Anda di halaman 1dari 19

Memahami Hadis “Kepemimpinan Wanita”

(Studi Interpretasi Hermenetika-Gender Khaled M. Abou El Fadl)


Oleh : Ansor Bahary

Abstrak
Pada masa klasik Islam, untuk mendapatkan pemahaman (understanding)
dan pemaknaan (meaning) sebuah hadis nabi saw. maka lab otentisitasnya cukup
melalui ‘ilm al-Rija>l al-H}adi>th dan al-Jarh} wa al-Ta’di>l, semua bisa dianggap final
karena telah diperoleh hukum kualitas hadis; boleh jadis sahih, hasan, atau
mungkin daif. Namun demikian, sejak berlalunya abad pertengahan dan memasuki
modern-kontemporer, kebenaran hadis secara otentik diuji kembali bahkan
terkoyak validitasnya alias disangsikan, karena pemahaman dan pemkanaan yang
diproduksi terkadang turut serta mendorong pemahaman dan pemaknaan
merendahkan wanita, menunjukan diskrimansi, beraroma domestikasi. Demikian
ini, terjadi pada kaum perempuan jika dikaitkan dengan wacana keagamaan
menarik untuk dikaji mengingat adanya asumsi bahwa pemahaman agama seperti
teks-teks hadis, dianggap telah menjadi pemicu berbagai ketidakadilan terhadap
perempuan. Hadis tentang kepemimpinan wanita atau wanita menjadi pemimpin
sebagai salah satu contohnya. Oleh karenanya, tulisan ini mencoba mengkaji
bagaimana Nabi saw. memposisikan perempuan dalam urusan kepemimpinan,
karena seringkali hadisi ini digunakan sebagai alasan teologis atau dalil keagamaan
dalam Islam khususnya menjelang pilpres atau pilkada.

Kata Kunci : Pemahaman, Pemaknaan, Hadis Kepemimpinan Perempuan,


Hermenetika-Gender

A. Pendahuluan
Sejak hadis telah dikompilasi (tadwi>n) oleh para Mukharrij-nya pada abad
ke-2 H. relatif tidak ada nada-nada sumbang yang mempertanyakan persoalan
otentisitas dan otoritas, baik terhadap nabi saw. sebagai sumber pembangun berita
atau hadisnya itu sendiri. Sebelum lahirnya ilmu-ilmu sosial, seperti telah
ditegaskan sebelumnya bahwa teks keagamaan telah melahirkan ilmu-ilmua al-
Qur’an (‘Ulu>m al-Qur’a>n) dan ilmu-ilmu hadis (‘Ulu>m al-H}adi>th). Pelbagai
permasalahan keagamaan umat manusia muncul dapat diselesaikan melalui
instrumen ilmunya. Namun demikian, pada perkembangan masa modern-
kontemporer yang ditandai dengan munculnya berbagai pengetahuan manusia
muncul pula pendekatan-pendekatan keilmuan. Bahkan melalui operasional
pendekatannya, pemahaman dan pemaknaan teks al-Qur’an dan hadis yang
dibangun tidak mustahil dianggap s}a>lih}un li kulli maka>n wa li kulli zama>n. Salah
satunya, pengakajian teks atau wacana keagamaan didekati dengan berbagai
pendekatan ilmu-ilmu sosial, seperti salah satunya hermenetika-gender. Dalam hal
ini, penulis mencoba mengangkat pembacaan pemahaman dan pemaknaan hadis
kepemimpinan perempuan tersebut melalui konsep hermenetika-gender Khaled M.
Abou El Fadl.

1
B. Pembahasan
b.1. Mengenal Khaled M. Abou El Fadl
Abou El Fadl adalah seorang pemikir hukum Islam kelahiran Kuwait tahun
1963.1 Sejak kecil ia terdidik dengan ilmu-ilmu keislaman seperti al-Qur’an, hadis,
bahasa Arab, tafsir, dan tasawuf sejak dari sekolah pendidikan dasar. Sejak umur
enam tahun, ia telah belajar di Madrasah Al-Azhar Mesir yang saat itu sedang
mengalami masa transisi dari paham moderat ke paham Wahabi. Sehingga sampai
pada usia remaja, Abou El Fadl sangat getol menyebarkan dan membela paham
yang lahir di Saudi Arabia ini, namun kemudian ia berubah seratus delapan puluh
derajat mengkritik paham ini karena dinilai telah mengekang kebebasan berpikir
dan bertindak sewenang-wenang.2
Gelar B.A diperoleh dari Universitas Yale pada tahun 1985. Ia kemudian
pindah ke Universitas Pensilvania dan meraih gelar J.D. pada tahun 1989. Gelar
Ph.D diperoleh di Universitas Princeton dalam bidang studi Islam, dan secara
bersamaan ia menempuh kuliah studi hukum di Universitas California Los Angeles
(UCLA) dan di sanalah kemudia ia membangun dan mengembangkan karir
akademiknya hingga dianugerahi sebagai guru besar dalam hukum Islam di UCLA
dengan mengampu sejumlah mata kuliah, seperti hukum Islam, imigrasi, HAM,
dan hukum keamanan nasional dan internasional.3
Selain mengajar di beberapa universitas dan memenuhi undangan dan
permintaan selaku narasumber pada beberapa seminar dan forum diskusi, Abou El
Fadl juga melakukan advokasi pada bidang pembelaan HAM, hak-hak imigran, dan
mengepalai lembaga HAM di Amerika. Bahkan pada tahun 2003-2005, ia diangkat
oleh Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, sebagai salah satu anggota
Komisi Internasional Kebebasan Beragama (International Religious Freedom).4

b.2. Hermenetika-Gender dan Operasional Teorinya


a. Hermenetika-Gender
Istilah hermenetika berasal dari bahasa Yunani, dari kata kerja
hermêneuein yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermêneia yang berarti
“interpretasi”.5 Jika dilihat dari asal-usulnya, maka istilah tersebut memiliki
asosiasi etimologis dengan dewa Hermes dalam mitologi Yunani yang bertugas
menyampaikan berita,6 dan tidak lain – pandang Nasr yang dikutip oleh
Komaruddin -- berasosiasi pada nabi Idris as. menurut versi Islam yang disebutkan

1
https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=Khaled+M.+Abou+El+Fadl diakses pada sore
hari kamis (21 Mei 2015) jam 5 sore.
2
https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=Khaled+M.+Abou+El+Fadl diakses pada sore
hari kamis (21 Mei 2015) jam 5 sore.
3
Yusriandi, Hermeneutika Hadis Abou El Fadl dalam Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis,
ed. Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2010), 413.
4
https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=Khaled+M.+Abou+El+Fadl diakses pada sore
hari kamis (21 Mei 2015) jam 5 sore.
5
Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi (terj.). (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), 2.
6
E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. (Yogyakarta: Kanisius [Anggota
IKAPI], 1999), 23.

2
dalam al-Qur’an.7 Dari asosiasi ini, jika dikaitkan fungsi pemberitaan dari Hermes
atau nabi Idris as. maka bentuk dasar dari hermêneuein dapat berarti tiga makna;
pertama, “to express” (mengungkapkan), “to assert” (menegaskan), “to say”
(menyatakan); kedua, “to axplain” (menjelaskan); dan ketiga, “to translate”
(menerjemahkan).8 Asosiasi ini yang oleh Komaruddin dianggap sebagai ilmu dan
seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan
baku berupa teks.
Meskipun hermenetika dalam arti sebagai aktivitas penafsiran telah
berumur tua,9 dan bahkan setua dengan eksegesis teks itu sendiri, tetapi kajian
hermenetika kemudian mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan
persepsi dan model pemakaiannnya yang muncul dari keragaman pendefinisian dan
pemahaman terhadap hermenetik. Gambaran kronologis perkembangan pengertian
dan pendefenisian terhadap hermenetik ini oleh Palmer dibagi ke dalam enam
kategori kemudian dikenal sebagai enam definisi modern hermenetik; pertama,
hermenetika sebagai teori penafsiran kitab suci; kedua, hermenetika sebagai
metode filologi; ketiga, hermenetika sebagai pemahaman linguistik; keempat,
hermentika sebagai fondasi dari geisteswissenschaft (semua disiplin yang
memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia); kelima,
hermenetika sebagai fenomenologi dasein dan keenam, hermenetika sebagai sistem
interpretasi.10
Di dunia Islam, perdebatan soal apakah hermenetika dapat diterapkan pada
teks-teks keagamaan seperti dalam memorial sejarahnya masih berlangsung alias

7
Penelusuran Komaruddin Hidayat, menyebutkan bahwasanya tokoh Hermes tidak lain
adalah nabi Idris as. yang disebutkan dalam al-Qur’an. Lihat, Sayyed Hossein Nasr, “Knowledge and
The Sacred” dalam Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan. (Jakarta : Teraju, 2004), 185-
186. Dari kalangan sebagian mufassi>r juga berpendapat sama dapat lihat, Abu> Daud Sulaima>n ibn
H}assan al-Andalu>si>, atau lebih dikenal Ibnu Jaljul, T}abaqa>t al-At}ibba> wa al-H}ukama>. (Kairo :
Mat}ba’ah al-‘Ahdi> al-‘Ilm al-Faransi> li> Al-Athsa>r al-Sharqiyyah, 1955), 5; lihat, Abu> al-Wafa>’ al-
Mubashshi>r ibn Fa>tik, Mukhta>r al-H}ikam wa al-Mah}as> in al-Kala>m. (Madrid : Mat}ba’ah Al-Ma’had
al-Mis}ri> li Dira>sah Al-Islamiyyah, 1958), 7.
8
Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi (terj.), 16-31.
9
Jika dirunut ke belakang keberadaan hermenetik atau penggunaan hermeneuin dan
hermeneia ini sebenarnya sudah ditemukan sejak zaman Yunani Kuno dalam berbagai bentunya. Hal
ini dibuktikan dengan berthannya beberapa istilah yang digunkan. Sebut saja, Aristoteles dalam
risalahnya besarnya Organon menyebutkan kelayakan subyek ini dengan Peri hermeneias, yang
kemudian diterjemahkan On Interpretation. Penggunaan yang sama juga disebutkan Plato dalam
karyanya Oedipus at Colonus untuk menyatakan kata bendanya. Bentuk beragama pemakain istilah
itu ditemukan dalam karya beberapa penulis awal terkenal sebelum mereka, seperti Xenophon,
Plutarch, Euripidis, Epicurus, Lucretius, Longinus. Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori
Baru Mengenai Interpretasi (terj.), 14.
10
Keenam definisi modern hermenetik tersebut dapat disebut pula sebagai pendekatan.
Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi (terj.), 38; Ada juga yang
mengklasifikasinya berdasarkan fase atau periode perkembangan hermenetik sesuai corak dan
karakteristiknya yang terbagi menjadi klasik, pertengahan, dan modern. Lebih jelasnya, M. Nur
Kholis Setiawan, Emilio Betti dan Hermeneutika Sebagai Auslegung dalam Upaya Integrasi
Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis; teori dan Aplikasi. (Yogyakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Islan Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011), 4.

3
masih debatable.11 Ada yang menerimanya secara total dan ada pula yang
menerimanya dengan beberapa syarat.12 Kelompok yang menolak beralasan pada
umumnya karena ilmu ini berasal dari Barat dan menurut sejarahnya digunakan
dalam penelitian otentisitas Bible (Alkitab), sehingga dinilai tidak tepat apabila
diaplikasikan pada studi Islam terutama pada al-Qur’an yang telah diyakini
otentisitasnya. Bagaimana dengan hadis; apakah sama seperti al-Qur’an yang
dimana author-nya tentu berbeda?, ditambah lagi gerakan atau perintah penulisan
secara instruktif dan masif muncul belakangan sepeninggal rasulullah saw.?
Selain itu, terkait al-Qur’an, kaum Muslimin atau Islam sebenarnya telah
memiliki bangunan keilmuan tersendiri yang kemudian populer dengan sebutan
Ulu>m al-Qur’u>n dan Ulu>m al-Tafsi>r, yang telah difomulasikan oleh para ulama
terdahulu yang (mungkin) akan menjdi vis a vis hermenetika ini. Demikian terkait
hadis, kaum Muslimin atau Islam juga telah memiliki bangunan keilmuan yang
cukup mapan yang kemudian dikenal ‘Ulu>m al-H}adi>th, dan (mungkin) juga akan
terdegradasi karena kehadirannya. Kedua ilmu-ilmu ini sangat bermanfaat,
memberikan kontribusi, dan dapat memberikan problem solving terhadap
understnding dan meaning baik al-Qur’an maupun hadis bagi kaum Muslimin
khususnya, sebagaimana diakui para ulama dan cendekiawan Muslim dan non
Muslim.
Namun terlepas dari perdebatan tersebut sejumlah cendekiawan muslim
telah menggunakan metode hermenetika ini dalam kajian keislaman termasuk
interpretasi memahami dan memaknai hadis, pengujian otentisitas dan pemaknaan
hadis, sehingga istilah “hermenetika” tidak lagi merupakan claim problem, istilah
yang diberikan oleh pihak luar Islam (outsider) tetapi telah digunakan oleh orang
Islam sendiri (insider) yang kemudian membawa konsekuensi pada perumusan
metodologi. Nama-nama semisal Fazlur Rah}ma>n dalam Major Themes of The
Qur’an dan Islamic in Methodology, Mohammad Arkoun dalam D’Interpretion
Quran, Nasr H}am > id Abu> Zayd dalam Mafhu>m al-Nas}, H}assa>n H}anafi> dalam The
Revelation of Quran, Abdulla>h Saeed dalam Interpreting The Qur’an, Aminah
Wadu>d Muh}sin, Kha>led M. Abou El Fadl (Speaking in God’s Name; Islamic Law,
Authority And Women dan sebagainya, bukanlah ‘asing’ dalam penerapan
metodologi tersebut.

b. Operasionalisasi Teori Hermenetika-Gender


Pekerjaan pertama yang dilakukan oleh Abou El Fadl adalah kualifikasi
hadis yang dijadikan sebagai sumber hukum. Dalam hal ini, Abou El Fadl
menetapkan asumsi-asumsi teologis sebagai landasan dan pondasi analisisnya. Ia
meyakini bahwa pemegang otoritas tertinggi dalam melakukan penetapan
otentisitas berada di tangan Tuhan. Tuhan dipandang memiliki kekuasaan tertinggi

11
Muh}ammad Bahrami>, “Al-Hirminithiqa> wa ‘Ilm al-Tafsi>r” dalam Majmu>’ah min al-
Muallifi>n; Dira>sat fi> Tafsi>r al-Nas} al-Qur’a>ni> al-Ju>z al-Awwal Abh}a>th fi> Mana>hij al-Tafsi>r. (Beiru>t :
Markaz al-Had}ara>t al-Tanmiyah al-Fikr al-Isla>mi> Silsilah al-Dira>sah al-Qur’aniyah, 2007), 33-34.
12
Nasaruddin Umar, Menimbang Hermeneutika sebagai Manhaj Tafsir, Jurnal Studi Al-
Qur’an, Vol.I, No.1, Januari 2006, 33-56.

4
dalam menetapkan penalaran ekslusif yang harus diikuti.13 Pekerjaan berikutnya,
Abou El Fadl mempertanyakan pemahaman dan pemaknaan terkait apa yang
diinginkan nabi saw. dan apa sarana untuk mengetahuinya. Teks qauliyah,
af’a>liyah, taqri>riyah sunnah rasanya merupakan sarana yang paling meyakinkan
untuk mengetahui kehendak nabi saw..
Namun demikian, yang tidak bisa dibantah bahwa sunnah juga sama
seperti al-Qur’an merupakan teks dalam makna, keduanya tersusun dari simbol-
simbol (huruf dan kata) yang melahirkan makna ketika dibaca oleh seorang
pembaca atau diperdengarkan kepada pembaca. Teks-teks ini ada pengarangnya
dan menggunakan simbol-simbol bahasa untuk mengungkapkan maknanya. Sunnah
merupakan perangkat perintah yang ditujukan kepada lawan bicaranya.
Keberwenangannya bersumber dari kenyataan bahwa sunnah bersumber dari Tuhan
dan sunnah juga memberi tahu kita tentang perintah-perintah-Nya layaknya al-
Qur’an.
Sedangkan menurut Abou El Fadl, yang mempertimbangkan sebuah teks
yang diklaim berisi tentang kehendak nabi Muhammad saw. harus dilakukan uji
kualifikasi terlebih dahulu atas teks tersebut untuk dapat meyakinkan bahwa ia
mewakili atas nama atau tentang nabi saw. dalam kapasitasnya. Ia harus
dibuktikan bersumber dari nabi saw. (sebagai Manba>’-nya) sehingga memenuhi
syarat untuk mewakili atas nama nabi atau utusan Tuhan. Dalam hal ini, dengan
asumsi berbasis pada keimanan (faith based assumption) menurut Abou El Fadl,
sunnah atau hadis tentu telah memenuhi kualifikasi itu, sehingga pembicaraan
dalam konteks itu boleh jadi tidak relevan lagi. Sesuai dengan bunyi hadisnya
menegaskan “Barangsiapa dengan sengaja telah berdusta kepadaku maka ia
sebanarnya telah menempatkannya dalam neraka.”14
Kalau al-Qur’an, jaminan otentistas dari Tuhan sebagai author-nya sangat
jelas dan dapat dibuktikan secara empiris. Sementara sunnah atau hadis menurut
Abou El Fadl tidak demikian, karena tidak ada jaminan dari Tuhan bahkan dan
penegasan yang disabdakan Nabi saw. tersebut apakah menunjukan kemurniannya?
Sunnah jika diperbandingkan dengan al-Qur’an maka tentu menghadapi tantangan
yang sangat berbeda. Kualifikasinya harus dibuktikan, apabila terbukti bersumber
dari Nabi saw. maka kualifikasinya dapat diterima, akan tetapi jika terbukti dari
sahabat atau tabi’in maka disitu sudah mulai dipertanyakan, disangsikan
otentisitasnya, sejauh mana teks sunnah tersebut dapat mewakili atas nama Nabi
saw., bukan sekedar penyebutan yang disandarkan kepadanya, dan akhirnya atas
nama Tuhan.15
Kualifikasi sunnah memang harus diuji validitasnya, karena menurut Abou
El-Fadl, apa yang kita ketahui tentang Nabi saw. dan para sahabatnya, lebih

13
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
(terj.) (Jakarta : Serambi, 2004), 128.
14
Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ah}ih> } Al-Bukha>ri>. (Beiru>t : Da>r al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1430 H./2009 M.), Kita>b Al-‘Ilm [3], Ba>b Ithmi Man Kaddaba ‘Ala> al-Nabi>
S}allahu ‘Alaihi wa Salla>m [39], no. hds. 106, 107, 108, 109, 110.
15
Suryadi, Dari Living Sunnah dalam Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, ed.
Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta : Teras, 2007), 93.

5
banyak karena kabar, testimoni seseorang kepada kita melalui riwayat-riwayat
historis (human historical reports). Pada riwayat-riwayat tersebut boleh jadi
terdapat persoalan berupa kemungkinan adanya beragam kepengarangan (multiple
authorship) mengenai suatu riwayat tertentu. Seorang sahabat misalnya,
mendengar dan menyaksikan Nabi saw. melakukan dan mengatakan sesuatu, dan
kemudian sederetan nama menuturkannya dari generasi ke generasi hingga ke
tangan para penghimpun hadis yang mendokumentasikan seluruh rangkaian
prosesnya.
Pengkabaran atau pemberitaan dan testimoni yang dijelaskan Ulu>m al-
Hadi>s16 yang memuat salah satunya ‘ilm al-Rija>l17 dan ‘ilm al-Jarh} wa al-Ta’di>l18
yang selama ini digunakan oleh para ulama hadis untuk menguji otentisitas hadis
belum dianggap memadai bagi Abou El Fadl karena belum menyentuh realitas
sejarah, benar sangat membantu tetapi belum meyakinkan. Menurutnya, kehidupan
setiap orang merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan kontekstual, dan tidak
mungkin merangkum dan merekamnya hanya dengan sebuah penilaian tunggal
seperti “thiqah” (bisa dipercaya), atau “ghairu thiqah” (tidak bisa dipercaya),
bahkan penilian tunggal yang diberikan terkadang berbeda satu sama lain.
Hadis atau sunnah tentang“kepemimpinan perempuan” lengkapnya “Tidak
akan sukses apabila suatu masyarakat dipimpin oleh perempuan”,19 merupakan
salah satu yang dicontohkannya. Hadis ini diriwayatkan oleh sahabat Nabi Nufay’
ibnu H}a>rith yang lebih dikenal dengan Abu> Bakrah al-T}aqafi> (w.52 H./672 M.).
Sahabat Nabi saw. yang baru masuk Islam di akhir-akhir kehidupan Nabi ini
menceritakan bahwa ia sedang bersama Nabi saw. ketika beliau mendengar bahwa
seorang perempuan telah menduduki kursi kekuasaan Kerajaan Persia, Nabi
kemudian membuat pernyataan: “Tidak akan sukses suatu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”,20 Bahkan dalam versi lain, Abu>
Bakrah meriwayatkan bahwa Nabi sedang berbaring dengan kepalanya berada
dipangkuan Aisyah (w.58 H./678 M.). Sejumlah Mukharrij hadis memandang
otentik hadis Abi> Bakrah ini termasuk Ima>m Bukha>ri> dalam S}ahi>h-nya, bahkan
Abu Bakrah dinilai sebagai salah seorang sahabat terbaik Nabi.

16
‘Ulu>m al-Hadi>th atau ilmu ilmu hadis secara sederhana dimaknai sebagai ilmu yang
mempelejari suatu hadis dari aspek dira>yah maupun riwa>yah-nya.
17
Ilmu ini merupakan cabang ilmu yang penting dalam ilmu-ilmu hadis, karena di dalamnya
mengakji sanad dan matan. Rija>l al-Sanad tidak lain adalah para periwayat hadis atau mereka yang
menceritakan hadis dan inilah objek dari ilmu tersebut. Secara garis besarnya, ilmu rijal ini terbagi
menjadi ilmu sejarah para periwayat dan ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l. Lihat, Muh}ammad ‘Ajja>j al-
Khat}ib> , Us}ul> al-H}adi>th; ‘Ulu>muhu wa Must}alahuh. (Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1409 H./1989 M.), 253.
18
Al-Jarh} wa al-Ta’di>l ialah ilmu yang membahas kaida-kaidah mu’tmad (dapat dipegangi)
dalam menentukan periwayat hadis baik secara penilaian ta’di>l maupun tajri>h} di antara lafad-lafad
dan ungkapan-ungkapan yang diterapkan oleh seorang kritikus hadis. Lihat, Ami>n Aba> Lawi>, ‘Ilm Al-
Us}ul> al-Jarh} wa al-Ta’di>l. (Al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’u>diyah: Da>r ‘Affa>n, 1418 H./1997 M.)
72.
19
Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ahi>h Al-Bukha>ri>. (Beiru>t : Da>r al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1430 H./2009 M.), Kita>b Al-Magha>zi> [64], Ba>b Kita>b al-Nabi> Shallahu ‘Alaihi wa
Salla>m Ila> Kisra> wa Qaishara [84], no. hds. 4425., 798.
20
Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ahi>h Al-Bukha>ri>, 798.

6
Namun hasil penelusuran Abou El Fadl terhadap sejarah kehidupan Ab>i
Bakrah cukup mengejutkan. Ab>i Bakrah dituduh sebagai penyebar fitnah dan Umar
bin Khat}ta} b> menolak kesaksiannya dalam kasus-kasus hukum. Ini lantaran ia
menuduh al-Mughi>rah bin Syu’bah, seorang Gubernur Basrah masa kekhalifahan
Umar, yang dilihatnya sering mengunjungi seorang perempuan yang sudah
bersuami, yaitu Ummi> Jami>l bint Ami>r. Abi> Bakrah bersama beberapa saudara
tirinya menyaksikan al-Mughi>rah dan Ummi> Jami>l tidak berpakaian dan terlibat
dalam akitivitas seksual. Setelah kejadian itu, Abi> Bakrah selalu menolak ikut
shalat berjamaah yang diimami oleh al-Mughi>rah yang dituduhnya telah berbuat
zina. Berita itu kemudian sampai ke telinga Umar sebagai khalifah yang kemudian
menggelar dan memimpin persidangan. Pada persidangan itu, Abi> Bakrah dan
sejumlah saudaranya itu menceritakan kesaksian mereka, namun mereka tidak
menyaksikan pertemuan secara langsung dua alat kelamin mereka, hanya
menegaskan bahwa keduanya dalam keadaan tanpa busana, salah satu tubuh
menindih tubuh yang lain, melihat gerakan-gerakan layaknya persetubuhan dan
desahan nafas yang berat. Kesaksian ini dinilai dalam kajian syari’ah tidak
memenuhi standar pembuktian yang diperlukan dalam kasus perzinaan alias tidak
cukup alat bukti. Keputusannya, Abi> Bakrah dan beberapa saudaranya itu dijatuhi
hukum cambuk, dan setelah itu dua orang saudara Abi> Bakrah, Ziya>d dan Na>fi’,
bertobat dan menarik tuduhannya, sementara Abi> Bakrah tetap kokoh dengan
tuduhannya sehingga kesaksiannya dalam persoalan-persoalan hukum tidak
diterima lagi pasca kejadian ini.21
Disamping itu, Abi> Bakrah juga dinilai sering memutuskan hubungan
silaturrahim. Buktinya, pada saudaranya (Ziya>d) yang bertobat dan menarik
tuduhannya terhadap al-Mughi>rah bin Syu’bah terkait kasus di atas. Abi> Bakrah
menolak berbicara dengannya hingga akhir hayatnya bahkan berwasiat agar
saudaranya itu dilarang ikut menyalati jenazahnya ketika ia meninggal. Demikian
pula kepada anak-anaknya ia menolak berhubungan karena mereka menerima
jabatan politik yang diberikan oleh pemerintahan Mua>wiyah, karena kokoh dengan
sikap apolitik-nya terhadap pertikaian Ali>, Mua>wiyyah dan Aisyah. Namun
anehnya, Abi> Bakrah menyampaikan sebuah hadis bahwa Nabi sangat mengutuk
seseorang yang memutuskan tali silaturrahim.22
Data-data tersebut di atas bagi Abou El Fadl, merupakan informasi yang
cukup memadai untuk memunculkan persoalan-persoalan seputar suara
kepengarangan Abi> Bakrah dalam kaitannya dengan suara kepengarangan Nabi
saw. Posisinya sebagai sahabat Nabi saw. yang muallaf generasi terakhir tidak
sepadan dengan pengaruhnya dalam tradisi Islam. Dari sini, tampaknya Abou El
Fadl menunjukkan tidak memadainya hasil penelitian para krtikus hadis terdahulu
terhadap Abi> Bakrah, sehingga fakta-fakta di atas tidak terungkap oleh mereka.

21
Suryadi, Dari Living Sunnah dalam Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, ed.
Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta : Teras, 2007), 93.
22
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, 168.

7
Dalam saat yang sama Abou El Fadl seolah menolak hadis ini karena tidak
terpenuhinya unsur ‘ada>lah pada Abi> Bakrah.23
Andaikata Otentisitas sebuah hadis dapat dibuktikan, tidak sertamerta
kemudian dapat membuktikan kebenarannya. Karena yang akan dilihat kemudian
adalah peran apa yang dimainkan Nabi saw. dalam riwayat tersebut. Kualifikasi
sebuah hadis menurut Abou El Fadl tidak hanya merujuk pada keputusan tentang
otentisitas sebuah hadis, tapi juga pada keseluruhan kondisi yang memengaruhi
keberwenangan hadis. Penelitian otentisitas tetap dan sangat perlu dilakukan, tapi
yang jauh lebih penting adalah menguji dan menilai keseluruhan proses
kepengarangan dan mencapai sebuah keputusan tentang bagaimana dan sejauh
mana beragam suara pengarang membentuk dan mengkonstruksi ulang suara
pengarang historis (Nabi dan Sahabat). Dalam konteks tersebut, Abou El Fadl
memandang Nabi saw. adalah manusia biasa yang berbeda dengan Tuhan, tunduk
pada proses sejarah dunia, maka warisannya tidak dapat diletakkan di luar konteks
campur tangan dan proses kepengarangan manusia. Otentisitas dan kemurnian
Nabi saw., dari sudut pandang teologis Islam, jelas adalah unsur manusiawinya (al-
A’radh al-Basha>riyyah). Nabi tidak berinteraksi atau berkomunikasi dengan sejarah
sebagai Tuhan, tapi sebagai bagian dari dinamika kehidupan manusia yang normal.
Ini jelas berarti bahwa perintah moral dan normatif Nabi saw. muncul dalam
sebuah konteks sejarah. Pesan moral Nabi disajikan dan diuji oleh konteks
historisnya, tetapi konteks tersebut tidak dapat dan tidak menampung seluruh
kebenaran dan kenyataan pengalaman moral Nabi saw..24
Pada konteks ini, Abou El Fadl melihat adanya persoalan sekaligus
pertanyaan ketika menganalisis aktivitas komunitas penafsir (community of
interpreters) yang terbentuk di sekitar teks sunnah. Persoalannya adalah sejauh
mana komunitas penafsir mampu mencerminkan, memahami, dan memasukkan
konteks historis proses kepengarangan. Komunitas penafsir harus
mempertimbangkan proses kepengarangan beserta seluruh perubahan urutan
historisnya untuk memahami keseimbangan yang patut antara pengarang historis
(yaitu Nabi) dan beragam suara pengarang yang menyajikan konteks bagi
pengarang historis. Hal ini telah diabaikan oleh sebagian besar ahli hadis dalam
sejarah Islam padahal sejak dulu ulama lain semisal Ibnu Khaldu>n telah mewanti-
wanti perlunya pertimbangan konteks historis dalam mengidentifikasi suara
pengarang Nabi.25
Hal senada juga dikemukakan oleh Amin Abdullah,26 menuturkan bahwa
menurut pendekatan telaah epistomologi keilmuan, ada proses panjang yang

23
Al-‘Ada>lah atau ‘adl ialah keberadaan seorang periwayat harus memiliki syarat seperti
Islam, balig, berakal, dan terhindar dari sebab-sebab fasik yang senantiasa menjaga muru>’ah-nya atau
kewibawaannya. Lihat, Abu> Zakaria> Yah}ya> ibn Syaraf al-Nawawi>, Irsha>d Thulla>b al-H}aqa>iq ila>
Ma’rifah Sunan Khair Khala>iq Shalla>hu ‘Alaihi wa Salla>m. (Damaskus : Da>r Yama>mah, 1423
H./2002 M.), 109.
24
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, 163.
25
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, 164.
26
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-
Interkonektif., (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), 140-143. Bandingkan dengan, Taufik Abdullah

8
bersifat historis dalam pembukuan hadis. Proses ini seringkali dilupakan oleh umat
Islam, karena niat baik untuk segera mengamalkan apa yang dibaca dan didengar,
sehingga kurang begitu peduli pada proses dan asal-usul hadis.
Pada proses kepengarangan selanjutnya, riwayat kemudian menjelma
sederetan nama periwayat, Abou El Fadl melihat beberapa kemungkinan persoalan
yang akan muncul. Persoalan tersebut berupa pemalsuan (fabrication),27 daya ingat
perawi, seleksi kreatif (creative selection) dan subjektivitas mereka dalam
menerima dan memahami hadis yang mereka terima. Abou El Fadl melihat bahwa
para sahabat, hidup bersama Nabi saw., berinteraksi dan berbicara dengannya,
tidak memosisikan Nabi saw. dalam kerangka objektif (subjective fashion). Mereka
berinteraksi dalam kerangka subjektif, dan subjektivitas ini kemudian
memengaruhi apa yang mereka lihat dan dengar, bagaimana mereka melihat dan
mendengar, dan apa yang akhirnya mereka ingat dan sampaikan kepada orang lain
yang sangat memungkinkan terjadinya distorsi makna (distortion of message).
Dalam konteks ini, menurut Abou El Fadl, karakter pribadi para periwayat
menancap kuat dalam riwayat (indebly imprinted upon the transmitted) yang ia
sampaikan. Pada kasus hadis tentang kepemimpinan perempuan di atas, Abou El
Fadl menduga Abi> Bakrah keliru mendengar pernyataan Nabi saw. dalam hadis di
atas. Bisa jadi Nabi saw. berkomentar tentang situasi yang berkembang di Persia
dengan mengatakan, “orang-orang yang dipimpin oleh perempuan ini tidak akan
sukses?”28 Pernyataan ini kemudian ditangkap oleh Abi> Bakrah melalui
subjektivitasnya yang bisa jadi dinilai selalu merendahkan perempuan. Bagaimana
periwayat selanjutnya menerima dari riwayat ini dan dalam komunitas apa riwayat
ini kemudian populer, dan mengapa riwayat ini begitu mudah diterima sebagai
otentik oleh komunitas penghimpun semisal Ima>m Bukha>ri>? Apakah hadis ini
begitu mudah diterima oleh komunitas penafsir tersebut karena selaras dengan
subjektivitas kontekstual mereka yang patriarki?

dan M. Rusli Karim, (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. (Yogyakarta : PT. Tiara
Wacana Yogya, 1989),
27
Pemalsuan hadis dalam sejarah Islam yang paling populer untuk pertama kalinya terjadi
dalam sejarah Islam adalah pada masa kekhalifahan Ali> ibn Abi T}al> ib. Hal ini terjadi berawal dari
faksi politik antara Ali> dan Mu’a>wiyah yang berakibat pada tuntutan terbunuhnya ‘Uthma>n ibn
‘Affa>n. Lihat, Muh}ammad Abu> Zuhu>, Al-Hadi>th wa al-Muh}addithu>n aw ‘Ina>yah al-Ummah al-
Isla>miyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah. (Al-Qa>hirah : Al-Maktabah al-Taufiqiyah, t.th.), 64-65;
Lihat, Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}ib> , Us}u>l al-H}adi>th, 415-417; Bandingkan dengan Ah}mad Ami>n, yang
berpendapat bahwa pemalsuan hadis lebih awal sekali muncul, bukan sepeninggal rasulullah saw. atau
masa sahabat tapi sejak ia masih hidup sudah ada. Jelasnya lihat, Ah}mad Ami>n, Fajr al-Isla>m; Bah}th
‘an al-H}ayah al-‘Aqliyah fi S}adr al-Isla>m ila> Akhi>r al-Daulah al-Uma>wiyah. (Kuala
Lumpur/Singapura : Maktabah wa Mat}ba’ah Sulaima>n Mar’i, 1965), 252.
28
Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ahi>h} Al-Bukha>ri>, 798; Sekalipun
Muh}ammad ‘Ashri> Zain al-‘Abidi>n sepakat tentang hadis itu melatar belakanginya atau menjadi
sebab wurud-nya, akan tetapi ia memberikan catatan bahwa kejadian-kejadian mengenai
perkembangan masyarakat Persia tersebut tidak disaksikan oleh nabi saw. seperti redaksi matan hadis
menunjukannya dan sesungguhnya nabi menceritakannya sendiri serta memperlihatkan aturan-aturan
yang terjadi di masyarakat tersebut. Kejadian-kejadian ini yang kemudian mejadi latar belakang hadis
tersebut. Lihat, Muh}ammad ‘Ashri> Zain al-‘Abidi>n, Sabab Wuru>d al-H}adi>th; D}awa>bith wa Ma’a>yir.
(Beiru>t :Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1427 H./2006 M.), 81.

9
Kenyataannya, setiap generasi periwayat memiliki subjektivitas masing-
masing (own subjectivities), yang mempengaruhinya untuk mengingat riwayat
tertentu, bukan riwayat lainnya, dan membuktikan keaslian riwayat tertentu,
bukan riwayat lainnya. Karena itu, hadis yang dinisbahkan kepada Nabi saw.
merupakan sebuah akhir dari proses kepengarangan (end product of an authorial
enterprise), pengarang utamanya tentu Nabi saw., tetapi melibatkan para
pengarang lain yang mendengar, memilih, mengingat dan menyampaikan riwayat.
Gagasan proses kepengarangan ini memainkan sebuah peranan penting dalam
memahami penafsiran yang dilekatkan pada sebuah riwayat tertentu. Bahkan,
andaikata kita berasumsi bahwa Nabi saw. telah menyatakan sesuatu, menurut
Abou al-Fadl, kata-kata atau ungkapan tersebut tidak sampai kepada kita dalam
kevakuman. Ia seringkali sampai ke tangan kita beserta seluruh makna atau
rangkaian makna yang dilekatkan kepadanya. Abou El Fadl mengangkat contoh
kata firasy dalam sebuah hadis yang bisa bermakna “kasur”, “bentangan”, dan
“hubungan seksual”. Beragam penafsiran yang ditawarkan oleh beragam ahli
bahasa menentukan makna tersendiri bagi kata tersebut dalam sebuah konteks
yang khusus. Penetapan dari beragam penafsir atau ahli bahasa yang berbeda itu
juga telah membentuk bagian dari proses kepengarangan hadis, karena penetapan
itu sangat berpengaruh pada bagaimana kita memahami hadis-hadis yang
disampaikan kepada kita.
Selain persoalan bahasa dan penafsiran, dalam kaca mata Abou El Fadl,
motif-motif tertentu juga sangat memengaruhi proses kepengarangan hadis. Dalam
konteks perempuan misalnya, Abou El Fadl menemukan adanya proses
kepengarangan yang terbentuk dalam kondisi tertentu guna menyingkirkan kaum
perempuan dari ruang publik. Proses kepengarangan inilah yang berhasil
memerankan sejumlah hadis yang berkaitan dengan pembentukan karakter simbolis
perempuan. Melihat penyebaran hadis-hadis seperti ini melalui sebuah proses
kepengarangan berawal dari penilaian masyarakat Mekkah terhadap masyarakat
Madinah yang liberal. Perempuan Madinah memainkan peranan publik yang
penting semisal keikutsertaan mereka menjadi anggota delegasi Madinah yang ikut
bernegosiasi dengan Nabi sebelum beliau hijrah ke Madinah.29
Fenomena ini hendak dirubah dengan mengesmpingkan perempuan dari
ruang publik. Menurut Abou El Fadl, analisis seperti ini penting bukan saja untuk
mengevaluasi proses kepengarangan di balik berbagai hadis, tetapi juga untuk
memahami peran beberapa hadis yang menghendaki perempuan ‘minggir’ dari
ruang publik. Hadis-hadis ini sengaja disebarkan untuk menciptakan asosiasi
simbolis antara perempuan dan beberapa hal atau kejadian yang tidak
menyenangkan, yang pada akhirnya meletakkan dasar bagi penetapan hukum yang
mempertegas sturuktur patriarki, kepasrahan perempuan dan terpinggirkannya dari
ruang publik. Pada tataran ini, Abou El Fadl berpandangan bahwa membicarakan
otentisitas ini sudah tidak relevan lagi, yang terpenting adalah menganalisis proses
kepengarangannya. Ia menilai bahwa sejumlah bukti faktual yang menunjukkan

29
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, ,
326.

10
adanya bias yang sangat kuat dari dinamika sosial pada awal Islam yang dengan
berbagai cara telah membentuk hadis tersebut. Ada sejumlah kepentingan tertentu
yang melatarbelakangi periwayatann hadis yang merendahkan kaum perempuan.
Jadi, hadis-hadis tersebut menurut Abou El-Fadl, menjelaskan pemahaman
dan pemaknaan sebuah prinsip mendasar yang mungkin berdampak terhadap pola
hubungan pernikahan dan relasi gender. Hal ini, karena hadis tersebut membawa
konsekuensi normatif yang sangat besar, maka menurut Abou El Fadl, ia
memerlukan jeda ketelitian (terdiam sejenak memikirkan penetapan yang perlu
diambil). Jika berdasarkan standar zaman dan tempat, atau standar perkembangan
moral kemanusiaan, hadis-hadis tersebut melahirkan wakhdz al-D}ami>r
(mengganggu atau mengusik kesadaran), maka hal yang paling sederhana yang
dapat dilakukan adalah jeda ketelitian itu. Jika kita berasumsi bahwa gerak hati
manusia dibatasi oleh kondisi sosial dan historis, maka ia pasti mengalami
perubahan dan selalu berkembang. Akibatnya, sesuatu yang dapat mengusik
kesadaran dalam sebuah konteks tertentu, pada konteks lain belum tentu
demikian.30
Oleh karenanya, bagi Abou al-Fadl, hadis seperti tersebut tidak bisa
dipercaya karena kita tidak dapat menegaskan secara meyakinkan bahwa Nabi
telah memainkan peranan penting dalam proses kepengarangan yang melahirkan
hadis tersebut. Secara teologis hadis ini bertentangan dengan gagasan kedaulatan
Tuhan dan kehendak-Nya yang bersifat mutlak.31 Dengan demikian, Abou El Fadl
mencurigai hadis tersebut dan menilainya tidak memenuhi standar pembuktian
yang ketat dan proporsional dengan dampak yang ditimbulkannnya, meskipun
hadis ini dinilai otentik oleh para ulama hadis, tetapi pembicaraan tentang
otentisitasnya tidak relevan lagi. Yang bisa dipastikan adalah hadis-hadis ini tidak
cukup memadai untuk dijadikan sandaran bagi penetapan hukum bahwa perempuan
tidak boleh menjadi pemimpin masyarakat karena tidak akan bahagia.

b.3. Penetapan understanding dan meaning


Selain kompetensi, pemaknaan juga merupakan hal penting dilakukan.
Dalam hermenetika, diskusi tidak lagi memusatkan pada siapa yang benar atau
salah, tetapi adalah makna (meaning) apa yang bisa diaplikasikan dari sebuah teks,
bukan kebenaran (truth). Untuk itu, menurut Amin Abdullah, dalam wilayah
epistemologis, orang sekarang lebih tertarik untuk menerangkan implikasi dan
konsekuensi dari sebuah pendapat, bukan benar atau salahnya.32 Demikian juga
dikemukakan oleh Gracia dalam hermenetikanya. Menurutnya, tidaklah relevan
untuk menentukan interpretasi mana yang benar dan yang salah, yang tepat untuk
ditentukan adalah interpretasi mana yang lebih efektif atau kurang efektif, atau
lebih cocok atau kurang cocok.33 Meski meniscayakan terjadinya pluralitas

30
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, 308.
31
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, 311.
32
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, 257.
33
Jorge J.E. Gracia, A Theory of Textuality; the Logic and Epistemology
(Albani: State Univercity of New York Press, 1995), 173.

11
interpretasi dan relativitas kebenaran, namun ini bukan berarti bisa dipahami
sebagai relativitas negatif yang tanpa batas, sehingga semua orang boleh
menafsirkan teks dengan sekehendaknya dan sesuai dengan subyektivitasnya
sendiri, tanpa batas. Ia harus mengetahui makna asli (original meaning) atau
makna historis (historical meaning) dari sebuah teks dengan menganalisis bahasa
teks yang digunakan saat munculnya serta memperhatikan konteks historisnya.
Dengan demikian, pertanyaannya adalah siapa yang berhak menentukan
makna dan bagaimana seharusnya melakukan penetapan itu. Menurut Abou El Fadl
hal yang patut diperhatikan adalah bagaimana hubungan antara pengarang, teks
dan pembacanya. Pengarang memiliki maksud tertentu dari teks yang dibuatnya,
namun teks tersebut dituangkan melalui media bahasa dengan berbagai bentuknya,
huruf, frase, kalimat ataupun simbol-simbol tertentu dan bisa menyesatkan (tricky
artifact). Sementara bahasa merupakan kesepakatan komunitas dan hasil ciptaan
manusia yang memiliki batasan, cakupan dan mengalami perkembangan dari masa
ke masa (change over time). Bahasa memiliki realitas objektif karena maknanya
tidak bisa ditentukan secara oleh pengarang atau pembaca saja. Dalam hal ini,
makna yang dituangkan oleh seorang pengarang ke dalam teksnya tidak dapat
dikendalikan dan dapat saja dimaknai berbeda oleh pembaca berikut akibat
perbedaan konteks dan budayanya.34
Oleh karena sedemikian kompleksnya persoalan penentuan makna ini maka
ketiga pihak, (pengarang, teks dan pembaca) harus saling bernegosiasi dalam
penetapannya. Hal ini diperlukan untuk memahami pemahaman terhadap teks-teks,
karena dengan mempertimbangkan teks memiliki rentang yang cukup panjang
antara pengarang dengan pembacanya sepanjang masa. Negosiasi diperlukann
untuk menjembatani keterasingan dalam distansi waktu, wilayah dan sosio kultural
pengarang dengan teks dan pembaca. Dengan melibatkan tiga unsur utama yang
saling berinteraksi; teks (text), pengarang (author), pembaca (reader) dan dengan
dialogis komunikatif diharapkan dapat menarik analogi historis, kontekstual masa
pengarang, masa pembacanya yang berbedabeda. Negosiasi terhadap teks
menuntut diperlakukannya teks sebagai produk lama yang dapat berdialog secara
komunikatif dan romantis dengan audien atau masyarakat pembacanya yang baru
sepanjang sejarah.
Dengan pendekatan ini diharapkan tidak menafikan kedinamisan
masyarakat serta tidak menafikan keberadaan teks-teks sebagai produk historis
masa lalu. Upaya mempertemukan horioson masa lalu dan horison masa kini
dengan negosiasi diharapkan dapat melahirkan wacana pemahaman yang bermakna
dan fungsional bagi manusia. Dalam proses seperti ini, menurut Jorge J. Gracia
pakar hermenetika kelahiran Kuba, mengatakan bahwa ada tiga macam (fungsi)
makna yang perlu ditemukan, yaitu fungsi historis (historical function), fungsi
makna (meaning function) dan fungsi implikatif (implicative function). Pertama,
interpretasi berfungsi menciptakan kembali di benak audiens kontemporer
pemahaman yang dimiliki oleh pengarang teks dan audiens historis. Inilah yang
disebut dengan historical function. Kedua, menciptakan di benak audiens

34
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, 133.

12
kontemporer pemahaman di mana audiens kontemporer itu dapat menangkap
‘makna’ (meaning) dari teks, terlepas dari apakah makna tersebut memang secara
persisi merupakan yang dimaksud oleh pengarang teks dan audiens historis, atau
tidak. Ketiga, memunculkan di benak audiens kontemporer suatu pemahaman
sehingga mereka memahami implikasi dari makna teks yang ditafsirkan.35
Penentuan ini tidak boleh didominasi oleh salah satu pihak, namun
ketiganya harus diberikan peran yang seimbang dan dilakukan secara jujur,
sungguh-sungguh, komprehensif, rasional dan terkendali. Proses pembacaan dan
penafsiran harus selalu terbuka, sebuah proses yang tak pernah berakhir (never
ending process) karena kita tidak dapat memastikan penafsiran mana yang paling
tepat, dan karena itu, penafsiran itu sendiri adalah kehendak Tuhan. Ia tidak boleh
disumbat apalagi dikunci, karena itu bagian dari kedzaliman (despotism) dan
otoritarianisme.36 Tindakan yang menyumbat atau mengunci penafsiran akan
mengakibatkan munculnya klaim kebenaran mutlak atas satu penafsiran tertentu
dan dapat saja menyeret pemahaman keagamaan dan masyarakat penganutnya
pada ruang konflik antara agama, kehidupan sosial dan kemajuan zaman, sehingga
pada akhirnya agama akan dinilai kehilangan relevansinya dengan perkembangan
zaman itu.
Apabila teori ini diaplikasikan ke dalam pemaknaan hadis maka yang
pertama perlu dipahami adalah siapa pihak pengarang tersebut. Menurut Abou El
Fadl, pengarang dalam konteks hadis sangat berbeda dengan al-Qur’an. Allah
merupakan pengarang tunggal Al-Qur’an.37 Sementara pada hadis, Nabi saw. tidak
demikian. Meski didefinisikan bahwa hadis merupakan ucapan, perbuatan, taqrir
dan hal ihwal terkait dengan Nabi saw., namun perlu diingat bahwa semua itu
dinisbatkan kepada Nabi melalui mata rantai sanad yang cukup panjang. Banyak
pihak yang terlibat dalam penisbatan itu, sejak generasi sahabat, tabiin, tabi-tabiin
hingga akhirnya masa penghimpunan pada zaman Ima>m Bukha>ri> dan sebagainya.
Seluruh periwayat yang terlibat dalam penisbatan tersebut oleh Abou El Fadl
dinilai sebagai pengarang.
Karena itu dalam konteks pemahaman dan pemaknaan hadis,
menegosiasikan pembaca, teks dan pengarangnya tidak cukup hanya dengan
kepengarangan Nabi saw., seperti yang berjalan selama ini, tetapi harus melibatkan
pengarang-pengarang lain yang terlibat dalam hadis itu. Para pengarang tersebut
memiliki peranan yang sangat besar atau mungkin lebih besar dari peranan Nabi
saw. dalam makna hadis dan perkembangannya. Sahabat, sebagai pengarang kedua
setelah Nabi saw., yang mendengar dan menyaksikan ucapan dan perbuatan Nabi,
memaknainya kemudian membahasakannya dengan bahasanya sendiri, merekalah
yang memilih kata dan kalimat dengan subjektivitasnya masing-masing, Nabi tidak
diposisikan dalam keadaan objektif tetapi secara subjektif. Karena itu, emosi dan
karakter sahabat sangat berpengaruh terhadap makna yang mereka tangkap dari

35
Jorge J. E. Gracia, A Theory of Textuality, 175
36
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, 138.
37
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, 161-
163.

13
segala tindak tanduk Nabi. Pada proses selanjutnya, sahabat tersebut kemudian
menyampaikannya kepada orang lain, sesama sahabat atau generasi berikutnya.
Kondisi yang sama akan terjadi lagi. Penerima akan menangkap secara subjektif
dan kemudian membahasakannya dengan bahasa sendiri sesuai dengan kondisi
emosional, konteks social dan karakter masing-masing.
Walhasil, seperti yang dikatakan di atas, setiap generasi memiliki
subjektivitas masing-masing yang memengaruhinya dalam mengingat, dan
memaknai suatu hadis. Karena itulah, kepengarangan setiap generasi ini sangat
penting dilibatkan dalam negosiasi tersebut. Di samping itu, penelusuran
selanjutnya dilakukan pada komunitas-komunitas apa dan dimana hadis tersebut
populer. Abou El Fadl menyebutnya dengan komunitas penafsir (community of
interpreters) yang sangat berperan dalam mengetahui dan menyebarkan makna
yang sudah ditemukan oleh para pengarang. Seringkali ditemukan bahwa suatu
hadis populer dalam komunitas tertentu dan kurang populer di komunitas lain,
sebaliknya di komunitas lain tersebut justru mengenal hadis lain. Sehingga bisa
dipahami kemudian apabila kedua komunitas tersebut memiliki ketetapan hukum
yang berbeda pada satu kasus. Ia mencontohkan dengan hadis tentang talak yang
diucapkan dengan bergurau harus dipandang serius menduduki posisi penting
dalam mazhab Hanafi, tetapi tidak dalam mazhab lain. Hadis yang menyatakan
bahwa persyaratan kontrak yang paling penting, dan paling penting untuk ditaati,
adalah persyaratan yang disebutkan dalam akad nikah memiliki posisi yang sangat
penting dalam mazhab Hanbali namun tidak terlalu penting dalam mazhab lain.
Di sisi lain, hadis-hadis tertentu sangat besar pengaruhnya dalam budaya
namun sangat kecil pengaruhnya dalam budaya hukum.38 Komunitas penafsir ini
terbentuk di sekeliling teks dan ia membentuk diskursus yang seragam dalam
proses pembentukan makna. Namun ia tidak hanya membentuk makna, ia juga
senantiasa bernegosiasi dengan teks, namun di saat yang sama teks juga bisa
membentuk dan mengubah komunitas penafsir sendiri. Proses negosiasi antara
keduanya berjalan terus mengikuti faktor histories atau faktor yang ditentukan
oleh budaya interpretasi itu sendiri, sehingga memungkinkan munculnya
komunitas-komunitas baru. Penelusuran makna hadis pada komunitas
memungkinkan memiliki makna-makna yang sangat membantu menangkap benang
selanjutnya akan dapat melahirkan kontesktual.
Selanjutnya, penetapan makna ini dilakukan dengan proses dialogis antara
makna historis dengan situasi kontekstual pada dunia pembaca dan para komunitas
penafsir yang dibingkai dengan lima rambu keberwenangan; kejujuran, rasionalitas,
keuniversalan kesungguhan dan pengendalian diri.

C. Penutup
Hermeneutika hadis yang diterapkan oleh Abou El-Fadl hermeneutika
dialektika yang mendialogkan ketiga unsur utama, yaitu hadis (text), pembaca
(reader) dan pengarang (authors) hadis yang beragam. Dialog ini dibutuhkan untuk
menelusuri makna hadis applicable bagi dunia pembaca di zamannya. Unsur

38
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, 158.

14
pembaca diberikan tekanan yang lebih penting oleh Abou El Fadl mengingat
merekalah yang mempunyai kepentingan terhadp hadis dan kehidupan mereka
selalu dinamis. Merekalah yang memberi suara dan makna. Karena itu bagi Abou
El Fadl, pembaca tidak hanya membaca berupa person, individu, komunitas
tertentu yang menfasirkan hadis, tetapi pembaca juga dapat dimaknai dengan
kemajuan sains, peradaban baru dan lain sebagainya. Tidak bisa dipungkiri bahwa
hermeneutika tawaran Abou El Fadl ini memiliki kontribusi besar dalam
pengembangan pemikiran hadis Nabi. Konsep yang ditawarkan berupa proses
kepengarangan dan jeda ketelitian merupakan istilah-istilah baru dalam kajian
hadis. Konsep kepengarangan misalnya, Abou El Fadl berpendapat bahwa proses
kepengarangan hadis tidak hanya melibatkan Nabi sebagai pengarang tunggal
seperti halnya dengan al-Qur’an, tetapi melibatkan seluruh rawi yang mendengar,
menyaksikan, meriwayatkan sampai akhirnya hadis tersebut dibukukan.
Proses kepengarangan pasca Nabi ini sangat penting diperhatikan
mengingat mereka memiliki peran besar dalam penyebaran hadis bahkan maknanya
sekaligus. Mereka menerima dan menyampaikan hadis dengan subjektivitas
masing-masing dan dalam konteks historitasnya, karena itu sangat penting untuk
meneliti karakter, sejarah kehidupan bahkan setting social dan politik kehidupan
mereka. Termasuk dalam proses kepengarangan ini adalah komunitaskomunitas
interpreter yang terbentuk di sekitar hadis-hadis Nabi. Melalui konsep ini Abou El
Fadl berhasil menujukkan problematika sejumlah hadis yang mungkin selama ini
dinilai tidak bermasalah. Waw Allahu A’lam...

15
DAFTAR PUSTAKA

Ami>n, Ah}mad, Fajr al-Isla>m; Bah}th ‘an al-H}ayah al-‘Aqliyah fi S}adr al-
Isla>m ila> Akhi>r al-Daulah al-Uma>wiyah. Kuala Lumpur/Singapura : Maktabah wa
Mat}ba’ah Sulaima>n Mar’i, 1965.

Al-‘Abidi>n, Muh}ammad ‘Ashri> Zain, Sabab Wuru>d al-H}adi>th; D}awa>bith


wa Ma’a>yir. Beiru>t :Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1427 H./2006 M..

Abdullah, Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan


Integratif-Interkonektif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006.

Abu> Zuhu>, Muh}ammad, Al-Hadi>th wa al-Muh}addithu>n aw ‘Ina>yah al-


Ummah al-Isla>miyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah. Al-Qa>hirah : Al-Maktabah al-
Taufiqiyah, t.th.

Al-Andalu>si>, Abu> Daud Sulaima>n ibn H}assan, T}abaqa>t al-At}ibba> wa al-


H}ukama>. Kairo : Mat}ba’ah al-‘Ahdi> al-‘Ilm al-Faransi> li> Al-Athsa>r al-Sharqiyyah,
1955.

Bahrami>, Muh}ammad, “Al-Hirminithiqa> wa ‘Ilm al-Tafsi>r” dalam


Majmu>’ah min al-Muallifi>n; Dira>sat fi> Tafsi>r al-Nas} al-Qur’a>ni> al-Ju>z al-Awwal
Abh}a>th fi> Mana>hij al-Tafsi>r. Beiru>t : Markaz al-Had}ara>t al-Tanmiyah al-Fikr al-
Isla>mi> Silsilah al-Dira>sah al-Qur’aniyah, 2007.

Al-Bukha>ri>, Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l, S}ahi>h Al-Bukha>ri>.


Beiru>t : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1430 H./2009 M.

El Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif, (terj.). Jakarta : Serambi, 2004.

Ibn Fa>tik, Abu> al-Wafa>’ al-Mubashshi>r, Mukhta>r al-H}ikam wa al-Mah}a>sin


al-Kala>m. Madrid : Mat}ba’ah Al-Ma’had al-Mis}ri> li Dira>sah Al-Islamiyyah, 1958.

Gracia, Jorge J.E., A Theory of Textuality; the Logic and Epistemology


Albani: State Univercity of New York Press, 1995.

Karim, Taufik Abdullah dan M. Rusli, (ed.), Metodologi Penelitian Agama


Sebuah Pengantar. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1989.

Al-Khat}i>b, Muh}ammad ‘Ajja>j, Us}u>l al-H}adi>th; ‘Ulu>muhu wa Must}alahuh.


Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1409 H./1989 M.

16
Lawi>, Ami>n Aba>, ‘Ilm Al-Us}u>l al-Jarh} wa al-Ta’di>l. Al-Mamlakah al-
‘Arabiyah al-Su’u>diyah: Da>r ‘Affa>n, 1418 H./1997 M..

Nasr, Sayyed Hossein, “Knowledge and The Sacred” dalam Komarudin


Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta : Teraju, 2004.

Al-Nawawi>, Abu> Zakaria> Yah}ya> ibn Syaraf, Irsha>d Thulla>b al-H}aqa>iq ila>
Ma’rifah Sunan Khair Khala>iq Shalla>hu ‘Alaihi wa Salla>m. Damaskus : Da>r
Yama>mah, 1423 H./2002 M..

Palmer, Richard E. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi


(terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Setiawan, M. Nur Kholis Setiawan, Emilio Betti dan Hermeneutika


Sebagai Auslegung dalam Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan
Hadis; teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islan
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.

Umar, Nasaruddin, Menimbang Hermeneutika sebagai Manhaj Tafsir,


Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.I, No.1, Januari 2006.

Sumaryono, E., Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:


Kanisius [Anggota IKAPI], 1999.

Suryadi, Dari Living Sunnah dalam Metodologi Penelitian Living Qur’an


dan Hadis, ed. Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta : Teras, 2007.

Yusriandi, Hermeneutika Hadis Abou El Fadl dalam Hermeneutika Al-


Qur’an dan Hadis, ed. Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: elSAQ Press, 2010.

https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=Khaled+M.+Abou+El+Fadl
diakses pada sore hari kamis (21 Mei 2015) jam 5 sore.

17
MEMAHAMI HADIS “KEPEMIMPINAN WANITA”
(Studi Interpretasi Hermenetika-Gender Khaled M. Abou El Fadl)

Makalah ini diajukan pada Mata Kuliah


Agama & Gender; Mayority and Minority
(Rabu, jam 08 pagi)

Di bawah Bimbingan:
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA.
Beserta Tim Dosen

Pengusun :
ANSOR BAHARY

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014/2015

18
19

Anda mungkin juga menyukai