Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051

Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

PENGARUH PENGATURAN SUHU DIALISAT TERHADAP


STABILITAS TEKANAN DARAH INTRADIALITIK PASIEN
HEMODIALISIS DENGAN SINDROM KARDIORENAL

Kemala Desy Wahidi1*), Irna Nursanti2), Diana Irawati3), Wati Jumaiyah4), Winda Yuniarsih5)
1*,2,3,4)
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Indonesia
5)
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta, Indonesia
*) kemala_desy@yahoo.com

Abstrak
Sindrom Kardiorenal adalah penyakit multi-organ, meliputi jantung, ginjal dan disfungsi sistem vaskular dimana
gangguan ginjal sering disertai dengan gagal jantung dan disfungsi jantung menyebabkan Acute Kidney Injury
(AKI) atau Cronic Kidney Disease, yang berujung kepada kebutuhan akan tindakan hemodialisis. Tindakan
hemodialisis dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah hipotensi intradialitik.
Salah satu upaya untuk mencegah gangguan stabilitas tekanan darah adalah dengan mengatur suhu dialisat. Tujuan
penelitian ini untuk melihat pengaruh suhu dialisat terhadap stabilitas tekanan darah. Penelitian ini menggunakan
jenis penelitian kuantitatif quasi experiment, pre and post test dimana peneliti akan memberikan intervensi pada
subyek penelitian, kemudian membandingkan efek sebelum dan sesudah intervensi. Penelitian ini dilakukan pada
18 pasien dengan pre test dan post test dalam satu kelompok. Pasien dinilai selama dua sesi dialisis; satu sesi dengan
suhu dialisat normal (37ºC) dan di sesi lain, suhu dialisat rendah (35,5ºC). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya
peningkatan tekanan darah sistolik, diastolik dan Mean Arterial Pressure (MAP) secara signifikan dengan nilai p =
0,001. Dialisat suhu rendah sangat bermanfaat untuk meningkatkan toleransi terhadap dialisis pada pasien sindrom
kardiorenal yang cenderung hipotensi dan menjaga stabilitas hemodinamik selama dan setelah dialisis.

Kata kunci: Dialisat dingin, hemodialisis, tekanan darah

Abstract
Cardiorenal syndrome is a multi-organ disease, including heart, kidney and vascular system dysfunction where
kidney disorders are often accompanied by heart failure and cardiac dysfunction causes Acute Kidney Injury or
Chronic Kidney Disease, which leads to the need for hemodialysis. Hemodialysis can cause various complications.
The most frequent complication is intradialytic hypotension. One effort to prevent disturbances in blood pressure
stability is to regulate the dialysate temperature. The purpose of this study was to look the effect of dialysate
temperature on blood pressure stability. The research design used in this study was a quasy experimental with pre
and posttest without control, where the researcher will provide intervention to the research subjects, then compare
the effects before and after the intervention. In this study, the effect of dialysate temperature on hemodynamic
stability assessed in a group of patients on HD. A total of 18 patients, all of whom were two times assessed pretest
and posttest with one group design. Patients were assessed during two dialysis sessions; in one session, the
dialysate temperature was normal (37ºC) and in the other sessions, the dialysate temperature was low (35,5 ºC).
The results of this study showed an increase in systolic blood pressure, diastolic and Mean Arterial Pressure (MAP)
significantly with p = 0.001. Low temperature dialysate is particularly beneficial for improves tolerance to dialysis
in hypotensive patients and maintaining hemodynamic stability during and after dialysis.

Keywords: Cool dialysate, haemodyalisis, blood pressure

1096
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

Pendahuluan miokard jangka panjang dan menyebabkan


Hemodialisis merupakan salah satu kematian dini (Jason, et.al, 2017).
terapi pengganti fungsi ginjal yang paling Penatalaksanaan HID selama ini adalah
sering dilakukan pada pasien gagal ginjal. dengan mempertahankan pasien dalam posisi
Berdasarkan data dari Indonesia Renal trendelenburg, memberikan oksigen,
Registry 2018, sebanyak 15-24 % pasien memberikan 100 mL bolus salin normal intra
dengan gangguan ginjal akut di Indonesia yang vena, mengurangi atau menghentikan
menjalani hemodialisis disebabkan masalah ultrafiltrasi dan mengobservasi pasien sampai
sindrom kardiorenal. Hipotensi intradialitik tanda vital stabil (Swift et al., 2021).
(HID) merupakan salah satu komplikasi yang Penatalaksanaan lainnya dengan penggunaan
umum dan memiliki prevalensi tertinggi dialisat temperature dingin, pengaturan profil
hingga 40% yang terjadi pada Tindakan natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat
hemodialisis (Kanbay et al., 2020). dan beberapa penggunaan pressor agents
Resiko ini semakin tinggi pada pasien seperti midodrine, Inotropik dan Vasopresor
dengan gangguan kardiovaskular langsung atau (Daugirdas et al., 2014).
tidak langsung, pasien usia lanjut, pasien Penggunaan dialisat suhu dingin untuk
diabetes, pasien dengan tekanan arteri rendah mengatasi HID merupakan salah satu strategi
sebelum dialisis, pasien dengan infeksi yang tepat dan efektif untuk membantu
sistemik, aritmia, valvulopati, infark miokard menstabilkan tekanan darah selama
dan perdarahan (Timofte et al., 2021). hemodialisis (Al-Jaishi et al., 2020). Selain
Terjadinya HID akan mengganggu sangat efektif untuk menstabilkan tekanan
proses hemodialisis, bisa menyebabkan darah, penggunaan dialisat dingin juga
penghentian dini dialisis, berkurangnya mempunyai resiko yang rendah dan berbiaya
pembersihan dan pembuangan limbah, yang murah (Sakkas et al., 2017). Dialisat dingin
pada akhirnya mengurangi kecukupan dialisis menginduksi pelepasan katekolamin yang
(Ahmadi et al., 2021). HID juga membawa dapat mengakibatkan vasokonstriksi
risiko kematian yang substansial, hipoperfusi meningkatkan resistensi pembuluh darah
miokard segmental reversibel akut dan perifer, meningkatkan fungsi jantung, dan
disfungsi kontraktil, yang dapat mengubah tingkat peptida vasoaktif yang
mengakibatkan hilangnya kontraktilitas kesemuanya dapat menstabilkan tekanan darah
intradialitik dan dapat mengurang hipotensi

1097
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

(Floege, 2014, Al-Jaishi et al., 2020). dialitik pasien hemodialisis akut dengan
Meskipun demikian tindakan ini masih sangat sindromkardiorenal.
jarang dilakukan.
Metode
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Penelitian ini merupakan penelitian
oleh (Mustafa et al., 2016) yang berjudul Effect
kuantitatif menggunakan desain quasi
of Lowering the Dialysate Temperature in
experiment dengan pre dan post test.
Chronic Hemodialysis: A Systematic Review
Menggunakan data primer yang diambil dari
and Meta-Analysis di katakana bahwa
bulan juni-july 2022. Penelitian ini
penurunan suhu dialisat pada pasien
membandingkan efek pengaturan suhu dialisat
hemodialisis kronis, dapat mengurangi tingkat
pada pasien hemodialisis akut dengan sindrom
hipotensi intradialitik sebanyak 70 % dengan
kardiorenal yang menggunakan suhu dialisat
kooefesian interval 95% dan dapat
standar yaitu 37ºC dengan suhu dialisat 35,5ºC,
meningkatkan tekanan arteri rata-rata
terhadap stabilitas tekanan darah (sistolik,
intradialitik sebanyak 12 mmHg dengan
diastolik dan MAP).
tingkat kepercayaan 95%.
Penelitian ini dilakukan pada pasien
Berdasarkan penelitian oleh Ahmadi et
hemodialisis akut yang di rawat inap dengan
al., (2021) dengan judul The Effects of Cool
sindrom kardiorenal di RS Jantung dan
Dialysate on Vital Signs, Adequacy and
Pembuluh Darah Harapan Kita dengan jumlah
Complications during Hemodialysis
sample sebanyak 18 responden, berusia ≥ 20
menyimpulkan bahwa menurunkan suhu
tahun, lama HD 4-5 jam, tekanan darah pre HD
dialisat dari 36,5 menjadi 35°C menghasilkan
sistolik ≤ 120 mmHg, diastolik ≤ 80 mmHg,
hemodinamik lebih stabil, tekanan darah
dan tidak mendapatkan obat-obat antihipertensi
sistolik (p = 0,01) dan diastolik partisipan
maupun inotropik dan vasopressor sebelum
meningkat secara signifikan dengan penurunan
dan selama HD berlangsung. Instrumen
suhu (p = 0,005). Denyut nadi pasien (p =
penelitian menggunakan lembar observasi dan
0,143), kecukupan dialisis (p = 0,922), dan
alat pengukur hemodinamik bed side monitor
komplikasi umum hemodialisis tidak berbeda
Philips.
secara signifikan antara kedua suhu (p > 0,05).
Pengumpulan data dilakukan dalam 2 x
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
sesi HD pada setiap responden. HD pertama
mengidentifikasi pengaruh pengaturan suhu
dengan suhu dialisat 37ºC dan HD ke 2 dengan
dialisat terhadap stabilitas tekanan darah intra

1098
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

Suhu dialisat 35,5ºC. Selama proses HD penyakitnya yang bersifat kronis dan progresif
dilakukan pengukuran tekanan darah sistolik, (Smeltzer et al, 2008). Dikatakan pula oleh
diastolik dan MAP jam ke-1, 2, 3, dan ke-4. Tatukude (2016) dalam penelitiannya di
Analisis data bivariat menggunakan Uji Manado bahwa prevalensi gagal jantung di
parametric dengan paired sample T-Test. Indonesia menurut Riskesdas 2013 meningkat
dengan bertambahnya usia, tertinggi pada usia
Hasil dan Pembahasan
65 – 74 tahun. Berdasarkan hasil penelitian dan
Berdasarkan tabel 1 dibawah ini terlihat
konsep yang terkait yang saling mendukung
bahwa responden pasien hemodialisis di Unit
maka dapat disimpulkan bahwa usia menjadi
Hemodialisis RS Jantung dan Pembuluh Darah
faktor resiko tinggi terhadap kejadian gagal
Harapan Kita Jakarta Tahun 2022 memiliki
ginjal dan gagal ginjal terutama di usia-usia
karakteristik: sebagian besar laki-laki (55,6%),
lansia.
berusia diatas 60 tahun (55%), berpendidikan
Selain itu jenis kelamin yang ditemukan
tinggi yaitu SMA keatas (66,7%), Tidak
pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
bekerja bekerja 88,9 % (IRT, pensiunan dan
mayoritas responden berjenis kelamin laki-
tidak bekerja).
laki. Hal ini berbeda dengan penelitian Riyanto
Hasil penelitian ini menunjukkan usia
(2011) di unit hemodialisa RSUP Fatmawati
tebanyak diatas 60 tahun. Ini berkaitan dengan
yang menyatakan sebagian besar responden
proses degenerasi organ tubuh dan
berjenis kelamin perempuan (55,3%).
progresifitas penyakit jantung sebelumnya
Distribusi jenis kelamin cukup merata, sesuai
yang akhirnya berkembang menjadi gagal
dengan literatur bahwa tidak ditemukan
jantung dan gagal ginjal. Gagal jantung dan
perbedaan kejadian penyakit ginjal tahap akhir
gagal ginjal merupakan penyakit degenerative,
pada usia dan jenis kelamin tertentu, karena
makin tinggi usia sesorang maka faktor resiko
penyakit ginjal tahap akhir dapat mengenai
akan semakin meningkat. Hal ini sejalan
semua lapisan usia sesuai dengan etiologinya.
dengan penelitian Septimar (2018), yang
Jenis kelamin tidak mempengaruhi seseorang
menyimpulkan bahwa karakteristik usia
menderita penyakit gagal ginjal, jenis kelamin
responden hemodialisis yang terbanyak
perempuan dan laki-laki mempunyai resiko
adalah lansia (46-65 tahun) yaitu sebanyak
yang sama hanya pengaruh pola hidup akan
81%. Kasus CKD cenderung meningkat pada
menyebabkan seseorang menderita gagal ginjal
usia dewasa karena proses perjalanan

1099
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

dan harus menjalani terapi hemodialisis (Kring umum, seseorang yang berpendidikan lebih
& Crane., 2009). tinggi akan mempunyai pengetahuan yang
Tingkat Pendidikan dari hasil penelitian lebih luas dibandingkan dengan seseorang
ini menunjukkan bahwa mayoritas responden yang tingkat pendidikannya lebih rendah.
berpendidikan tinggi yaitu SMA ke atas. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,
Pendidikan adalah proses penyampaian dia akan cenderung untuk berperilaku positif
informasi kepada seseorang untuk karena pendidikan yang diperoleh dapat
mendapatkan perubahan perilaku. Semakin meletakkan dasar dasar pengertian dalam diri
tinggi tingkat pendidikan seseorang akan seseorang (Azwar, 1995).
semakin kritis, logis, dan sistematis cara
berpikirnya. Pendidikan dapat membawa
wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Pasien Hemodialisis
Di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Tahun 2022 (n=18)

Variabel Frekuensi (f) Persentase (%)


Jenis Kelamin
Laki-Laki 10 55,6
Perempuan 8 44,4
Total 18 100
Usia
< 60 tahun 8 44,4
≥ 60 tahun 10 55,6
Total 18 100
Pendidikan
Rendah 6 33,4
Tinggi 12 66,6
Total 18 100
Pekerjaan
Bekerja 2 11,1
Tidak Bekerja 16 88,9
Total 18 100

Berdasarkan tabel 2 dibawah ini Berdasarkan hasil penelitian yang


menunjukan bahwa untuk tekanan darah dilakukan oleh Al-Jaishi.,at.al, pada tahun
sistolik, diastolik dan MAP terjadi peningkatan 2020 menyatakan bahwa suhu dialisat yang
nilai mean / rata-rata yang signifikan pada lebih dingin ≤ 35,5°C mengurangi kejadian
intervensi dengan suhu dialisat 35,5ºC pada penurunan tekanan darah sistolik selama
jam keempat. hemodialisis dibanding dengan suhu dialisat

1100
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

standart ≥ 36,0°C. Disamping itu beberapa metode dialisat dingin dibandingkan dengan
penelitian observasional, menggunakan suhu metode konvensional. Tekanan darah sistolik
dialisat yang lebih dingin (≤ 35,5°C) dengan rata-rata pada 35°C lebih tinggi dibandingkan
suhu dialisat standar (≥ 36,0C) dikaitkan dengan 36,5°C selama periode dialisis.
dengan tingkat kematian yang lebih rendah Perbedaan ini terutama terlihat pada periode
dari semua penyebab dan kematian terkait kedua pada jam kedua, ketiga, dan keempat
kardiovaskular pada pasien dewasa di pusat dialisis. Dalam penelitian yang lain dikatakan
pelayanan hemodialisis. Hal yang sama bahwa dialisat dingin meningkatkan toleransi
dikatakan Ahmadi et al., (2021) yang terhadap HD dan merupakan faktor penting
menyatakan bahwa tekanan darah sistolik dan dalam menstabilkan tekanan darah selama HD,
diastolik secara signifikan lebih tinggi dan tanpa mengurangi kemanjuran dialysis (Azar,
menunjukkan lebih sedikit variasi dalam 2009).

Tabel 2
Rata-rata Tekanan Darah Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pengaturan Suhu Dialisat
Pada Pasien Hemodialisis Di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
Tahun 2022 (n=18)

1101
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

Berdasarkan tabel 3 dibawah ini terhadap stabilitas tekanan darah sistolik,


menunjukan rata-rata standar deviasi diastolik dan MAP, dengan koofisian interval
pengukuran tekanan darah sistolik sebelum 95%. Rata-rata terjadi peningkatan tekanan
dilakukan intervensi pengaturan suhu dialisat darah sistolik, diastolik dan MAP pada
adalah 103 ± (8,49) dan setelah dilakukan responden setelah dilakukan intervensi.
intervensi pengaturan suhu dialisat adalah 112 Penelitian ini menunjukkan bahwa baik
± (8,2) dengan nilai p<0,05 yang artinya ada tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP
pengaruh intervensi pengaturan suhu dialisat secara signifikan lebih tinggi dalam metode
sebelum dan sesudah perlakuan. Selain itu nilai dialisat dingin dibandingkan dengan metode
rata-rata standar deviasi pengukuran tekanan konvensional. Tekanan darah sistolik rata-rata
darah diastolik sebelum dilakukan intervensi pada 35,5 ° C lebih tinggi dibandingkan
adalah 55,6 ± (10,5) dan setelah dilakukan dengan 37 ° C selama periode dialisis.
intervensi adalah 66,7 ± (9,58) dan pada MAP Perbedaan ini terutama terlihat pada pada jam
nilai rata-rata standar deviasi sebelum kedua, ketiga, keempat dan setelah dialisis.
diberikan intervensi adalah 70,5 ± (7,7) dan Dari hasil penelitian Ahmadi et al., 2021,
setelah dilakukan intervensi adalah 81,9 ± yang berjudul ”The Effects of Cool Dialysate
(8,21) dengan nilai p<0,05 yang artinya ada on Vital Signs, Adequacy and Complications
pengaruh intervensi pengaturan suhu dialisat during Hemodialysis” mengatakan bahwa
sebelum dan sesudah perlakuan pada tekanan menurunkan suhu dialisat dari 36,5 menjadi
darah diastolik dan MAP. 35°C menghasilkan hemodinamik lebih stabil,
Berdasarkan intervensi pengaturan suhu tekanan darah sistolik dan diastolik yang
dialisat selama 4 jam yang telah dilakukan meningkat . Tekanan darah sistolik dan
pada masing-masing responden, maka saat diastolik secara signifikan lebih tinggi dengan
dilakukan uji statistik menggunakan Paired metode dialisat dingin dibandingkan dengan
Samples T-Test untuk melihat pengaruh metode konvensional dengan nilai p<0,05.
pengaturan suhu dialisat terhadap stabilitas Mustafa et al., 2016 menyatakan bahwa
tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP penurunan suhu dialisat pada pasien
didapatkan nilai p-value < 0,001 untuk hemodialisis kronis, dapat mengurangi tingkat
sistolik,diastolik dan MAP yang berarti bahwa hipotensi intradialitik sebanyak 70 % dengan
pengaturan suhu dialisat dari 37ºC menjadi kooefesian interval 95% dan dapat
35,5ºC mempunyai pengaruh yang signifikan meningkatkan tekanan arteri rata-rata

1102
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

intradialitik sebanyak 12 mmHg dengan Cairan dialisat yang terdiri dari natrium,
tingkat kepercayaan 95%. kalium, kalsium, magnesium, bikarbonat, dan
Tekanan darah secara signifikan lebih glukosa yang berinteraksi dengan aliran darah
rendah pada pasien dialisis dengan suhu 37ºC melalui membran semipermeabel. Dengan
pada jam 1, 2 dan 3 dibanding suhu 35ºC, serta pendinginan dialisat terkontrol, menyebabkan
terjadi peningkatan yang signifikan terhadap peningkatan dorongan simpatis yang terbukti
resistensi pembuluh darah perifer pada paparan secara positif mempengaruhi MAP dan
dialisat 35ºC. Zitt et al, menyampaikan perlu mengurangi HID. Vasokonstriksi dari
studi lebih lanjut untuk menjelaskan pengaruh pembuluh darah sistemik dapat membantu
suhu dialisat rendah atau dialisis isotermik meningkatkan MAP dan mencegah
pada kontraregulasi otonom kardiovaskular vasodilatasi yang diinduksi dialisis. Namun
pada pasien yang tidak stabil yang rentan demikian, ada potensi ketidaknyamanan pasien
terhadap IDH. berupa hipotermia, yang pada penelitian ini
Penelitian ini sekaligus menjawab hal ditemukan satu orang yang menggigil pada
tersebut, dimana peneliti melakukan penelitian satu kali intervensi tetapi pada intervensi
terhadap pasien yang tidak stabil dan rentan berikutnya pasien bisa menuntaskan
terhadap hipotensi intradialitik yaitu pasien hemodialisis dengan dialisat dingin tanpa
dengan gangguan kardiovaskular. Dari hasil adanya keluhan.
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada Ketika Central Body Temperature (CBT)
pasien HD akut dengan gangguan meningkat, tubuh meningkatkan aliran darah
kardiovaskular yang rentan terhadap hipotensi perifer atau memulai berkeringat dalam upaya
intradialitik penggunaan dialisat dengan suhu untuk menghilangkan panas dari tubuh dengan
35,5ºC dapat lebih menjaga stabilitas tekanan konveksi atau radiasi, masing-masing.
darah sistolik, diastolik dan MAP dengan p- Menggigil biasanya merupakan mekanisme
value <0,001. Hal ini disebabkan oleh karena termoregulasi yang dilakukan oleh tubuh untuk
dialisat dingin (suhu 35,5ºC) dapat mencegah menghasilkan panas ketika CBT jatuh.
vaso dilatasi, meningkatkan vasokontriksi Penting untuk memperhatikan Central Body
pembuluh darah perifer, meningkatkan total Temperature (CBT) pada pasien hemodialisis.
resistensi perifer sehingga akan meningkatkan Menurunkan suhu dialisat 1ºC dibawah CBT
aliran balik vena dan meningkatkan curah akan lebih menjaga stabilitas hemodinamik
jantung. pada pasien yang cenderung hipotensi. Pada

1103
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

individu yang tergantung dengan hemodialisis selanjutnya dapat menyebabkan kompromi


CBT biasanya lebih rendah dari populasi non- hemodinamik.
hemodialisis yakni hampir 40% memiliki CBT Sementara menurut teori keperawatan
kurang dari 36,5ºC. Suhu dialisat adaptasi Roy, stimulus apapun yang menjadi
suprafisiologis seperti 37ºC dapat triger, baik fokal, kontekstual maupun residual
meningkatkan CBT yang mengakibatkan akan direspon oleh tubuh sehingga tubuh dapat
vasodilatasi dan konsekuensi penurunan beradaptasi dengan lingkungan sesuai dengan
tekanan darah. stimulus yang didapat. Stimulus fokal berupa
CBT mengikuti pola sirkadian yang tindakan hemodialisis yang menyebabkan
mencapai puncaknya antara jam 4 dan 9 terjadinya gangguan keseimbangan fisiologis
malam dan titik nadir antara jam 2 dan 8 pagi. yang disebabkan adanya stress thermal dan
CBT cenderung lebih rendah pada orang tua, stress volume pada tindakan hemodialisis.
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Stres thermal akibat adanya kontak darah
Pada individu yang tergantung hemodialisis, dengan dialisat, stress volume akibat adanya
CBT biasanya lebih rendah daripada populasi ultrafiltrasi atau penarikan cairan dari intra
non-dialisis, dengan hampir 40% memiliki vaskular. Tubuh akan melakukan proses
CBT kurang dari 36,5 °C dibandingkan dengan control melalui mekanisme regulator dengan
rata-rata CBT 37 °C (kisaran, 36,2 °C hingga mengaktifkan system neuro hormonal,
37,5 °C) pada individu yang tidak bergantung baroreseptor dan kemoreseptor. Adaptasi yang
pada dialisis. Pentingnya ini menjadi jelas dilakukan melalui mekanisme neuro hormonal
ketika seseorang mempertimbangkan bahwa dengan mengaktivasi hipotalamus yang
sedikit perubahan dalam CBT pada dialisis mengendalikan dua system neuro endokrin
mempengaruhi termoregulasi yang dapat yaitu sistim saraf simpatis dan korteks adrenal.
merugikan dialisis. Suhu dialisat Aktivasi dari saraf simpatis memicu
suprafisiologis, seperti 37°C, dapat peningkatan aktivasi berbagai organ dan otot
meningkatkan CBT pada individu tertentu polos. Salah satunya dengan meningkatkan
yang mengakibatkan vasodilatasi dan denyut jantung serta pelepasan epineprin dan
konsekuensi ketidakstabilan kardiovaskular. norepineprin ke dalam aliran darah oleh
Vasodilatasi mungkin bersaing langsung medulla adrenal. Stimulasi aktivitas saraf
dengan vasokonstriksi yang diharapkan yang simpatis akan meningkatkan resistensi
terjadi pada pengaturan ultrafiltrasi dan pembuluh darah perifer sehingga akan

1104
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

meningkatkan pre load dan curah jantung. sistem sirkulasi, namun menjadi maladaptif
Peningkatan kadar norepineprin plasma dalam tahap selanjutnya karena berpotensi
meningkatkan denyut jantung dan kekuatan terjadi kerusakan miokard dalam jangka
kontraksi miokard serta resistensi vascular panjang atau kronis.
perifer. Respon awal ini adaptif dan baik untuk Penggunaan dialisat dengan suhu 35,5ºC
dapat tetap menjaga sitem sirkulasi dengan bertujuan menghindari stress termal, mencegah
mempertahankan tekanan darah yang optimal. vasodilatasi pembuluh darah dan membantu
Namun disisi lain kebutuhan oksigen miokard individu untuk berespon secara adaptif,
akan terus meningkat. Seiring dengan sehingga menghasilkan output berupa tekanan
progresifitas penyakit dengan adanya lesi darah intradialitik yang lebih stabil baik
jantung maka pengiriman oksigen ke miokard sistolik, diastolik dan MAP.
terganggu, sehingga terjadi risiko iskemi
miokard yang berkepanjangan. Dapat
dikatakan bahwa aktivasi sistem saraf simpatis
adaptif pada tahap awal mempertahankan
Tabel 3
Analisis Pengaruh Tekanan Darah Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pengaturan
Suhu Dialisat Pada Pasien Hemodialisis Di RS Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita Tahun 2022 (n=18)

Simpulan Perbedaan rata-rata tekanan darah sebelum


Hasil penelitian menunjukkan bahwa dan sesudah intervensi pengaturan suhu
responden dalam penelitian ini sebagian besar dialisat sangat signifikan pada jam ke-4 baik
adalah laki-laki, berumur diatas 60 tahun, untuk sistolik, diastolik dan MAP. Diketahui
tidak bekerja dan berpendidikan SMA keatas. ada pengaruh pengaturan suhu dialisat

1105
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

terhadap tekanan darah sistolik, diastolik dan Ferreira-Divino, L. F., Goluch, R.,
MAP dengan p-value <0,001. Gregor, L., Grimshaw, J. M., Hanson,
G., Iliescu, E., Garg, A. X. (2020).
Penelitian ini menggunakan desain
Major Outcomes With Personalized
penelitian quasy experiment dengan one group. Dialysate TEMPerature (MyTEMP):
Desain ini sudah cukup baik dalam menjaga Rationale and Design of a Pragmatic,
Registry-Based, Cluster Randomized
homogenitas responden. Hanya saja perlakuan
Controlled Trial. Canadian Journal of
yang diberikan untuk masing-masing Kidney Health and Disease, 7,
responden baru satu kali siklus HD untuk pre 2054358119887988.
https://doi.org/10.1177/2054358119887
dan post test. Hasil penelitian akan lebih baik
988
lagi apabila bisa dilakukan 3-4 kali siklus HD Canaud B, Kooman JP, Selby NM, Taal M,
untuk pre dan post test. Selain itu jumlah Maierhofer A, Kopperschmidt P,
sampel perlu diperbanyak agar lebih Francis S, Collins A, Kotanko P.
Hidden risks associated with
merepresentasikan kondisi populasi yang conventional short intermittent
sebenarnya. hemodialysis: A call for action to
Penelitian ini diharapkan dapat mitigate cardiovascular risk and
morbidity. World Journal Nephrol
dikembangkan lagi menjadi sebuah penelitian
2022; 11(2): 39-57 [PMID: 35433339
yang lebih kompleks dengan menambahkan DOI: 10.5527/wjn.v11.i2.39]
jumlah sampel, variable independent, Daugirdas, J. T., Blake, P. G., & Ing, T. S.
(2014). Handbook of dialysis: Fifth
dependent dan faktor confounding.
edition. In Handbook of Dialysis: Fifth
Edition
Daftar Pustaka Donsu. (2016). Metodologi Penelitian
Keperawatan (1st ed.). Pustaka Baru
Ahmadi, F., Toulabi, T., Sajadi, M., &
Press
Ebrahimzadeh, F. (2021). The Effects
Douvris, A., Zeid, K., Hiremath, S., Bagshaw,
of Cool Dialysate on Vital Signs,
S. M., Wald, R., Beaubien-Souligny,
Adequacy and Complications during
W., Kong, J., Ronco, C., & Clark, E. G.
Hemodialysis. Iranian Journal of
(2019). Mechanisms for hemodynamic
Nursing and Midwifery Research,
instability related to renal replacement
26(6),487. https://doi.org/10.4103/
therapy: a narrative review. Intensive
IJNMR.IJNMR_269_19
Care Medicine, 45(10), 1333–1346.
Al-Jaishi, A. A., McIntyre, C. W., Sontrop, J.
https://doi.org/10.1007/S00134-019-
M., Dixon, S. N., Anderson, S., Bagga,
05707-W/TABLES/4
A., Benjamin, D., Berry, D., Blake, P.
Kanbay, M., Ertuglu, L. A., Afsar, B.,
G., Chambers, L., Chan, P. C. K.,
Ozdogan, E., Siriopol, D., Covic, A.,
Delbrouck, N., Devereaux, P. J.,

1106
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

Basile, C., & Ortiz, A. (2020). An Dialysis: The Potential Role of


update review of intradialytic Intradialytic Exercise. Biomed Res Int.
hypotension: concept, risk factors, 2018;2018:8276912. [PubMed] [DOI]
clinical implications and management. Notoatmodjo. (2012). Metodologi Penelitian
Clinical Kidney Journal, 13(6), 981– Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
993. Orvalho, J. S., & Cowgill, L. D. (2017).
https://doi.org/10.1093/CKJ/SFAA078 Cardiorenal Syndrome: Diagnosis and
McDonagh, T. A., Metra, M., Adamo, M., Management. Veterinary Clinics of
Gardner, R. S., Baumbach, A., Böhm, North America - Small Animal
M., Burri, H., Butler, J., Celutkiene, J., Practice, 47(5), 1083–1102.
Chioncel, O., Cleland, J. G. F., Coats, https://doi.org/10.1016/j.cvsm.2017.05.
A. J. S., Crespo-Leiro, M. G., 004
Farmakis, D., Gilard, M., & Heymans, Peters, C. D., Schandorph, J., Jensen, K.,
S. (2021). 2021 ESC Guidelines for the Kristian, J., Jensen, D., & Buus, N. H.
diagnosis and treatment of acute and (2021). Hemodynamic Effects Of Low
chronic heart failure. European Heart Vs High Dialysate Temperature Or
Journal, 42(36), 3599–3726. Bicarbonate Concentration In Chronic
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehab3 Hemodialysis Patients (Turbo). 0, 1–16.
68
Mcguire, S., Horton, E. J., Renshaw, D., Rahmat, B. (2021). Pengaruh Aplikasi Mobile
Jimenez, A., Krishnan, N., & Mobile Educard Terhadap Kemampuan
Mcgregor, G. (2018). Hemodynamic Melakukan Self Care Pada Pasien
Instability during Dialysis: The Gagal jantung Di Unit Rawat Jalan RS
Potential Role of Intradialytic Exercise. jantung dan Pembuluh Darah Harapan
BioMed Research International, 2018. Kita Jakarta Tahun 2020. Fakultas Ilmu
https://doi.org/10.1155/2018/8276912 Keperawatan Universitas Indonesia
Mustafa, R. A., Bdair, F., Akl, E. A., Garg, A. Raina, R., Nair, N., Chakraborty, R., Nemer,
X., Thiessen-Philbrook, H., Salameh, L., Dasgupta, R., & Varian, K. (2020).
H., Kisra, S., Nesrallah, G., Al-Jaishi, An Update on the Pathophysiology and
A., Patel, P., Patel, P., Mustafa, A. A., Treatment of Cardiorenal Syndrome.
& Schünemann, H. J. (2016). Article Cardiology Research, 11(2), 76.
Effect of Lowering the Dialysate https://doi.org/10.14740/CR955
Temperature in Chronic Hemodialysis:
A Systematic Review and Meta- Ricci, Z., Romagnoli, S., & Ronco, C. (2021).
Analysis. Clin J Am Soc Nephrol, 11, Cardiorenal Syndrome. Critical Care
442–457. Clinics, 37(2), 335–347.
https://doi.org/10.2215/CJN.04580415 https://doi.org/10.1016/j.ccc.2020.11.00
McGuire S, Horton EJ, Renshaw D, Jimenez 3
A, Krishnan N, McGregor G.
Hemodynamic Instability during

1107
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 6 No 2, Hal 1096-1108, Agustus 2022 e-ISSN2 548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

Sakkas, G. K., Krase, A. A., Giannaki, C. D., Sangaralingham, S. J., Burnett, J. C.,
& Karatzaferi, C. (2017). Cold dialysis Kaye, D., & Wang, B. H. (2020).
and its impact on renal patients’ health: Cardiorenal syndrome: Multi-organ
An evidence-based mini review. World dysfunction involving the heart, kidney
Journal of Nephrology, 6(3), 119. and vasculature. British Journal of
https://doi.org/10.5527/WJN.V6.I3.119 Pharmacology, 177(13), 2906–2922.
https://doi.org/10.1111/bph.15065
Sars, B., Van Der Sande, F. M., & Kooman, J.
P. (2020a). Intradialytic Hypotension:
Mechanisms and Outcome. Blood
Purification, 49(1–2), 158–167.
https://doi.org/10.1159/000503776

Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2011). Dasar-


dasar metodologi penelitian klinis.
Jakarta: Sagung Seto, 55.

Savira, F., Magaye, R., Liew, D., Reid, C.,


Kelly, D. J., Kompa, A. R.,

1108

Anda mungkin juga menyukai