Kesatuan sila-sila pancasila sebagai suatu sistem filsafat?
4. Bagaimana pancasila sebagai dasar fundamental?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Pengertian Filsafat.
2. Untuk mengetahui rumusan kesatuan sila-sila sebagai suatu sistem.
3. Untuk mengetahui Kesatuan sila-sila pancasila sebagai suatu sistem filsafat.

1
4. Untuk mengetahui pancasila sebagai dasar fundamental.

2
BAB II

PEMBAHASA

2.1 Pengertian Filsafat


A. Pengertian Filsafat
Sebelum membahas pengertian istilah filsafat secara material, kita
perlu membahas terlebih dahulu makna dan arti istilah “filsafat”. Pada
umumnya para filsuf maupun para ahli filsafat mempunyai tinjauan yang
senada dalam mengertikan istilah filsafat, walaupun secara harafiah
mempunyai perbedaan. Istilah “filsafat” dalam bahasa Indonesia mempunyai
padanan “falsafah” dalam kata Arab. Sedangkan dalam bahasa Inggris
“philosophy”, bahasa Latin “philosophia”, bahasa Belanda “philosophie”,
bahasa Jerman “philosophier”, dan bahasa Perancis “philosophie”, yang
semuanya itu jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia merujuk pada istilah
“filsafat”. “Philosophia” ini adalah kata benda yang merupakan hasil dari
kegiatan “philosophien” sebagai kata kerja- nya. Sedangkan kegiatan ini
dilakukan oleh philosophos atau filsuf sebagai subjek yang berfilsafat.
Menurut Harun Nasution, istilah “falsafah” yang berasal dari bahasa Yunani
“philein” ini mengandung arti "cinta" dan “Sophos” dalam arti hikmah
(wisdom) (Nasution, 1973).
Istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani, bangsa Yunanilah yang
mula-mula berfilsafat seperti lazimnya dipahami orang sampai sekarang. Kata
ini bersifat majemuk, berasal dari kata “philos” yang berarti “sahabat” dan
kata “Sophia” yang berarti “pengetahuan yang bijaksana (wished) dalam
bahasa Belanda, atau wisdom dalam bahasa Inggris, serta berarti hikmat
menurut bahasa Arab. Maka philosophia menurut arti katanya berarti cinta
pada pengetahuan yang bijaksana.. Jadi terdapat sedikit perbedaan arti, disatu
pihak menyatakan bahwa filsafat merupakan bentuk majemuk dari “philein”
dan “Sophos”, (Nasution, 1973) di lain pihak filsafat dinyatakan dalam bentuk
majemuk dari “philos” dan “Sophia”. (Gazalba, 1977), namun secara
semantis mengandung makna yang sama.
Dengan demikian istilah “filsafat” yang dimaksudkan sebagai kata
majemuk dari “Philein” dan “sophos” mengandung arti, mencintai hal-hal

3
yang sifatnya bijaksana, sedangkan "filsafat" yang merupakan bentuk
majemuk dari “philos” dan “sophia” berkonotasi teman dari kebijaksanaan.

4
Sementara itu, ada juga ahli yang menyatakan bahwa “Sophia”
memiliki arti yang lebih luas dari kebijaksanaan. Arti “Sophia” meliputi pula
kerajinan (creftsmanship) sampai kebenaran pertama (first truth), “sophia”
kadang-kadang juga mengandung makna pengetahuan yang luas (wide
knowledge), kebijaksanaan (intelectual virtues). Pertimbangan yang sehat
(soundjudgement). Kecerdikan dalam memutuskan hal-hal yang praktis
(shewdness in practical decision).
Ada tiga filsuf besar pada masanya, yaitu Socrates, Plato, dan
Aristoteles yang mengemukakan pendapat pendapat tentang istilah filsafat.
1. Socrates
Socrates yang hidup antara tahun 469-399 SM adalah seorang
filsuf Yunani. la sangat menaruh perhatian pada manusia dan
menginginkan agar manusia itu mampu mengenali dirinya
sendiri.
2. Plato
Plato (427-347 SM) mengemukakan pandangannya bahwa
realita yang mendasar adalah ide atau idea.
3. Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) pernah menjadi murid Plato selama
20 tahun hingga Plato meninggal.
Pandangan trio filsuf besar ini kemudian dikembangkan oleh para ahli
filsafat pada abad-abad selanjutnya. Mereka mengembangkan filsafat dengan
jalan berpikir terus-menerus secara mendasar atau radikal dengan tujuan
menemukan akar permasalahan atau suatu realitas yang pada akhirnya dapat
memperjelas realitas itu sendiri. Selain itu, senantiasa mempertanyakan
hakikat berbagai realitas sebagai upaya untuk menemukan realitas yang
tujuannya adalah untuk mengetahui realitas dengan pasti dan jelas.
Selain 3 filsuf diatas, terdapat salah satu filsuf yang cukup terkenal
dengan pendapatnya mengenai istilah filsafat, yaitu Louis O. Katsoff. Dalam
memberikan pemahaman mengenai filsafat, Louis O. Katsoff melakukannya
dengan mengantarkan para pembaca dengan beberapa pembahasan dengan
menguraikan pokok-pokok pikiran antara lain seperti di bawah ini:
1. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan tindakan;
2. Keinginan kefilsafatan ialah pemikiran secara ketat;

5
3. Filsafat merupakan pemikiran secara sistematis;
4. Filsafat merupakan pemikiran secara rasional;
5. Filsafat senantiasa bersifat menyeluruh (komprehensif);
6. Filsafat mengajukan kritik atas makna yang dikandung fakta
fakta
B. Lingkup Pengertian Filsafat
Filsafat memiliki bidang bahasan yang sangat luas yaitu segala sesuatu
baik yang bersifat kongkrit maupun yang bersifat abstrak. Maka untuk
mengetahui lingkup pengertian filsafat, terlebih dahulu perlu dipahami objek
material dan formal ilmu filsafat sebagai berikut:
1. Objek Material filsafat,
Yaitu objek pembahasan filsafat yang meliputi segala
sesuatu baik yang bersifat material kongkrit seperti, manusia,
alam, benda, binatang dan lain sebagainya, maupun sesuatu
yang bersifat abstrak misalnya nilai, ide-ide, ideologi, moral,
pandangan hidup dan lain sebagainya.
2. Objek formal filsafat
Objek formal filsafat adalah cara memandang seorang
peneliti terhadap objek material tersebut, suatu objek material
tertentu dapat ditinjau dari berbagai macam sudut pandang
yang berbeda. Oleh karena itu terdapat berbagai macam sudut
pandang filsafat yang merupakan cabang-cabang filsafat, antara
lain dari sudut pandang nilai terdapat bidang aksiologi, dari
sudut pandang pengetahuan terdapat bidang epistemologi,
keberadaan bidang ontologi, tingkah laku baik dan buruk
bidang etika, keindahan bidang estetika dan masih terdapat
sudut pandang lainnya yang lebih khusus misalnya filsafat
sosial, filsafat hukum, filsafat bahasa dan sebagainya. Berikut
ini dijelaskan beberapa bidang lingkup pengertian filsafat.
a. Filsafat sebagai produk mencakup pengertian
1) Pengertian filsafat yang mencakup arti-arti
filsafat sebagai jenis penge- tahuan, ilmu,
konsep dari para filsuf pada zaman dahulu,
teori, sistem

6
atau tertentu, yang merupakan hasil dari proses
berfilsafat dan yang mempunyai ciri-ciri
tertentu.
2) Filsafat sebagai suatu jenis problema yang
dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari
aktivitas berfilsafat. Filsafat dalam pengertian
jenis ini mem- punyai ciri-ciri khas tertentu
sebagai suatu hasil kegiatan berfilsafat dan pada
umumnya proses pemecahan persoalan filsafat
ini diselesaikan dengan kegiatan berfilsafat
(dalam pengertian filsafat sebagai proses yang
dinamis).
b. Filsafat sebagai suatu proses
Filsafat sebagai suatu proses, berarti filsafat aktivitas
proses (berfilsafat) pemecahan suatu permasalahan
dengan menggunakan cara atau metode yang sesuai
dengan objek permasalahan (bersifat dinamis).
C. Cabang-cabang Filsafat dan Aliran-alirannya
Cabang-cabang filsafat yang tradisional terdiri atas empat yaitu :
logika, metafisika, epistemologi dan etika. Namun demikian manusia maka
untuk mempermudah pemahaman kita perlu diutarakan cabang-cabang filsafat
yang pokok:
1. Metafisika : yang berkaitan dengan persoalan tentang hakikat
yang ada (segala sesuatu yang ada).
2. Epistemologi : yang berkaitan dengan persoalan hakikat
pengetahuan.
3. Metodologi : yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode
ilmiah.
4. Logika : yang berkaitan dengan persoalan penyimpulan.
5. Etika: yang berkaitan dengan persoalan moralitas.
6. Estetika : yang berkaitan dengan persoalan keindahan

2.2 Rumusan Kesatuan Sila-sila sebagai Suatu Sistem


Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem

7
filsafat. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saing
berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara keseluruhan

8
merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
A. Suatu kesatuan bagian-bagian.
B. Bagian-bagian mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
C. Saling berhubungan dan saling ketergantungan.
D. Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan
sistem).
E. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voicb,1974).

Pancasila yang terdiri atas bagian bagian yaitu sila-sila Pancasila setiap sila
pada hakikatnya merupakan suatu atas sendiri, fungsi sendiri-sendiri namun secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematis.
Kesatuan Sila-Sila Pancasila

A. Susunan Kesatuan Sila-Sila Pancasila yang Bersifat Organis


Isi sila sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan.Dasar
filsafat negara Indonesia terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan
suatu kesatuan dan keutuhan yaitu setiap sila merupakan suatu kesatuan dan
keutuhan yaitu setiap sila merupakan unsur (bagian yang mutlak) dari
Pancasila. Maka Pancasila merupakan suatu kesatuan yang majemuk tunggal.
Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri-sendiri terlepas dari sila-
sila lainnya serta di antara sila satu dan lainnya tidak saling bertentangan.
Kesatuan sila-sila Pancasila yang bersifat organis tersebut pada
hakikatnya secara filosofis bersumber pada hakikat dasar ontologis manusia
sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila pancasila yaitu hakikat manusia
‘monopltiralis’ yang memiliki unsur-unsur, 'susuman kodrat' jasmani-rohani,
sifat kodrat individu-makhluk sosial,dan kedudukan kodrat sebagai pribadi
berdiri sendiri makhluk Tuhan yang Maha Esa. Unsur-unsur hakikat manusia
tersebut merupakan suatu kesatuan yang bersifat organis dan harmonis, Setiap
unsur memiliki fungsi masing namun saling berhubungan.Oleh karena sila-sila
Pancasila merupakan penjelmaan hakikat manusia ‘monopluralis’ yang
merupakan kesatuan organis maka sila-sila Pancasila juga memiliki kesatuan
yang bersifat organis pula.

9
B. Susunan Kesatuan Pancasila yang Bersifat Hierarkhis dan Berbentuk
Piramidal.
Susunan Pancasila adalah hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal.
Pengertian matematika piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan
hierarkhi sila-sila dari Pancasila dalam urut-urutan luas (kwantitas) dan juga
dalam hal sifat-sifatnya (kwalitas).kalau dilihat dari intinya,urut-urutan lima
sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi-sifatnya,
merupakan pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya. Jika urut-urutan lima
sila dianggap mempunyai maksud demikian,maka di antara lima sila ada
hubungan sebagai tidak mutlak. Di antara satu sila dengan sila lainnya tidak
ada sangkut pautnya,maka Pancasila itu menjadi terpecah-pecah, oleh karena
itu tidak ada dipergunakan sebagai suatu asas kerohanian bagi Negara. Jikalau
tiap- tiap sila dapat diartikan dalam bermacam-macam maksud, sehingga
benarnya lalu sama saja dengan tidak ada Pancasila.
Dalam susunan hierarkhis dan piramidal ini, maka Ketuhanan Yang
Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan
keadilan sosial. Sebaliknya ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang
berkemanusiaan, yang berakyatan dan berkeadilan sosial demikian
selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-sila lainnya.
Dengan demikian dimungkinkan penyesuaian dengan keperluan dan
kepentingan keadaan, tempat dan waktu, artinya sesuai dengan keperluan dan
kepentingan keadaan, tempat dan waktunya, dalam pembicaraan kita berpokok
pangkal atau memusatkan diri dalam hubungannya hierarkhis piramidal
semestinya.

Rumusan Pancasila yang bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal

1. Sila pertama: ketuhanan yang Maha Esa adalah meliputi dan


menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2. Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah diliputi dan
dijiwai sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah menjiwai sila-sila
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

1
kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
3. Sila ketiga: Persatuan Indonesia adalah diliputi Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kerakyatan yang dim pin
oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Sila keempat: kerakyatan yang dimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan
permusyawaratan/perwakilan, adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila
Ketuhanan Yang Maha Esa kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, meliputi dan menjiwai sila keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
5. Sila kelima: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah
diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan
permusyawaratan/perwakilan.

Secara ontologis (hakikat) sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem


bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal adalah sebagai berikut: bahwa
hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai kausa
prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena
diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (Sila 1).
Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok negara, karena
negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup
bersama yang anggotanya adalah manusia (Sila 2). Maka negara adalah
sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (Sila 3). Sehingga terbentuklah
persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Maka rakyat pada hakikatnya
merupakan unsur negara di samping wilayah dan pemerintah. Rakyat adalah
sebagai totalitas Individu-individu dalam negara yang bersatu (Sila 4).
Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam hidup
bersama atau dengan lain perkataan keadilan sosial (Sila 5) pada hakikatnya
sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara (lihat
Notonagoro, 1980: 61 dan 1975: 52,57).

1
C. Hubungan Sila-sila Pancasila yang Saling Mengisi dan Saling
Mengkuaifikasi
Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam
hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam rangka hubungan
hierarkhis piramidal tadi. Tiap-tiap sila seperti telah disebutkan di atas
mengandung empat sila lainnya, dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk
kelengkapan dari hubungan kesatuan keseluruhan dari sila-sila Pancasila
dipersatukan dengan rumus hierarkhis tersebut di atas..
1. Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia,
yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
2. Sila kedua: kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan
yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia,
yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
3. Sila ketiga: persatuan Indonesia adalah persatuan yang berketuhanan
Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
4. Sila keempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang
Berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab,
yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
5. Sila kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah
keadilan yang Berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang
adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. (Notonagoro,
1975: 43, 44)

1
2.3 Kesatuan Sila-sila sebagai Suatu Sistem Filsafat
A. Dasar Antropologis (hakikat manusia) Sila-sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan
yang menyangkut sila-silanya saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari
sila-sila Pancasila atau secara filosofis meliputi dasar ontologis (hakikat) sila-
sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila setiap sila bukanlah
merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan
dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia
yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini
juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila
Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa yang
berketuhanan yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh bikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan
sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro, 1975: 23). Demikian juga
jika kita pahami dari segi flisafat negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat
negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan unsur rakyat
adalah manusia itu sendiri, sehingga tepatlah jika kalau dalam filsafat
Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis
memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa
jasmani dan rokhani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi
berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena
kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan
sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan
yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang
lainnya (Notonagoro, 1975:53).
Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila
Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu negara sebagai
pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai
pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia,
satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab adapun negara adalah sebagai
akibat. Sebagai Suatu sistem filsafat landasan sila-sila Pancasila itu dalam

1
hal isinya menunjukkan

1
suatu hakikat makna yang bertingkat (Notonagoro, tanpa tahun: 7), serta di
ditinjau dari keluasannya memiliki bentuk piramidal. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
"............sebenarnya ada hubungan sebab dan akibat antara negara pada
umumnya dengan manusia kepada negara adalah lembaga kemanusiaan, yang
diadakan oleh manusia. Adapun Tuhan adalah asal segala sesuatu, termasuk
manusia sehingga terdapat hubungan sebab dan akibat pula yang tidak
langsung antara negara dengan asal mula segala sesuatu, rakyat adalah jumlah
dari manusia-manusia pribadi, sehingga ada hubungan sebab akibat antara
negara dengan rakyat, lebih-lebih buat negara kita yang kekuasaannya dengan
tegas dinyatakan di tangan rakyat, berasal dari rakyat, sebagaimana tersimpul
dalam asas kedaulatan rakyat. Tidak dari satu akan tetapi dari penjelmaan dari
satu itu, ialah kesatuan rakyat, dapatlah timbul suatu negara, sehingga dengan
tidak secara langsung ada juga hubungan sebab dan akibat. Adil adalah dasar
dari cita-cita kemerdekaan setiap bangsa, jika suatu bangsa tidak merdeka
tidak mempunyai negara sendiri. Jadi hubungan antara negara dengan adil
termasuk pula dalam golongan hubungan yang harus ada atau mutlak, dan
dalam arti bahwa adil itu dapat dikatakan mengandung unsur pula yang sejenis
dengan asas hubungan dan akibat atau termasuk dalam lingkungannya juga
penggerak atau pendorong utama. (Notonagoro, 1975: 55, 56)..... selain itu sila
keadilan sosial adalah merupakan tujuan dari keempat sila yang
mendahuluinya, maka dari itu merupakan tujuan bangsa kita dalam
bernegara ......." (Notonagoro, 1975: 156).
Berdasarkan uraian tersebut maka hakikat kesatuan sila-sila pancasila,
yang bertingkat dan berbentuk piramidal dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa mendasari dan menjiwai
sila- sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut berdasarkan
pada hakikat bahwa pendukung pokok negara adalah manusia, karena negara
adalah sebagai lembaga hidup bersama sebagai lembaga kemanusiaan dan
manusia adalah sebagai makhluk. Tuhan yang maha esa, sehingga adanya
manusia sebagai akibat adanya Tuhan yang maha esa sebagai kuasa prima.
Tuhan adalah sebagai asal mula segala sesuatu, Tuhan adalah mutlak,

1
sempurna dan kuasi,

1
tidak berubah, tidak terbatas pula sebagai pengatur tata tertib alam
(Notonagoro, 1975:78). Berdasarkan pengertian tersebut maka sila pertama
mendasari, meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab didasari dan dijiwai
oleh sila ketuhanan yang maha esa serta mendasari dan menjiwai sila
persatuan Indonesia, sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta sila keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: negara
adalah lembaga kemanusiaan, yang diadakan oleh manusia (Notonagoro,
1975: 55). Maka manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok negara.
Negara adalah dari, oleh dan untuk manusia oleh karena itu terdapat hubungan
sebab dan akibat yang langsung antara negara dengan manusia. Adapun
manusia adalah makhluk Tuhan yang maha esa sehingga sila kedua didasari
dan dijiwai oleh sila pertama, Sila kedua mendasari dan menjiwai sila ketiga
(persatuan Indonesia), sila keempat (kerakyatan) serta sila kelima (keadilan
sosial). Pengertian tersebut hakikatnya mengandung makna sebagai berikut:
rakyat adalah sebagai unsur pokok negara dan rakyat adalah merupakan
totalitas individu-individu yang bersatu yang bertujuan mewujudkan suatu
keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial). Dengan demikian pada
hakikatnya yang bersatu membentuk suatu negara adalah manusia, dan
manusia yang bersatu dalam suatu negara adalah disebut rakyat sebagai unsur
pokok Negara, serta terwujudnya keadilan bersama adalah: keadilan dalam
hidup manusia bersama sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila
ketuhanan yang maha esa dan sila kemanusiaan yang adil dan beradab serta
mendasari dan menjiwai sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Hakikat sila ketiga tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut hakikat persatuan didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan dan
kemanusiaan, bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa yang
pertama harus direalisasikan adalah mewujudkan suatu persatuan dalam suatu
persekutuan hidup yang disebut negara. Maka pada hakikatnya yang bersatu
adalah manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu
persatuan adalah sebagai akibat adanya manusia sebagai makhluk Tuhan yang

1
maha esa, adapun hasil persatuan

1
di antara individu-individu, pribadi-pribadi dalam suatu wilayah tertentu
disebut sebagai rakyat sehingga rakyat adalah merupakan unsur pokok negara.
Persekutuan hidup bersama manusia dalam rangka untuk mewujudkan suatu
tujuan bersama yaitu keadilan dalam kehidupan bersama (keadilan sosial)
sehingga sila ketiga mendasari dan menjiwai sila keempat dan sila kelima
Pancasila. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Notonagoro sebagai
berikut: " sila ketuhanan yang maha esa dan kemanusiaan, meliputi
seluruh
hidup manusia dan menjadi dasar daripada sila-sila yang lainnya. Akan tetapi
sila persatuan atau kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial hanya meliputi
sebagian lingkungan hidup manusia sebagai pengkhususan daripada sila kedua
dan sila pertama dan mengenai hidup bersama dalam masyarakat bangsa dan
negara. Selain itu ketiga sila ini persatuan kerakyatan dan keadilan satu
dengan lainnya bersangkut paut dalam arti sila yang di muka menjadi dasar
dari pada sila-sila berikutnya dan sebaliknya yang berikutnya merupakan
pengkhususan dari pada yang mendahuluinya, hal ini mengingat susunan sila-
sila Pancasila yang hierarkis dan berbentuk piramidal. " (Notonagoro. 1957:
19).
Sila keempat, adalah Kerakyatan, yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, maka pokok sila keempat
adalah kerakyatan yaitu kesesuaiannya dengan hakikat rakyat. Sila keempat ini
didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan dan
persatuan. Dalam kaitannya dengan kesatuan yang bertingkat maka hakikat
sila keempat itu adalah sebagai berikut, hakikat rakyat adalah penjumlahan
manusia-manusia, semua orang, semua warga dalam suatu wilayah negara
tertentu. Maka hakikat rakyat adalah sebagai akibat bersatunya manusia
sebagai makhluk Tuhan yang maha esa dalam suatu wilayah negara tertentu.
Maka secara ontologis adanya rakyat adalah ditentukan dan sebagai akibat
adanya manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa yang menyatukan diri
dalam suatu wilayah negara tertentu. Adapun sila keempat tersebut mendasari
dan menjiwai sila keadilan sosial (sila kelima Pancasila). Hal ini mengandung
arti bahwa negara adalah demi kesejahteraan warganya atau dengan lain
perkataan negara adalah demi kesejahteraan rakyatnya. Maka tujuan dari
negara adalah terwujudnya masyarakat yang berkeadilan, terwujudnya

1
keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).

2
Sila kelima, kedilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia memiliki
makna pokok kedilan yaitu hakikatnya kesesuaian dengan hakikat adil.
Berbeda dengan sila-sila lainnya maka sila kelima ini didasari dan dijiwai oleh
keempat sila lainnya yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan
kerakyatan. Hal ini mengandung hakikat makna bahwa keadilan adalah
sebagai akibat adanya negara kebangsaan dari manusia-manusia yang
berketuhanan yang maha esa. Sila keadilan sosial adalah merupakan tujuan
dari keempat sila lainnya. Secara ontologis hakikat keadilan sosial juga
ditentukan oleh adanya hakikat keadilan sebagaimana terkandung dalam sila
kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Menurut Notonagoro hakikat
keadilan yang terkandung dalam sila kedua yaitu keadilan yang terkandung
dalam hakikat manusia monopluralis, yaitu kemanusiaan yang adil terhadap
diri sendiri, terhadap sesama dan terhadap Tuhan atau kausa prima.
Penjelmaan dari keadilan kemanusiaan monopluralis tersebut dalam bidang
kehidupan bersama baik dalam lingkup masyarakat, bangsa, negara dan
kehidupan antar bangsa yaitu menyangkut, sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial yaitu dalam wujud keadilan dalam hidup
bersama atau keadilan sosial. Dengan demikian logikanya keadilan sosial
didasari dan dijiwai oleh sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
(Notonagoro, 1975: 140, 141).
B. Dasar Epistemologis (pengetahuan) Sila-sila Pancasila.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga berupa
suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sebari-hari Pancasila merupa
pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam
semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta
sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi
dalam hidup dan kehidupan.
Pancasila dalam pengertian seperti yang demikian ini telah menjadi
suatu sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan, yang telah menyangkut
praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu
kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai suatu
ideologi maka. Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik
loyalitas dari pendukungnya yaitu:
1. logos yaitu rasionalitas atau penalarannya,

2
2. pathos yaitu penghayatannya dan,

2
3. ethos yaitu kesusilaannya ( Wibisono, 1996:3 ).
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan
dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada
nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila,itu dasar epistemologis Pancasila
tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang hakikat
manusia,Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka
dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu
bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia.
Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu:
pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang toori kebenaran
pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia.
Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi
masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila.
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana dipahami bersama
bahwa sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa
Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya hanya merupakan
perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja namun diru-
muskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Dengan
lain perkataan bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materials Panca-
sila. Oleh karena sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia sen-
diri yang memiliki nilai-nilai adat-istiadat serta kebudayaan dan nilai religius
maka diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila dengan
Paacasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang
bersifat korespondensi. Berikutnya tentang susunan Pancasila sebagai suatu
sistem pengetahuan. Sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila me-
miliki susunan yang bersifat formal logis baik dalam arti susunan sila-sila
Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pan-
casila adalah bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, dimana sila pertama
Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya serta sila kedua dida-
sari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila-sila ketiga, keempat dan
kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua serta mendasari
dan menjiwai sila-sila keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai
sila pertama, kedua dan ketiga serta mendasari dan menjiwai sila kelima,
adapun sila kelima didasari dan dijiwai sila-sila pertama, kedua, ketiga dan

2
keempat.

2
Demikianlah maka susunan sila-sila Pancasila memiliki sistem logis baik yang
menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis
Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila. Susunan isi arti Pancasi-
la meliputi tiga hal yaitu isi arti Pancasila yang umum universal yaitu hakikat
sila-sila Pancasila. Isi arti sila-sila Pancasila yang umum universal ini meru-
pakan inti sari atau essensi Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak
derivasi baik dalam pelaksanaan pada bidang-bidang kenegaraan dan tertib
hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehi
dupan kongkrit. Kedua isi arti Pancasila yang umum kolektif yaitu isi arti
Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama da
lam tertib hukum Indonesia. Ketiga isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan
kongkrit yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang
kehidupan sehingga memiliki sifat yang khusus kongkrit serta dinamis.
Pembahasan berikutnya adalah pandangan Pancasila tentang
pengetahuan manusia. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa masalah
epistemologi Pancasila diletakkan dalam kerangka bangunan filsafat manusia.
Maka konsepsi dasar ontologis sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia
monoplu-ralis merupakan dasar pijak epistemologi Pancasila. Manurut
Pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu hakikat manusia
yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri fatas raga
(jasmani) dan jiva (rokhani). Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsur-
unsur: fisis anor-ganis, vegetatif, animal. Adapun unsur jiwa (rokhani)
manusia terdiri atas un-sur-unsur potensi jiwa manusia yaitu: akal, yaitu suatu
potensi unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan kebenaran pengetahuan
manusia. Rasa yaitu unsur potensi jiwa manusia dalam tingkatan kemampuan
estetis (keindahan).Adapun kehendak adalah unsur potensi jiwa manusia
dalam kaitannya dengan bidang moral atau etika. Menurut Notonagoro dalam
skema potensi rokhaniah manusia terutama dalam kaitanya dengan
pengetahuan akal manusia meru-pakan sumber daya cipta manúsia dan dalam
kaitannya dengan upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar terdapat
tingkat-tingkat pemikiran sebagai berikut: memoris, reseptif, kritis dan kreatif.
Adapur potensi atau daya untuk meresapkan pengetahuan tau dengan lain
perkataan transformasi pe-ngetahuan terdapat tingkatan sebagai berikut:
demonstrasi, imajinasi, asosiasi, onalogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham.

2
Berdasarkan tingkatan tersebut di atas maka Pancasila mengakui
kebenaran rasio yang bersumber pada akal mariusia. Selain itu manusia
memiliki indra sehingga dalam proses reseptif indra merupakan alat untuk
mendapatkan kebenaran pengetahuan yang bersifat empiris. Maka Pancasila
juga mengakui kebenaran empiris terutama dalam kaitannya dengan
pengetahuan manusia yang bersifat positif. Potensi yang terdapat dalam diri
manusia untuk mendapatkan kebenaran terutama dalam kaitannya dengan
pengetahuan positif. Pancasila juga mengakui kebenaran pengetahuan manusia
yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya kedudukan kodratnya
adalah sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila
pertama Pancasila epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu
yang bersifat mutlak hal in sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi.
Kebenaran dalam pengetahuan manusia adalah merupakan suatu sintesis yang
harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan
kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi yaitu
kebenaran mutlak. Selain itu dalam sila ketiga yaitu persatuan Indonesia, sila
keempat kerakyatan yang di-pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia maka epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran konsensus
terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan mkhluk sosial. Adapun se-suai dengan tingkatan sila-
sila Pancasila yang bersifat hierarkhis dan berben-tuk piramidal maka
kebenaran konsensus didasari ole kebenaran wahyu serta kebenaran kodrat
manusia yang bersumber pada kehendak Sebagai suatu paham epistemologi
maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan
pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka
moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk
mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
C. Dasar Aksiologis (Nilai) Sila-sila Pancasila
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai atau
Manfaat dan kata logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori. Aksiologi adalah
teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang
diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika suatu
nilai.

2
Sila-sila Pancasila sebagai sutau sistem filsafat memiliki satu kesatuan
dasar aksiologisnya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada
hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori
tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut
pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian nilai dan
hierarkhinya.
Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa
saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia.
Banyak pandangan tentang nilai terutama dalam menggolong-golongkan nilai
dan penggolongan tersebut amat beraneka ragam tergantung pada sudut
pandangnya masing-masing.
Max Scheler mengemukakan bahwa nilai yang ada tidak sama
luhurnya dan tidak sama tingginya. Menurut tinggi rendahnya nilai dapat
digolongkan menjadi empat tingkatan sebagai berikut:
1. Nilai-nilai kenikmatan, nilai-nilai ini berkaitan dengan indra manusia
sesuatu yang mengenakkan dan tidak mengenakkan dalam kaitannya
dengan indra manusia (die Wertreidhe des Angenehmen und
Unangehmen), yang menyebabkan manusia senang atau menderita atau
tidak enak.
2. Nilai-nilai kehidupan, dalam tingkatan ini terdapatlah nilai-nilai yang
penting bagi kehidupan (Werte des Vitalen Fuhlens) misalnya
kesegaran jasmani, kesehatan, serta kesejahteraan umum.
3. Nilai-nilai kejiwaan, dalam tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan
(geislige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan
jasmani ataupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini antara lain nilai;
keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam
filsafat.
4. Nilai-nilai kerokhanian, yaitu dalam tingkatan ini terdapatlah modalitas
nilai dari yang suci (Wer Modalitat der Heiligen und Unbeilingen).
Nilai-nilai semacam itu terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi
(Driyarkara, 1978).
Pandangan dan tingkatan nilai menurut Notonagoro dibedakan menjadi
tiga macam yaitu:
1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.

2
2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan.
3. Nilai-nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
rokhani manusia yang dapat dibedakan atas empat macam sebagai
berikut:
a. Nilai kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada akal, rasio,
budi atau cipta manusia.
b. Nilai keindahan atau estetis, yaitu nilai yang bersumber pada
perasaan manusia.
c. Nilai kebaikan atau nilai moral, yaitu nilai yang bersumber
pada unsur kehendak (will, wollen, karsa) manusia.
d. Nilai religius yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan
bersifat mutlak. Nilai religius ini berhubungan dengan
kepercayaan dan keyakinan manusia dan nilai religius ini
bersumber pada wahyu yang berasal dari Tuhan yang Maha
Esa.
Dari berbagai macam teori nilai diatas, dapat dikemukakan bahwa
yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang bersifat material saja,
akan tetapi juga sesuatu yang bersifat nonmaterial. Bahkan sesuatu yang
nonmaterial itu mengandung nilai yang bersifat mutlak bagi manusia. Nilai-
nilai material relatif lebih mudah diukur yaitu menggunakan indra maupun alat
pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar, luas dan sebagainya.
Sedangkan nilai kerokhanianprituakl, yang menjadi alat ukurnya adalah hati
Nurani manusia yang dibantu oleh alat indra, cipta, rasa, karsa dan keyakinan.
Isi arti sila-sila Pancasila pada hakikatnya dapat dibedakan atas hakikat
Pancasila yang umum universal yang merupakan substansi sila-sila Pancasila,
sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan negara yaitu sebagai dasar
negara yang bersifat umum kolektif. serta realisasi pengamalan Pancasila yang
bersifat khusus dan kongkrit. Hakikat Pancasila adalah merupakan nilai,
adapun sebagai pedoman negara ada- lah merupakan norma adapun aktualisasi
atau pengamalannya adalah meru- pakan realisasi kongkrit Pancasila.
Substansi Pancasila dengan kelima silanya yang terdapat pada
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan merupakan suatu
sistem nilai. Prinsip dasar yang mengandung kualitas tertentu itu merupakan

2
cita-cita dan harapan atau hal yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia yang
akan diwujudkan menjadi kenyataan kongkrit dalam kehidupannya baik dalam

2
hidup bermasyarakat berbangsa dan beranegara. Prinsip-prinsip dasar tersebut
telah menjelma dalam tatanan sosial, organisasi sosial, dan cara hidup
masyarakat Indonesia.yang terdapat dalam adat istiadat, budaya, dan
kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila satu sampai dengan lima
merupakan cita-cita harapan, dan dambaan bangsa Indonesia yang akan
diwujudkannya dalam kehidupan. Sejak dahulu cita-cita tersebut telah
didambakan oleh bangsa Indonesian agar terwujud dalam suatu masyarakat
yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja, dengan penuh harapan
diupayakan terealisasi dalam sikap tingkah laku dan perbuatan setiap manusia
Indonesia. Bangsa Indonesia dalam hal ini merupakan pendukung nilai-nilai
Pancasila. Hal ini dapat dipahami berdasarkan pengertian bahwa yang
berketuhanan, yang berkemanusiaan yang berpersatuan, yang berkerakyatan
dan yeng berkeadilan pada hakikatnya adalah manusia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan
dalam hal kuantitas maupun kualitasnya, namun nilai-nilai itu merupakan
suatu kesatuan saling berhubungan serta saling melengkapi. Pancasila
merupakan suatu sistem nilai yang dapat dilacak dari sila-sila Pancasila, yang
merupakan suatu sistem. Sila-sila itu merupakan suatu kesatuan organic, antara
sila satu dan lainnya dalam Pancasila itu saling mengkualifikasi saling
berkaitan dan berhubungan secara erat. Adanya sila yang satu mengkualifikasi
adanya sila lainnya. Dalam pengertian yang demikian ini pada hakikatnya
Pancasila itu merupakan suatu sistem nilai, dalam artian bahwa bagian-bagian
atau sila- silanya saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu
struktur yang menyeluruh.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila termasuk nilai
kerokhanian yang tertinggi adapun nilai-nilai tersebut berturut-turut nilai
ketuhanan adalah termasuk nilai yang tertinggi karena nilai ketuhanan bersifat
mutlak. Berikutnya sila kemanusiaan, adalah sebagai pengkhususan nilai
ketuhanan karena manusia adalah makhluk Tuhan yang Maha Esa sedangkan
manusia adalah sebagai makhluk Tuhan. Adapun nilai-nilai kenegaraan yang
terkandung dalam ketiga sila lainnya berurut-turut memiliki tingkatan sebagai
berikut, nilai persatuan dipandang dari tingkatannya memiliki tingkatan yang
lebih tinggi daripada nilai kerakyatan dan nilai keadilan sosial karena

3
persatuan adalah merupakan syarat

3
mutlak adanya rakyat dan terwujudnya keadilan. Pancasila berbeda-beda dan
memiliki tingkatan serta luas yang berbeda-beda pula namun keseluruhan nilai
tersebut merupakan suatu kesatuan dan tidak saling bertentangan. Perlu
diperhatikan dalam realisasinya baik dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat, bangsa dan negara terutama dalam penjabarannya

2.4 Pancasila sebagai Dasar Fundamental


Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan filsafat hidup bangsa Indonesia
pada hakikatnya merupakan suatu nilai yang terorganisir secara sistematis. Oleh
karena itu, sila-sila Pancasila membentuk satu kesatuan yang lengkap, terstruktur, dan
sistematis. Dengan demikian, Pancasila dapat dianggap sebagai sebuah sistem filsafat
sehingga dari kelima silanya memiliki makna yang utuh. Konsep Pancasila sebagai
dasar filsafat bagi bangsa dan negara Republik Indonesia memiliki makna bahwa
dalam seluruh aspek kehidupan kebangsaan, sosial dan kenegaraan itu harus merujuk
pada nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Poin
utama dari perspektif ini adalah bahwa negara merupakan sebuah satu kesatuan hidup
manusia atau organisasi sosial manusia.
Nilai-nilai Pancasila yang bersifat objektif dapat dijabarkan sebagai berikut:
A. Rumusan sila-sila Pancasila pada dasarnya mencerminkan sifat-sifat yang
umum, universal, dan abstrak karena pada hakikatnya merupakan suatu nilai.
B. Inti dari nilai-nilai Pancasila akan tetap berlaku sepanjang masa dalam
berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, termasuk adat istiadat,
kebudayaan, tata pemerintahan, dan kehidupan keagamaan.
C. Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
memenuhi syarat sebagai prinsip dasar negara yang fundamental dalam
konteks ilmu hukum sehingga merupakan sumber hukum positif Indonesia
Oleh karena itu, dalam susunan hierarki hukum di Indonesia hal tersebut
sangat berperan penting sebagai hukum tertinggi yang tidak dapat diubah secara
hukum dan merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup negara.
Sementara itu, Pandangan subjektif mengenai nilai-nilai Pancasila menandakan
eksistensinya sangat bergantung pada bangsa Indonesia itu sendiri yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
Sebagai nilai-nilai Pancasila yang berasal dari bangsa Indonesia sehingga
bangsa Indonesia merupakan akar penyebabnya. Nilai-nilai tersebut merupakan hasil

3
pemikiran, evaluasi kritis, dan refleksi filosofis bangsa Indonesia.

3
Sebagai nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (visi hidup) bangsa Indonesia,
sehingga merupakan identitas inti bangsa yang diyakini sebagai sumber nilai
mengenai kebenaran, kebajikan, keadilan, dan kebijaksanaan dalam kehidupan
berkelompok, berbangsa, dan bernegara.
Sebagai nilai-nilai Pancasila yang mencakup ketujuh nilai kerohanian, yaitu
nilai-nilai kebenaran, keadilan, kebajikan, kebijaksanaan, estetika, dan religi yang
muncul sesuai dengan nurani bangsa Indonesia karena berakar pada kepribadian
bangsa.
Selain Pancasila sebagai ideologi, Pancasila juga sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Hal tersebut telah disepakati sejak bangsa Indonesia
memproklamasikan diri sebagai negara merdeka pada 17 Agustus 1945. Rumusan
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia yang sah telah tercantum dalam
Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 pada alinea keempat yang memuat kalimat;
"Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia." Dengan demikian, semua pengaturan penyelenggaraan kehidupan
kenegaraan bagi bangsa Indonesia harus mengacu pada Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 secara yuridis memiliki kedudukan sebagai Pokok Kaidah Negara yang
Fundamental. Adapun Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya
memuat nilai-nilai Pancasila mengandung Empat Pokok Pikiran yang jika dianalisis
makna yang terkandung di dalamnya tidak lain adalah penjabaran dari nilai-nilai
Pancasila.
Pokok pikiran pertama menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara
persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan. Hal ini
merupakan penjabaran sila ketiga.
Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa negara hendaknya mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkwajiban
mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh warga negara. Mencerdaskan

3
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pokok pikiran ini sebagai penjabaran sila kelima.
Pokok pikiran ketiga menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat.
Berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Hal ini menunjukkan
bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi dimana kedaulatan berada di tangan
rakyat. Hal ini sebagai penjabaran sila keempat.
Pokok pikiran keempat menyatakan bahwa, negara berdasarkan atas
Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini
mengandung arti bahwa negara Indonesia menjunjung tinggi keberadaban semua
agama dalam pergaulan hidup negara. Hal ini merupakan penjabaran sila pertama dan
kedua.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa keempat pokok pikiran
tersebut tidak lain merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila. Pokok pikiran ini
sebagai dasar fundamental dalam pendirian negara, yang realisasi berikutnya perlu
diwujudkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kata lain bahwa
dalam penjabaran sila-sila Pancasila dalam peraturan perundangan-undangan
bukanlah secara langsung dari sila-sila Pancasila melainkan melalui Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Empat pokok Pikiran dan barulah dikongkritisasikan
dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang selanjutnya dijabarkan lebih
lanjut dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan serta hukum positif di
bawahnya.
1. Pancasila Sebagai Sumber Hukum di Indonesia
Pancasila juga dikatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia. Ini berarti bahwa berbagai upaya pengembangan tata kehidupan
kenegaraan yang berkaitan dengan norma dan aturan hukum apa pun dalam
kehidupan berbangsa harus berdasarkan Pancasila. Sebagai suatu sumber
hukum, Pancasila secara objektif merupakan suatu pandangan hidup,
kesadaran, cita-cita hukum, serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi
suasana kejiwaan, serta watak bangsa Indonesia, yang pada tanggal 18
Agustus 1945 telah dipadatkan dan diabstraksikan oleh para pendiri negara
menjadi lima sila dan ditetapkan secara yuridis formal menjadi dasar filsafat
negara Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam
Ketetapan No. XX/ MPRS/1966.
2. Pancasila Sebagai Landasan Moral

3
Selain sumber hukum, nilai-nilai Pancasila juga merupakan suatu
landasan moral etik dalam kehidupan kenegaraan. Hal ini ditegaskan dalam
pokok Pikiran keempat yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab.
Hal ini mengandung arti bahwa kehidupan kenegaraan harus didasarkan pada
moral etik yang bersumber pada nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa dan
menjunjung moral kemanusiaan yang beradab. Konsekuensinya dalam segala
aspek kehidupan negara, antara lain pemerintahan negara, pembangunan
negara, pertahanan dan keamanan negara, politik negara, serta pelaksanaan
demokrasi harus senantiasa berdasarkan pada moral Ketuhanan dan
kemanusiaan. Selain itu dasar fundamental moral dalam kehidupan kenegaraan
tersebut juga meliputi moralitas para penyelenggara negara dan seluruh warga
negara. Bahkan dasar fundamental moral yang dituangkan dari nilai-nilai
Pancasila tersebut juga harus mendasari moral dalam kaitannya dengan politik
luar negeri Indonesia. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila yang dituangkan
dalam pokok Pikiran keempat ini merupakan suatu dasar fundamental moral
dalam kehidupan kenegaraan.
Dengan demikian, seluruh dinamika kehidupan kenegaraan,
kebangsaan, dan kemasyarakatan di Indonesia lahir atas dorongan Pancasila
dan didasarkan pula kepadanya. Secara teoretis, jika ketetapan tersebut
digunakan sebagai acuan atau rujukan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, maka reformasi tidak mungkin menyimpang dari nilai ketuhanan,
kemanusian, persatuan, kerakyatan, serta keadilan.

3
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur
pemerintahan Negara atau dengan kata lain pancasila merupakan suatu dasar untuk
mengatur penyelenggaraan Negara. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum, pancasila merupakaihuk Negara yang secara konstitusional mengatur Negara
Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat, wilayah serta
pemerintah Negara.
Oleh karena itu pancasila ditetapkan sebagai dasar filsafat Negara Indonesia
sebagai landasan. Pancasila sebagai filsafat Negara Indonesia yaitu hasil pemikiran
mendalam dari bangsa Indonesia, yang dianggap, diyakini sebagai kenyataan nilai dan
norma yang paling benar, dan adil untuk melakukan kegiatan hidup berbangsa dan
bernegara di manapun mereka berada. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia,
yang membedakan dengan bangsa-bangsa lainnya. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa
Indonesia adalah pencerminan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa
Indonesia sepanjang masa.

3
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Ahluddin Saiful. (2018). Modul Pendidikan Pancasila. Jakarta: e-Learning


Universitas Esa Unggul

Kaelan dan Achmad Zubaidi. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.

Kaelan, & Zubaidi, A. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi.


Yogyakarta: Paradigma.

Kaelan. (2014). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Poedjiadi, A. (1987). Filsafat dan Sejarah Sains. Jakarta: PPLPTK.


Rahayu, Ani Sri. 2017. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara.

Safitri, R. (2021). Konsep Pancasila Sebagai Sistem Filsafat. OSF Preprints, 1-18.

Tanireja. T. dkk. 2014. Kedudukan dan Fungsi Pancasila bagi Bangsa dan Negara Indonesia.
Purwokerto: Alfabeta Bandung.

Zubaidi, Achmad. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta:


Paradigma.

Anda mungkin juga menyukai