Anda di halaman 1dari 3

1.

Ide: Keluarga
2. Tema:
a. Anak yang rindu kasih sayang orang tuanya
b. Broken home
c. Perjuang membesarkan buah hatiberkebutuhan khusus
3. Dibuat fiksi. Tema yang dipilih adalah “Anak yang rindu kasih sayang orang
tuanya”.
PUING-PUING KASIH

Duniaku hancur dalam hitungan detik. Mungkin dramatis, tetapi itulah hal yang
kurasakan ketika kalimat itu terlontar dari bibir Ibu. Berharap salah, kugelengkan
kepalaku sambil menyangkal, “Ah, Ibu pasti bercanda.”
“Enggak, sayang .... Kamu akan jadi kakak sebentar lagi,” Ibu kembali mengulang
perkataannya. Senyuman sumringah yang awalnya tersungging di bibirnya perlahan
luntur melihat reaksiku. “Ada apa?”
Aku terdiam. Tanpa menjawabnya, aku berbalik badan dan berlari keluar rumah.
Terdengar panggilan Ibu yang tersamarkan oleh gaduhnya suara dalam pikiranku kala
itu. Seolah refleks, langkah kakiku telah membawaku ke taman pojokan kompleks.
Sepasang ayunan tua menyambutku, yang berdiri di antara permainan-permainan
kecil lainnya. Emosiku yang sedang membara perlahan menyusut seiring perasaan lain
menyapu diri ini. Ah, nostalgia, batinku seraya berjalan mendekati ayunan tua tersebut.
Aku pun duduk dan berayun pelan, dengan pikiran melayang ke masa penuh suka dan
duka beberapa tahun silam.
***
Taman di pojokan kompleks ini sudah ada menjadi tempatku sembunyi di masa
kecil. Kala itu ibu masih kerja fulltime dan aku selalu ditinggal di rumah bersama
suaminya, ayah tiriku yang pertama. Laki-laki mengerikan yang sangat kubenci, yang
kerjanya hanya malas-malasan, merokok, dan nongkrong dengan gengnya yang tidak
jelas. Mengingatnya saja membuatku kesal.
Hingga saat ini, aku masih tidak paham apa yang membuat Ibu menikahinya dan
bertahan cukup lama dengannya. Setiap kali kutanyakan hal itu, Ibu hanya tersenyum
layu dengan mata berkaca-kaca sambil mendekap dan mengelus lembut kepalaku.
Bibirnya bisu namun bahasa tubuhnya membuat hati naifku menjerit, bodoh ... bodoh ...
tuh, kan, ibu jadi sedih.
Aku biasa berayun di ayunan kecil ini sambil mengutuk ayah tiriku dalam hati.
Dunia terasa begitu tak adil di mataku. Dengan dikelilingi keluarga-keluarga kecil yang
dengan riangnya bermain bersama, aku merasa seolah dunia sedang mengejekku dengan
menggantungkan umpan yang kutahu takkan bisa kudapatkan. Seorang ayah yang
dengan bangga mengajari putranya naik sepeda, seorang ibu yang dengan lantang
menyemangati anaknya main kejar-kejaran dengan saudara atau teman sebayanya,
ataupun segelintir remaja dengan keasikannya masing-masing.
Hah. Tidak adil sekali mereka semua bisa sebahagia itu sementara aku hanya bisa
menyaksikan dari jauh tanpa mengalaminya sendiri. Kepergian mendiang ayah
kandungku saat bayi memaksa Ibu harus bekerja lebih keras dari sebelumnya. Aku
sayang Ibu, namun hal ini tak hentinya membuatku tersenyum pahit tiap kali
mengingatnya.
Di taman inilah tempatku bersembunyi dari pria itu, dari kenyataan pahit bahwa
tak ada sosok ayah yang hangat di rumah. Namun di tempat ini pula, ingatan manis
bersama ibu kudekap erat-erat dalam sanubariku. Tak bisa dipungkiri bahwa sebagian
besar kenangan masa kecilku terbaur erat dengan setiap hal kecil yang berserakan di
sini.
***
“Apa salah Tio? Apa Tio nyebelin sampe Ayah pergi ninggalin Ibu dan Tio?”
Teringat diriku akan sebuah pertanyaan yang selalu menghantuiku di masa kecil, yang
sering kali kutanyakan pada Ibu. Pertanyaan yang tak pernah hentinya membuat Ibu
tertegun dan memasang ekspresi sedih bercampur horor, tak peduli seberapa pun
seringnya aku mengulang-ulangnya.
Dan Ibu tak pernah absen mendekapku sererat mungkin setiap kali mendengarnya.
Jawaban halusnya selalu melembutkan perasaan polos diriku saat itu, “Tio enggak salah
apapun kok. Ayah pasti bangga kalau bisa lihat Tio saat ini. Jangan buat Ayah sedih yah
.... Senyum, dong, Presetyo, anak kesayangan Ayah dan Ibu.”
***

Anda mungkin juga menyukai