Anda di halaman 1dari 4

Masalah kejahatan

Beberapa orang menyatakan bahwa kejahatan memperlemah pandangan tentang


ekstitensi Allah; sementara orang lain menandaskan bahwa kejahatan membuktikan
kesempurnaan mutlak Allah.

Allah dan kejahatan

Ada tiga cara pokok untuk menghubungkan Allah dengan kejahatan. Pertama,
orang bisa menerima realitas kejahatan dan menyangkal Allah (ateisme). Kedua,
orang bisa menerima Allah dan menyangkal realitas kejahatan (panteisme). Akhirnya,
orang bisa berupaya menunjukkan hubungan Allah dan kejahatan. Karena pandangan
terakhir ini terbagi atas sejumlah variasi dari teisme dan dualisme

Ilusionisme : menyangkal realitas kejahatan

Pandangan-pandangan monitis menerima Allah dan menyangkal realitas


kejahatan. Ini berlaku pada bentuk panteisme Barat maupun Timur. Penganut
panteisme Hindu, Sankara, berpendapat bahwa hanya Brahman yang merupakan
realitas. Dunia luar (alam maya) adalah ilusi (khalayan) satu-satunya dasar untuk
dunia ini bersifat psikologis, bukan ontologis.
Penganut teisme Kristen menolak ilusionisme karena beberapa alasan. Pertama,
ilusionisme adalah penolakan mutlak atas persepsi inderawi. Kedua, jika kejahatan
adalah ilusi, mengapa ia kelihatan begitu nyata? Ilusi tentang penderitaan sama
menyakitkannya dengan penderitaan yang sebenarnya.

Ateisme : menyangkal Realitas Allah

Pendapat ateisme berlawanan dengan pendapat panteisme. Penganut panteisme


menerima Allah dan menolak kejahatan; sementara penganut ateisme menerima
kejahatan dan menolak Allah. Penganut voluntarisme mengklaim bahwa kebaikan
didasarkan pada kehendak Allah, tetapi mereka menandakan bahwa Allah memang
berdaulat, namun tidak semena mena.

Secara logika Allah dan kejahatan tidak kompatibel. Orang-orang ateis yang lain
menandaskan bahwa Allah dan kejahatan tidak ada sangkut pautnya. Kesulitan dari
argumen ini ialah: orang ateis tidak dapat membuktikan bahwa Allah dan kejahatan
benar-benar bertentangan. Mereka mungkin hanya tidak cocok, tetapi bertentangan.
Satu pokok penting yang kadang-kadang diabaikan oleh orang bukan penganut teisme
adalah bahwa karena pokok yang diperdebatkan di sini bersifat logis atau konseptual
maka satu-satunya hal yang harus dilakukan penganut teisme ialah menunjukan suatu
penjelasan yang mungkin bagi soal kejahatan untuk menyanggah klaim orang yang
bukan penganut teisme. Penganut teisme sebetulnya tidak harus menunjukkan bahwa
inilah persoalannya.

Mengapa Allah menciptakan dunia yang nantinya berbuat dosa?. Persoalan


tersebut bukanlah persoalan logika; itu adalah persoalan faktual, bergantung pada
apakah manusia memilih untuk berdosa. Jadi, bisa ditunjukkan bahwa adalah
mustahil bagi Allah untuk benar-benar menciptakan sebuah dunia yang sebetulnya
menjamin tidak akan pernah berbuat dosa.

Pandangan-pandangan yang menerima Allah maupun kejahatan

1
Dualisme : kebaikan dan kejahatan dalam pertentangan abadi. Pandangan pertama
yang menerima adanya kebaikan maupun kejahatan adalah sebuah pandangan kuno,
umumnya dianut oleh bangsa yunani. Tetapi, barangkali contoh paling baik adalah
nabi Persia abad ketiga, Mani, pendiri Manikheisme.

a. Argumen pertama yang mendukung dualisme

Penganut dualisme mengklaim bahwa tidak ada yang dapat menjadi sumber dari
lawannya: misalnya, kejahatan tidak mungkin berasal dari kebaikan. Akibatnya, baik
kejahatan maupun kebaikan pasti sudah ada sejak kekal. Artinnya, ada satu asas
pokok pertama yang kekal (sebagian orang menyebutnya subtansi) di dasar segala
kebaikan, dan satu asas pokok pertama lain di akar segala kejahatan.

Terdapat dua reaksi argumen ini terhadap teisme. Pertama, kebaikan dapat
menimbulkan kejahatan, bukan secara esensial melainkan secara insidental. Kedua,
tidak semua yang berlawanan mempunyai asas-asas pokok pertama, terutama asas
pokok ( atau subtansi-subtansi ) pertama yang kekal.

Ketika penganut teisme mengatakan bahwa kejahatan bukanlah "sesuatu" (subtansi),


dia tidak bermaksud mengatakan bahwa kejahatan "bukan apa-apa" (yaitu, tidak
nyata). Kejahatan adalah ketiadaan yang nyata. Kebutaan itu nyata yakni ketiadaan
penglihatan yang nyata.

Finitisme: kebaikan kurang memiliki kuasa yang tidak terbatas untuk memerangi
kejahatan. Argumen yang mendukung finitisme sebagai berikut:

1. Allah ada
2. seandainya Allah mahakuasa, Dia tentu bisa membinasakan kejahatan
3. kejahatan tidak dibinasakan
4. Karena itu, Allah (meskipun Dia ingin sekali menghancurkan kejahatan dan
sebagaian besar orang menganggap Dia melakukan hal itu) tidak mahakuasa

Respon finite godism terhadap kejahatan mengandung beberapa masalah. Pertama


respon itu sebenarnya bukan jalan keluar atas kejahatan. Kejahatan dibiarkan tak
terkalahkan dan situasi dibiarkan dalam konflik tak berkesudahan. Satu-satunya
jaminan nyata bahwa kejahatan akan dikalahkan ialah jika ada satu Allah yang penuh
kasih serta penuh kuasa secara tak terbatas yang justru dibuang oleh finite godism.
Banyak penganut teisme berpendapat bahwa suatu Allah yang terbatas bukanlah
Allah.

Impossiblism (paham kemustahilan) : Allah tidak mengetahui sebelumnya tentang


kejahatan. Mereka mengklaim bahwa Allah adalah mahakusa serta mahatahu, tetapi
membantah bahwa ketika menciptakan dunia ini Dia dapat meramalkan akan terjadi
kejahatan. Karena itu, Allah terbebas dari tuduhan tentang kejahatan sebab Dia tidak
mengetahui apa yang akan akan dilakukan mahluk-mahluk bebas itu ketika Dia
menciptakan mereka. Penalaran yang mendukung paham ini adalah sebagai berikut:

1. Allah dapat mengetahui apa saja yang mungkin


2. Dia tidak dapat mengetahui yang tidak mungkin
3. Adalah mustahil untuk mengetahui lebih dahulu apa yang akan dilakukan oleh
mahluk- mahluk bebas
4. oleh karena itu, ketika Allah menciptakan mahluk-mahluk bebas Dia tidak
mengetahui bahwa mereka telah berbuat dosa

Menurut penganut impossblism, kita bebas atau tidak bebas. Jika kita bebas, maka
Allah mustahil mengetahui secara pasti apa yang kita lakukan dengan kebebasan kita.

2
Dan jika Allah tidak mengetahui bahwa kejahatan akan terjadi, maka Dia tidak dapat
disalahkan atas penciptaan dunia ini.

Satu sanggahan terhadap impossblism telah disebutkan, yaitu bahwa Allah bersifat
non-temporal. Dia tidak melihat lebih dahulu kejahatan yang akan terjadi, tetapi dia
melihat kejahatan apa yang akan sedang terjadi. Mengetahui apa yang sedang
dilakukan dengan pilihan bebas bukanlah bertentangan dengan pilihan bebas;
demikian juga mengetahui secara pasti apa yang akan dilakukan oleh pilihan bebas
bukanlah bertentangan dengan pilihan bebas.

Kesimpulan

Ada tiga cara pokok untuk menghubungkan Allah dengan kejahatan. Beberapa orang
menerima kejahatan dan menyangkal realitas Allah (ateisme). Yang lain menerima
Allah dan menyangkal realitas kejahatan (panteisme). Akhirnya banyak orang
berusaha menerima dua-duanya. Dualisme menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan
dalam posisi berlawanan selama-lamanya, dan ini berarti menyangkal supremasi Allah.

3
4

Anda mungkin juga menyukai