Anda di halaman 1dari 14

PENYUSUNAN DAN STANDARISASI PETA

Peta merupakan gambaran permukaan bumi yang ditampilkan dalam bidang datar.
Kenampakan yang tertuang didalam peta dapat dijadikan sumber informasi oleh pemerintah
selaku pemangku kebijakan dan ahli perencanaan untuk menentukan keputusan pada proses
pembangunan. Peta yang dibuat pada tahun terbaru atau terupdate dengan menggunakan data
–data terbaru tentunya akan menghasilkan data atau informasi secara faktual dan mutakhir
sehingga kebijakan dari pemerintah setempat dinilai berintegritas. Bafdal et al. (2014).
Menurut (Setyawan et al., 2018), peta desa merupakan langkah awal dalam
pengembangan potensi yang ada pada suatu desa. Melalui peta desa, hal yang menjadi potensi
maupun kendala dalam langkah pengembangan desa dapat diketahui dan diidentifikasi.
Menurut (Zarodi et al., 2019), penyusunan peta desa mengacu pada sistem peta Rupa Bumi
Indonesia (RBI) dikarenakan peta RBI merupakan peta yang berdasarkan citra tegak yang
memiliki resolusi tinggi serta unsur-unsur alam dan buatan manusia tercantum dalam peta rupa
bumi. Peta rupa bumi juga telah disesuaikan dengan koordinat asli pada suatu wilayah sehingga
informasi mengenai tata letak geografis wilayah dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Proses penyusunan sebuah peta sangat beragam, namun yang terutama pasti ada dalam
penyusunan suatu peta adalah metode pengukuran yang dilakukan. Wahyono dan Suyudi
(2017) menjelaskan dalam proses penyusunan peta pada dasarnya dapat dilakukan dengan
menerapkan tiga metode pengukuran, yaitu: Metode pengukuran terestrial dimana pengukuran
langsung bersentuhan dengan obyek yang diukur, Metode ekstraterestrial dengan
memanfaatkan wahana satelit, dan Metode fotogrametri dimana pengukuran dilakukan dengan
wahana pesawat tanpa awak/Drone. Ramadhony dkk., (2017) menjelaskan pada metode
pengukuran ekstraterestrial, penggunaan GPS sangat berperan sebagai pengukuran titik kontrol
dan pemetaan yang digambarkan melalui interpretasi citra satelit. Terlebih lagi adanya
perkembangan sistem informasi digital terkait bentuk rupa bumi dalam suatu kawasan yang
kerap disebut dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). hal tersebut sependapat dengan Yudha
et al. (2020) yang menyatakan bahwa SIG merupakan suatu sistem komputer yang mempunyai
kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi dalam hal pemasukan,
manajemen data, memanipulasi, dan menganalisis serta pengembangan produk dan
percetakan.Penyusunan peta desa dapat mempergunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Menurut (Sulaksono, 2017), pengelompokan informasi-informasi yang diinginkan
melalui analisis statistik dalam bentuk visualisasi maupun analisis geografis melalui pemetaan
merupakan peran utama dari sistem informasi geografis. Hal yang membuat sistem informasi
geografis berbeda dengan sistem lainnya yairu penyajian informasi geografis berdasarkan
keadaan permukaan bumi dan perencanaan strategis melalui struktur informasi yang
dimilikinya.
Peta yang dihasilkan dalam aplikasi ArcGIS untuk pemetaan batas administrasi, jalan,
sungai dan ketinggian wilayan memperhatikan kaidah kartografi dalam pemetaan. Kaidah
kartografi merupakan suatu ketentuan dasar yang menjadi acuan dalam visualisasi maupu
desain peta, seperti adanya koordinat dalam peta, adanya legenda peta, skala peta, maupun
arah mata angin dalam pemetaan. Dalam pembuatan koordinat peta, dipergunakan tools New
Grid pada Data Frame Properties dan disesuaikan jarak antar koordinat dengan satuan Degree
Minutes Second. Penambahan legenda peta mempergunakan menu Insert -> New Legend,
penambahan arah mata angin pada peta mempergunakan menu Insert -> North Arrow dan
penambahan skala peta mempergunakan menu Insert -> Scale Text. (Jauhari, 2020).
DAFTAR PUSTAKA
Jauhari, A. (2020). Pemanfaatan SIG untuk Pemetaan Kawasan Produksi Komoditas Unggulan
Tanaman Pangan di Kabupaten Pacitan. Journal of Regional and Rural Development
Planning, 4(3).
Setyawan, D., Nugraha, A. L., & Sudarsono, B. (2018). Analisis Potensi Desa Berbasis Sistem
Informasi Geografis (Studi Kasus: Kelurahan Sumurboto, Kecamatan Banyumanik,
Kabupaten Semarang). Jurnal Geodesi Undip, 7(4).
Sulaksono, A. G. (2017). Pemanfaatan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk
Pemetaan SMK Kota Malang. JOINTECS (Journal of Information Technology and
Computer Science), 2(2).
Bafdal, N., Balia, R.L., Dwiratna, S., dan Amaru, K. 2014. Penyusunan Peta Potensi Desa
Agrowisata Berbasis Masyarakat di Desa Cibuntu Kecamatan Pasawahan
Kabupaten Kuningan. Dharmakarya, 3 (2) : 81-87.
Wahyono, E. B. dan Suyudi, B., (2017), Fotogrametri Terapan, Kementerian Agraria dan Tata
Ruang, Badan Pertanahan Nasional, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
Ramadhony, A. B., Awaluddin, A. dan Sasmito, B., (2017), Anallisis pengukuran bidang tanah
dengan menggunakan GPS pemetaan, Jurnal Geodesi UNDIP, 6 (4): 305-315.
Marcus, R., & Yudha, M. (2020). Sistem Informasi Geografis Pemetaan Lahan Pertanian Di
Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat Berbasis Web. Seminar Nasional Sistem
Informasi (SENASIF), 4(1), 2579 - 2587.
Zarodi, H., Rofi, A., Anshori, M., & Widarto, M. 2019. Pemanfaatan Teknologi GIS dan
Penginderaan Jauh untuk Membuat Peta Batas Dusun Partisipatif di Desa Sumber,
Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Seminar Nasional GeoTIK, 1.
ACARA II : PENGGUNAAN SUMBER PETA

Peta adalah gambaran konvensional permukaan bumi pada bidang datar yang diperkecil
seperti kenampakannya jika dilihat dari atas dengan ditambah tulisan-tulisan sebagai tanda
pengenal. gambaran konvensional pada permukaan bumi ini dilambangkan dengan
simbolsimbol tertentu. simbol-simbol tersebut berfungsi untuk menggambarkan sebagianatau
seluruh permukaan bumi beserta kenampakan-kenampakan yang ada padanya.
Kenampakankenampakan tersebut meliputi kenampakan fisik (medan asli) dan kenampakan
sosial-ekonomi (medan buatan). Sumber peta menunjukan sumber data yang digunakan dalam
pembuatan peta. Sumber peta memberi kepastian bahwa data dan informasi pada peta akurat.
Sumber peta biasanya diletakan pada bagian bawah peta. Sementara itu, tahun pembuatan
dapat membantu pembaca untuk menganalisis berbagai kecenderungan perubahan fenomena
dari waktu ke waktu. Selain itu, tahun pembuatan memberikan informasi keakuratan data yang
digunakan per tahun pembuatan. (Yulir, 2017).
DEM (Digital Elevation Model) adalah data digital yang menggambarkan geometri dari
bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil
sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut
menggunakan himpunan koordinat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan (Tempfli, 1991 dan
Purwanto, 2015 dalam Duantari Novita, 2017) yang menyatakan bahwa DEM memuat
informasi ketinggian dan kemiringan yang mempermudah interpretasi sehingga dapat
digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam bidang kebencanaan DEM dapat digunakan
untuk membuat peta rawan bencana banjir atau tanah longsor. Dalam bidang manajemen
sumberdaya DEM dapat digunakan untuk mendapatkan lokasi penambangan. Dan masih
banyak kegunaan lainnya dari DEM.
Salah satu sumber data untuk pembentukan DEM adalah foto udara. Foto udara yang
dapat digunakan merupakan foto udara stereo atau foto udara yang bertampalan kanan dan
kiri. Hal ini dimaksudkan agar didapatkan tidak hanya data X atau Y namun juga Z yang
merepresentasikan ketinggian. Foto udara yang dipakai merupakan foto udara skala besar yaitu
1:10.000. Dalam penelitian ini sumber data yang dipakai merupakan dari foto udara skala besar
karena representasi permukaan akan tampak lebih jelas dibandingkan dengan foto udara skala
menengah maupun dari citra. Foto udara dengan skala kecil sangat bermanfaat terutama untuk
manajemen tata ruang sehingga dengan mengolah informasi DEM dari foto udara skala ini
dapat memberikan informasi yang lebih detail mengenai relief permukaan bumi yang
dipetakan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Setianto dan Triandini, (2013) yang
menyatakan bahwa DEM dari foto udara salah satunya dapat diolah dari titik dan garis
ketinggian yang diolah menggunakan perangkat lunak Summit Evolution. Titik dan garis ini
diperoleh dari persebaran mass point, breaklines, unsur hidrografi, serta transportasi dari suatu
data foto udara stereo. Titik dan garis ketinggian inilah yang kemudian disatukan untuk
membuat DEM dengan beberapa metode yang ditentukan. Tahapan yang digunakan dalam
pembuatan unsur-unsur pembentuk ketinggian adalah stereoplotting. Stereoplotting adalah
ekstraksi data dari sumber data berupa data radar menjadi data vektor yang dilakukan dengan
cara digitasi 3 dimensi secara stereoskopis. Melalui tahapan ini akan didapati informasi
mengenai posisi planimetris serta ketinggiannya sesuai dengan yang ada di lapangan. Plotting
pada foto udara skala besar juga akan memberikan informasi yang lebih detail data yang ada di
lapangan.
Dari unsur pembentuk ketinggian tersebut selanjutnya dapat dibuat DEM dari wilayah
yang dipetakan. Pembuatan DEM ini dapat melalui beberapa metode yaitu TIN, IDW, dan
Kriging. Metode-metode tersebut dipilih karena telah banyak digunakan pada berbagai
penelitian yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. TIN hampir sama
dengan grid yang merupakan data digital untuk merepresentasikan suatu permukaan, namun
TIN merepresentasikan permukaan sebagai suatu kesatuan yang berlanjut tanpa ada segitiga
yang saling menampal IDW atau Inverse Distance Weighted adalah suatu metode yang
mensyaratkan kondisi nilai estimasi sebuah titik dipengaruhi oleh titik terdekat yang diketahui
dibandingkan titik yang semakin jauh . Sementara metode Kriging mengasumsikan bahwa jarak
atau arah antara titik sampel merefleksikan korelasi spasial yang dapat digunakan untuk
menjelaskan variasi pada permukaan yang mana hal ini sesuai dengan jumlah spesifik titik-titik
maupun keseluruhan titik dengan radius tertentu untuk menentukan hasil nilai untuk tiap-tiap
lokasi. (BIG , 2015).
BIG. (2015). Petunjuk Pelaksanaan Tahapan Stereoplotting. Pusat Pemetaan Rupabumi dan
Toponim.
Novita, D. 2017. Analisis Perbandingan DTM (Digital Terrain Model) Dari Lidar (Light Detection
And Ranging) Dan Foto Udara Dalam Pembuatan Kontur Peta Rupa Bumi Indonesia. 27
30.
Purwanto, T. H. 2015. Digital Terrain Modelling. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Setianto, A. dan Triandini, T. 2013. Comparison of Kriging and Inverse Distance Weighted
(IDW) Interpolation Methods in Lineament Extraction and Analysis. Journal SE Asian
Application Geology. Vol. 5(1) Hal. 21-29.
Yulir, Yulmadia. 2017 Geografi 1. Yudhistira
ACARA IV : Pengenalan dan Penggunaan GPS

Di era digital saat ini, data spasial bukan merupakan sesuatu yang asing bagi sebagian
besar orang. Setiap orang, dengan berbagai macam tujuan dan dalam berbagai tingkatan
penggunaan, menggunakan data spasial dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari kebutuhan
umum untuk pencarian lokasi, rute perjalanan maupun informasi lalu-lintas, sampai pada
penggunaan yang lebih spesifik seperti untuk menentukan lokasi yang tepat untuk
pembangunan stasiun baru, melakukan pemantauan titik-titik rawan bencana, melakukan
pendataan pertanahan, perencanaan tata ruang dan lain sebagainya. Data spasial telah sangat
berkembang saat ini, sehingga dapat mencakup pengguna yang lebih luas, mulai dari
masyarakat umum yang tidak memiliki pengetahuan mengenai data spasial sampai pada
pengguna yang lebih spesifik yang menggunakan data spasial dalam pekerjaan sehari-harinya.
Perkembangan teknologi pula yang kemudian memungkinkan data spasial dapat diakses
kapanpun dan dimanapun, dan tidak memerlukan perangkat lunak khusus pengolahan data
spasial, dan tidak memerlukan pengetahuan khusus GIS maupun pemetaan (Pinuji, et al. 2021).
Sementara itu teknologi geospasial merupakan istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan berbagai alat modern yang berkontribusi terhadap pemetaan dan analisis
geografis. Ada banyak jenis teknologi geospasial yang dapat dimanfaatkan, diantaranya adalah
data penginderaan jauh, sistem informasi geografis (SIG), Global Positioning System (GPS), dan
Internet Mapping Technologies (Yuliana, 2019).
GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi
yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi
dan kecepatan tiga dimensi serta informasi mengenai waktu, secara berkesinambungan di
seluruh dunia tanpa bergantung waktu dan cuaca bagi banyak orang. Saat ini GPS sudah banyak
digunakan orang di seluruh dunia dalam berbagai bidang aplikasi yang menuntut informasi
tentang posisi, kecepatan ataupun waktu yang teliti. Kemampuan GPS antara lain dapat
memberikan informasi tentang posisi, kecepatan, dan waktu secara cepat, akurat, murah,
dimana saja di bumi ini tanpa tergantung cuaca. Hal tersebut sependapat dengan (Firmansyah
Esa, 2016) menyatakan bahwa, satelit GPS dapat dianalogikan sebagai stasiun radio angkasa,
yang diperlengkapi dengan antena-antena untuk mengirim dan menerima sinyal-sinyal
gelombang. Sinyal-sinyal ini selanjutnya diterima oleh receiver GPS didekat permukaan bumi,
dan digunakan untuk menentukan informasi posisi, kecepatan, maupun waktu.
Ada 3 macam tipe alat GPS, dengan masing-masing memberikan tingkat ketelitian
(posisi) yang berbeda-beda. Tipe alat GPS pertama adalah tipe Navigasi (Handheld, Handy GPS).
Tipe nagivasi harganya cukup murah, sekitar 1 sampai dengan 4 juta rupiah, namun ketelitian
posisi yang diberikan saat ini baru dapat mencapai 3 sampai 6 meter. Tipe alat yang kedua
adalah tipe geodetik single frekuensi (tipe pemetaan), yang biasa digunakan dalam survey dan
pemetaan yang membutuhkan ketelitian posisi sekitar sentimeter sampai dengan beberapa
desimeter. Tipe terakhir adalah tipe Geodetik dual frekuensi yang dapat memberikan ketelitian
posisi hingga mencapai milimeter. Tipe ini biasa digunakan untuk aplikasi precise positioning
seperti pembangunan jaring titik kontrol, survey deformasi, dan geodinamika. (Hasanah, 2022).
Sistem GPS, yang mempunyai tiga segmen yaitu : satelit, pengontrol, dan penerima
pengguna. Satelit GPS yang mengorbit bumi, dengan orbit dan kedudukan yang tetap
(koordinatnya pasti), seluruhnya berjumlah 24 buah dimana 21 buah aktip bekerja dan 3 buah
sisanya adalah cadangan. Satelit bertugas untuk menerima dan menyimpan data yang
ditransmisikan oleh stasiun-stasiun pengontrol, menyimpan dan menjaga informasi. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat (Nanang et al. 2020) yang menyatakan bahwa Pengontrol
bertugas untuk mengendalikan dan mengontrol satelit dari bumi baik untuk mengecek
kesehatan satelit, penentuan dan prediksi orbit dan waktu, sinkronisasi waktu antar satelit, dan
mengirim data ke satelit. Stasiun kontrol ini tersebar diseluruh dunia, yaitu dipulau Ascension.
Diego Garcia. Kwajalein, Hawai dan Colorado Springs. Penerima bertugas menerima data dari
satelit dan meprosesnya untuk menentukan posisi (posisi tiga dimensi yaitu koordinat di bumi
plus ketinggian), arah, jarak dan waktu yang diperlukan oleh pengguna. Ada dua macam tipe
penerima yaitu tipe Navigasi dan tipe Geodetic. Yang termasuk receiver tipe Navigasi antara lain
: Trimble Ensign, Trimble Pathfinder, Garmin, Sony dan lain sebagainya. Sedangkan tipe
Geodetic antara lain : Topcon, Leica, Astech, Trimble seri 4000 dan lain-lain.
Fungsi GPS dibagi menjadi 3 , tipe navigasi, tipe mapping, tipe geodetik. Tipe navigasi
atau handheld, pada umumnya digunakan pada bidang militer atau untuk keperluan navigasi.
GPS mapping adalah alat GPS yang digunakan menghitung luas atau membuat rute penting
dalam perjalanan. Tipe Mapping (Pemetaan) Mempunyai tingkat akurasi antara 1 - 3 meter dan
tipe mapping biasanya membutuhkan base station yang berfungsi untuk menerima sinyal satelit
dan mengirimnya ke receiver GPS. Tipe ini biasa digunakan untuk survey dan Pemetaan dan
setelah didownload ke pemetaan dan setelah didownload ke komputer dapat dilakukan koreksi
secara diferensial. (Rahayu et al. 2019)
A. Nanang Sutisna, C. Taofik, A. Mulyawan, S. LIKMI Bandung, dan S. Mardira. 2020.
Indonesia, Aplikasi Android Menggunakan Location Based Service (Lbs) Untuk Navigasi
Tujuan Wisata Di Kabupaten Garut, J. Comput. Bisnis, vol. 14, no. 1, pp. 30– 39.
Pinuji, Sukmo et al. 2021. Informasi Geospasial Dan Pembanguan Pertanahan Berkelanjutan
Dalam Mewujudkan Good Land Governance. Bogor: Puslitbang ATR/BPN Press.
Yuliana, Diyah Krisna. 2019. Sistem Informasi Geografis Sebagai Pemanfaatan Teknologi
Geospasial Untuk Pemetaan Penyebaran Penyakit Infeksius Yang Baru Muncul (Eid)
Dan Zoonosis: SebuahPenelaahan Literatur. Jurnal Sains dan Teknologi Mitigasi
Bencana. Vol. 14, No. 2, hal 77-88.
A. L. N. Hasanah. 2022. Pengertian GPS Beserta Manfaat dan Komponen-komponen
Pembentuk GPS.
Firmansyah, Esa. 2016. Pemanfaatan Global Positioning System (GPS) untuk Menghitung Luas
Tanah. Sumedang :STMIK.
Rahayu, S., Murjainah, M., & Idris, M. 2019. The Effect of Google Earth Utilization on
Students’ Spatial Thinking Ability. Geosfera Indonesia, 4(3).
PETA PENGGUNAAN LAHAN
Penggunaan lahan disuatu wilayah harus memenuhi beberapa persyaratan, hal tersebut
dilakukan dengan tujuan agar lahan mampu melakukan produksi tanpa mengalami kerusakan
dalam jangka yang tidak terbatas. Lahan seharusnya dikelola dengan pengelolaan yang sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya, hal tersebut dilakukan agar lahan tersebut tidak
mengalami penurunan kemampuan produksi. Analisis kemampuan lahan bisa menggunakan
metode matching. Dalam metode matching dilakukan perbandingan antara nilai faktor
penghambat pada unit lahan dengan tabel klasifikasi kemampuan lahan. Faktor penghambat
tersebut meliputi kemiringan lereng, kepekaan erosi tanah, tingkat erosi, kedalaman tanah,
tekstur tanah, permeabilitas, drainase, prosentase batuan/kerikil dan ancaman banjir. Arahan
pemanfaatan lahan yang sesuai didasarkan pada tabel skema hubungan antara kelas
kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan (Osok et al. 2018).
Kemampuan lahan merupakan penilaian terhadap lahan atas kemampuan suatu lahan
untuk pemanfaatan tertentu yang penilaiannya sendiri didapatkan dari masing masing-masing
faktor penghambat pada suatu lahan (Sefle, 2013). Ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan
kemampaun lahan yang dimilikinya serta tidak adanya usaha untuk melakukan konservasi
terhadap lahan tersebut maka akan mengakibatkan terjadinya erosi, dan jika lahan sudah
tererosi kemampuan produksi lahan juga akan menurun (Arsyad, 2010). Evaluasi pemanfaatan
lahan perlu dilakukan dengan tujuan agar arahan penggunaan lahan dapat dilakukan dengan
perencanaan yang baik, hal tersebut bertujuan agar suatu lahan terjaga kelestariannya serta
pemanfaatan sumberdaya lahan terus dapat dilakukan. pemanfaatan lahan disuatu wilayah
harus dilakuakan dengan perencanaan serta pertimbangan yang matang supaya pemanfaatan
lahan yang dilakukan sesuai dengan kemampuan lahan yang dimiliki.
Permasalahan lahan di perkotaan secara umum berkisar pada persoalan kepemilikan,
alih fungsi lahan bervegetasi menjadi kawasan terbangun, kerusakan lahan akibat kegiatan
penambangan sumberdaya alam secara terbuka dan merusak lingkungan yang dapat
mengakibatkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Tutupan lahan yang tergerus
merupakan persoalan serius yang terdapat pada pengelolaan lahan perkotaan yang terus
mengalami perubahan signifikan dari tahun ke tahun. Perubahan penggunaan lahan terutama
terjadi pada alih fungsi lahan pertanian sawah dan bukan sawah yang mengalami penurunan
serta peningkatan lahan yang dibangun (Hidayat dan Noor, 2020). Kepadatan penduduk dapat
mempengaruhi kualitas hidup penduduknya. Pada daerah dengan kepadatan yang tinggi, usaha
peningkatan kualitas penduduk akan lebih sulit dilakukan. Hal ini menimbulkan permasalahan
sosial ekonomi, kesejahteraan, Keamanan, ketersediaan lahan, air bersih dan kebutuhan
pangan (Suni et al, 2023).
Penginderaan jauh didefinisikan sebagai perolehan informasi suatu objek tanpa adanya
kontak fisik dengan objek tersebut. Informasi dalam penginderan jauh diperoleh dengan
mendeteksi dan mengukur perubahan dari objek yang digeneralisasikan dengan kondisi optic
disekitarnya, meliputi elektromagnetik, akustik dan potensial. Medan Elektromagnetik yang
dipancarkan lalu dipantulkan oleh objek, gelombang akustik dipantulkan atau dihamburkan
oleh objek (Rahmatsyah, Juliani, dan Tampubolon, 2020). Satelit Sentinel 2 MSI adalah satelit
milik Europe Space Agency (ESA) yang diluncurkan pada 23 Juni 2015. Sentinel 2 MSI memiliki
sudut inklinasi 98,62o dengan periode rotasi selama 40 menit dan merekam permukaan bumi
pada 10:30 pagi waktu setempat dengan tujuan untuk memperoleh hasil dengan tutupan awan
minimal serta penyinaran matahari yang sesuai (Suhet, 2014).
Perkembangan perubahan tutupan lahan suatu wilayah dapat dianalisis dengan
memanfaatkan data penginderaan jauh (remote sensing) berupa citra satelit multitemporal.
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu cara untuk mengetahui secara
cepat alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk
penggunaan lain disebabkan oleh faktor– faktor yang secara garis besar meliputi keperluan
untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya
tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Suni, dan Baharuddin, 2023).
Perkembangan perubahan tutupan lahan suatu wilayah dapat dianalisis dengan
memanfaatkan data penginderaan jauh (remote sensing) berupa citra satelit multitemporal.
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu cara untuk mengetahui secara
cepat alih fungsi lahan. (Suni et al, 2023). Citra penginderaan jauh, dapat memberikan
gambaran keruangan dan ukuran yang merupakan data yang bermanfaat dalam mempelajari
fenomena atau kenampakan muka bumi, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar
rencana dan pemanfaatan praktis.
Penginderaan jauh dapat memberikan informasi mengenai karakteristik tutupan
vegetasi suatu hutan yang di teliti. Maullana dan Darmawan (2014) mengungkapkan bahwa
penginderaan jauh adalah suatu metode untuk mengidentifikasi objek di permukaan bumi
tanpa kontak langsung dengan objek. Klasifikasi supervised melibatkan interaksi analis secara
intensif, dimana analis menuntun proses klasifikasi dengan identifikasi objek pada citra (training
area). Sehingga pengambilan sampel perlu dilakukan dengan mempertimbangkan pola spektral
pada setiap panjang gelombang tertentu, sehingga diperoleh daerah acuan yang baik untuk
mewakili suatu objek tertentu.
Hidayat, M. A., dan Noor, A. (2020). Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap alih fungsi lahan
di kota samarinda. Inovasi, 16(2), 299-308.
Osok, R. M., Talakua, S. M., Supriadi, D. (2018). Penetapan Kelas Kemampuan Lahan dan Arahan
Rehabilitasi Lahan DAS Wai Batu Merah Kota Ambon Provinsi Maluku. AGROLOGIA, 7(1),
32–41
Luther Sefle, S. E. (2013). Klasifikasi Kemampuan Lahan dengan Menggunakan Sistem Informasi
Geografis di Kecamatan Lolak Kabupaten Bolaang Mongondow. Cocos, 2(4): 1-14.
Arsyad, S., 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua Cetakan Kedua. Institut Pertanian Bogor
Press, Bogor.
Suni, M. A., Muis, H., Arianingsih, I., Misra, M., dan Baharuddin, R. F. (2023). Analisis dan
Permodelan Spasial Perubahan Tutupan Lahan Di Hutan Produksi Terbatas Kecamatan
Kulawi Kabupaten Sigi. Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan, 10(2), 273-284.
Rahmatsyah, M. S., Juliani, R., dan Tampubolon, T. (2020). Fisika Kelautan. Media Sains
Indonesia.
Suhet. (2014). Sentinel-2 User Handbook. Paris. ESA Standard Document : European Space
Agency.
Suni, M. A., dan Baharuddin, R. F. (2023). Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Hutan Produksi
Terbatas Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi. BULLET: Jurnal Multidisiplin Ilmu, 2(1), 77
84.
Maullana, D. A., dan Darmawan, A. (2014). Perubahan penutupan lahan di taman nasional way
kambas. Jurnal Sylva Lestari, 2(1), 87-94.

Anda mungkin juga menyukai