I. PENDAHULUAN
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan strain
dari bakteri S. aureus yang menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
dunia. Angka mortalitas infeksi MRSA dua kali lebih besar dibandingkan infeksi
strain Methicillin-Susceptible Staphylococcus aureus (MSSA). Bakteri MRSA telah
resisten dengan semua antibiotik golongan β-laktam yaitu penisilin (methicillin,
oxacillin, nafcillin) dan sefalosporin (kecuali ceftaroline dan ceftobiprole).
Antibiotik yang masih sensitif terhadap bakteri MRSA yaitu vancomycin dan
beberapa antibiotik lain yang sedang berkembang seperti linezolid, tigecycline,
quinupristin-dalfopristin, daptomycin, ceftaroline, dan ceftobiprole.1,2,3
Bakteri S. aureus termasuk bakteri gram positif, berbentuk coccus,
termasuk ke dalam famili Micrococcaceae dan sering tampak berkelompok seperti
buah anggur. Bakteri ini bersifat katalase dan koagulase positif yang
membedakannya dengan spesies bakteri Staphylococcus lainnya, non-motil, dapat
hidup baik dalam lingkungan aerob maupun fakultatif anaerob, dan tumbuh pada
nutrient agar (NA) berpepton serta dapat menghemolisis sel-sel darah serta pigmen
jingga atau kuning pada agar tertentu. Medium selektif untuk bakteri ini
menggunakan larutan manitol yang mengandung 7,5-10% natrium klorida
(NaCl).4,5
Gambar 1. Bakteri S. aureus pada pemeriksaan kultur darah dan dilihat di bawah mikroskop
pembesaran 1000x: tampak bakteri S. aureus gram positif yang berbentuk coccus, berpasangan, dan
berkelompok seperti buah anggur.6
(Sumber: Staphylococcus aureus. Basic Medical Microbiology. 2018)
II. EPIDEMIOLOGI
Insiden global infeksi MRSA termasuk tinggi yaitu sekitar 80.000 kasus
yang dilaporkan terjadi tiap tahun di United States dan dari beberapa negara, baik di
daerah rural maupun urban, terutama di India dilaporkan terjadi peningkatan
Hingga tahun 1990, kasus MRSA jarang disebabkan oleh strain CA-
MRSA murni tanpa adanya pajanan dari tempat pelayanan kesehatan, kecuali pada
pengguna obat-obatan injeksi. Outbreak kasus CA-MRSA mulai terjadi dari tahun
1989-1991 di Australia Barat dan di United States pada akhir tahun 1990. Empat
anak meninggal akibat infeksi CA-MRSA di Minnesota dan Dakota Utara dari
tahun 1997-1999. Semua kasus berhubungan dengan necrotizing pneumonia atau
abses paru dan sepsis.8
Kasus infeksi CA-MRSA kemudian semakin meningkat disertai prevalensi
kasus infeksi Hospital-Acquired MRSA atau Healthcare-Associated MRSA (HA-
MRSA) yang menurun dalam beberapa tahun terakhir dan strain yang berperan
dalam infeksi CA-MRSA mulai masuk ke lingkungan pelayanan kesehatan
sehingga strain yang menyebabkan infeksi CA-MRSA dan HA-MRSA semakin
sulit dibedakan.8,9
Prevalensi infeksi MRSA di Indonesia pada tahun 2006 berada pada angka
23,5%. Penelitian yang dilakukan oleh Wildana dkk tentang resistensi MRSA di
Instalasi Rawat Inap RS Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Juli 2008 – Juni
Gambar 4. Mekanisme Kerja dan Resistensi Antibiotik (Ac: asetilasi; Ad: adenilasi; DHFR: dihydrofolate
reductase; DHPS: dihydropteroate synthetase; IM: inner (cytoplasmic) membrane; LPS: lipopolisakarida; OM:
outer membrane; P: fosforilasi; PBP: penicillin-binding protein; PG: peptidoglikan).12
(Sumber: Bacterial Infections: Approach to Therapy for Bacterial Diseases. Harrison’s Infectious Diseases. 2015. 19th
edition)
Gen mecA atau mecC adalah bagian dari elemen genetik besar
Staphylococcal Casette Chromosome (SCC) mec atau SCCmec yang merupakan
hasil rekombinan dari Cassette Chromosome Recombinase genes (ccrA, ccrB atau
ccrC). Karena bersifat mobile, SCCmec dapat bertransmisi secara horizontal pada
intra dan interspecies. Ukuran SCCmec bervariasi antara 20 – 68 kb dan
berdasarkan ukurannya, terdapat beberapa subtipe SCCmec yaitu subtipe I, II, dan
III yang berperan dalam terjadinya infeksi HA-MRSA, serta subtipe IV, V, dan VI
yang ditemukan pada infeksi CA-MRSA. Subtipe I, II, dan III lebih resisten
terhadap berbagai macam antibiotik dibandingkan tipe IV, V dan VI, tetapi ketiga
V. PATOGENESIS
Bakteri S. aureus merupakan flora normal pada manusia. Sekitar 25-50%
orang sehat memiliki koloni bakteri ini secara persisten atau transien di dalam
maupun permukaan tubuhnya. Faktor-faktor yang berperan penting dalam
perkembangan bakteri S. aureus menjadi infeksius atau patogen meliputi
diskontinuitas atau disintegritas dari lapisan mukosa dan permukaan kulit,
penggunaan benda asing seperti implan, riwayat infeksi virus, riwayat penggunaan
antibiotik, pasien dengan Diabetes Melitus (DM) yang mendapat terapi insulin,
pasien yang menjalani hemodialisis, dan pasien dengan penyakit imunodefisiensi.2,4
Gambar 6. Faktor Patogen Bakteri S. aureus: Struktur dan Produk Sekresi yang berperan sebagai
Faktor Virulensi S. aureus.8
(Sumber: Pathogenesis of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Infection. Clinical Infectious Diseases. 2008)
Tabel 3. Faktor Virulensi Bakteri S. aureus, Cara Kerja, dan Efek yang Dihasilkan.5,6,8
Faktor Virulensi Cara Kerja Efek
Melakukan perlekatan ke host
melalui microbial surface
Protein permukaan sel: components recognizing
Endokarditis, osteomielitis,
Clumping factors, protein A, adhesive matrix molecules
artritis septik, dan infeksi
fibronectin-binding proteins, (MSCRAMM) yang berperan
akibat penggunaan kateter serta
collagen, dan bone sebagai matriks protektif
alat-alat prostetik.
sialoprotein-binding proteins dengan menghambat
fagositosis dan opsoninasi
bakteri
Menghambat fagositosis Infeksi kulit invasif dan
Kapsul polisakarida
bakteri necrotizing pneumonia
Enzim hidrolitik: Protease,
Invasi atau penetrasi jaringan
lipase, nuklease, hialuronidase, Destruksi jaringan dan infeksi
ikat (kolagen), asam hialuronat,
fosfolipase C, dan metastasis
dan lemak
metaloprotease (elastase)
Sitotoksin: hemolisin α, β, γ, δ, Melisiskan eritrosit, neutrofil, Destruksi jaringan dan infeksi
dan leukosidin makrofag dan sel-sel host lain. metastasis
Toksin: enterotoksin, toxic
Food poisoning, toxic shock
shock syndrome toxin (TSST),
Terlibat dalam toxin mediated syndrome (TSS), scalded skin
eksfoliatif A dan B, α-toxin,
disease dan atau sepsis syndrome, impetigo bullosa,
peptidoglikan, dan lipoteichoic
dan sindrom sepsis
acid
Menghambat migrasi leukosit
ke daerah yang terinfeksi
Koagulase dengan membentuk clot atau Memperberat infeksi
sumbatan pada pembuluh darah
kapiler
Melindungi bakteri dari enzim
Katalase peroksida yang dihasilkan oleh Memperberat infeksi
neutrofil dan makrofag
Sumber: Staphylococcus aureus. Basic Medical Microbiology. 2018; Bacterial Infections: Staphylococcal Infections.
Harrison’s Infectious Diseases. 2015; Pathogenesis of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Infection. Clinical
Infectious Diseases. 2008.
VI. DIAGNOSIS
A. Manifestasi Klinis
Bakteri S. aureus dapat ditemukan di antara flora normal pada kulit,
mata, saluran pernafasan atas, saluran pencernaan, uretra, dan sebagian kecil
bisa ditemukan pada vagina. Oleh karena itu, infeksi oleh bakteri ini dapat
berasal dari endogen maupun eksogen.4
Manifestasi klinis infeksi bakteri S. aureus dibedakan menjadi 2
kelompok, yaitu lokal dan sistemik. Manifestasi klinis lokal ditandai dengan
adanya pus atau piogenik lokal yang disertai destruksi jaringan oleh enzim
hidrolitik dan sitotoksin, sedangkan manifestasi sistemik dimediasi oleh
toksin-toksin yang diproduksi oleh bakteri S.aureus.6,15,16
Manifestasi klinis lokal atau piogenik infeksi bakteri S. aureus antara
lain:4,6,15,16
1. Infeksi kulit dan jaringan lunak: impetigo, folikulitis, furunkel,
karbunkel, infeksi luka, mastitis, selulitis, dan hidradenitis
supuratif.
2) Tes Koagulase
Tes koagulase dilakukan untuk membedakan bakteri S.
aureus dengan spesies bakteri Staphylococcus lainnya. Bakteri
S. aureus memproduksi enzim koagulase yaitu enzim yang
berperan dalam mengikat fibrinogen plasma sehingga terjadi
proses aglutinasi atau pembekuan plasma darah, lebih dari 95%
isolat S. aureus dapat terdeteksi dengan tes koagulase metode
slide dan hampir 100% isolat S. aureus dapat terdeteksi dengan
tes koagulase metode tabung.4,6,15
Tes koagulase metode slide dilakukan dengan
mereaksikan emulsi padat dari organisme dan plasma darah
pada slide kaca. Tes dikatakan positif jika terjadi aglutinasi
dalam waktu 30 detik. Sedangkan tes koagulase metode tabung
dilakukan dengan mentransfer beberapa koloni bakteri ke dalam
tabung yang telah berisi plasma darah. Enzim koagulase bakteri
akan bereaksi dengan plasma protein disebut Coagulase
3) Tes DNAse
Tes ini dilakukan pada media DNA agar dan akan
terbentuk clear halo di sekitar koloni bakteri S. aureus karena
kemampuan bakteri untuk mendigesti DNA (Gambar 12).15
c. Kultur
Bakteri S. aureus dapat tumbuh pada beberapa medium aerob
maupun kondisi mikroaerofilik pada suhu 37°C tetapi suhu terbaik
untuk membentuk pigmen yaitu pada suhu 20-25°C. Koloni bakteri
pada medium padat berbentuk bulat, berwarna abu-abu hingga
kuning keemasan, berdiameter 3-4 mm, mempunyai permukaan
halus, dan berkilauan. Jika dikultur pada blood agar, koloni bakteri
akan melisiskan sel-sel darah akibat enzim β hemolisis. Medium
selektif dan diferensial untuk bakteri S. aureus juga sudah tersedia,
seperti Mannitol Salt Agar (MSA) dan Chromogenic Agar (Gambar
13 dan 14).15,16
Gambar 13. Kultur Bakteri S. aureus pada beberapa media: A. Nutrient Agar:
tampak koloni bakteri berwarna kuning keemasan; B: Blood Agar: tampak koloni
bakteri berwarna abu-abu hingga kuning keemasan dan dikelilingi oleh zona bersih
hemolisis berdiameter sekitar 1 cm; C: Mannitol Salt Agar: tampak koloni
berwarna kuning akibat fermentasi manitol.15
(Sumber: Essentials of Medical Microbiology. First Edition. 2016.)
Gambar 15. Disk Diffusion Testing bakteri MRSA pada media agar MH
dengan antibiotik cefoxitin 30 µg.19
(Sumber: Performance Standards of Antimicrobial Susceptibility Testing M100 CLSI. 28th
edition. 2018)
Gambar 16. Inokulasi Sampel: Ambil 4-5 koloni dengan menggunakan loop
atau swab dari kultur Staphylococcus aureus (A). Masukkan swab ke dalam
tabung saline atau broth untuk membuat supensi (B). Sesuaikan turbiditas
suspensi dengan McFarland 0,5 (C). Masukkan swab steril ke dalam suspensi
dan putar terhadap dinding dari tabung diatas batas cairan untuk
menghilangkan inokulum yang berlebih (D). Gosokkan swab pada
permukaan lempeng Mueller-Hinton Agar yang mengandung oxacillin 6
μg/ml. (E). Gosokkan 3 kali dengan arah yang berbeda untuk membentuk
lapisan tipis inokulum, kemudian inkubasi.20
(Sumber: NCCLS. Methods For Dilution Antimicrobial Susceptibility Tests For Bacteria That
Grow Aerobically. 2004).
Gambar 18. Strip E-Test bakteri MRSA: Methicillin (ME) dan Vancomycin
(VA).18
(Sumber: Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus: Comparison Of Susceptibility Testing
Methods And Analysis Of Meca-Positive Susceptible Strains. Journal Of Clinical Microbiology.
2001)
Alat VITEK merupakan alat yang digunakan untuk
identifikasi kuman dan tes sensitivitas antibiotik secara
automatik menggunakan metode MIC. Metode ini memiliki
sensitivitas 99% dan spesifisitas 96% (Gambar 19).21
B. Penatalaksanaan
Antibiotik vancomycin masih merupakan antibiotik pilihan utama
terapi infeksi bakteri MRSA yang diberikan secara intravena dengan dosis
500 mg tiap 6 jam atau 1 gram tiap 12 jam untuk dewasa dan 10 mg/kgBB
tiap kali penggunaan diberikan 4 kali sehari untuk anak-anak. Tes sensitivitas
antibiotik tetap harus dilakukan sebelum pemberian terapi antibiotik. Selain
itu, untuk penanganan infeksi kulit, selain pemberian antibiotik sistemik harus
juga diberikan tindakan khusus seperti insisi dan drainase jika terdapat
abses.1,2,6
Pemilihan antibiotik yang efektif untuk terapi infeksi HA-MRSA lebih
sulit dibandingkan infeksi CA-MRSA karena kasus MDR-MRSA lebih
banyak ditemukan pada infeksi HA-MRSA. Pilihan antibiotik yang bisa
digunakan untuk terapi MDR-MRSA antara lain vancomycin, linezolid,
tigecycline, quinupristin-dalfopristin, dan dapromycin.2
Antibiotik golongan sefalosporin generasi kelima yaitu ceftobiprole
dan ceftaroline merupakan antibiotik yang menjanjikan untuk mengatasi
infeksi bakteri MRSA dan VRSA. Antibiotik ini resisten terhadap enzim beta
laktamase dan bekerja dengan menghambat modifikasi dari PBP. Selain itu,
antibiotik quinupristin-dalfopristin, streptogramin, daptomycin, linezolid, dan
televancin, masih mempunyai aktivitas yang cukup baik terhadap VISA dan
VRSA.1-4,7
IX. KOMPLIKASI
Sekitar 5-10% strain bakteri MRSA bersifat invasif dan dapat
menyebabkan manifestasi klinis yang serius seperti necrotizing fasciitis, necrotizing
pneumonia, sepsis yang disertai sindrom Waterhouse-Friderichsen, dan purpura
fulminan. Keadaan ini mengindikasikan peningkatan virulensi dari strain bakteri
MRSA karena mempunyai risiko kematian yang lebih tinggi.5,15
XI. RINGKASAN
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan strain
dari bakteri S. aureus yang telah resisten dengan semua antibiotik golongan β-
laktam yaitu penisilin (methicillin, oxacillin, nafcillin) dan sefalosporin.
Berdasarkan sumber infeksinya, bakteri MRSA dibedakan atas 2 kelompok yaitu
CA-MRSA jika sumber infeksinya berasal dari komunitas masyarakat dan HA-
MRSA jika sumber infeksinya berasal dari tempat pelayanan kesehatan.
Mekanisme penyebab utama terjadinya MRSA karena adanya gen mecA
atau gen mecC yang berperan dalam modifikasi dari penicillin-binding protein
(PBP) pada membran sel bakteri dengan memproduksi PBP baru yaitu PBP-2a atau
PBP-2c. Manifestasi klinis infeksi bakteri S. aureus dibedakan menjadi 2
kelompok, yaitu lokal dan sistemik. Manifestasi klinis lokal ditandai dengan adanya
pus atau piogenik lokal yang disertai destruksi jaringan oleh enzim hidrolitik dan
sitotoksin, sedangkan manifestasi sistemik dimediasi oleh toksin-toksin yang
diproduksi oleh bakteri S.aureus. Sekitar 5-10% strain bakteri MRSA bersifat
invasif dan dapat menyebabkan manifestasi klinis yang serius seperti necrotizing
fasciitis, necrotizing pneumonia, sepsis yang disertai sindrom Waterhouse-
Friderichsen, dan purpura fulminan.
Tes sensitivitas antibiotik untuk bakteri MRSA yang disarankan oleh
Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI) yaitu dengan menggunakan
metode disk diffusion testing. Antibiotik vancomycin masih merupakan antibiotik
Spesimen:
Darah, Urin, Pus, Dahak
Mikroskopik:
Pewarnaan Gram (+), coccus,
berkelompok
Tes Biokimia:
Katalase (+), Koagulase (+),
DNase (+)
Sensitif ≤ 21 mm Resisten ≥ 22 mm
PCR PCR
Gen mecA (+) Gen mecA (-) Gen mecA (+) Gen mecA (-)
1. Engelkirk PG, Engelkirk JD. Inhibiting the Growth of Pathogens In Vivo using
Antimicrobial Agents: Drug Resistance. In: Burton’s Microbiology for the
Health Sciences. Tenth Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015. p.163-72.
2. Iowa State University. Methicillin Resistant Staphylococcus aureus [internet].
May 2016. [cited September 6, 2019]. Available from:
http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/mrsa.pdf
3. Giske, et al. Methicillin Resistant Staphylococcus aureus. In: EUCAST
Guidelines for Detection of Resistance Mechanisms and Specific Resistances
of Clinical and/or Epidemiological Importance. 2017. p. 30-2.
4. McPherson RA, Pincus MR. Medical Important Bacteria: Staphylococcus. In:
Henry’s Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 22nd
Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p.1082-4.
5. Lowy FD. Bacterial Infections: Staphylococcal Infections. In: Fauci AS, et al,
editors. Harrison’s Infectious Diseases. USA: The McGraw-Hill; 2015. 19th
edition. p. 954-63.
6. Murray, PR. Staphylococcus aureus. In: Basic Medical Microbiology.
Philadelphia: Elsevier; 2018. p. 29-32.
7. Hogg S. Antimicrobial Agents: Resistance to Antibiotics. In: Essential
Microbiology. Second Edition. UK: John Wiley and Sons; 2012. p. 433-9.
8. Gordon RJ, Lowy FD. Supplement Article: Pathogenesis of Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus Infection. In: Clinical Infectious Diseases.
New York: 2008; 46(5). p. 350-9. [cited September 5, 2014]. Available from:
http://cid.oxfordjournals.org
9. Madigan MT, et al. Explore the Microbial World: MRSA – A Formidable
Clinical Challenge. In: Brock Biology of Microorganism. 15th edition. UK:
Pearson Education Limited; 2019. p. 872.
10. Hassoun A, Linden PK, Friedman B. Incidence, prevalence, and management
of MRSA bacteremia across patient populations – a review of recent
development in MRSA management and treatment. In: Critical Care. USA:
2017; 211.
11. Wildana, dkk. Resistensi terhadap methicillin (methicillin resistant)
Staphylococcus aureus di Instalasi Rawat Inap. Dalam: Indonesian Scientific
Journal Database. 2010.
12. Archer GL, Polk RE. Bacterial Infections: Approach to Therapy for Bacterial
Diseases. In: Fauci AS, et al, editors. Harrison’s Infectious Diseases. USA: The
McGraw-Hill; 2015. 19th edition. p. 354-73.