Anda di halaman 1dari 30

Kepada Yth : Referat Infeksi Tropis

Rencana Baca : Selasa, 8 Oktober 2019, 08.00 WITA


Tempat : Ruang Pertemuan RSP Gedung A Lt. 4

METHICILLIN-RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA)


Ivonne Desiana, Irda Handayani, Benny Rusli
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Patologi Klinik FK UNHAS
Makassar

I. PENDAHULUAN
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan strain
dari bakteri S. aureus yang menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
dunia. Angka mortalitas infeksi MRSA dua kali lebih besar dibandingkan infeksi
strain Methicillin-Susceptible Staphylococcus aureus (MSSA). Bakteri MRSA telah
resisten dengan semua antibiotik golongan β-laktam yaitu penisilin (methicillin,
oxacillin, nafcillin) dan sefalosporin (kecuali ceftaroline dan ceftobiprole).
Antibiotik yang masih sensitif terhadap bakteri MRSA yaitu vancomycin dan
beberapa antibiotik lain yang sedang berkembang seperti linezolid, tigecycline,
quinupristin-dalfopristin, daptomycin, ceftaroline, dan ceftobiprole.1,2,3
Bakteri S. aureus termasuk bakteri gram positif, berbentuk coccus,
termasuk ke dalam famili Micrococcaceae dan sering tampak berkelompok seperti
buah anggur. Bakteri ini bersifat katalase dan koagulase positif yang
membedakannya dengan spesies bakteri Staphylococcus lainnya, non-motil, dapat
hidup baik dalam lingkungan aerob maupun fakultatif anaerob, dan tumbuh pada
nutrient agar (NA) berpepton serta dapat menghemolisis sel-sel darah serta pigmen
jingga atau kuning pada agar tertentu. Medium selektif untuk bakteri ini
menggunakan larutan manitol yang mengandung 7,5-10% natrium klorida
(NaCl).4,5

Gambar 1. Bakteri S. aureus pada pemeriksaan kultur darah dan dilihat di bawah mikroskop
pembesaran 1000x: tampak bakteri S. aureus gram positif yang berbentuk coccus, berpasangan, dan
berkelompok seperti buah anggur.6
(Sumber: Staphylococcus aureus. Basic Medical Microbiology. 2018)

Referat Infeksi Tropis/MRSA 1


Bakteri S. aureus merupakan penyebab terbanyak masalah kesehatan yang
berkaitan dengan infeksi termasuk mengenai resistensinya terhadap antibiotik.
Dimulai dari tahun 1950, bakteri S. aureus yang resisten penisilin menjadi
penyebab utama kasus infeksi di rumah sakit. Sekitar sepuluh tahun kemudian yaitu
antara tahun 1959-1960, penisilin semi-sintetik diperkenalkan yaitu methicillin
yang kerjanya tidak dapat dipengaruhi oleh enzim beta laktamase sehingga dapat
digunakan sebagai terapi infeksi bakteri S. aureus yang resisten penisilin. Akan
tetapi, dalam beberapa tahun kemudian, kembali dilaporkan adanya kasus infeksi
bakteri S. aureus yang tidak lagi respon terhadap antibiotik methicillin yang
sekarang dikenal dengan istilah MRSA. Insiden kasus MRSA kemudian semakin
berkembang dengan pesat dan menjadi penyebab utama infeksi nosokomial di
rumah sakit. Tahun 1980 diperkenalkan antibiotik golongan fluorokuinolon sintetis
sebagai terapi MRSA. Akan tetapi, dalam setahun, sekitar 80% strain bakteri
MRSA menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut dan akhirnya terpilih antibiotik
vancomycin sebagai usaha terakhir untuk mengatasi infeksi bakteri MRSA
walaupun dapat menimbulkan efek samping yang serius, resistensi, dan harganya
yang mahal.7,8
Resistensi bakteri MRSA terhadap antibiotik vancomycin dimulai dari
beberapa strain dari bakteri MRSA yang telah resisten terhadap antibiotik
Vancomycin dosis reguler dan disebut Vancomycin-Intermediate Staphylococcus
aureus (VISA) sehingga pada kasus ini membutuhkan terapi antibiotik Vancomycin
dengan dosis yang lebih tinggi. Selain itu, ada juga strain dari S. aureus yang telah
resisten dengan antibiotik Vancomycin dosis tinggi dan disebut Vancomycin-
Resistant Staphylococcus aureus (VRSA). Kasus VRSA pertama kali ditemukan di
Jepang tahun 1996 kemudian dilaporkan juga telah terjadi di United States
beberapa bulan kemudian.1,7

II. EPIDEMIOLOGI
Insiden global infeksi MRSA termasuk tinggi yaitu sekitar 80.000 kasus
yang dilaporkan terjadi tiap tahun di United States dan dari beberapa negara, baik di
daerah rural maupun urban, terutama di India dilaporkan terjadi peningkatan

Referat Infeksi Tropis/MRSA 2


prevalensi (outbreak) infeksi MRSA yang dimulai sekitar tahun 1990-an. Kejadian
outbreak infeksi MRSA ini terjadi pada berbagai macam kelompok, mulai dari
tahanan penjara, atlet, sampai pengguna obat-obatan. Faktor risiko terjadinya
outbreak dari infeksi MRSA ini, antara lain kondisi higiene yang buruk, kontak
langsung, dan kulit yang luka. Infeksi MRSA ini disebut Community Associated-
MRSA (CA-MRSA) karena terjadi pada kelompok masyarakat (Gambar 2).5,9,10

Gambar 2. Insiden kasus MRSA tahun 2005-2014 di USA.10


(Sumber: Incidence, prevalence, and management of MRSA bacteremia across patient populations – a review of recent
development in MRSA management and treatment. Critical Care. 2017)

Hingga tahun 1990, kasus MRSA jarang disebabkan oleh strain CA-
MRSA murni tanpa adanya pajanan dari tempat pelayanan kesehatan, kecuali pada
pengguna obat-obatan injeksi. Outbreak kasus CA-MRSA mulai terjadi dari tahun
1989-1991 di Australia Barat dan di United States pada akhir tahun 1990. Empat
anak meninggal akibat infeksi CA-MRSA di Minnesota dan Dakota Utara dari
tahun 1997-1999. Semua kasus berhubungan dengan necrotizing pneumonia atau
abses paru dan sepsis.8
Kasus infeksi CA-MRSA kemudian semakin meningkat disertai prevalensi
kasus infeksi Hospital-Acquired MRSA atau Healthcare-Associated MRSA (HA-
MRSA) yang menurun dalam beberapa tahun terakhir dan strain yang berperan
dalam infeksi CA-MRSA mulai masuk ke lingkungan pelayanan kesehatan
sehingga strain yang menyebabkan infeksi CA-MRSA dan HA-MRSA semakin
sulit dibedakan.8,9
Prevalensi infeksi MRSA di Indonesia pada tahun 2006 berada pada angka
23,5%. Penelitian yang dilakukan oleh Wildana dkk tentang resistensi MRSA di
Instalasi Rawat Inap RS Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Juli 2008 – Juni

Referat Infeksi Tropis/MRSA 3


2009 yaitu dari 1082 hasil kultur, ditemukan Staphylococcus aureus sebanyak 5,2%
yang terdiri dari MSSA (Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus) sebanyak
51,8% dan MRSA sebanyak 48,2%. Semua isolat MRSA yang diuji adalah
multiresisten (resisten terhadap tiga atau lebih antibiotik) tetapi 96% masih sensitif
terhadap vancomycin.11

III. MEKANISME RESISTENSI ANTIBIOTIK


Beberapa jenis bakteri memiliki mekanisme resistensi intrinsik terhadap
golongan antibiotik tertentu, misalnya bakteri anaerob obligat yang resisten
terhadap antibiotik golongan aminoglikosida dan bakteri gram negatif yang resisten
terhadap antibiotik vancomycin. Selain mekanisme resistensi intrinsik, bakteri yang
awalnya sensitif terhadap antibiotik tertentu juga bisa menjadi resisten karena
adanya mekanisme resistensi ekstrinsik atau yang didapat. Mekanisme resistensi ini
dapat berkembang dari adanya mutasi gen atau ditemukannya gen baru. Gen baru
yang menyebabkan terjadinya resistensi ini biasanya menyebar dari sel ke sel
melalui elemen genetik yang mobile, seperti plasmid, transposon, dan bakteriofag.12
Terdapat beberapa mekanisme terjadinya resistensi antibiotik oleh bakteri,
yaitu:13
A. Perlindungan terhadap Penetrasi Antibiotik ke dalam Mikroba
Bakteri gram negatif relatif lebih resisten terhadap antibiotik karena
struktur alami dari dinding selnya yang membatasi absorpsi molekul-molekul
yang bergerak masuk melalui porin yang terbuka. Hal ini dapat juga
ditemukan pada bakteri yang mutan di mana akan terjadi modifikasi dalam
pembukaan porin sehingga antibiotik tidak dapat masuk ke dalam mikroba.
B. Destruksi atau Inaktivasi Antibiotik oleh Enzim Mikroba
Destruksi atau inaktivasi antibiotik oleh enzim-enzim yang dihasilkan
oleh mikroba paling sering didapatkan pada golongan antibiotik produk alami
seperti penisilin dan sefalosporin, dibandingkan pada golongan antibiotik
sintetik seperti fluorokuinolon. Antibiotik golongan penisilin atau
sefalosporin dan juga karbapenem memiliki struktur cincin beta laktam yang
menjadi target enzim beta laktamase bakteri.

Referat Infeksi Tropis/MRSA 4


C. Perubahan Molekul Target Antibiotik
Sintesis protein bakteri melibatkan pergerakan ribosom sepanjang
rantai messenger RNA (mRNA). Beberapa antibiotik seperti golongan
aminoglikosida, tetrasiklin, dan macrolide dapat menghambat proses sintesis
protein sehingga modifikasi minor pada proses ini dapat menetralkan efek
dari antibiotik golongan ini tanpa mengganggu fungsi seluler.
D. Efluks (Ejeksi) Cepat Antibiotik
Bakteri normalnya mempunyai pompa untuk mengeliminasi toksin-
toksin dari dalam tubuhnya. Beberapa protein pada membran plasma bakteri
gram negatif dapat bekerja sebagai pompa yang memaksa antibiotik keluar
dari dalam sel bakteri sehingga menahan antibiotik mencapai konsentrasi
yang efektif untuk bekerja.

Gambar 3. Ilustrasi Mekanisme Resistensi Antibiotik.13


(Sumber: Antimicrobial Drugs: Resistance to Antimicrobial Drugs. Microbiology: An Introduction. 13th Edition. 2019)

Mekanisme utama bakteri untuk resisten terhadap kerja antibiotik adalah


dengan menginaktivasi dan mengganggu kerja antibiotik, atau meningkatkan
produksi dari target seluler antibiotik melalui mutasi gen dari target protein atau
perkenalan gen baru yang mengkode target yang tidak sensitif terhadap obat, gagal
dalam mengkonversi derivat obat inaktif menjadi aktif, dan melalui mekanisme
efluks aktif. Mekanisme spesifik resistensi bakteri terhadap berbagai macam kerja
antibiotik dapat dilihat pada tabel dan gambar di bawah ini (Tabel 1, Gambar 3).12

Referat Infeksi Tropis/MRSA 5


Tabel 1. Mekanisme Kerja dan Resistensi berbagai jenis Antibiotik.12
Kode Golongan/Nama Target Mekanisme
Mekanisme Resistensi
Antibiotik Antibiotik Seluler Kerja
1. Inaktivasi oleh β-laktamase
β-laktam 2. Modifikasi PBP
Dinding Inhibisi sintesis
A (Penisilin dan 3. ↓ permeabilitias pada OM
sel dinding sel
Sefalosporin) bakteri gram negatif
4. Efluks Aktif
Menambahkan
Dinding susunan asam Substitusi susunan asam
B Vancomycin
sel amino baru pada amino terminal PG
dinding sel
Berikatan dengan 1. Metilasi ribosom dan
Macrolide Sintesis
C subunit ribosom mutasi rRNA 23S.
(eritromisin) protein
50S 2. Efluks aktif
1. Inaktivasi oleh enzim
Berikatan dengan
Sintesis chloramphenicol
D Kloramfenikol subunit ribosom
protein acetyltransferase
50S
2. Efluks aktif
Berikatan dengan
Sintesis 1. Efluks aktif
E Tetrasiklin subunit ribosom
protein 2. Insensitivitas target
30S
1. Inaktivasi oleh enzim
aminoglycoside-modifying
Berikatan dengan
Aminoglikosida Sintesis enzyme
F subunit ribosom
(gentamisin) protein 2. ↓ permeabilitas OM bakteri
30S
gram negatif
3. Efluks aktif
Sintesis Inhibisi isoleusin Mutasi gen atau perkenalan
G Mupirosin
protein tRNA sintetase gen target yang baru
Quinopristin- Berikatan dengan 1. Metilasi ribosom
Sintesis
H dalfopristin subunit ribosom 2. Efluks aktif
protein
(Synercid) 50S 3. Inaktivasi obat
Berikatan dengan
Sintesis
I Linezolid subunit ribosom Mutasi rRNA 23S
protein
50S
Insensitivitas target oleh
Inhibisi enzim dihydropteroate synthetase
Sulfonamid dan Metabolis-
J dalam biosintesis (sulfonamid) dan
Trimetoprim me sel
asam folat dihydrofolate reductase
(trimetoprim)
Sintesis Inhibisi DNA-
K Rifampisin asam dependent RNA Mutasi gen polimerase
nukleat polymerase
Sintesis
L Metronidazol asam Merusak DNA Belum diketahui
nukleat

Referat Infeksi Tropis/MRSA 6


Inhibisi DNA
Kuinolon Sintesis girase subunit A 1. Mutasi gen girase
M
(siprofloksasin) DNA dan 2. Efluks aktif
topoisomerase IV
Mengganggu
Membran
N Polimiksin B permeabilitas Belum diketahui
sel
membran
Mengganggu
Membran
O Daptomisin potensial Belum diketahui
sel
membran sel
Keterangan: PBP: Penicillin-binding protein, OM: outer membrane, PG: peptidoglikan
Sumber: Bacterial Infections: Approach to Therapy for Bacterial Diseases. Harrison’s Infectious Diseases. 2015. 19th ed.

Gambar 4. Mekanisme Kerja dan Resistensi Antibiotik (Ac: asetilasi; Ad: adenilasi; DHFR: dihydrofolate
reductase; DHPS: dihydropteroate synthetase; IM: inner (cytoplasmic) membrane; LPS: lipopolisakarida; OM:
outer membrane; P: fosforilasi; PBP: penicillin-binding protein; PG: peptidoglikan).12
(Sumber: Bacterial Infections: Approach to Therapy for Bacterial Diseases. Harrison’s Infectious Diseases. 2015. 19th
edition)

Referat Infeksi Tropis/MRSA 7


IV. ETIOLOGI
Penyebab utama terjadinya MRSA bukan karena adanya inaktivasi oleh
enzim mikroba seperti β-laktamese atau enzim lainnya tetapi karena adanya gen
mecA atau mecC yang berperan dalam modifikasi dari penicillin-binding protein
(PBP) pada membran sel bakteri dengan memproduksi PBP baru yaitu PBP-2a atau
PBP-2c. Antibiotik β-laktam bekerja dengan berikatan terhadap PBP. Jika terjadi
modifikasi dari PBP, akan terjadi penurunan afinitas terhadap antibiotik β-laktam
sehingga bakteri MRSA akan resisten terhadap semua antibiotik golongan β-laktam
termasuk penisilin semi-sintetik.3,4,8,12,13

Gambar 5. Modifikasi PBP oleh Gen mecA.14


(Sumber: The Staphylococcus aureus “superbug”. JCI The Journal of Clinical Investigation. 2004. Available from:
https://doi.org/10.1172/JCI23825)

Gen mecA atau mecC adalah bagian dari elemen genetik besar
Staphylococcal Casette Chromosome (SCC) mec atau SCCmec yang merupakan
hasil rekombinan dari Cassette Chromosome Recombinase genes (ccrA, ccrB atau
ccrC). Karena bersifat mobile, SCCmec dapat bertransmisi secara horizontal pada
intra dan interspecies. Ukuran SCCmec bervariasi antara 20 – 68 kb dan
berdasarkan ukurannya, terdapat beberapa subtipe SCCmec yaitu subtipe I, II, dan
III yang berperan dalam terjadinya infeksi HA-MRSA, serta subtipe IV, V, dan VI
yang ditemukan pada infeksi CA-MRSA. Subtipe I, II, dan III lebih resisten
terhadap berbagai macam antibiotik dibandingkan tipe IV, V dan VI, tetapi ketiga

Referat Infeksi Tropis/MRSA 8


tipe yang terlibat dalam infeksi CA-MRSA ini lebih mudah untuk bertransmisi
karena memiliki daya virulensi yang lebih tinggi dan mengekspresikan beberapa
toksin seperti toksin Panton Valentine Leucocidine (PVL) dan Chemotaxis
Inhibitory Protein (CHIP) (Gambar 5)(Tabel 2).6,8,10,14,15
Tabel 2. Perbedaan CA-MRSA dan HA-MRSA.15
CA-MRSA HA-MRSA
Gen mecA subtipe IV, V, VI. Gen mecA subtipe I, II, III.
Bersifat lebih virulen dan mengekspresikan Bersifat multidrug resistant (tetapi virulensi
beberapa toksin seperti toksin PVL. relatif lebih rendah).
Menyebabkan infeksi kulit dan jaringan lunak Menyebabkan infeksi luka perioperatif dan
invasif seperti necrotizing fasciitis. nosokomial di rumah sakit.
Sumber: Essentials of Medical Microbiology. First Edition. 2016.

V. PATOGENESIS
Bakteri S. aureus merupakan flora normal pada manusia. Sekitar 25-50%
orang sehat memiliki koloni bakteri ini secara persisten atau transien di dalam
maupun permukaan tubuhnya. Faktor-faktor yang berperan penting dalam
perkembangan bakteri S. aureus menjadi infeksius atau patogen meliputi
diskontinuitas atau disintegritas dari lapisan mukosa dan permukaan kulit,
penggunaan benda asing seperti implan, riwayat infeksi virus, riwayat penggunaan
antibiotik, pasien dengan Diabetes Melitus (DM) yang mendapat terapi insulin,
pasien yang menjalani hemodialisis, dan pasien dengan penyakit imunodefisiensi.2,4

Gambar 6. Faktor Patogen Bakteri S. aureus: Struktur dan Produk Sekresi yang berperan sebagai
Faktor Virulensi S. aureus.8
(Sumber: Pathogenesis of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Infection. Clinical Infectious Diseases. 2008)

Referat Infeksi Tropis/MRSA 9


Bakteri S. aureus memiliki virulensi yang paling tinggi dibandingkan
dengan spesies bakteri Staphylococcus lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
virulensi bakteri S. aureus terdiri atas struktur dan produk sekresinya, seperti
kapsul, enzim koagulase, eksfoliatin, hialuronidase, leukosidin, lipase, protease,
protein A, toksin, dan protein-protein lainnya. Faktor-faktor inilah yang menjadikan
bakteri S. aureus sebagai patogen pluripoten.4,5,8 (Gambar 6, tabel 3)

Tabel 3. Faktor Virulensi Bakteri S. aureus, Cara Kerja, dan Efek yang Dihasilkan.5,6,8
Faktor Virulensi Cara Kerja Efek
Melakukan perlekatan ke host
melalui microbial surface
Protein permukaan sel: components recognizing
Endokarditis, osteomielitis,
Clumping factors, protein A, adhesive matrix molecules
artritis septik, dan infeksi
fibronectin-binding proteins, (MSCRAMM) yang berperan
akibat penggunaan kateter serta
collagen, dan bone sebagai matriks protektif
alat-alat prostetik.
sialoprotein-binding proteins dengan menghambat
fagositosis dan opsoninasi
bakteri
Menghambat fagositosis Infeksi kulit invasif dan
Kapsul polisakarida
bakteri necrotizing pneumonia
Enzim hidrolitik: Protease,
Invasi atau penetrasi jaringan
lipase, nuklease, hialuronidase, Destruksi jaringan dan infeksi
ikat (kolagen), asam hialuronat,
fosfolipase C, dan metastasis
dan lemak
metaloprotease (elastase)
Sitotoksin: hemolisin α, β, γ, δ, Melisiskan eritrosit, neutrofil, Destruksi jaringan dan infeksi
dan leukosidin makrofag dan sel-sel host lain. metastasis
Toksin: enterotoksin, toxic
Food poisoning, toxic shock
shock syndrome toxin (TSST),
Terlibat dalam toxin mediated syndrome (TSS), scalded skin
eksfoliatif A dan B, α-toxin,
disease dan atau sepsis syndrome, impetigo bullosa,
peptidoglikan, dan lipoteichoic
dan sindrom sepsis
acid
Menghambat migrasi leukosit
ke daerah yang terinfeksi
Koagulase dengan membentuk clot atau Memperberat infeksi
sumbatan pada pembuluh darah
kapiler
Melindungi bakteri dari enzim
Katalase peroksida yang dihasilkan oleh Memperberat infeksi
neutrofil dan makrofag
Sumber: Staphylococcus aureus. Basic Medical Microbiology. 2018; Bacterial Infections: Staphylococcal Infections.
Harrison’s Infectious Diseases. 2015; Pathogenesis of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Infection. Clinical
Infectious Diseases. 2008.

Referat Infeksi Tropis/MRSA 10


Berdasarkan sumber infeksinya, bakteri MRSA dibedakan atas 2 kelompok
yaitu CA-MRSA jika sumber infeksinya berasal dari komunitas masyarakat dan
HA-MRSA jika sumber infeksinya berasal dari tempat pelayanan kesehatan.8
A. Patogenesis Infeksi CA-MRSA
Strain yang terlibat dalam terjadinya infeksi CA-MRSA yaitu
Sequencing Type-1 (ST1) dan Pulsed Field Gel Electrophoresis (PFGE) tipe
USA400 atau dikenal dengan strain MW2. Kemudian terjadi outbreak infeksi
CA-MRSA melalui infeksi kulit dan jaringan lunak yang dilaporkan terjadi
pada tahanan penjara, pria homoseksual, tentara, dan atlet. Strain yang
berperan dalam terjadinya infeksi ini yaitu ST8 dan PFGE tipe USA300 yang
juga dapat menyebabkan necrotizing fasciitis, piomiositis, pupura fulminan
dengan TSS, dan sindrom Waterhouse-Friderichsen. Bakteri CA-MRSA tipe
USA300 dan USA400 ini mengekspresikan toksin Panton-Valentine
Leucocidine (PVL) yang berperan dalam terjadinya nekrosis kulit dan
jaringan lunak serta necrotizing pneumonia yang berat melalui lisis leukosit
(neutrofil) dan trombosit.2,8,10,15
Toksin PVL terdiri atas LukS-PV dan LukF-PV yang akan membentuk
octameric b-barrel pores dari masing-masing 4 unit LukS-PV dan LukF-PV
pada membran leukosit dan selanjutnya akan mengakibatkan lisis sel.
Keadaan ini akan merangsang pelepasan enzim dan sitokin inflamasi oleh
neutrofil sehingga menyebabkan nekrosis jaringan. Toksin PVL juga dapat
memicu terjadinya apoptosis neutrofil melalui jalur mitokondria pada
konsentrasi yang rendah dan menyebabkan nekrosis sel epitel pada
konsentrasi yang tinggi (Gambar 7).8
Strain penyebab infeksi virulen CA-MRSA membawa subtipe gen
kecil dari SCC yaitu SCCmecIV (dalam kasus jarang SCCmecV dan
SCCmecVI). Hal ini bertolak belakang dengan kasus multidrug-resistant
(MDR) nosokomial MRSA di mana strain MRSA membawa subtipe gen
SCCmec yang lebih besar (SCCmec subtipe I-III).8

Referat Infeksi Tropis/MRSA 11


Gambar 7. Patomekanisme PVL yang Menyebabkan Nekrosis Jaringan.8
(Sumber: Pathogenesis of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Infection. Clinical Infectious Diseases. 2008)

B. Patogenesis Infeksi HA-MRSA


Infeksi HA-MRSA berawal dari penyebaran secara internasional clone
gen bakteri HA-MRSA, yaitu Iberian, Brazilian, Hungarian, New
York/Japan, dan Pediatric clone. Strain yang berperan dalam infeksi HA-
MRSA yaitu ST30, PFGE USA100 atau USA200. Strain ST239 juga
merupakan salah satu penyebab terjadinya infeksi HA-MRSA, tetapi strain
ini jarang dilaporkan terjadi di USA. Subtipe gen SCCmec yang sering
ditemukan pada bakteri HA-MRSA yaitu subtipe gen SCCmecII. Gen
SCCmecIV yang mengekspresikan toksin PVL jarang ditemukan dalam strain
bakteri HA-MRSA. Khusus untuk Brazilian clone atau dikenal Brazilian
Epidemic Clonal Complex (BECC) memiliki strain PFGE tipe A dan menjadi
penyebab utama infeksi invasif bakteri Staphylococcus di salah satu rumah
sakit Brazil tahun 1990. Bakteri BECC ini memiliki sifat adhesi yang kuat
terhadap sel epitel bronkus dan sangat invasif karena adanya fibronectin-
binding protein.8,10
Tabel 4. Nama Clone beberapa Strain Bakteri MRSA beserta Sequencing Type-nya.8
Sequencing Type
Nama Clone Nama Lain
(ST)
ST1-MRSA-IV 1 USA400, MW2
ST5-MRSA-I 5 UK, EMRSA-3
ST5-MRSA-II 5 New York/Japanese, GISA, dan USA100

Referat Infeksi Tropis/MRSA 12


ST5-MRSA-IV 5 USA800, Pediatric
ST228-MRSA-I 5 Southern Germany
ST8-MRSA-II 8 Irish-1
ST8-MRSA-IV 8 UK EMRSA-2, -6, USA300, dan USA500
UK EMRSA-1, -4, -11, Portuguese,
ST239-MRSA-III 8
Brazilian, dan Viennese
ST247-MRSA-I 8 UK EMRSA -5, -17, dan Iberian
ST250-MRSA-I 8 First MRSA dan Archaic
ST22-MRSA-IV 22 UK EMRSA-15 dan Barnim
ST36-MRSA-II 30 UK EMRSA-16 dan USA200
ST30-MRSA-IV 30 Southwest Pacific
ST45-MRSA-IV 45 Berlin dan USA600
ST72-MRSA-IV --- USA700
Keterangan: EMRSA = Epidemic MRSA; GISA = Glycopeptide-Intermediate S. aureus.
Sumber: Pathogenesis of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Infection. Clinical Infectious Diseases. 2008.

VI. DIAGNOSIS
A. Manifestasi Klinis
Bakteri S. aureus dapat ditemukan di antara flora normal pada kulit,
mata, saluran pernafasan atas, saluran pencernaan, uretra, dan sebagian kecil
bisa ditemukan pada vagina. Oleh karena itu, infeksi oleh bakteri ini dapat
berasal dari endogen maupun eksogen.4
Manifestasi klinis infeksi bakteri S. aureus dibedakan menjadi 2
kelompok, yaitu lokal dan sistemik. Manifestasi klinis lokal ditandai dengan
adanya pus atau piogenik lokal yang disertai destruksi jaringan oleh enzim
hidrolitik dan sitotoksin, sedangkan manifestasi sistemik dimediasi oleh
toksin-toksin yang diproduksi oleh bakteri S.aureus.6,15,16
Manifestasi klinis lokal atau piogenik infeksi bakteri S. aureus antara
lain:4,6,15,16
1. Infeksi kulit dan jaringan lunak: impetigo, folikulitis, furunkel,
karbunkel, infeksi luka, mastitis, selulitis, dan hidradenitis
supuratif.

Referat Infeksi Tropis/MRSA 13


2. Infeksi muskuloskeletal: osteomielitis, artritis septik, piomiositis,
dan abses psoas serta epidural.
3. Infeksi traktus respiratorius: pneumonia, empiema, dan
pneumotoraks.
4. Infeksi traktus urinarius: pielonefritis, infeksi saluran kemih, dan
abses perirenal (jarang).
Kebanyakan MRSA mulai bermanifestasi klinis melalui infeksi kulit
dan jaringan lunak, seperti impetigo, folikulitis, mastitis, dan infeksi pada
luka operasi. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada infeksi kulit oleh
bakteri MRSA antara lain kemerahan, bengkak, nyeri, hangat pada perabaan,
abses atau pus, dan sering disertai dengan keluhan demam (Gambar 8).1,4,6

Gambar 8. Infeksi Kulit yang disebabkan oleh bakteri MRSA.1


(Sumber: Burton’s Microbiology for the Health Sciences. Tenth Edition. 2015)

Infeksi S. aureus merupakan penyebab utama bakteremia (sepsis dan


syok septik) pada pasien yang dirawat inap di rumah sakit dan dapat
menyebabkan endokarditis terutama pada katup jantung sebelah kiri serta
infeksi pada pengguna obat-obatan intravena. S. aureus sering menyebabkan
abses pada bekas injeksi spinal epidural, flebitis intrakranial supuratif hingga
abses serebri.4,6,15
Manifestasi penyakit sistemik yang dimediasi oleh toksin bakteri S.
aureus, misalnya keracunan makanan, scalded skin syndrome, Toxic Shock
Syndrome (TSS). Bakteri S. aureus memproduksi berbagai macam toksin.
Eksotoksin TSST-1 dapat menyebabkan TSS dan enterotoksin A-E dapat
menyebabkan keracunan makanan. Toksin lain yaitu toksin eksfoliatif
epidermolitik A dan B dapat menyebabkan kulit menjadi eritema dan
terkelupas, seperti yang tampak pada penyakit scalded skin syndrome.
Berbagai enzim juga diproduksi oleh bakteri S. aureus seperti protease,

Referat Infeksi Tropis/MRSA 14


lipase, dan hialuronidase, yang dapat merusak jaringan dan membantu
penyebaran infeksi.4,6,15,16
Penyakit scalded skin syndrome yang menyerang anak bayi ditandai
dengan kulit kepala yang eritema dan dalam 2-3 hari kemudian diikuti dengan
pembentukan bulla yang pada akhirnya menyebabkan kebotakan. Keracunan
makanan akibat infeksi Staphylococcus ditandai dengan keluhan mual,
muntah, keram pada perut, dan diare, yang terjadi 1-6 jam setelah memakan
makanan yang terkontaminasi enterotoksin dari bakteri Staphylococcus.
Sedangkan TSS merupakan penyakit multi sistem yang menyerang individu
yang tidak mempunyai antibodi terhadap TSST-1. Penyakit ini sering
menyerang perempuan berusia 15-25 tahun yang menggunakan tampon saat
menstruasi, perempuan post partum dengan luka operasi atau infeksi fokal
lain, dan individu lain yang telah menjalani operasi pada hidung atau sinus.
Penyakit ini diawali dengan keluhan demam, mialgia, muntah, dan diare,
yang kemudian diikuti dengan penurunan tekanan darah (hipotensi), syok
hipovolemik, dan ruam eritematosus pada telapak tangan serta kaki yang
kemudian mengalami deskuamasi dalam 1-2 minggu.4
B. Pemeriksaan Laboratorium
1. Identifikasi Bakteri S. aureus
a. Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan untuk identifikasi
bakteri Staphylococcus. Dari pemeriksaan mikroskopik, ditemukan
bakteri dengan morfologi bulat atau coccus, tidak berspora, dan
berkelompok seperti buah anggur serta positif pada pewarnaan gram.
(Gambar 9).2,4,6,15

Gambar 9. Pewarnaan Gram Bakteri S. aureus.15


(Sumber: Essentials of Medical Microbiology. First Edition. 2016.)

Referat Infeksi Tropis/MRSA 15


b. Biokimia
1) Tes Katalase
Tes katalase dilakukan untuk membedakan bakteri
Staphylococcus (katalase positif) dengan kelompok bakteri
Streptococcus, Micrococcus, dan Enterococcus (katalase
negatif). Tes katalase dilakukan dengan menambahkan 1 tetes
hidrogen peroksida 3% ke dalam media kultur koloni. Tes
dikatakan positif jika terjadi produksi gelembung oksigen di
dalam media kultur (Gambar 10).15,17

Gambar 10. Tes Katalase Positif pada Kultur Bakteri S. Aureus.17


(Sumber: Microbiology. Third Edition. 2013)

2) Tes Koagulase
Tes koagulase dilakukan untuk membedakan bakteri S.
aureus dengan spesies bakteri Staphylococcus lainnya. Bakteri
S. aureus memproduksi enzim koagulase yaitu enzim yang
berperan dalam mengikat fibrinogen plasma sehingga terjadi
proses aglutinasi atau pembekuan plasma darah, lebih dari 95%
isolat S. aureus dapat terdeteksi dengan tes koagulase metode
slide dan hampir 100% isolat S. aureus dapat terdeteksi dengan
tes koagulase metode tabung.4,6,15
Tes koagulase metode slide dilakukan dengan
mereaksikan emulsi padat dari organisme dan plasma darah
pada slide kaca. Tes dikatakan positif jika terjadi aglutinasi
dalam waktu 30 detik. Sedangkan tes koagulase metode tabung
dilakukan dengan mentransfer beberapa koloni bakteri ke dalam
tabung yang telah berisi plasma darah. Enzim koagulase bakteri
akan bereaksi dengan plasma protein disebut Coagulase

Referat Infeksi Tropis/MRSA 16


Reacting Factor (CRF) dalam plasma darah kemudian
diinkubasi pada suhu 35°C selama 4 jam. Tes harus dievaluasi
setelah diinkubasi selama 4 jam karena kebanyakan isolat
S.aureus memproduksi bekuan dalam interval waktu tersebut.
Tes koagulase dikatakan positif jika terbentuk bekuan. Jika
belum terbentuk bekuan, tabung diinkubasi kembali pada suhu
ruangan dan dievaluasi setelah 24 jam. Beberapa strain dapat
memproduksi fibrinolisin yang dapat melisiskan bekuan jika
dievaluasi setelah 24 jam sehingga dapat memberikan hasil
pemeriksaan yang negatif palsu (Tabel 5, Gambar 11).4,15

Tabel 5. Perbedaan Tes Koagulase Tabung dan Koagulase Slide.15


Koagulase Tabung Koagulase Slide
Menggunakan enzim koagulase Menggunakan faktor clumping
(8 serotipe) (1 serotipe)
Membutuhkan plasma CRF Tidak membutuhkan plasma CRF
Dilakukan di dalam tabung Dilakukan di atas slide
Positif jika terbentuk clump atau
Positif jika terbentuk bekuan
aglutinasi
S. lugdunensis memberikan hasil S. lugdunensis memberikan hasil
negatif positif
Kedua metode memberikan hasil positif untuk S. aureus, S. hycus, dan S.
intermedius
Sumber: Essentials of Medical Microbiology. First Edition. 2016.

Gambar 11. Tes Koagulase Tabung (A = Positif dan B = Negatif)


dan Slide (C).15
(Sumber: Essentials of Medical Microbiology. First Edition. 2016.)

3) Tes DNAse
Tes ini dilakukan pada media DNA agar dan akan
terbentuk clear halo di sekitar koloni bakteri S. aureus karena
kemampuan bakteri untuk mendigesti DNA (Gambar 12).15

Referat Infeksi Tropis/MRSA 17


Gambar 12. Tes DNAse: Tanda panah menunjukkan clear halo akibat
aktivitas digestif enzim DNAse bakteri S. aureus.15
(Sumber: Essentials of Medical Microbiology. First Edition. 2016)

c. Kultur
Bakteri S. aureus dapat tumbuh pada beberapa medium aerob
maupun kondisi mikroaerofilik pada suhu 37°C tetapi suhu terbaik
untuk membentuk pigmen yaitu pada suhu 20-25°C. Koloni bakteri
pada medium padat berbentuk bulat, berwarna abu-abu hingga
kuning keemasan, berdiameter 3-4 mm, mempunyai permukaan
halus, dan berkilauan. Jika dikultur pada blood agar, koloni bakteri
akan melisiskan sel-sel darah akibat enzim β hemolisis. Medium
selektif dan diferensial untuk bakteri S. aureus juga sudah tersedia,
seperti Mannitol Salt Agar (MSA) dan Chromogenic Agar (Gambar
13 dan 14).15,16

Gambar 13. Kultur Bakteri S. aureus pada beberapa media: A. Nutrient Agar:
tampak koloni bakteri berwarna kuning keemasan; B: Blood Agar: tampak koloni
bakteri berwarna abu-abu hingga kuning keemasan dan dikelilingi oleh zona bersih
hemolisis berdiameter sekitar 1 cm; C: Mannitol Salt Agar: tampak koloni
berwarna kuning akibat fermentasi manitol.15
(Sumber: Essentials of Medical Microbiology. First Edition. 2016.)

Referat Infeksi Tropis/MRSA 18


Gambar 14. Kultur Bakteri S. aureus pada media agar kromogenik: Koloni
tampak berwarna pink (kiri) dan bakteri lain berwarna biru.9
(Sumber: Brock Biology of Microorganism. 15th edition. 2019.)

2. Tes Deteksi MRSA


a. Metode Konfirmasi Fenotip
1) Disk Diffusion Testing
Lebih dari 90% bakteri Staphylococcus resisten terhadap
antibiotik golongan penisilin (methicillin, oxacillin, dan
nafcillin) karena adanya enzim beta laktamase. Tes sensitivitas
antibiotik untuk bakteri MRSA yang disarankan oleh Clinical
and Laboratory Standard Institute (CLSI) yaitu metode disk
diffusion testing menggunakan agar Mueller-Hinton (MH).
Akan tetapi, CLSI merekomendasikan penggunaan antibiotik
cefoxitin untuk uji sensitivitas antibiotik oxacillin karena
cefoxitin sangat sensitif dan merupakan marker spesifik untuk
gen mecA atau mecC (sensitivitas 96,5%, spesifisitas 100%)
dibandingkan oxacillin (sensitivitas 90,4%, spesifisitas 99,1%).
Selanjutnya, hasilnya harus dilaporkan sebagai uji sensitivitas
terhadap antibiotik oxacillin. Dosis antibiotik cefoxitin yang
digunakan untuk tes ini yaitu sekitar 30 µg. Untuk memprediksi
adanya gen mecA pada bakteri MRSA, CLSI merekomendasikan
zona yang diisolasi harus ≥ 22 mm untuk dilaporkan sebagai
susceptible atau sensitif (S) terhadap antibiotik oxacillin (mecA
negatif), dan zona yang ≤ 21 mm akan dilaporkan sebagai
resistant atau resisten (R) terhadap antibiotik oxacillin (mecA

Referat Infeksi Tropis/MRSA 19


positif). Isolat dengan mecA positif berarti resisten terhadap
semua antibiotik golongan beta laktam (Gambar 15).2-4,19

Gambar 15. Disk Diffusion Testing bakteri MRSA pada media agar MH
dengan antibiotik cefoxitin 30 µg.19
(Sumber: Performance Standards of Antimicrobial Susceptibility Testing M100 CLSI. 28th
edition. 2018)

2) Agar Dilution Testing


Metode ini menggunakan agar Mueller-Hinton (MH)
yang telah ditambahkan NaCL 4% dan mengandung 6 µg/ml
oxacillin. Bakteri diinokulasi menggunakan cotton swab ke
dalam agar dan plate agar diinkubasi pada suhu 35°C selama 24
jam. Suspensi koloni diambil dari 0,5 kekeruhan McFarland
menggunakan loop 1 µl (Gambar 16). 2,4,18,19

Gambar 16. Inokulasi Sampel: Ambil 4-5 koloni dengan menggunakan loop
atau swab dari kultur Staphylococcus aureus (A). Masukkan swab ke dalam
tabung saline atau broth untuk membuat supensi (B). Sesuaikan turbiditas
suspensi dengan McFarland 0,5 (C). Masukkan swab steril ke dalam suspensi
dan putar terhadap dinding dari tabung diatas batas cairan untuk
menghilangkan inokulum yang berlebih (D). Gosokkan swab pada
permukaan lempeng Mueller-Hinton Agar yang mengandung oxacillin 6
μg/ml. (E). Gosokkan 3 kali dengan arah yang berbeda untuk membentuk
lapisan tipis inokulum, kemudian inkubasi.20
(Sumber: NCCLS. Methods For Dilution Antimicrobial Susceptibility Tests For Bacteria That
Grow Aerobically. 2004).

Referat Infeksi Tropis/MRSA 20


Setiap pertumbuhan > 1 koloni yang terjadi pada
medium ini mengindikasikan bakteri MRSA. Tes ini memiliki
sensitivitas 99% dan spesifisitas 98.1% (Gambar 17).2,4,18,19

Gambar 17. Agar Dilution Testing bakteri MRSA.19


(Sumber: Performance Standards of Antimicrobial Susceptibility Testing M100 CLSI. 28th
edition. 2018)

Tes resistensi terhadap antibiotik vancomycin walaupun


masih jarang ditemukan pada bakteri S. aureus¸ sebaiknya tetap
dilakukan karena resistensi terhadap antibiotik ini akan menjadi
ancaman masalah kesehatan yang serius. Bakteri VISA
dilaporkan mempunyai Minimum Inhibitory Concentration
(MIC) sekitar 8-16 µg/ml sedangkan bakteri VRSA mempunyai
MIC jauh lebih tinggi yaitu sekitar 1024 µg/ml. Tes ini
dilakukan dengan menginokulasikan 100 µL dari suspensi
bakteri S. aureus kekeruhan 0.5 McFarland ke dalam blood
agar plate yang mengandung 6 µg/ml vancomycin, kemudian
diinkubasi semalaman. Tes ini dapat juga dilakukan secara
automatik tetapi biasanya tidak dapat mendeteksi jika MIC
terlalu tinggi.4
3) Broth Microdilution Testing
Tes ini menggunakan media Cation-Adjusted Mueller-
Hinton Broth (CAMHB) dengan mengandung 4 µg/ml cefoxitin.
Sampel dinokulasi ke dalam media dan diinkubasi pada suhu
35°C selama 16-20 jam. Tes ini mempunyai prinsip yang sama

Referat Infeksi Tropis/MRSA 21


dengan agar dilution testing yaitu setiap pertumbuhan pada
meda ini mengindikasikan bakteri MRSA (> 4 µg/ml)(Gambar
12).19
4) Minimum Inhibitory Concentration (MIC) determination
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) merupakan
konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Metode penentuan
MIC dapat dilakukan secara manual misalnya strip E-test dan
automatik misalnya alat VITEK.4,18
Strip E-test merupakan strip plastik yang mengandung
agen antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi dan
diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami
mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang
ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikroba
yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media
agar. Metode ini memiliki sensitivitas 99% dan spesifisitas 97%
(Gambar 18).4,18

Gambar 18. Strip E-Test bakteri MRSA: Methicillin (ME) dan Vancomycin
(VA).18
(Sumber: Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus: Comparison Of Susceptibility Testing
Methods And Analysis Of Meca-Positive Susceptible Strains. Journal Of Clinical Microbiology.
2001)
Alat VITEK merupakan alat yang digunakan untuk
identifikasi kuman dan tes sensitivitas antibiotik secara
automatik menggunakan metode MIC. Metode ini memiliki
sensitivitas 99% dan spesifisitas 96% (Gambar 19).21

Referat Infeksi Tropis/MRSA 22


Gambar 19. Alat VITEK 2 di Instalasi Laboratorium Patologi Klinik
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

b. Metode Konfirmasi Genotip


1) Tes Deteksi Gen mecA
Pemerikaan gold standard untuk identifikasi bakteri
MRSA adalah dengan mendeteksi secara langsung gen mecA
dan mecC bakteri MRSA melalui metode polymerase chain
reaction (PCR). Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan tes sensitivitas
antibiotik yaitu sensitivitas 98% dan spesifisitas 99% karena
hasil tes sensitivitas antibiotik dipengaruhi oleh beberapa faktor,
salah satunya yaitu suhu ruangan (Gambar 20).2

Gambar 20. Elektroforesis Produk PCR Bakteri MSSA dan MRSA. 22


(Sumber: http://www.scielo.org.co/pdf/rfnam/v70n1/v70n1a08.pdf)

Gen mecA dan mecC pada beberapa isolat tidak dapat


terdeteksi jika tingkat resistensi terhadap antibiotik oxacillin
masih rendah. Kelompok ini relatif jarang ditemukan dan
termasuk ke dalam kelompok Borderline Susceptible S. aureus
(BORSA). Keadaan ini dapat disebabkan akibat hiperproduksi
enzim beta laktamase.3

Referat Infeksi Tropis/MRSA 23


Terdapat pula keadaan di mana gen mecA positif
terdeteksi pada beberapa isolat, tetapi uji sensitivitas antibiotik
memberikan hasil sensitif. Isolat ini dimasukkan ke dalam
kelompok Oxacillin Susceptible-MRSA (OS-MRSA). Penyebab
OS-MRSA akibat adanya inaktivasi gen mecA.3
2) Aglutinasi latex
Pemeriksaan aglutinasi latex komersial telah tersedia
untuk tes identifikasi cepat bakteri S.aureus. Pemeriksaan ini
dapat mendeteksi PBP-2a, protein A, dan faktor pembekuan,
tetapi sebagian besar tidak dapat mendeteksi PBP-2c. Beberapa
juga dapat mendeteksi polisakarida kapsular yang dapat
meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi resistensi terhadap
antibiotik methicillin (oxacillin). Pemeriksaan ini dapat juga
memberikan hasil yang positif terhadap bakteri S. saprophyticus,
S. epidermidis, S. sciuri, dan Micrococcus spp., tetapi keempat
spesies ini memberikan hasil tes koagulase negatif. Metode ini
memiliki sensitivitas 97% dan spesifisitas 95% (Gambar 21).2-4

Gambar 21. Tes Aglutinasi Lateks Bakteri MRSA.9


(Sumber: Explore the Microbial World: MRSA – A Formidable Clinical Challenge. Brock
Biology of Microorganism. 15th edition. 2019)

VII. DIAGNOSIS BANDING


Tabel 6. Diagnosis Banding Infeksi MRSA.3
Disk Diffusion Tes Aglutinasi Tes
Bakteri
Testing Lateks PCR
MRSA Resisten + Gen mecA (+)
BORSA Resisten - Gen mecA (-)
OS-MRSA Sensitif + Gen mecA (+)
MSSA Sensitif - Gen mecA (-)
Sumber: EUCAST Guidelines for Detection of Resistance Mechanisms and Specific Resistances of Clinical and/or
Epidemiological Importance. 2017.

Referat Infeksi Tropis/MRSA 24


VIII. PENCEGAHAN DAN PENATALAKSANAAN
A. Pencegahan
Pencegahan penyebaran bakteri MRSA di rumah sakit dilakukan
melalui upaya Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI) yang terdiri dari 4
upaya, yaitu:23
1. Meningkatkan kewaspadaan standar (standard precaution), meliputi:
kebersihan tangan, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti
sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung), face shield
(pelindung wajah), serta gaun, dekontaminasi peralatan perawatan
pasien, pengendalian lingkungan, penatalaksanaan linen, perlindungan
petugas kesehatan, penempatan pasien, etika batuk, praktek menyuntik
dan lumbal punksi yang aman.
2. Melaksanakan kewaspadaan transmisi melalui kontak, droplet, udara,
makanan, air, obat, peralatan, dan vektor. Pasien ditempatkan di ruang
terpisah atau menempatkan pasien dengan pola penyebab infeksi yang
sama dalam satu ruangan.
3. Dekolonisasi, yaitu tindakan menghilangkan koloni mikroba
multiresisten pada individu pengidap (carrier). Contoh: pemberian
mupirosin topikal pada carrier MRSA.
4. Tata laksana Kejadian Luar Biasa (KLB) mikroba multiresisten atau
Multidrug-Resistant Organisms (MDRO).
Jika ditemukan mikroba multiresisten sebagai penyebab infeksi,
laboratorium mikrobiologi segera melaporkan kepada tim PPI dan dokter
penanggung jawab pasien sehingga segera dilakukan tindakan untuk
membatasi penyebaran strain MRSA.23
Tim Pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba Rumah
Sakit (Tim PPRA RS) juga perlu dibentuk untuk mengendalikan resistensi
antimikroba secara optimal. Tim PPRA RS dibentuk berdasarkan keputusan
Kepala/Direktur rumah sakit. Tim PPRA RS dibentuk dengan tujuan

Referat Infeksi Tropis/MRSA 25


menerapkan pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit melalui
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi.23

B. Penatalaksanaan
Antibiotik vancomycin masih merupakan antibiotik pilihan utama
terapi infeksi bakteri MRSA yang diberikan secara intravena dengan dosis
500 mg tiap 6 jam atau 1 gram tiap 12 jam untuk dewasa dan 10 mg/kgBB
tiap kali penggunaan diberikan 4 kali sehari untuk anak-anak. Tes sensitivitas
antibiotik tetap harus dilakukan sebelum pemberian terapi antibiotik. Selain
itu, untuk penanganan infeksi kulit, selain pemberian antibiotik sistemik harus
juga diberikan tindakan khusus seperti insisi dan drainase jika terdapat
abses.1,2,6
Pemilihan antibiotik yang efektif untuk terapi infeksi HA-MRSA lebih
sulit dibandingkan infeksi CA-MRSA karena kasus MDR-MRSA lebih
banyak ditemukan pada infeksi HA-MRSA. Pilihan antibiotik yang bisa
digunakan untuk terapi MDR-MRSA antara lain vancomycin, linezolid,
tigecycline, quinupristin-dalfopristin, dan dapromycin.2
Antibiotik golongan sefalosporin generasi kelima yaitu ceftobiprole
dan ceftaroline merupakan antibiotik yang menjanjikan untuk mengatasi
infeksi bakteri MRSA dan VRSA. Antibiotik ini resisten terhadap enzim beta
laktamase dan bekerja dengan menghambat modifikasi dari PBP. Selain itu,
antibiotik quinupristin-dalfopristin, streptogramin, daptomycin, linezolid, dan
televancin, masih mempunyai aktivitas yang cukup baik terhadap VISA dan
VRSA.1-4,7

IX. KOMPLIKASI
Sekitar 5-10% strain bakteri MRSA bersifat invasif dan dapat
menyebabkan manifestasi klinis yang serius seperti necrotizing fasciitis, necrotizing
pneumonia, sepsis yang disertai sindrom Waterhouse-Friderichsen, dan purpura
fulminan. Keadaan ini mengindikasikan peningkatan virulensi dari strain bakteri
MRSA karena mempunyai risiko kematian yang lebih tinggi.5,15

Referat Infeksi Tropis/MRSA 26


X. PROGNOSIS
Mortalitas dan angka harapan hidup pasien infeksi MRSA bergantung dari
respon terhadap terapi antibiotik. Khusus untuk infeksi VRSA, pasien dapat
meninggal lebih cepat jika tidak diberikan penanganan antibiotik yang tepat.
Persentase angka mortalitas tahun 2012-2017 pasien MRSA di USA sekitar 29%
untuk HA-MRSA dan 18% untuk CA-MRSA. Tidak ada perbedaan signifikan
angka mortalitas dalam kurun waktu tersebut.2,7,24

XI. RINGKASAN
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan strain
dari bakteri S. aureus yang telah resisten dengan semua antibiotik golongan β-
laktam yaitu penisilin (methicillin, oxacillin, nafcillin) dan sefalosporin.
Berdasarkan sumber infeksinya, bakteri MRSA dibedakan atas 2 kelompok yaitu
CA-MRSA jika sumber infeksinya berasal dari komunitas masyarakat dan HA-
MRSA jika sumber infeksinya berasal dari tempat pelayanan kesehatan.
Mekanisme penyebab utama terjadinya MRSA karena adanya gen mecA
atau gen mecC yang berperan dalam modifikasi dari penicillin-binding protein
(PBP) pada membran sel bakteri dengan memproduksi PBP baru yaitu PBP-2a atau
PBP-2c. Manifestasi klinis infeksi bakteri S. aureus dibedakan menjadi 2
kelompok, yaitu lokal dan sistemik. Manifestasi klinis lokal ditandai dengan adanya
pus atau piogenik lokal yang disertai destruksi jaringan oleh enzim hidrolitik dan
sitotoksin, sedangkan manifestasi sistemik dimediasi oleh toksin-toksin yang
diproduksi oleh bakteri S.aureus. Sekitar 5-10% strain bakteri MRSA bersifat
invasif dan dapat menyebabkan manifestasi klinis yang serius seperti necrotizing
fasciitis, necrotizing pneumonia, sepsis yang disertai sindrom Waterhouse-
Friderichsen, dan purpura fulminan.
Tes sensitivitas antibiotik untuk bakteri MRSA yang disarankan oleh
Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI) yaitu dengan menggunakan
metode disk diffusion testing. Antibiotik vancomycin masih merupakan antibiotik

Referat Infeksi Tropis/MRSA 27


pilihan utama terapi infeksi bakteri MRSA. Akan tetapi, tes sensitivitas antibiotik
tetap harus dilakukan sebelum pemberian terapi antibiotik.

XII. ALGORITMA (Modifikasi)3,19

Spesimen:
Darah, Urin, Pus, Dahak

Mikroskopik:
Pewarnaan Gram (+), coccus,
berkelompok

Tes Biokimia:
Katalase (+), Koagulase (+),
DNase (+)

Kultur MSA: Kuning


(fermentasi manitol +)

Staphylococcus aureus (+)

Tes Sensitivitas Antibiotik


Disk Diffusion Testing: Cefoxitin 30 µg

Sensitif ≤ 21 mm Resisten ≥ 22 mm

PCR PCR

Gen mecA (+) Gen mecA (-) Gen mecA (+) Gen mecA (-)

OS-MRSA MSSA MRSA BORSA

Referat Infeksi Tropis/MRSA 28


DAFTAR PUSTAKA

1. Engelkirk PG, Engelkirk JD. Inhibiting the Growth of Pathogens In Vivo using
Antimicrobial Agents: Drug Resistance. In: Burton’s Microbiology for the
Health Sciences. Tenth Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015. p.163-72.
2. Iowa State University. Methicillin Resistant Staphylococcus aureus [internet].
May 2016. [cited September 6, 2019]. Available from:
http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/mrsa.pdf
3. Giske, et al. Methicillin Resistant Staphylococcus aureus. In: EUCAST
Guidelines for Detection of Resistance Mechanisms and Specific Resistances
of Clinical and/or Epidemiological Importance. 2017. p. 30-2.
4. McPherson RA, Pincus MR. Medical Important Bacteria: Staphylococcus. In:
Henry’s Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 22nd
Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p.1082-4.
5. Lowy FD. Bacterial Infections: Staphylococcal Infections. In: Fauci AS, et al,
editors. Harrison’s Infectious Diseases. USA: The McGraw-Hill; 2015. 19th
edition. p. 954-63.
6. Murray, PR. Staphylococcus aureus. In: Basic Medical Microbiology.
Philadelphia: Elsevier; 2018. p. 29-32.
7. Hogg S. Antimicrobial Agents: Resistance to Antibiotics. In: Essential
Microbiology. Second Edition. UK: John Wiley and Sons; 2012. p. 433-9.
8. Gordon RJ, Lowy FD. Supplement Article: Pathogenesis of Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus Infection. In: Clinical Infectious Diseases.
New York: 2008; 46(5). p. 350-9. [cited September 5, 2014]. Available from:
http://cid.oxfordjournals.org
9. Madigan MT, et al. Explore the Microbial World: MRSA – A Formidable
Clinical Challenge. In: Brock Biology of Microorganism. 15th edition. UK:
Pearson Education Limited; 2019. p. 872.
10. Hassoun A, Linden PK, Friedman B. Incidence, prevalence, and management
of MRSA bacteremia across patient populations – a review of recent
development in MRSA management and treatment. In: Critical Care. USA:
2017; 211.
11. Wildana, dkk. Resistensi terhadap methicillin (methicillin resistant)
Staphylococcus aureus di Instalasi Rawat Inap. Dalam: Indonesian Scientific
Journal Database. 2010.
12. Archer GL, Polk RE. Bacterial Infections: Approach to Therapy for Bacterial
Diseases. In: Fauci AS, et al, editors. Harrison’s Infectious Diseases. USA: The
McGraw-Hill; 2015. 19th edition. p. 354-73.

Referat Infeksi Tropis/MRSA 29


13. Tortora JT, Funke BR, Case CL. Antimicrobial Drugs: Resistance to
Antimicrobial Drugs. In: Microbiology: An Introduction. 13th Edition. USA:
Pearson Education; 2019. p. 579-81.
14. Foster TJ. The Staphylococcus aureus “superbug”. In: JCI The Journal of
Clinical Investigation. 2004; 114(12): 1693-6. Available from:
https://doi.org/10.1172/JCI23825
15. Sastry AS, Bhat S. Staphylococcus. In: Essentials of Medical Microbiology.
First Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2016. p. 211-20.
16. Ryan KJ, et al. Staphylococci. In: Sherris Medical Microbiology. 7th edition.
USA: McGraw Hill Education; 2018. p. 459-69.
17. Cornelissen CN, Fisher BD, Harvey RA. Staphylococci. In: Lippincott’s
Illustrated Reviews: Microbiology. Third Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2013. p. 69-76.
18. Sakoulas G, Gold HS, Venkataraman L, DeGirolami PC, Eliopoulos GM, Qian
Q. Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus: Comparison Of Susceptibility
Testing Methods And Analysis Of Meca-Positive Susceptible Strains. Journal
Of Clinical Microbiology. 2001; 39: 3946-3951.
19. CLSI. Test for Detection of Methicillin Resistance (Oxacillin Resistance) in
Staphylococcus spp. In: Performance Standards of Antimicrobial Susceptibility
Testing M100. 28th edition. USA: Clinical and Laboratory Standards Institute;
2018. p. 130-1.
20. NCCLS. Methods For Dilution Antimicrobial Susceptibility Tests for Bacteria
that Grow Aerobically. NCCLS. 2004: M100-S14.
21. Nonhoff C, Rottiers S, Struelens MJ. Evaluation of the Vitek 2 system for
identification and antimicrobial susceptibility testing of Staphylococcus spp.
In: Clinical Microbiology and Infection Journal. 2005; 11(2): 150-3.
22. Gutierrez LL, Martinez AB, Mahecha HS. Methicillin resistant Staphylococcus
aureus isolated from meat raw in Cartagena, Colombia. In: Rev.Nac.Agron.
Colombia: 2017; 70(1). P. 8091-8. [cited September 22, 2019]. Available from:
http://www.scielo.org.co/pdf/rfnam/v70n1/v70n1a08.pdf
23. Katu S. Program Pencegahan Resistensi Antibiotik di Rumah Sakit. Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar: 2019. Hal. 9-10.
24. Kourtis AP, et al. Vital Signs: Epidemiology and Recent Trends in Methicillin-
Resistant and in Methicillin-Susceptible Staphylococcus aureus Bloodstream
Infections – United States. In: Morbidity and Mortality Weekly Report. USA:
2019; 68(9). P. 214-9. [cited September 22, 2019]. Available from:
https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/68/wr/pdfs/mm6809e1-H.pdf

Referat Infeksi Tropis/MRSA 30

Anda mungkin juga menyukai