Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KOSMETIK HALAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Masailul Fiqhiyah

Dosen Pengampu Dr. Slamet Mujiono, M.Hum

Disusun Oleh :

1. Hasnaul Fadilah (21110034)


2. Lutfi Zaeenur Arifin (21110042)
3. Septiyanti Walimatul H. (21110057)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA (IAINU) KEBUMEN
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, hingga saat ini
masih memberikan sebuah nafas kehidupan dan anugerah akal, sehingga kami bisa
menyelesaikan pembuatan makalah ini secara tepat waktu, dengan mengangkat
judul “Kosmetik Halal”. Terimakasih pula kepada seluruh pihak yang telah ikut
membantu hingga telah usai disusunnya makalah ini.

Makalah sederhana ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Masailul Fiqhiyah. Pada makalah ini membahas tentang konsep manusia dan
permasalahannya.

Tak lupa juga kami sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap
makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi diri
sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Akhirnya kata, tidak ada manusia yang luput dari kesalahan dan kekurangan.
Dengan segala bentuk kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang sifatnya
membangun sangat diharapkan dari para pembaca guna kedepannya untuk
peningkatan kualitas makalah ini dan makalah-makalah lainnya pada waktu
mendatang.

Kebumen, 21 Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. 2

Daftar Isi ........................................................................................................... 3

BAB I Pendahuluan

Latar Belakang .................................................................................................... 4

Rumusan Masalah .............................................................................................. 5

Tujuan Penulisan ................................................................................................ 5

BAB II Pembahasan

A. Penegertian Kosmetik Halal ..................................................................... 6


B. Bahan-Bahan Yang Diharamkan Dalam Kosmetik ................................. 6
C. Fatwa MUI Mengenai Kosmetik ........................................................... 11

BAB III Penutup

A. Kesimpulan .......................................................................................... 15
B. Saran ..................................................................................................... 15

Daftar Pustaka ................................................................................................. 16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kosmetika merupakan suatu alat atau bahan yang dimasa sekarang ini sudah
sangat tidak asing lagi dikalangan masyarakat dari setiap golongan, baik yang muda
sekalipun yang sudah dewasa. Setiap orang berlomba-lomba untuk menggunakan
kosmetika untuk mempercantik dan memperindah diri, penampilan dan menambah
kepercayaan diri. Kenyataan dilapangan dalam praktek pemilihan produk
kosmetika hanya mengutamakan harga yang murah dan kerja yang cepat dari
produk kosmetika itu di tubuh atau kulit mereka, mereka tidak mengutamakan
kehalalan suatu produk kosmetika itu sendiri.

Bagi umat Muslim setiap produk yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan
harus memenuhi ketentuan syariat, yaitu terjaminnya kualitas dan kehalalan suatu
produk sesuai dengan syariat Islam. Kehalalan produk merupakan hal yang penting
bagi umat Islam. Produk yang aman tidak hanya sekedar terbebas dari bahaya fisik,
kimia ataupun mikrobiologi, tetapi juga ada suatu unsur penting yang harus
dipenuhi yaitu terhindar dari barang yang diharamkan dan diragukan oleh syari’at
Islam.1

Padahal dalam Fatwa MUI Nomor 26 Tahun 2013 sendiri telah mengatur
tentang standart kehalalan produk kosmetika dan penggunaannya. Ada lima alasan
yang melatarbelakangi perlunya kosmetik tersertifikasi halal, yaitu kepuasan
konsumen muslim, keunggulan kompetitif, kepatuhan terhadap peraturan
pemerintah, beberapa bahan kosmetik penting dari segi kehalalannya, serta
beberapa kosmetik tahan air.2 Berdasarkan UU JPH, produk kosmetik termasuk
dalam produk yang harus bersertifikat halal, dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 39 Tahun Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk

1
Regiani, Anggi, Analisis Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Sertifikasi Halal Produk
Kosmetik Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen : Studi Kasus di Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia Indonesia (LPPOM-MUI) Jawa Barat,
Doctoral dissertation, UIN Sunan Gunung Djati, 2021, 1
2
A Khadijatul, Marliyah, T Anggraini, Rahmat, Peranan Perspektif Maqashid Al Syariah dan
Berlakunya UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Terhadap Produk Kosmetik
Halal di Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal, Jurnal Syarikah, 2022, 298

4
Halal, mengatur bahwa produk yang dimasukkan, diedarkan, dan dipasarkan di
wilayah Indonesia harus bersertifikat halal, kecuali produk yang berasal dari bahan
terlarang. Penerapan peraturan kosmetika di Indonesia sudah baik, meskipun ada
beberapa hal yang memerlukan perbaikan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kosmetik halal ?
2. Apa saja bahan-bahan yang diharamkan dalam kosmetik?
3. Bagaimana fatwa MUI mengenai kosmetik ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan definisi kosmetik .
2. Untuk mengetahui bahan-bahan yang diharamkan dalam kosmetik.
3. Untuk menjelaskan fatwa MUI mengenai kosmetik.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kosmetik Halal


Kosmetika sebagai produk dalam memelihara kecantikan semakin
berkembang seiring dengan perkembangan bioteknologi. Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan RI Tahun 1976, kosmetika adalah bahan atau
campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan
atau disemprotkan pada, dimasukkan dalam, dipergunakan pada badan
manusia dengan maksud membersihkan, memelihara, menambah daya tarik
dan mengubah rupa dan tidak termasuk golongan obat. Zat tersebut tidak
boleh mengganggu kulit dan kesehatan tubuh secara keseluruhan.3
Kosmetika digunakan baik pada bagian luar maupun dalam tubuh
manusia. Sesuai ajaran Islam, dua hal yang harus diperhatikan dalam
penggunaan produk kosmetika adalah kebersihan dan kesucian.
Dari pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwasannya,
kosmetika halal adalah kosmetika yang mana bahan maupun cara
pengelolaannya terjaga kebersehan dan kesuciannya.
B. Bahan-Bahan Yang Diharamkan Dalam Kosmetik
Kosmetika berasal dari cosmos yang berarti susunan alam semesta
yang teratur dan harmonis. Atas dasar itu, maka kosmetika didefinisikan
sebagai “bahan yang digunakan untuk mepercantik serta menyempurnakan
penampilan si pemakai sehingga menimbulkan kesan rapih, cantik,
menarik, dan harmonis (Sopa, 2013). Saat ini, seiring dengan perkembangan
teknologi, produk kosmetika di Indonesia semakin banyak dan beragam,
hingga kita sulit menelisik bahan-bahan yang haram di dalamnya. Islam
menganjurkan muslimah untuk memakai kosmetik yang mengandung
bahan-bahan yang tidak akan membahayakan tubuhnya, tidak berlebihan
dan tidak mengubah ciptaan Allah SWT, Islam memberikan batasan dalam

3
Muchtaridi, M. (2017). Kosmetika Halal atau Haram serta Sertifikasinya. Majalah
Farmasetika, 2(1), 12-15.

6
persoalan berhias diri, batasan tersebut tersirat dalam (Al-Qur’an surah Al-
Azhab:33).

Artinya: dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu


berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta'atilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkankamu sebersih-bersihnya.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berbagai bahan


baku yang digunakan bukan bahan baku alam yang diolah secara tradisional
saja, tetapi bahan kimia yang digunakan oleh produsen untuk menghasilkan
produk agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa memikirkan akibat
dari bahan baku tersebut bagi para pengguna atau konsumen. Terkadang, para
wanita mengabaikan bahan baku yang digunakan dalam kosmetik itu sendiri,
yang hanya mereka pikirkan hanya tujuan dan hasilnya. Sebagai seorang
muslim meskipun Islam membolehkan untuk berhias, tetapi dalam
menggunakan perhiasan seperti kosmetik yang akan digunakan harus sehat dan
tidak membahayakan kulit atau diri penggunanya. Maka dari itu mengetahui
bahan-bahan yang berbahaya dalam kosmetik itu sangat penting.4 Oleh karena
itu, agar kita waspada, ada baiknya jika kita mengetahui titik-kritis haram
dalam kosmetika. Titik-titik kritis haram tersebut yang harus diwaspadai
terutama sumber bahan dasar pembuatan kosmetika, bisa jadi berasal dari
hewan atau bagian organ manusia. 5 Jika bahan dasarnya berasal dari babi atau

4
Umbarani, E. M., & Fakhruddin, A. (2021). Konsep Mempercantik Diri Dalam
Prespektif Islam Dan Sains. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 23(1), 115-125.
5
Muchtaridi, M. (2017). Kosmetika Halal atau Haram serta Sertifikasinya. Majalah
Farmasetika, 2(1), 12-15.

7
bagian organ manusia, maka jelas produk tersebut dinyatakan haram, karena
berdasarkan QS; Al-Baqarah:173 ;

Artinya : Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai,


darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut
nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa penggunaan apapun berasal


dari babi adalah haram, dan fatwa MUI No.2/MunasVI/MUI/2000,
penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organisme
manusia, hukumnya adalah haram. Kalaupun berasal dari hewan yang bukan
babi, jika hewan tersebut tidak disembelih secara islam, maka dinyatakan
haram.

Zat pembuat kosmetika yang menjadi titik kritis haram yaitu;6

1. Pertama, zat aktif dari produk kosmetik tersebut, misalnya, kolagen dan
elastin. Kolagen dan elastin berfungsi untuk menambah elatisitas kulit,
biasanya terdapat dalam krim atau lotion. Kolagen berasal dari tulang
hewan, jika kolagennya berasal dari hewan yang disembelih secara
islam, tentu tidak masalah kehalalannya. Namun, yang menjadi
masalah justru sumbernya yang tidak jelas, sehingga membuat produk
ini menjadfi syubhat.
2. Kedua, zat-zat penstabil sebagai bahan dasar. Lipstik, deodorant, eye
shadow berbahan dasar (basis) garam-garam asam lemak, seperti lauril
palmitat, gliseril monostearat. Garam asam lemak ini kemungkinan
besar didapat dari hewan. Bahan penstabil tersebut harus halal
sumbernya dan cara penyembelihan atau pengolahan.

6
Ibid

8
3. Ketiga, asam lemak esensial. Beberapa jenis asam lemak yang sering
digunakan adalah asam linolenat, asam linoleat dan asam arakidonat
sebagai antioksidan. Asam-asam lemak tersebut banyak digunakan
dalam kosmetika khususnya untuk perawatan kulit. Yang perlu
diwaspadai adalah sumber asam lemak apakah dari hewan yang halal
dan disembelih dengan cara islami juga bahan penstabil yang
digunakan karena asam-asam lemak tersebut adalah golongan yang
yang mudah teroksidasi atau tidak stabil sehingga membutuhkan bahan
penstabil ketika digunakan.

Ada juga dalam public Warning no. KH.00.01.3352 yang dikeluarkan oleh BPOM
dan jurnal halal LPPOM MUI telah menjelaskan beberapa bahan-bahan kosmetik
yang berbahaya, yakni sebagai berikut:

1. Merkuri (Hg)/air raksa termasuk logam berat berbahaya, yang dalam


konsentrasi sekecil apapun dapat bersifat racun.
2. Hidroquinon termasuk golongan obat keras hanya dapat digunakan
berdasarkan resep dokter. Bahaya pemakaian obat keras ini tanpa
pengawasan dokter dapat menyebabkan iritasi kulit, kulit menjadi merah
dan terasa terbakar juga dapat menyebabkan kelainan pada ginjal
(nephropathy), kanker darah (leukimia) dan kanker sel hati (hepatoccelluler
adenamo).
3. Bahan pewarna merah K.10 (Rhodamin B) dan merah K.3 (CI pigmen red
53), merupakan zat warna sintesis yang pada umumnya digunakan sebagai
zat warna kertas, tekstil atau tinta. Zat warna ini dapat menyebabkan iritasi
pada saluran pernapasan dan merupakan zat karsinogenik (dapat
menyebabkan kanker), dan rhodamin jika dalam konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan kerusakan pada hati. (BPOM, 2006).
4. Sodium Leuril Sulfat (SLS), zat ini biasanya terdapat dalam sabun,
campuran shampo, pasta gigi, dan pembersih badan. SLS mengandung
formaldehid yang dapat memicu alergi, asma, sakit kepala, depresi, pusing,
dan nyeri sendi. SLS dapat menyebabkan iritasi kulit yang hebat dan
menyebabkan katarak dan mengganggu kesehatan mata.

9
5. Bahan pengawet Paraben. Paraben digunakan terutama pada kosmetik,
deodorant dan beberapa produk perawatan kulit lainnya. Zat ini dapat
menyebabkan kemerahan dan reaksi pada kulit. Penelitian terakhir di
Inggris menyebutkan bahwa ada hubungan antara penggunaan paraben
dengan peningkatan kejadian kanker payudara pada perempuan.
6. Propylene Glycol, zat ini ditemukan pada produk-produk kecantikan dan
pembersih wajah. Zat ini dapat menyebabkan kemerah-merahan pada kulit,
dan zat ini juga dapat merusak ginjal dan hati.
7. Isopropyl Alkohol, alkohol ini digunakan sebagai bahan pelarut pada
beberapa produk perawatan kulit. Zat ini dapat menyebabkan iritasi kulit
dan merusak lapisan asam kulit sehingga bakteri dapat tumbuh dengan
subur.
8. DEA (Diethanolamine), TEA (triethanolamine) dan MEA
(monothanolamine), bahan bahaya ini biasanya banyak ditemukan pada
kosmetik perawatan kulit. Bahan bahaya ini dapat menyebabkan reaksi
alergi.
9. Minyak Mineral, zat ini biasanya dibuat dari turunan minyak bumi.
Biasanya minyak ini dipakai sebagai bahan dasar kosmetik. Minyak ini akan
melapisi kulit seperti mantel sehingga pengeluaran toksin dari kulit menjadi
terganggu. Hal ini akan menyebabkan jerawat.
10. Polyethylene Glycol (PEG), bahan ini digunakan untuk mengentalkan
produk kosmetik. PEG akan mengganggu kelembaban alami kulit sehingga
menyebabkan terjadinya penuaan dini dan kulit menjadi rentan terhadap
bakteri. (MUI, 2008)

Bahan - bahan kosmetik yang berbahaya inilah yang harus diperhatikan,


karena dalam sebuah kaidah dijelaskan.

Artinya: hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal
sesuatu yang berbahaya adalah haram.

10
Kosmetik yang akan digunakan harus sehat dan tidak membahayakan kulit
atau diri penggunanya. Kosmetik yang dipilih harus benar-benar aman untuk
digunakan serta bukan dari bahan yang dilarang syariat. Kehalalan suatu produk
kosmetik adalah hal yang harus diperhatikan. Menurut (Utami, 2011) produk
halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syariat
Islam, yaitu: tidak mengandung babi dan bahan berbahaya dari babi, semua
bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara Syari’at
Islam, semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, dan
transportasinya tidak digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainnya
terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut Syariat
Islam. Oleh karena itu sebagai umat islam.

C. Fatwa MUI Mengenai Kosmetik

Sertifikat Halal MUI merupakan fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan ajaran dan
syariat Islam. Sertifikat ini adalah syarat agar sebuah kemasan produk
mendapatkan izin untuk mencantumkan label halal dari instansi pemerintah
yang berwenang. Menurut Astogini et al. (2011), labelisasi halal adalah label
yang menginformasikan kepada pengguna bahwa sebuah produk benar-benar
halal. Selain itu, UU RI Nomor 33 tahun 2014 mendefinisikan bahwa label halal
merupakan tanda halalnya suatu produk.

Fatwa MUI Nomor 26 Tahun 2013 lahir di latar bekangi oleh beberapa
aspek yang menjadi penguat untuk membuat fatwa ini. Diantaranya adalah
kosmetika menjadi salah satu kebutuhan manusia pada umumnya dari segala
jenis golongan dan usia. Selain itu, kosmetika yang di gunakan oleh setiap
muslim haruslah berbahan dasar halal dan juga suci. Perkembangan teknologi
pada saat ini telah mampu untuk menghasilkan berbagai produk kosmetika yang
menggunakan berbagai jenis bahan dasar, serta memiliki banyak fungsi yang
beraneka ragam, yang sering kali ditemukan bahan dasarnya tidak jelas tentang
kesuciannya. Dari beberapa aspek tersebut maka muncullah pertanyaan dari

11
masyarakat tentang standar kehalalan produk kosmetika dan penggunaannya
yang di halalkan oleh Majelis Ulama Indonesia.7

Dalam fatwa ini MUI menimbang bahwa kosmetik yang akan digunakan
oleh setiap Muslim harus mengandung bahan halal dan suci maupun jenis dan
cara pembuatannya, diantaranya:

1. Penggunaan kosmetika dalam (untuk dikonsumsi/masuk ke dalam


tubuh) yang menggunakan bahan najis atau haram hukumnya
haram.
2. Produk kosmetika yang menggunakan bahan yaitu bahan baku,
bahan aktif, atau bahan tambahan dari turunan hewan halal (berupa
lemak atau lainnya) yang tidak diketahui cara penyembelihannya
hukumnya makruh tahrim, sehingga harus dihindari.
3. Produk kosmetik yang menggunakan bahan dari produk mikrobial
yang tidak diketahui media pertumbuhan mikrobanya apakah dari
babi, harus dihindari sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan
kesucian bahannya.8

Ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 26 Tahun 2013


Tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaanya,
Memutuskan Menetapkan Fatwa Tentang Standar Kehalalan Produk
Kosmetika dan Penggunaannya.

Pertama : Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:

1. Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan yang digunakn


untuk membersihkan, menjaga, meningkatkan penampilan,
merubah penampilan, digunakan dengan cara mengoles,
menempel, memercik atau menyemprot.

7
Nazlyany Hasibuan, Kesadaran Hukum Penggunaan Kosmetika Halal di Kalangan Mahasiswi
Fakultas Syariah dan Hukum UINSU (Studi Tentang Fatwa MUI Nomor 26 Tahun 2013 Tentang
Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya, Doctoral dissertation UINSA, 2021, 39
8
Salma Nada Firdauzy, Mohamad Ali Hisyam, Tinjauan UU No. 8 Tahun 1999 dan Fatwa MUI
No. 26 Tahun 2013 Terhadap Bisnis Kosmetik di Kecamatan Kamal Kabupaten Bangkalan, Jurnal
Kaff, 2022, 11

12
2. Tahsiniyat adalah salah satu kebutuhan syar‟i yang bersifat
penyempurna (tertier), yang tidak sampai pada tingkat dlarurat
atau hajat, yang jika tidak akan mengancam eksistensi jiwa
seseorang, serta tidak menimbulkan kecacatan.
3. Penggunaan kosmetika ada yang berfungsi sebagai obat dan ada
yang berfungsi sekedar pelengkap, ada yang masuk kategori
haajiyyat dan ada yang masuk kategori tahsiniyyat.

Kedua : Ketentuan Hukum

1. Penggunaan kosmetika untuk kepentingan berhias hukumnya boleh


dengan syarat:
a. Bahan yang digunakan adalah halal dan suci,
b. Ditujukan untuk kepentingan yang diperbolehkan secara syar’i
dan
c. Tidak membahayakan.
2. Penggunaan kosmetika dalam (untuk dikonsumsi/masuk ke dalam
tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau haram hukumnya
haram.
3. Penggunaan kosmetika luar (tidak dimasukan ke dalam tubuh) yang
menggunakan bahan yang najis atau haram selain babi dibolehkan
dengan syarat dilakukan penyucian setelah pemakaian (tathhir syar’i).
4. Penggunaan kosmetika yang semata-mata berfungsi tahsiniyyat, tidak
ada rukhshah (keringanan) untuk memanfaatkan kosmetika yang
haram.
5. Penggunaan kosmetika yang berfungsi sebagai obat memiliki ketentuan
hukum sebagai obat, yang mengacu pada fatwa terkait penggunaan
obat-obatan.
6. Produk kosmetika yang mengandung bahan yang dibuat dengan
menggunakan mikrooba hasil rekayasa genetika yang melibatkan gen
babi atau gen manusia hukumnya haram.
7. Produk kosmetika yang menggunakan bahan (bahan baku, bahan aktif,
dan/atau bahan tambahan) dari turunan hewan halal (berupa lemak atau

13
lainnya) yang tidak diketahui cara penyembelihannya hukumnya
makruh tahrim, sehingga harus dihindari.
8. Produk kosmetika yang menggunakan bahan dari produk mikrobial
yang tidak diketahui media pertumbuhan mikrobanya apakah dari babi,
harus dihindari sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan kesucian
bahannya.

Ketiga : Rekomendasi

1. Masyarakat dihimbau untuk memilih kosmetika yang suci dan halal serta
menghindari penggunaan produk kosmetika yang haram dan najis, makruh
tahrim dan yang menggunakan bahan yang tidak jelas kehalalan serta
kesuciannya.
2. Pemerintah mengatur dan menjamin ketersediaan kosmetika halal dan suci
dengan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
3. Pelaku usaha diminta untuk memastikan kesucian dan kehalalan kosmetika
yang diperjualbelikan kepada umat Islam
4. LPPOM MUI tidak melakukan sertifikasi halal terhadap produk kosmetika
yang menggunakan bahan haram dan najis, baik untuk kosmetika dalam
maupun luar.
5. LPPOM MUI tidak melakukan sertifikasi halal terhadap produk kosmetika
yang menggunakan bahan yang tidak jelas kehalalannya dan kesuciannya,
sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan kesucian bahannya.9

Dengan mengetahui 8 (delapan) standard kehalalan kosmetik dan


penggunaannya berdasarkan Fatwa MUI No. 23 tahun 2013 tentang Standar
Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya,diharapkan seluruh umat
Muslim lebih pintar dalam memilah produk kosmetik yang digunakan sehari-
hari.10 Efektivitas komunikasi Majelis Ulama Indonesia, tentu memanfaatkan
segala yang ada, agar segala informasi dalam mensosialisasikan fatwa standar

9
Desi Putri Mulyani,Nurul Huda, Penerapan Fatwa MUI Nomor 26 Tahun 2013 Tentang
Standar Kehalalan Produk Kosmetik dan Penggunaannya, Doctoral dissertation, UPT IAIN
SURAKARTA, 2020, 42-45
10
Inti Ulfi Sholichah, Kutek Halal dalam Islam Analisis Fatwa MUI No. 26 Tahun 2013 Tentang
Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya, Journal of Islamic Finance, 2023, 60

14
kehalalan produk kosmetik dan penggunaannya lebih mudah disalurkan dan
mudah dimengerti sekaligus dilaksanakan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
kosmetika halal adalah kosmetika yang mana bahan maupun cara
pengelolaannya terjaga kebersehan dan kesuciannya. Adapun zat pembuat
kosmetika yang menjadi titik krisis haram yaitu zat adiktif, zat penstabil,
asam lemak esensial, merkuri, hidroqunion, bahan perwana merah dan lain
sebagainya. MUI akan mengeluarkan sertifikat halal ketika produk
kosmetika telah memenuhi 8 (delapan) standard kehalalan kosmetik
dan penggunaannya berdasarkan Fatwa MUI No. 23 tahun 2013 tentang
Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya,diharapkan
seluruh umat Muslim lebih pintar dalam memilah produk kosmetik yang
digunakan sehari-hari.

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang
perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan
penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.
Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian dan karya tulis yang
bermanfaat bagi banyak orang.

15
DAFTAR PUSTAKA

A Khadijatul, Marliyah, T Anggraini, Rahmat, Peranan Perspektif Maqashid Al


Syariah dan Berlakunya UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal Terhadap Produk Kosmetik Halal di Panyabungan
Kabupaten Mandailing Natal, Jurnal Syarikah, 2022, 298
Desi Putri Mulyani,Nurul Huda, Penerapan Fatwa MUI Nomor 26 Tahun 2013
Tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetik dan Penggunaannya,
Doctoral dissertation, UPT IAIN SURAKARTA, 2020, 42-45
Inti Ulfi Sholichah, Kutek Halal dalam Islam Analisis Fatwa MUI No. 26 Tahun
2013 Tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya,
Journal of Islamic Finance, 2023, 60
Muchtaridi, M. (2017). Kosmetika Halal atau Haram serta Sertifikasinya. Majalah
Farmasetika, 2(1), 12-15.
Nazlyany Hasibuan, Kesadaran Hukum Penggunaan Kosmetika Halal di
Kalangan Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum UINSU (Studi Tentang
Fatwa MUI Nomor 26 Tahun 2013 Tentang Standar Kehalalan Produk
Kosmetika dan Penggunaannya, Doctoral dissertation UINSA, 2021, 39
Regiani, Anggi, Analisis Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Sertifikasi Halal
Produk Kosmetik Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen : Studi Kasus
di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia Indonesia (LPPOM-MUI) Jawa Barat, Doctoral
dissertation, UIN Sunan Gunung Djati, 2021, 1
Salma Nada Firdauzy, Mohamad Ali Hisyam, Tinjauan UU No. 8 Tahun 1999 dan
Fatwa MUI No. 26 Tahun 2013 Terhadap Bisnis Kosmetik di Kecamatan
Kamal Kabupaten Bangkalan, Jurnal Kaff, 2022, 11
Umbarani, E. M., & Fakhruddin, A. (2021). Konsep Mempercantik Diri Dalam
Prespektif Islam Dan Sains. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 23(1), 115-
125.

16

Anda mungkin juga menyukai