Anda di halaman 1dari 15

MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus)

Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Mikrobiologi Medik

Disusun oleh:
KELOMPOK 5

Khalisa Aqeela Putri 11621009


Shafira Navra Darmawan 11621019
Anien Aulia Hanifa 11621027
Muhammad Dzulfahmi Putra 11621028
Devi Chintana O.S.P 11621035
Alya Izzaty 11621040

SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................1

ABSTRAK................................................................................................................................2

DESKRIPSI SINGKAT PENYAKIT..........................................................................................3

MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus).............................................................5


A. Nama Patogen..............................................................................................................6
B. Struktur Patogen...........................................................................................................6
C. Fungsi Komponen Mikroba...........................................................................................7
D. Patogenisitas.................................................................................................................9
E. Metode Diagnosis........................................................................................................10
1. Konvensional...........................................................................................................10
2. Non-konvensional....................................................................................................12

REFERENSI...........................................................................................................................13

1
ABSTRAK

MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus) merupakan bakteri Staphylococcus


aureus yang terdapat suatu mutasi pada protein pengikat. Selain itu MRSA bersifat multi
resisten terhadap beberapa antibiotik, sehingga sulit untuk ditangani. Tujuan dari laporan ini
adalah untuk mempelajari infeksi MRSA, struktur MRSA, patogenisitas, dan metode
diagnosis MRSA. Kesimpulan dalam laporan ini adalah infeksi MRSA umumnya dibagi
menjadi dua yaitu CA-MRSA dan HA-MRSA. Untuk struktur dan patogenisitasnya sama
dengan staphylococcus aureus namun resistensi terhadap methicillin dan antimikroba lainnya.
Metode diagnosisnya menggunakan agar MSA, VJA, IMViC, PCR, dan pewarnaan gram.

Kata kunci : MRSA, resistensi, antibiotik, Staphylococcus aureus

2
DESKRIPSI SINGKAT PENYAKIT

Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang sel-selnya berbentuk


kokus dan mirip seperti anggur. Bakteri Staphylococcus aureus telah lama
menjadi penyebab berbagai infeksi, umumnya infeksi kulit dan jaringan, tetapi
Staphylococcus aureus juga menjadi penyebab terjadinya sepsis, infeksi
endovaskular, dan pneumonia. Pada tahun 1959, ditemukan antibiotik penisilin
yang bisa dengan mudah mengobati infeksi dari Staphylococcus aureus. Namun
dua tahun kemudian ditemukan kasus pertama infeksi Staphylococcus aureus
yang resisten terhadap antibiotik metisilin, yang kemudian lebih dikenal dengan
galur Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).

Secara umum, infeksi MRSA dibagi menjadi dua jenis, yaitu Hospital Acquired
MRSA (HA-MRSA) dan Community Acquired MRSA (CA-MRSA) (Kurniyanto
dkk, 2018). Dikatakan HA-MRSA apabila resisten terhadap ≥ 3 antibiotik
golongan non beta-laktam, dan dikatakan CA-MRSA apabila resisten terhadap ≤
2 antibiotik golongan non beta-laktam. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
varian HA-MRSA lebih multiresisten terhadap banyak antibiotik, sedangkan
varian CA-MRSA masih sensitif terhadap antibiotik golongan non beta-laktam.

Hospital Acquired MRSA (HA-MRSA) adalah infeksi MRSA yang didapatkan di


sekitar lingkungan rumah sakit. Di rumah sakit, tempat yang memiliki resiko
tinggi terkontaminasi MRSA adalah kamar bedah, kamar perawatan bayi baru
lahir, dan bagian ruangan kemoterapi untuk kanker. Keberadaan MRSA di rumah
sakit menjadi penyebab pneumonia, infeksi pasca operasi, dan infeksi nosokomial
lainnya. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di lingkungan rumah sakit.
Infeksi nosokomial bisa terjadi pada pasien, perawat, dokter, dan pekerja serta
pengunjung rumah sakit

Jika telah muncul di rumah sakit, MRSA akan sulit diatasi. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa setelah MRSA masuk rumah sakit, laju infeksi nosokomial
oleh MRSA meningkat secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan pemakaian
antibiotik yang tidak rasional seperti dosisnya yang terlalu tinggi atau
ketidaksesuaian indikasi. Hal lain yang menyebabkan MRSA sulit diatasi adalah
MRSA multiresisten terhadap banyak antibiotik dan penyebarannya yang tinggi
melalui kontak langsung antara pasien dan tenaga kesehatan. Selain kontak
langsung penyebaran MRSA bisa menyebar lewat alat medis seperti stetoskop,
tiang infus, meja instrument, gunting, dan benda lainnya seperti sprei dan pakaian.

3
Menurut data yang dikumpulkan oleh Badan Penelitian dan Kualitas Kesehatan
AS, di Amerika Serikat, pada tahun 2011, terdapat hampir 460.000 pasien yang
terpapar MRSA ketika sedang menjalani rawat inap di rumah sakit. Ding W
(dalam Erlin 2020:138) menegaskan hampir 23.000 orang mengalami kematian
yang diakibatkan oleh MRSA.

Community Acquired MRSA (CA-MRSA) adalah infeksi MRSA yang ditemukan di


komunitas masyarakat seperti populasi tunawisma, narapidana di lembaga
pemasyarakatan, barak tentara, ruang ganti atlet, dan di pusat penitipan anak-anak.
Infeksi CA-MRSA banyak terjadi di kulit dan jaringan lunak, kulit terbuka akibat
luka bakar atau luka bekas gigitan serangga, abses, jerawat merupakan tempat
berkembang yang baik untuk CA-MRSA. Setelah menginfeksi jaringan kulit, CA-
MRSA bisa masuk ke peredaran darah dan menginfeksi bagian tubuh lainnya
sehingga penyakit serius akan timbul secara meluas.

Faktor virulensi utama pada CA-MRSA adalah keberadaan toksin panton valentin
leucocidin (PVL) dan phenol soluble modulin (PSM). PVL menyebabkan
terjadinya destruksi leukosit dan necrotizing pneumonia yang angka mortalitasnya
lebih dari 40%, sedangkan PSM berperan dalam peningkatan virulensi kuman.
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 2002 membuktikan
sekitar 60-100% infeksi CA-MRSA membawa gen PVL, sedangkan HA-MRSA
hanya membawa 4% gen PVL (Kurniyanto dkk, 2018). Maka dari itu, morbiditas
dan mortalitas yang ditimbulkan oleh CA-MRSA dianggap lebih beresiko
dibanding HA-MRSA. Komplikasi fatalnya adalah sepsis dan sindrom syok
toksik.

MRSA bisa dicegah dengan selalu menerapkan kebiasaan hidup bersih, baik di
lingkungan maupun di rumah sakit. Ketika berada di rumah sakit, senantiasa
untuk rutin mengganti sprei dan pakaian, tidak sembarangan memegang alat-alat
medis, dan rutin menggunakan antiseptik. Dan ketika berada di kerumunan orang,
rajin untuk mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau menggunakan
hand sanitizer , menggunakan siku atau tisu untuk menutup mulut dan hidung
ketika sedang batuk dan bersin, sebisa mungkin tidak berbagi benda pribadi
dengan orang lain seperti alat makan, sikat gigi dan alat mandi lainnya, dan
menjaga luka agar tetap dan tertutup

4
MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus)

A. Nama Patogen
MRSA atau Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Merupakan
bakteri patogen nosokomial Staphylococcus aureus yang mempunyai
mutasi pada protein pengikat penicillin. Staphylococcus aureus yang
resisten methicillin (MRSA) adalah strain Staphylococcus aureus (S.
aureus) yang tahan terhadap antibiotik penisilin isoksazolil seperti
methicillin, oxacillin, cefoxitin, dan flukloksasilin. Staphylococcus yang
resisten methicillin aureus juga resisten silang terhadap semua beta-laktam
antibiotik.

B. Struktur Patogen
Staphylococcus aureus merupakan suatu mikroorganisme Gram positif
yang mempunyai ciri morfologi kokus individu dengan diameter 0,5-0,7
m. Organisme ini dapat hidup sendiri-sendiri, berpasangan, atau dalam
rantai pendek dengan kecenderungan kuat untuk membentuk kelompok.
Untuk dapat membedakan S aureus dari spesies lain, dapat dilakukan uji
katalase, yang membedakan S. aureus dari streptococcus negatif katalase,
uji koagulase terikat (sering disebut sebagai faktor penggumpalan karena
bereaksi dengan fibrinogen untuk menyebabkan agregasi organisme), yang
dapat digunakan untuk membedakan antara S. aureus dan S. epidermidis,
dan yang terakhir adalah uji koagulase ekstraseluler lain, yang juga
disebut sebagai koagulase bebas, bereaksi dengan protrombin untuk
membentuk staphylothrombin yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin
(efek yang mirip dengan trombin). Sekitar 97% isolat S. aureus manusia
memiliki kedua bentuk koagulase. Selain itu, lebih dari 95% isolat
Staphylococcus aureus menghasilkan protein A yang dapat berasosiasi
dengan sel dan/atau ekstraseluler.

5
Gambar 1. Struktur Staphylococcus aureus
(Sumber: Sandi, N. A., Salasia, S. I. O., & Macphillamy, I. B. J. (2015). Advanced Science, 2(10).
https://doi.org/10.1002/advs.v2.10 )

Gambar 2. MRSA
(Sumber: Chew, J., Peh, S.-C., & Sin Yeang, T. (2019). Non-microbial natural products that
inhibit drug-resistant Staphylococcus aureus. Staphylococcus Aureus.
https://doi.org/10.5772/intechopen.74588 )

MRSA terdiri dari berbagai komponen yaitu efflux pump, PBP 2a, piruvat
kinase, membran sel, DNA topoisomerase IV, FtsZ, dan dinding sel.
Terdapat modifikasi efflux pump dan PBP2a yang menjadi faktor resisten
terhadap methicillin dan golongan antibiotik beta-laktam.

6
C. Fungsi Komponen Mikroba

1. Dinding sel S. aureus, merupakan dinding sel yang susunan


utamanya merupakan peptidoglikan karena S. aureus merupakan
bakteri gram positif. Peptidoglikan yang dimiliki S. aureus
memiliki ketebalan yang berkisar 20-30nm dan dapat menjadi
agen yang dapat membuat bakteri menempel pada calon sel inang.
2. Membran sel memiliki peran untuk memberikan bentuk dan
stabilitas bagi mikroorganisme dan menyumbang 50% dari berat
dinding sel.
3. Asam teikoat merupakan penyusun dinding sel lain yang
terdiri dari poliribitol dan poligliserol fosfat dan polimer yang
mengandung gula
dan mewakili 40% dari berat dinding sel berkontribusi juga dalam
memberi bentuk sel.
4. Konstituen lainnya termasuk protein pengikat fibronektin,
faktor penggumpalan, dan protein pengikat kolagen berkontribusi
terhadap perlekatan sel dan matriks pada sel inang, membantu
invasi bakteri, dan menghindari kekebalan respon dipasang oleh
host cell.
5. Piruvat kinase merupakan enzim yang dapat mengkatalisis
dan mengkonversi phospoenolpiruvat dan ADP menjadi piruvat
dan ATP dalam proses glikolisis. Piruvat kinase juga
berkontribusi dalam regulasi metabolisme sel.
6. Efflux pump adalah suatu kemampuan pengaturan yang
dapat membuat suatu mikroorganisme mengeluarkan zat toksin,
antimikroba yang dideteksi oleh mikroba sebagai sel yang dapat
mengganggu homeostasis mikroba tersebut.
7. PBP2a merupakan peptidoglikan transpeptidase yang
memungkinkan Staphylococcus aureus dapat mengkatalisis
dinding sel dengan adanya antibiotik-laktam, sehingga
memungkinkan Staphylococcus aureus resisten terhadap
methicillin dan antibiotik beta laktam
8. DNA topoisomerase IV berfungsi sebagai pengurai
kromosom DNA.
9. FtsZ merupakan suatu protein yang dapat memimpin
jalannya pembelahan sel pada bakteri.
10. S. aureus menghasilkan sejumlah toksin dan enzim yang
diduga sebagai faktor patogen. Enzim tersebut antara lain

7
katalase, koagulase, faktor penggumpalan, hyaluronidase, -
laktamase, dan lain-lain.

D. Patogenisitas
MRSA biasanya menyebar di masyarakat melalui kontak dengan orang
yang terinfeksi atau hal-hal yang membawa bakteri. Ini termasuk melalui
kontak dengan luka yang terkontaminasi atau dengan berbagi barang-
barang pribadi, seperti handuk atau pisau cukur, yang telah menyentuh
kulit yang terinfeksi.

1. Patogenisitas Hospital Acquired MRSA (HA-MRSA)


Sejauh ini, patogenisitas HA-MRSA belum dapat dijelaskan.
Berdasarkan sumber yang didapat, hasil penelitian terkait HA-
MRSA hanya dapat menjelaskan bagaimana resistensi muncul pada
HA-MRSA. Resistensi yang muncul pada HA-MRSA diberikan
oleh gen mecA, yang mengkode protein pengikat penisilin
(PBP2A) dengan penurunan afinitas terhadap antibiotik -laktam.
MecA merupakan salah satu bagian dari elemen genetik seluler
yang juga dapat disebut sebagai “staphylococcal cassette
chromosome (SCC) mec.” SSCmec ini terdiri dari tipe I-III Tipe
satu yang dapat mengkode satu gen resisten antibiotik dan tipe II-
III yang mengkode banyak gen resisten antibiotik. Resistensi yang
dihasilkan oleh gen ini memungkinkan bakteri bertahan hidup dan
meyebabkan infeksi.

2. Patogenisitas Community Acquired MRSA (CA-MRSA)


Patogenisitas CA-MRSA sampai saat ini secara spesifik
belum dapat diketahui. Bahkan dasar peningkatan virulensi galur
CA-MRSA belum sepenuhnya dipahami. Terdapat satu faktor yang
diduga menjadi faktor virulensi utama dari CA-MRSA. Virulensi
CA-MRSA diduga memiliki hubungan epidemiologis yang kuat
dengan PVL. Dua komponen toksin, ketika disuntikkan ke kelinci
atau tikus, menghasilkan peradangan dan nekrosis yang signifikan
dan telah menunjukkan kemampuan untuk menginduksi sitolisis
neutrofil apoptosis atau sekresi molekul proinflamasi tergantung
pada kondisi kultur. Namun, demonstrasi langsung dari peran
virulensi telah bertentangan Labandeira-Rey et al menunjukkan
PVL adalah penentu virulensi utama dalam model pneumonia
nekrotikans tikus menggunakan strain laboratorium di mana vektor

8
pengekspresi PVL diperkenalkan. Sebaliknya, Voyich et al. dan
Bubeck Wardenburg dkkc menggunakan mutan PVL di latar
belakang USA300 dan USA400 dan tidak menemukan perbedaan
atau efek perlindungan yang diberikan oleh PVL. Demonstrasi
yang bertentangan ini diduga disebabkan karena tikus yang
menjadi model kurang sensitif dibandingkan dengan inang manusia
karena leukosit tikus, target aktivitas PVL, menunjukkan
sensitivitas yang berkurang terhadap lisis PVL dibandingkan
dengan leukosit manusia atau PVL merupakan penanda untuk
faktor virulensi lain yang ada dalam galur CA-MRSA. Studi-studi
ini menunjukkan bahwa hubungan PVL dengan peningkatan
virulensi CA-MRSA adalah kompleks dan kontroversial dan
memerlukan penyelidikan lebih lanjut.

E. Metode Diagnosis

Untuk melakukan diagnosis MRSA pada pasien dapat dilakukan


menggunakan dua cara yaitu konvensional dan nonkonvensional. Kedua
metode ini memiliki cara yang berbeda serta kelebihan dan kekurangannya
masing-masing.

1. Konvensional

Dalam identifikasi atau diagnosis suatu penyakit menggunakan


metode konvensional dilakukan pengambilan sampel biologis lalu
dilakukan isolasi dan pengkayaan sampel yang akan diuji. Pada
MRSA, sampel umumnya diambil dari swab pada rongga hidung,
tenggorokan, atau daerah perineum. Hal ini dilakukan karena
MRSA pada umumnya menyerang bagian mukosa tubuh seperti
rongga hidung (anterior nares), tenggorokan, rectum, dan beberapa
bagian pada kulit seperti ketiak, selangkangan, dan perineum.

Pada umumnya, identifikasi MRSA dilakukan dengan pengambilan


sampel di berbagai lokasi dan diuji secara bersamaan untuk
mengurangi biaya yang dikeluarkan. Sampel perlu diambil dari
berbagai lokasi pada bagian tubuh manusia untuk membantu dalam
diagnosis agar sampel yang didapatkan cukup dan memenuhi
syarat. Namun, metode ini memiliki kekurangan dimana pustaka
yang tersedia memiliki daerah pengambilan sampel yang berbeda-

9
beda tanpa adanya hasil individual dari daerah pengambilan
sampel.

Sampel biologis diisolasi di media agar lalu single colony diambil


dan dilakukan pengkayaan pada media seperti blood agar. Setelah
itu, dilakukan identifikasi mikroba menggunakan media agar
selektif yang dapat mendeteksi adanya Staphylococcus aureus.
Media agar yang dapat digunakan dalam pendeteksian
Staphylococcus aureus contohnya adalah MSA dan VJA. Pada
media VJA akan didapati koloni berwarna hitam dan pada media
MSA akan didapati koloni berwarna kuning. Setelah itu dapat juga
dilakukan uji biokimia seperti IMViC maupun pewarnaan Gram.

Gambar 2. Koloni Staphylococcus aureus pada media VJA

Gambar 3. Koloni Staphylococcus aureus pada media MSA


(Sumber: Ghias W., et al. (2016). Isolation and identification of Methicillin and
Vancomycin Resistance Staphylococcus aureus From Pus Samples of Injured
Skin Patients in Lahore, Pakistan)

10
Setelah dilakukan identifikasi mikroba, untuk MRSA perlu diuji
sensitivitasnya akan antibiotik metisilin. Pengujian sensitivitas
MRSA terhadap antibiotik ini dilakukan dengan metode disk
diffusion dan diukur diameter hambatnya. Jika diameter hambat
yang ditemukan menunjukkan hasil resisten saat dibandingkan
dengan pustaka, maka sampel yang diambil dapat disimpulkan
mengandung mikroba MRSA. Proses identifikasi mulai dari isolasi
sampel hingga pengujian sensitivitas mikroba terhadap antibiotik
membutuhkan waktu dua hingga lima hari. Hal ini menunjukkan
salah satu kekurangan metode konvensional. Metode ini
membutuhkan banyak waktu untuk identifikasinya sehingga
kurang cocok untuk pengujian yang membutuhkan hasil yang
cepat.

Gambar 4. Hasil disk diffusion MRSA terhadap oxacillin (methicillin)

(Sumber: Pillai M.M., et al. (2012). Detection of Methicillin Resistance in


Staphylococcus Aureus by Polymerase Chain Reaction and Conventional
Methods: A Comparative Study)

2. Non-konvensional

Identifikasi MRSA dengan cara non-konvensional dapat dilakukan


dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Metode PCR
dapat dilakukan untuk mendapat hasil dengan waktu eksekusi dan
waktu menunggu (turnaround time) yang lebih singkat
dibandingkan dengan metode konvensional. Selain turnaround
time yang lebih singkat, PCR juga dapat meningkatkan sensitivitas

11
dan spesifisitas tes diagnostik, yang bisa memudahkan deteksi dini
MRSA pada pasien dan membantu kontrol infeksi, juga
pencegahan. Methicillin Staphylococcus aureus dapat dikode
dengan gen mecA karena menghasilkan Penicillin Binding Protein
yang memiliki afinitas rendah terhadap metisilin, sehingga dapat
terjadi resistensi. Oleh karena itu, salah satu gen yang akan
digunakan untuk amplifikasi pada PCR adalah mecA dan nuc
secara bersamaan pada reaksi PCR.

PCR secara umum dilakukan dengan mencampurkan air PCR,


DNA template, dan reagen PCR yang telah di termostabilisasi pada
tabung PCR untuk membuat master mix. Lalu, selain ditambahkan
DNA template untuk DNA sampel, dibuat juga kontrol positif
untuk memastikan integritas proses PCR dan kontrol negatif untuk
memastikan tidak ada DNA yang terkontaminasi. Proses PCR akan
berlangsung dalam thermocycler yang diawali dengan denaturasi
awal 1 siklus pada suhu 94℃ selama 3 menit, 30 siklus denaturasi
pada suhu 94℃ selama 30 detik, annealing pada suhu 60℃ selama
30 detik, elongasi pada suhu 72℃ selama 30 detik, dilanjutkan
dengan siklus tambahan annealing pada suhu 60℃ selama 30
detik dan elongasi terakhir pada suhu 72℃ selama 5 menit.
Amplifikasi produk PCR dilakukan dengan elektroforesis gel
agarosa yang diwarnai dengan EtBr (Ethidium Bromide) lalu
divisualisasi dibawah sinar UV.

12
REFERENSI

Chew, J., Peh, S.-C., & Sin Yeang, T. (2019). Non-microbial natural
products that inhibit drug-resistant Staphylococcus aureus.
Staphylococcus Aureus. https://doi.org/10.5772/intechopen.74588

Erikawati, D., Santosaningsih, D., Santoso, S. (2016, Agustus). Tingginya


Prevalensi MRSA pada Isolat Klinik Periode 2010-2014 di RSUD Dr.
Saiful Anwar Malang, Indonesia. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 29, 150

Erlin, E., Rahmat, A., Redjeki, S., Purwianingsih, S. (2020, Juli). Deteksi
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) sebagai Penyebab
Infeksi Nosokomial pada Alat-Alat di Ruang Perawatan Bedah. Quangga:
Jurnal Pendidikan dan Biologi, 12, 137-138.

Fatmawati, N.N., Prajawaty, P.A. (2018, Desember). Deteksi Molekuler


MecA Pada Isolat Klinis Methycilin Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) dengan Menggunakan Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)
di RSUP Sanglah Denpasar, 75-76

French G.L. (2009). Methods for screening for methicillin-resistant


Staphylococcus aureus carriage. European Society of Clinical
Microbiology and Infectious Diseases, CMI, 15 (Suppl. 7), 10–16.

Ghias W., et al. (2016). Isolation and identification of Methicillin and


Vancomycin Resistance Staphylococcus aureus From Pus Samples of
Injured Skin Patients in Lahore, Pakistan

Gordon, J & Franklin, D. (2008). Pathogenesis of Methicillin-Resistant


Staphylococcus aureus Infection. Journal of Clinical Infectious Disease,
46, S353 - S356.

Hasan, H., Ravichandran, M. et al (2013, Agustus). Rapid Detection of


Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus by a Newly Developed Dry
Reagent-Based Polymerase Chain Reaction Assay, Journal of
Microbiology, Immunology and Infection, 485-487.

13
Kurniyanto., Santoso, D.W., Nainggolan, L., Kurniawan, J. (2018).
Perbedaan Nilai Hitung Neutrofil Absolut antara Infeksi Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus yang Berasal dari Rumah Sakit dengan
yang dari Komunitas. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 5, 170.

Lee, A., de Lencastre, H., Garau, J. et al. (2018). Methicillin-resistant


Staphylococcus aureus. Nat Rev Dis Primers 4, 18033
https://doi.org/10.1038/nrdp.2018.33

Liu. G. (2009). Molecular Pathogenesis of Staphylococcus aureus


Infection. Journal of Pediatric Research, 65, 73R - 74R.

Nurkusuma, D. D. (2009). Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian


Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada Kasus Infeksi
Luka Pasca Operasi di Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter
Kariadi Semarang, 30-34.

Pillai M.M., et al. (2012). Detection of Methicillin Resistance in


Staphylococcus aureus by Polymerase Chain Reaction and Conventional
Methods: A Comparative Study

Turner, N.A., Sharma-Kuinkel, B.K., Maskarinec, S.A. et al. (2019).


Methicillin-resistant Staphylococcus aureus: an overview of basic and
clinical research. Nat Rev Microbiol 17, 203–218.
https://doi.org/10.1038/s41579-018-0147-4

14

Anda mungkin juga menyukai