Anda di halaman 1dari 7

SKENARIO DRAMA UJIAN PRAKTEK

Penyusun Skenario : Alya Lutfiya Sani

Novel : Entrok (1950-1960)

Judul Skenario : Kehidupan Rakyat Kecil Pada Zaman Orde Baru

BABAK 1

PROLOG :

Saat itu aku masih sangat muda. Tapi jangan kautanyakan berapa umurku. Tak pernah kukenal hitungan
usia. Tak juga kutahu kapan tepatnya aku dilahirkan. Simbok hanya berkata aku lahir waktu zaman
perang. ”Ini entrok3 ,” kata Tinah. Di Kali Singget, saat kami mandi, Tinah menunjukkan entrok-nya. Ada
dua segitiga yang bisa menutup gumpalan dada. Ukurannya pas dan agak menekan. Entrok itu menekan
dada Tinah sehingga tetap kencang, tidak nglawer-nglawer, meskipun dia berlari kencang atau
melompat. Aku juga ingin memilikinya

DIALOG :

Sumarni : Mbok, aku mau punya entrok

Simbok : Entrok itu apa, Nduk?”

Sumarni : ”Itu lho, Mbok, kain buat nutup susuku, biar kenceng. Seperti punya Tinah.”

Simbok : (sambil tertawa ngakak) ”Oalah, Nduk, seumur-umur tidak pernah aku punya entrok.
Bentuknya kayak apa aku juga tidak tahu. Tidak pakai entrok juga tidak apa-apa. Susuku tetap bisa
diperas to. Sudah, nggak usah neko-neko. Kita bisa makan saja syukur,”

BABAK 2 :

PROLOG :

Rumah kami berada di belakang rumah adik Simbok, bapak Tinah. Mereka tinggal berlima, bapak dan
simbok Tinah, Tinah, dan dua adiknya. Bapak Tinah kuli bangunan. Dengan upah yang dibayarkan
seminggu sekali, keluarga Tinah tidak susah untuk makan. Membeli entrok bisa saja dilakukannya sekali
waktu. Demi entrok aku ke rumah Tinah, menemui Paklik

DIALOG :

Sumarni : ”Paklik, aku pengin punya entrok kayak punya Tinah,”

Paklik : (sambil tertawa bersama istrinya) ”Nduk, entrok itu mahal. Mbok mending duitnya buat makan,”

Bulik : ”Wong aku nggak pernah pakai entrok juga nggak apa-apa,

Sumarni : Tapi itu Tinah bisa punya, Paklik. Aku juga pengin punya, Paklik.”

Paklik : Lha Tinah anakku saja cuma aku belikan satu. Kalau harus beli lagi duitnya nggak cukup,
Bulik : ”Kalau mau punya, ya minta sama bapakmu sana,

Sumarni : ”Aku tidak punya Bapak, Bulik. Aku tidak tahu di mana dia, (sambil mata berkaca kaca)

Bulik : ”Ya, makanya itu. Kalau sudah tahu bapak saja nggak punya, ya sudah. Nggak usah neko-neko.
Bisa makan tiap hari saja sudah syukur.”

BABAK 3

PROLOG :

Kuperhatikan kesibukan pedagang. Ada yang membungkus dagangannya, lalu membawa sisa
dagangannya meninggalkan pasar. Mereka pulang ke rumah, tidur, dan berangkat ke sini lagi saat
mendengar kokok ayam pertama kali.

DIALOG :

Teja : ”Nunggu siapa, Nduk?”

Sumarni : Nggak nunggu siapa-siapa, Kang. Cuma duduk-duduk,”

Teja : ”Kamu tinggal di mana?”

Sumarni : ”Singget, Kang.”

Teja : ”Aku Teja. Namamu siapa?”

Sumarni : ”Aku setiap hari di sini, Ni. Malam tidur di sini. Pagi sampai siang nguli di sini. Nunut hidup di
sin

Teja : ”Aku setiap hari di sini, Ni. Malam tidur di sini. Pagi sampai siang nguli di sini. Nunut hidup di sini,
”Lha kamu nyari apa ke sini?

Sumarni : ”Mau cari entrok, kang.”

Teja : mari ikut denganku aku tau dimana pedagang yang menjualya

Sumarni : baik kang

Teja : ”Wah, yang jualan sudah pulang semua, Besok pagi saja ke sini lagi. Ya sudah, sana pulang. Biar
sampai rumah masih terang.”

Sumarni : baik kang (sambil perlahan-lahan meninggalkan teja)

BABAK 3

PROLOG :

Aku mengikuti langkah Simbok menuju pedagang-pedagang yang biasa mempekerjakannya. Simbok
tidak bekerja untuk satu orang. Dia bekerja untuk siapa saja yang membutuhkan tenaganya
DIALOG :

Simbok : ”Nyi, masih ada kerjaan?”

Pedagang pasar : ”Sudah aku tunggu dari tadi kamu, Nem. Itu ada sekuintal, baru aku beli,”(sambil
menunjuk goni berisi singkong). ”Bawa siapa ini, Nem? Anakmu?

Simbok : ”Iya, Nyi. Mau ikut cari makan,”

Pedagang pasar : ohh begitu (sambil menganggukkan kepala)

BABAK 4 :

PROLOG :

Belum terdengar kokok ayam saat aku terbangun. Berarti belum waktunya aku dan Simbok berangkat ke
pasar. Aku terbangun oleh rasa sakit yang luar biasa di perutku. Simbok masih tidur saat aku beranjak ke
pancuran di belakang rumah. Di dekatnya ada jumbleng , . Siapa tahu sakitnya karena aku mau buang
kotoran. Di jumbleng, saat kubuka kainku, aku menjerit melihat banyak cairan berwarna merah, darah.

DIALOG :

Sumarni : . Duh, Gusti, karma apa ini. Apakah aku akan mati?(sambil menangis di samping simbok yang
masih terlelap) . Tubuhku mengeluarkan darah. Aku mau mati.

Simbok : (terbangun) ”Kenapa, Nduk, kok nangis?

Sumarni : ”Aku mau mati, Mbok. Sebentar lagi aku mati.”

Simbok : ”Hush. Ngomong kok ngawur. Bocah kok mati.

Sumarni : (sambil menunjukkan kain yang berwana merah darah)

Simbok : (tertawa) ”Ini bukan mau mati, Nduk. Ini tandanya kamu sudah anak perawan. Sudah bukan
bocah.

Sumarni : aku takut mbok

Simbok : sini mbok ajarkan agar lain kali kamu sudah terbiasa menghadapinya (sambil melilitkan kain
putih)

BABAK 5

PROLOG :

Perjalanan yang biasa kulakukan tiap hari itu menjadi lebih lama. Jalanan yang sudah begitu aku hafal
setiap detailnya kini seolah menjadi makin panjang. Simbok berkali-kali mengingatkan agar aku berjalan
lebih cepat.

DIALOG :
Simbok : ”Ayo, Nduk. Agak cepat. Biasa saja, semua perempuan ngalami

Nyai dimah : ”Ke mana saja kalian? Ditunggu-tunggu kok baru datang,”

Simbok : ”Iya, Nyi, tadi perutnya mencret (sambil membuka karung goni berisi singkong)

Nyai dimah : baiklah segera kerjakan pekerjaanmu (meninggalkan mereka)

Sumarni : mbok kenapa perut marni nyeri lagi ya?

Simbok : ”Biasa itu. Makanya nanti bikin jamu kunir

BABAK 6

PROLOG :

Selesai kerja, sebelum pulang, aku mampir ke tempat Teja biasa mangkal. Di bangku depan pasar,
tempat kami bertemu pertama kali. Bersama kuli-kuli lainnya, Teja duduk di situ menunggu orang yang
butuh bantuan mengangkat barang. Aku tak menghampirinya, melainkan melambaikan tangan dari
pintu pasar. Teja melihat, dan langsung berdiri menghampiriku

DIALOG :

Teja : ”Nyi Dimah mau ngangkat apa?”

Sumarni : ”Bukan, Kang. Aku nggak disuruh Nyai. Aku yang butuh bantuan, Kang.”

Teja : Kamu mau ngangkat apa, Ni?”

Sumarni : ”Bukan, Kang. Bukan minta dibantu ngangkat. Aku mau ditolong, aku mau ikut nguli kayak
Kakang.

Teja : ”Ni, kamu ada-ada saja. Nggak ada perempuan nguli. Nggak akan kuat. Sudah, perempuan itu
kerja yang ringan-ringan aja. Ngupas singkong.”

Sumarni : Aku kuat, Kang. Biasanya aku juga nggendong tenggok, nggendong goni. Bakul-bakul itu juga
banyak yang mengangkat sendiri dagangannya dari rumah ke pasar.

Teja : ”Tapi tetap nggak umum, Ni. Di pasar ini, nggak ada perempuan nguli.”

Sumarni : ”Tapi aku mau, Kang. Aku butuh duit, Kang. Nggak mau lagi diupahi singkong.

Teja : ”Ya terserah. Kalau mau nguli ya monggo,”

Sumarni : ”Caranya gimana, Kang?”

Teja : ”Nggak ada caranya. Asal ada tenaga saja. Kamu tunggu di sini kalau ada orang yang butuh,”

Sumarni : baik kang


BABAK 7

PROLOG :

Seorang perempuan keluar dari pasar, menuju tempat aku, dan kuli-kuli lainnya duduk. Dia memakai
kain yang terlilit rapi sampai mata kaki. Baju bordirnya berwarna hijau. Rambutnya tergelung rapi.
Perempuan itu sering berbelanja di sini. Aku sering melihatnya saat aku mengupas singkong di lapak
Nyai Dimah. Kalau perempuan itu datang, semua pedagang sibuk melayani, menawarkan semua
dagangan yang dipunyai.

DIALOG :

Nyai wedana : ”Nduk, tolong, Nduk.”

Sumarni : iya nyi ada yang bias saya bantu

Nyai wedana : ikut saya untuk membantu saya membawa barang belanjaan saya

Sumarni : baik nyai (mengikuti langkah nyai)

Nyai wedana : tolong ambilkan . Cabe, bawang, bayam, sawi, tomat, singkong, juga gaplek. Yang sudah
siap untuk di bawaitu nduk

Sumarni : baik nyai (sambil melakukan apa yang di suruh nyai)

Nyai dimah : ”Wah, dapat duit ya sekarang.”(nada meledek)

Sumarni : (hanya tersenyum)

Nyai wedana : sudah semua barang kau ambil nduk?

Sumarni : sudah nyai

Nyai wedana : kalau begitu tolong panggilka andong yang ada di sebrang jalan untuk membawa
belanjaan ini

Sumarni : baik nyai (sambil berjalan ke arah salah satu andong)

Nyai wedana : angkat semua barang belanjaan itu kedalam andong nduk

Sumarni : baik nyai (sambil mengangkat)

Nyai wedana : (mengulurkan tangan memberikan uang)

Sumarni : terimakasih banyak nyai

Nyai wedana : sama-sama (meninggalkan sumarni)


BABAK 8

PROLOG :

Seperti biasa, Nyai Wedana memberiku sekeping uang. Begitu juga waktu Pak Guru Dikun datang.
Sekeping dan sekeping lagi. Kumainkan uang-uang itu dengan kedua tanganku, sementara pikiranku
berkelana. Apa lagi kalau bukan ke mimpiku. Aku harus punya banyak uang untuk membeli banyak
entrok, yang berenda dan yang berhiaskan emas permata. Keinginan itu muncul begitu saja. Bukan
dalam mimpiku saat tidur, atau saat sedang melamun. Keinginan itu muncul begitu saja saat tak sengaja
mataku melihat bumbung tempat kusimpan semua uangku

DIALOG :

Simbok : ”Mau buat beli apa, Nduk?”

Sumarni : ”Mau buat bakulan, Mbok. Buat beli dagangan lalu nanti dijual lagi. Kayak Nyai Dimah.”

Simbok : ”Oalah, Nduk, Nyai Dimah itu memang bakat dagang. Bakulan laris terus.”

Sumarni : ”Aku juga bisa kok, Mbok. Sedikit-sedikit saja.

Simbok : ”Nduk, terserah apa penginmu. Yang penting, coba nyuwunsama Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.
Semua kejadian hanya terjadi kalau Dia yang menginginkan.”

Sumarni : baik mbok

BABAK 9

PROLOG :

Aku akan menjual daganganku di sepanjang jalan pasar, sampai ke Singget, lalu berkeliling dari rumah ke
rumah yang ada di Singget. Kubelanjakan uangku yang hanya lima puluh keping itu dengan berbagai
sayur, ayam, tempe, dan rempah-rempah. Aku tidak membeli singkong dan beras, karena dua bahan itu
tidak biasa dibeli orang setiap hari. Sayuran itu kutata di atas tenggok.

DIALOG :

Teja : ”Belanja buat siapa, Ni?”

Sumarni : ”Bukan belanja, Kang. Kulakan. Mau aku jual lagi. Aku mau bakulan keliling, Kang.

Teja : ”Wah, sudah kaya kamu sekarang, Ni. Sudah punya modal. Tidak nguli lagi sekarang?”

Sumarni : ”Kaya apa to, Kang? Ini cuma duit dari upah nguli. Sekarang aku pakai bakulan. Sedikit-sedikit
yang penting jalan, Kang.”

Teja : ”Ya itu sudah kaya kamu, Ni. Duit nguli sudah terkumpul banyak. Aku sama bapakku yang sudah
puluhan tahun jadi kuli tidak pernah bisa mengumpulkan duit. Apalagi buat bakulan.”

Sumarni : ”Ah, wong sampeyan tiap hari nerima duit kok. Tinggal niatnya bagaimana to. Sudah, Kang,
aku mau keliling dulu.” (sambil meninggalkan teja)
EPILOG :

Teja kini tidak lagi nguli. Dia membantuku bakulan. Aku menggendong tenggok, dia menggendong goni
di punggungnya. Kami membawa lebih banyak dagangan dibanding saat aku berjualan sendirian.
Tempat yang kami kelilingi juga makin banyak. Tidak hanya sepanjang jalan yang kami lewati dari Pasar
Ngranget hingga Singget, tapi juga desa-desa lain di sekitar Singget. Aku yang biasanya pulang saat
matahari di atas ubun-ubun, kini baru sampai di rumah saat matahari sudah bergeser ke barat. Makin
banyak dagangan, makin jauh kami berkeliling, makin banyak pula untung yang didapat. Teja tidak
pernah tahu berapa keuntungan yang kami dapat, dia juga tidak pernah meminta. Dia juga tidak tahu
apa saja dagangan yang harus dikulak, berapa harganya, dijual berapa. Yang dia tahu hanya mengangkat
goni di punggung. Bedanya, dulu di Pasar Ngranget, sekarang keliling desa. Yang penting bagi Teja, bisa
membeli tembakau linting setiap hari. Setiap hari, pada kokok ayam pertama, kami pergi ke pasar
bertiga. Aku, Teja, dan Simbok. Simbok masih tetap mengupas singkong di tempat Nyai Dimah. Simbok
juga masih menerima upah singkong. Tak sekali pun dia pernah menerima kepingan uang logam. Tak
juga dia berpikir untuk memilikinya.

Anda mungkin juga menyukai