Regulasi Emosi Ortu
Regulasi Emosi Ortu
SKRIPSI
PRISHEILLA DWIFAHIRA
1606883114
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
DEPOK
JANUARI 2021
SKRIPSI
PRISHEILLA DWIFAHIRA
1606883114
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
DEPOK
JANUARI 2021
ii
Peran regulasi..., Prisheilla Dwifahira, FPSI-UI, 2021
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
iii
Peran regulasi..., Prisheilla Dwifahira, FPSI-UI, 2021
HALAMAN PENGESAHAN
iv
Peran regulasi..., Prisheilla Dwifahira, FPSI-UI, 2021
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
“Peran Regulasi Emosi Orang Tua dalam Memprediksi Effortful Control Anak
Usia Dini 3 – 8 Tahun”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Prisheilla Dwifahira
v
Peran regulasi..., Prisheilla Dwifahira, FPSI-UI, 2021
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tidak hanya itu, peneliti juga ingin
menggunakan kesempatan ini untuk mengucap terima kasih kepada orang-orang yang
telah berkontribusi kepada penyelesaian skripsi ini, yaitu:
Prisheilla Dwifahira
vi
Penelitian terdahulu telah menemukan bahwa orang tua memiliki peran penting dalam
perkembangan effortful control (EC) anak. Walau terdapat indikasi dari temuan yang ada,
belum ada penelitian yang secara langsung melihat hubungan antara regulasi emosi orang
tua dan EC anak. Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan regulasi emosi orang
tua berdasarkan jenis kelamin dan bagaimana kontribusi regulasi emosi masing-masing
ayah dan ibu dalam memprediksi EC anak usia dini 3-8 tahun. Sebanyak 98 pasangan
orang tua mengisi kuesioner self-report untuk mengukur regulasi emosi masing-masing
ayah dan ibu serta EC anak mereka. Berbeda dengan dugaan awal, hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara regulasi emosi ayah dan ibu. Selain
itu, regulasi emosi ayah dan ibu tidak dapat memprediksi EC anak usia dini 3-8 setelah
mengontrol usia anak, jenis kelamin anak, tingkat sosial ekonomi keluarga, dan tingkat
pendidikan orang tua, serta interaksi regulasi emosi orang tua juga tidak dapat
memprediksi EC anak usia dini. Temuan ini membuka ruang untuk diskusi mengenai
faktor-faktor yang dapat memengaruhi hasil penelitian ini, seperti konteks situasi
pandemi dan peran variabel lainnya yang lebih dominan.
Kata Kunci:
Regulasi emosi, effortful control, orang tua, interaksi, anak usia dini
vii
Universitas Indonesia
Previous studies have found that parents play an important role in child’s effortful control
(EC). Despite existing indications, no research has directly examined the relationship
between parental emotion regulation and child’s effortful control. This study investigates
parental emotion regulation differences based on gender and how mother’s and father’s
respective emotion regulation contributes to effortful control in early childhood aged 3-8
years old. In total, 98 pairs of parents completed a self-report questionnaire to measure
emotion regulation and their child’s EC. Contrary to the predictions, results showed no
differences between mother’s and father’s emotion regulation. Furthermore, mother’s and
father’s emotion regulation cannot predict early childhood EC after controlling for child’s
age, child’s gender, family’s social economic status, and parents’ level of education, and
the interaction between mother’s and father’s emotion regulation cannot predict early
childhood EC. This yields room for discussion about the factors that might affect the
results, such as pandemic context and the role of other more dominant variables.
Keywords:
Emotion regulation, effortful control, parents, interaction, early childhood
viii
Universitas Indonesia
ix
Universitas Indonesia
x
Universitas Indonesia
xi
Universitas Indonesia
1
Universitas Indonesia
(Putnam & Rothbart, 2006). Komponen effortful control adalah aspek regulasi dari
temperamen (Spinrad & Eisenberg, 2015; Eisenberg, 2012). Dari ketiga komponen
temperamen yang ada, penelitian mengenai perkembangan effortful control (EC) pada
anak usia dini merupakan area yang pesat berkembang. Hal ini disebabkan karena EC
merupakan salah satu aspek yang memiliki peran penting dalam perkembangan anak usia
dini, dimana perkembangan EC dapat mendukung atau mengganggu kemampuan anak
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya (Spinrad & Eisenberg, 2015). EC
didefinisikan sebagai perbedaan individu dalam rangkaian kemampuan yang
memungkinkan individu untuk meregulasi diri dengan menahan respons dominan untuk
memberikan respons subdominan agar dapat merencanakan atau mendeteksi error
(Rothbart & Bates, 2006). Dalam keseharian anak, EC memiliki peran penting dalam
mendukung perkembangan anak dalam berbagai aspek, seperti aspek akademis dan
sosial. Penelitian terdahulu telah menemukan bahwa anak usia dini dengan EC yang baik
cenderung menunjukkan kesiapan sekolah dan performa akademis yang baik maupun
dalam jangka pendek (Nathanson et al., 2009; Shields et al., 2001) atau panjang (Valiente
et al., 2011, McLelland et al., 2007), kepatuhan terhadap ekspektasi sosial yang ada
(Rothbart & Rueda, 2005; Spinrad et al., 2006, Valiente et al., 2011), dan empati serta
perilaku prososial yang baik (Spinrad & Eisenberg, 2015; Rothbart & Rueda, 2005).
Sejumlah temuan ini menunjukkan bahwa anak dengan EC yang baik akan mengalami
penyesuaian yang baik pula, maupun dalam aspek akademis atau sosial. Pada anak usia
dini, hal ini menjadi suatu hal yang amat penting mengingat bahwa tantangan yang
mereka hadapi tidak lepas dari aspek akademis dan sosial. Sebagai contoh, saat masuk
sekolah, anak usia dini harus belajar bagaimana cara untuk mengendalikan dirinya dalam
menghadapi sifat teman sebaya yang beragam agar ia dapat bergaul dan bermain bersama
mereka.
Banyaknya temuan mengenai manfaat EC menunjukkan bahwa EC adalah hal
yang penting untuk dioptimalisasi, terutama bagi anak usia dini. Sementara itu, jika
perkembangan EC diabaikan, hal tersebut akan berdampak pada kemampuan anak untuk
menyesuaikan diri dan kemunculan perilaku disruptif. Sebagai contoh, anak dengan EC
yang buruk akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan emosi negatifnya, sehingga
ia akan banyak terlibat dalam perseteruan dengan orang lain (Spinrad & Eisenberg, 2015).
Tidak hanya itu, EC yang buruk juga dapat berdampak pada munculnya perilaku
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
perilakunya (Hoffman, 2001). Berbagai temuan ini menunjukkan bahwa ekspresi emosi
orang tua berpengaruh pada perkembangan EC anak, sedangkan ekspresi emosi sendiri
merupakan sesuatu yang dipengaruhi oleh regulasi emosi.
Pembahasan mengenai hubungan regulasi emosi orang tua dan EC anak dapat
dimulai dengan memahami regulasi emosi terlebih dahulu. Regulasi emosi adalah proses
intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk memonitor, mengevaluasi, dan
memodifikasi reaksi emosi untuk mencapai tujuan tertentu (Thompson, 1994). Dalam
kata lain, regulasi emosi melibatkan kesadaran akan pengalaman emosi dan kemampuan
untuk memodulasi respons emosi sesuai dengan tuntutan situasi atau tujuan pribadi (Gratz
& Roemer, 2004). Menurut Gross (1998), terdapat dua strategi dalam regulasi emosi.
Strategi yang digunakan sebelum respons emosional sepenuhnya dihasilkan disebut
sebagai strategi antecedent-focused, sementara strategi yang digunakan setelah respons
emosional sudah dihasilkan disebut sebagai strategi response-focused. Pada strategi
antecedent-focused, individu meregulasi emosinya dengan mengubah signfikansi atau
arti dari situasi tertentu. Salah satu caranya adalah dengan melakukan cognitive
reappraisal, yaitu menafsirkan situasi yang dapat memicu emosi dengan cara tertentu
yang mengubah dampak emosionalnya. Sementara itu, pada strategi response-focused,
individu meregulasi ekspresi emosinya seperti dengan expressive suppression, yaitu
menghambat ekspresi emosi yang sedang berlangsung (Gross, 1998).
Dalam konteks pengasuhan, regulasi emosi berkaitan dengan bagaimana orang
tua berinteraksi dan mengekspresikan emosi mereka kepada anak. Saat orang tua
mengalami permasalahan regulasi emosi dan tidak dapat meregulasi emosinya dengan
baik, mereka cenderung menunjukkan perilaku yang tidak suportif dalam pengasuhan.
Pada akhirnya, hal tersebut dapat berdampak pada perkembangan anak yang buruk (Dix,
1991). Sebagai contoh, pada penelitian terhadap orang tua dari anak usia 4-6 tahun,
Shaffer dan Obradovic (2016) menemukan bahwa kesulitan orang tua dalam
mengidentifikasi dan menggunakan strategi regulasi emosi yang sesuai dan efektif
memiliki hubungan yang negatif dengan perilaku pengasuhan yang positif/kolaboratif
(e.g. sejauh mana orang tua dan anak bekerja sama dalam mengerjakan suatu tugas) saat
diukur melalui observasi terhadap kualitas interaksi orang tua dan anak. Dari penelitian
ini, disimpulkan bahwa semakin baik kemampuan regulasi emosi orang tua, semakin
positif pula perilaku mereka dalam mengasuh anak.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
meregulasi emosinya akan menunjukkan rasa frustrasi dan agresinya melalui strategi
mendisiplinkan yang terlalu membebaskan atau membatasi dan keras. Anak akan merasa
tertekan lalu kesulitan untuk meregulasi dirinya, sehingga perkembangan EC-nya pun
terganggu.
Dalam membahas regulasi emosi orang tua, ditemukan bahwa terdapat
perbedaan antara regulasi emosi ayah dan ibu serta bagaimana mereka masing-masing
memengaruhi perkembangan anak. Sebagai contoh, Bariola et al. (2012) menemukan
bahwa regulasi emosi masing-masing ayah dan ibu berhubungan dengan regulasi emosi
anak, namun regulasi emosi ibu memiliki hubungan yang lebih kuat dengan regulasi
emosi anak dibandingkan dengan regulasi emosi ayah. Adanya perbedaan ini dapat terjadi
karena ibu lebih terlibat secara proaktif dalam mensosialisasikan emosi terhadap anak
dibandingkan ayah (Bariola et al., 2012; Doan et al., 2018). Selain itu, dalam memahami
emosi, ayah cenderung lebih tidak menyadari emosi yang dirasakannya dibandingkan ibu.
Begitu pula terhadap anak, dalam menenangkan kesedihan anak, ayah cenderung lebih
tidak membantu dibandingkan ibu (Lagacé-Séguin, 2005). Terdapat pula kemungkinan
bahwa regulasi emosi ayah dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap stereotip gender,
dimana laki-laki dipandang memiliki kecenderungan untuk menahan emosinya (Fabes &
Martin, 1991). Temuan-temuan tersebut mengusulkan bahwa ayah dan ibu akan
memengaruhi perkembangan anak dengan cara yang berbeda, sehingga pengukuran
kemampuan regulasi emosi perlu dilakukan kepada keduanya. Perbedaan regulasi emosi
antara ayah dan ibu juga ditemukan dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal lainnya,
seperti budaya (e.g. Ford & Mauss, 2015; Butler et al., 2007; Gross & John, 2003), tingkat
sosial ekonomi (Troy et al., 2016), dan tingkat pendidikan (Vitulić & Prosen, 2016).
Melihat bahwa terdapat pengaruh dari berbagai faktor eksternal ini, sejumlah hal tersebut
perlu dipertimbangkan dalam mempelajari regulasi emosi orang tua.
Regulasi emosi orang tua tidak hanya berbeda antara ibu dan ayah, namun
keduanya juga dapat memberikan kontribusi gabungan terhadap perkembangan anak.
Pada studi Graziano et al. (2009) mengenai pengasuhan orang tua, ditemukan bahwa
hubungan antara pengasuhan salah satu orang tua dengan perkembangan anak dapat
dimoderasi oleh pengasuhan orang tua lainnya. Karena regulasi emosi orang tua
merupakan hal yang dapat memengaruhi pengasuhan, dinamika yang serupa diduga dapat
ditemukan pula pada regulasi emosi orang tua. Jika salah satu orang tua memiliki
Universitas Indonesia
kemampuan regulasi emosi yang baik, hal tersebut diduga dapat memperkuat hubungan
antara regulasi emosi orang tua lainnya dan perkembangan EC anak. Meski demikian,
studi terkait regulasi emosi orang tua terdahulu belum melihat interaksi antara regulasi
emosi orang tua secara langsung (e.g. Doan et al., 2018; Bariola et al., 2012). Dengan
demikian, selain melihat perbedaan antara kemampuan regulasi emosi ayah dan ibu,
interaksi antara keduanya perlu untuk dipelajari pula dalam melihat perannya terhadap
perkembangan EC anak.
Selain dipengaruhi orang tua, perkembangan EC anak juga dipengaruhi oleh
faktor biologis. Sebagai komponen dari temperamen, EC memiliki dasar genetis. Dalam
kata lain, EC dapat diturunkan dari orang tua kepada anak dengan estimasi heritabilitas
yang cukup besar, seperti contohnya sebesar 58% saat diukur pada masa kanak-kanak
(Goldsmith et al., 1997). EC juga dipengaruhi oleh kematangan kemampuan motorik dan
kognitif; semakin bertambahnya usia, kemampuan motorik dan kognitif akan makin
berkembang pula. Perkembangan EC terjadi paling pesat di usia dini dan terus berlanjut
hingga usia dewasa, walau dalam laju yang lebih lambat (Spinrad & Eisenberg, 2015).
Terdapat pula pengaruh jenis kelamin terhadap EC anak, dimana beberapa penelitian
menemukan bahwa anak perempuan memiliki EC yang lebih baik dibandingkan laki-laki
(e.g. Else-Quest et al., 2006; Kochanska et al., 2000).
Dari faktor-faktor yang telah dijabarkan, penelitian ini akan berfokus pada
bagaimana orang tua memengaruhi EC anak. Secara spesifik, penelitian ini akan
menyelidiki bagaimana regulasi emosi ayah dan ibu masing-masing memengaruhi EC
anak. Meski sudah terdapat indikasi akan adanya kaitan regulasi emosi orang tua dan EC
anak, belum ada penelitian yang secara langsung mempelajari hubungan antara keduanya.
Untuk melengkapi limitasi yang ada pada penelitian terdahulu, penelitian ini bertujuan
untuk menyelidiki pengaruh regulasi emosi masing-masing ayah dan ibu terhadap EC
anak usia 3-8 tahun. Penelitian ini juga bertujuan untuk menyelidiki apakah terdapat
perbedaan regulasi emosi antara keduanya, serta apakah terdapat interaksi antara
keduanya. Pembagian regulasi emosi orang tua berdasarkan jenis kelamin dilakukan
berdasarkan pertimbangan bahwa ayah dan ibu memiliki kemampuan regulasi emosi yang
berbeda. Maka itu, masing-masing ayah dan ibu diduga akan memengaruhi EC anak
dengan cara yang berbeda pula, dengan dugaan bahwa ibu akan lebih memengaruhi EC
anak berdasarkan temuan penelitian terdahulu. Sementara itu, pemilihan kelompok usia
Universitas Indonesia
3-8 tahun mengacu kepada Rothbart et al. (2003) dan Eisenberg (2012) yang menjelaskan
bahwa perkembangan EC terjadi paling pesat di usia dini, terutama dalam lima tahun
pertama hidup. Penelitian akan dilakukan menggunakan alat ukur self-report yang diisi
oleh masing-masing ayah dan ibu, baik untuk mengukur regulasi emosi orang tua maupun
EC anak. Dalam penelitian ini, dilakukan kontrol terhadap usia anak dengan
membatasinya terhadap kelompok usia dini, yakni 3-8 tahun. Selain itu, dilakukan pula
kontrol terhadap jenis kelamin anak, tingkat sosial ekonomi keluarga, dan tingkat
pendidikan orang tua. Detail mengenai metode penelitian akan dijelaskan pada Bab 3.
Universitas Indonesia
terpisah berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan penelitian lanjutan terkait peran orang tua dan
perkembangan EC anak.
Universitas Indonesia
Pada bab ini, akan dijelaskan dasar teori mengenai variabel penelitian ini, yaitu
regulasi emosi dan effortful control serta hal-hal yang terkait dengan keduanya.
9 Universitas Indonesia
Peran regulasi..., Prisheilla Dwifahira, FPSI-UI, 2021
10
genetis dan lingkungan (Goldsmith et al., 1987). Sementara itu, EF adalah kemampuan
kognitif tingkat tinggi (higher order) yang dapat dipengaruhi oleh intervensi atau
pelatihan (Diamond et al., 2007; Garon et al., 2008). Perbedaan juga dapat dilihat dari
pemrosesan; executive attention (sebagai bagian dari EC) cenderung melibatkan proses
yang bersifat cepat dan automatis, sementara EF melibatkan proses yang lebih lambat dan
membutuhkan usaha yang lebih besar (Blair & Ursache, 2011).
Walau terdapat perbedaan antara EC dan EF, terdapat kesamaan antara konsep
keduanya. Pertama, EC memiliki ciri yang sama dengan inhibition yang merupakan salah
satu komponen EF. Kedua, executive attention (sebagai bagian dari EC) juga menyerupai
komponen attentional atau working memory dalam EF. Dengan kata lain, irisan antara
keduanya dapat dilihat dari mekanisme attentional dan inhibitory control yang sama-
sama menjadi proses regulasi yang penting dalam EC dan EF (Liew, 2011). Dari jangka
waktu perkembangan, keduanya berkembang secara pesat pada usia dini; EC mulai
berkembang dimulai dari usia dua belas bulan dan meningkat secara stabil antara usia
balita awal hingga prasekolah, sementara EF mulai berkembang pada usia dini hingga
dewasa (Bridgett, 2013).
Universitas Indonesia
2. Usia
Umumnya, kemampuan EC anak bertambah baik seiring bertambahnya usia
dan berkembangnya kemampuan motorik dan kognitif (Eisenberg et al., 2004;
Spinrad & Eisenberg, 2015; Kochanska, 2000). Hal ini ditunjukkan pada
penelitian Kochanska (2000) yang menemukan bahwa terdapat peningkatan
performa pada usia 22 bulan dan 33 bulan dalam melakukan berbagai tugas
EC, yaitu menunda, memperlambat aktivitas motorik, menahan atau memulai
aktivitas sesuai dengan sinyal yang diberikan, effortful attention, dan
merendahkan suara. Perkembangan EC paling pesat terjadi pada usia dini,
terutama pada lima tahun pertama (Rothbart et al., 2003; Eisenberg et al.,
2012).
3. Jenis Kelamin
Sejumlah penelitian menemukan bahwa jenis kelamin anak berhubungan
dengan EC mereka. Anak perempuan ditemukan memiliki EC yang cenderung
lebih baik dibanding anak laki-laki. Pada penelitian meta-analisis Else-Quest
et al. (2006), anak perempuan pada usia sekolah disimpulkan memiliki
kemampuan untuk mengatur perhatian dan menahan impuls mereka dibanding
dengan anak laki-laki. Hasil yang serupa juga ditemukan pada usia yang lebih
muda, dimana Kochanska et al. (2000) menemukan bahwa pada usia 22-33
bulan, anak perempuan memiliki performa yang lebih baik dalam
mengerjakan berbagai tugas EC seperti suppression, effortful attention, dan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
ekspresi emosi yang sedang berlangsung (Gross, 1998). Sebagai contoh akan penggunaan
kedua strategi tersebut, ambil situasi dimana seorang ibu mendapati anaknya sedang
merajuk berlebihan dan memukul benda-benda di sekitarnya. Situasi tersebut mungkin
akan membuat sang ibu merasa marah. Saat ibu mulai merasakan emosi tersebut, ibu
dapat mengubah pengalaman emosinya dengan meninjau kembali bagaimana ia melihat
situasinya (cognitive reappraisal). Contohnya, daripada memikirkan bahwa anaknya
sedang merajuk dan merasa kesal, ibu dapat berusaha untuk lebih memikirkan bagaimana
solusi hingga ia berhenti merajuk. Dengan demikian, perasaan marah yang dirasakan ibu
akan berkurang. Namun, jika ibu tetap membiarkan dirinya merasa marah kepada anak,
ibu harus berusaha untuk menahan ekspresi amarahnya (expressive suppression), karena
tidak patut baginya untuk berlaku keras yang dapat menyakiti fisik maupun perasaan
anak.
Seperti emosi, terdapat berbagai pandangan yang memberikan penekanan berbeda
dalam mendefinisikan regulasi emosi. Ada pandangan yang menekankan aspek kontrol
akan pengalaman dan ekspresi emosi, terutama kontrol ekspresi emosi negatif (e.g.
Garner & Spears, 2007; Cortez & Bugental, 1994). Ada pula pandangan yang melihat
bahwa regulasi emosi tidak hanya melibatkan aspek kontrol saja, namun juga melibatkan
proses memonitor dan mengevaluasi pengalaman emosi seseorang (e.g. Thompson, 1994;
Cole et al., 1994). Dengan demikian, kesadaran, pemahaman, serta penerimaan seseorang
akan emosi yang dialami menjadi hal yang amat penting dalam regulasi emosi (Thompson
& Calkins, 1996; Cole et al., 1994). Selain itu, ada pula yang menekankan bahwa regulasi
emosi melibatkan fleksibilitas dalam menggunakan strategi regulasi emosi sesuai dengan
tuntutan situasi dan tujuan individu. Pandangan ini melihat bahwa regulasi emosi dapat
dilakukan dengan memodulasi pengalaman emosi, bukan dengan mengeliminasi emosi
tertentu (Thompson, 1994; Thompson & Calkins, 1996).
Berbagai definisi dan pandangan akan regulasi emosi yang ada diintegrasikan oleh
Gratz dan Roemer (2004) menjadi suatu penjelasan bahwa regulasi emosi terdiri dari: (a)
kesadaran dan pemahaman akan emosi, (b) penerimaan akan emosi, (c) kemampuan
mengontrol perilaku impulsif dan berperilaku sesuai dengan tujuan yang diinginkan saat
mengalami emosi negatif, dan (d) kemampuan untuk menggunakan strategi regulasi
emosi yang sesuai dengan situasi secara fleksibel untuk memodulasi respons emosional
seperti yang diinginkan agar dapat mencapai tujuan individu dan tuntutan situasi.
Universitas Indonesia
Seseorang dinyatakan memiliki kesulitan dalam meregulasi emosi jika ia tidak memiliki
salah satu atau semua kemampuan ini. Poin terakhir pada definisi Gratz dan Roemer
(2004) menunjukkan bahwa mereka mendasari penjelasannya berdasarkan pandangan
Thompson (1994), yang menganggap bahwa regulasi emosi melibatkan fleksibilitas
dalam menggunakan strategi regulasi emosi sesuai dengan tuntutan situasi dan tujuan
individu. Definisi ini lalu dijadikan dasar bagi Gratz dan Roemer (2004) dalam membuat
dimensi pada pengembangan alat ukur disregulasi emosi yang dinamakan Difficulties in
Emotional Regulation Scale (DERS, Gratz & Roemer, 2004).
Pada penelitian ini, pandangan yang digunakan adalah definisi Thompson (1994)
yang dielaborasikan lebih lanjut dengan Gratz dan Roemer (2004) melalui dimensi
regulasi emosi mereka. Penelitian ini tidak berusaha menemukan strategi regulasi emosi
mana yang lebih adaptif atau lebih banyak digunakan dan berkaitan dengan EC, namun
cenderung melihat regulasi emosi sebagai sesuatu yang harus digunakan secara fleksibel
untuk menyesuaikan dengan konteks situasi, sebagaimana yang didefinisikan oleh
Thompson (1994) serta Gratz dan Roemer (2004). Sesuai dengan cara pandang tersebut,
penelitian ini mengacu pada konseptualisasi serta alat ukur regulasi emosi Gratz dan
Roemer (2004) dalam membahas variabel regulasi emosi.
Universitas Indonesia
dibentuk oleh perubahan dalam lingkungan fisik dan sosial serta bertambahnya
pengalaman hidup (Gross & Thompson, 2007).
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin ditemukan menjadi sesuatu yang memengaruhi regulasi
emosi. Umumnya, perempuan ditemukan menunjukkan tingkat regulasi emosi
yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Dalam kata lain, perempuan mengeluarkan
usaha yang lebih besar untuk meregulasi emosinya. Perempuan juga ditemukan
mencoba strategi regulasi emosi yang lebih banyak (Kwon et al., 2013) dan
dengan cara yang lebih fleksibel (Goubet & Chrysikou, 2019) dibanding laki-laki.
Tidak hanya itu, ada pula tendensi pada perempuan untuk menyalahkan dirinya
sendiri sebagai upaya untuk meregulasi emosinya, karena perempuan cenderung
melihat emosi mereka sebagai sesuatu yang internal, bukan sesuatu yang spesifik
pada situasi tertentu (Nolen-Hoeksema, 2012).
3. Budaya
Budaya memengaruhi bagaimana orang-orang termotivasi untuk
meregulasi emosi mereka (Ford & Mauss, 2015). Emosi adalah sesuatu yang
dapat mendukung atau mengganggu harmoni sosial. Dengan mempertimbangkan
hal tersebut, anggota dari budaya yang interdependen (e.g. Asia) seharusnya lebih
termotivasi untuk meregulasi emosinya dibandingkan dengan anggota budaya
yang independen (e.g. Eropa, Amerika) (Butler et al., 2007). Pandangan ini
didukung oleh temuan bahwa orang Asia dan Asia-Amerika lebih sering
melakukan regulasi emosi, memiliki preferensi terhadap regulasi emosi yang lebih
besar, dan cenderung lebih banyak menggunakan strategi regulasi emosi
suppression, khususnya menahan amarah, dibandingkan dengan orang Eropa
(Gross & John, 2003; Matsumoto et al., 2008) dan Eropa-Amerika (Mauss et al.,
2010).
Universitas Indonesia
5. Tingkat Pendidikan
Pada orang dewasa, tingkat pendidikan ditemukan memengaruhi strategi
regulasi emosi yang digunakan. Orang dewasa dengan tingkat pendidikan yang
rendah hingga menengah cenderung menggunakan strategi regulasi emosi
suppression yang lebih sering daripada reappraisal dibandingkan dengan orang
dewasa dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Hal ini dapat dijelaskan oleh
kaitan antara tingkat pendidikan dan kemampuan coping seseorang; seseorang
dengan tingkat pendidikan yang rendah memiliki kemampuan coping yang lebih
terbatas, hingga akhirnya mereka menggunakan strategi regulasi emosi yang pasif
seperti suppression untuk menghadapi tantangan di lingkungan sekitarnya
(Vitulić & Prosen, 2016).
Universitas Indonesia
mengindikasikan bahwa secara garis besar, terdapat strategi regulasi emosi yang lebih
adaptif daripada strategi lainnya tanpa memandang konteks situasi. Hal ini bertentangan
dengan definisi regulasi emosi Thompson (1994) yang melihat bahwa strategi regulasi
emosi bersifat adaptif, dalam arti digunakan menyesuaikan dengan konteks yang ada.
Selain ERQ, terdapat pula Trait Meta-Mood Scale (TMMS; Salovey et al., 1995,
dalam Gratz & Roemer, 2004) yang mengukur perbedaan kemampuan individu untuk
merefleksikan dan mengatur emosi. TMMS memiliki tiga subskala yang sudah memiliki
reliabilitas dan validitas yang baik, yaitu attention to feelings, clarity of feelings, dan
mood repair. Walau demikian, TMMS memiliki kelemahan yakni tidak mengukur
kemampuan untuk berperilaku sesuai kehendak saat mengalami emosi negatif. Padahal,
kemampuan ini penting untuk diketahui, apalagi dalam konteks klinis (Gratz & Roemer,
2004).
Untuk melengkapi kekurangan dalam alat ukur regulasi emosi terdahulu, Gratz
dan Roemer (2004) mengembangkan Difficulties in Emotional Regulation Scale (DERS)
untuk mengukur disregulasi atau kesulitan dalam meregulasi emosi. Alat ukur ini
mengukur enam dimensi dalam disregulasi emosi: (1) kurangnya kesadaran individu
terhadap emosinya (awareness); (2) kurangnya kejelasan mengenai sifat dari emosi
individu (clarity); (3) kurangnya penerimaan individu terhadap emosinya
(nonacceptance), (4) kurangnya akses individu pada strategi regulasi emosi yang efektif
(strategies), (5) kurangnya kemampuan individu untuk terlibat dalam aktivitas yang
mengarahkan pada tujuan ketika mengalami emosi negatif (goals); dan (6) kurangnya
kemampuan individu untuk mengelola impulsnya ketika mengalami emosi negatif
(impulse). DERS memiliki karakteristik psikometri yang baik dan telah diadaptasi
menjadi versi pendek, di antaranya adalah DERS-SF (Kaufman et al., 2015) dan DERS-
18 (Victor & Klonsky, 2016). Hingga sekarang, DERS beserta berbagai versi pendeknya
merupakan alat ukur yang populer digunakan untuk mengukur regulasi emosi pada
populasi dewasa.
Tujuan utama dalam pembuatan DERS adalah untuk mengukur disregulasi emosi
secara lebih komprehensif dibandingkan alat ukur regulasi emosi lainnya. Hal yang
menarik dan membedakan DERS dari alat ukur regulasi emosi lainnya adalah alat ukur
ini tidak berusaha untuk mengetahui kecenderungan penggunaan strategi regulasi emosi
tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh ERQ. Namun, DERS berusaha untuk
Universitas Indonesia
mengukur penggunaan strategi regulasi emosi yang sesuai dengan situasi tertentu secara
fleksibel. Dengan demikian, pemilihan strategi regulasi emosi tetap dipandang sebagai
sesuatu yang bergantung pada konteks situasi, sesuai dengan teori regulasi emosi
Thompson (1994). Tidak hanya itu, DERS juga melengkapi kekurangan yang ada pada
TMMS dengan menyertakan dimensi impulse yang mengukur kemampuan individu
untuk mengelola impulsnya ketika mengalami emosi negatif. Adanya dimensi ini, beserta
dimensi lainnya pada DERS, dapat memberikan pemahaman yang lebih lengkap akan
regulasi emosi. Berdasarkan sejumlah pertimbangan tersebut, penelitian ini
menggunakan versi pendek DERS, yaitu DERS-18, sebagai alat ukur regulasi emosi
orang tua.
Universitas Indonesia
dalam mempelajari EC anak. Padahal, perilaku pengasuhan orang tua (e.g. ekspresi emosi
hangat/keras, suportif/menghukum) merupakan hasil dari regulasi emosi. Keberhasilan
orang tua dalam melakukan regulasi emosi menentukan perilaku pengasuhan mereka,
dimana orang tua yang dapat meregulasi emosinya dengan baik dapat memunculkan
perilaku pengasuhan yang hangat, suportif, dan kolaboratif, sementara orang tua yang
kesulitan atau gagal dalam meregulasi emosi menunjukkan perilaku yang keras dan
menghukum terhadap anak. Melihat pentingnya peran regulasi emosi terhadap bagaimana
orang tua berinteraksi dengan anak, maka perlu dilakukan penyelidikan terpisah terhadap
kemampuan regulasi emosi orang tua.
Temuan terdahulu telah menemukan perbedaan antara regulasi emosi ayah dan
ibu, namun keduanya belum banyak dipelajari secara bersamaan. Dalam meregulasi
emosinya, ibu cenderung lebih sadar akan emosinya dibandingkan ayah. Hal ini diduga
karena kuatnya kepercayan akan stereotip gender, dimana ayah sebagai laki-laki dianggap
harus menahan emosinya. Akibatnya, ibu lebih banyak mensosialisasikan emosinya
dibandingkan ayah dalam pengasuhan. Ibu lebih mendorong anak untuk mengekspresikan
dirinya dan banyak mengajarkan mengenai regulasi diri secara proaktif (e.g. EC anak),
sementara ayah lebih menahan ekspresi emosi anak. Dengan demikian, regulasi emosi
ibu memiliki kontribusi yang lebih besar dalam perkembangan EC anak, namun bukan
berarti regulasi emosi ayah tidak berkontribusi sama sekali. Selama ini, kemampuan
regulasi emosi ayah merupakan hal yang masih sering terlewatkan dalam mempelajari
faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perkembangan anak, dalam hal ini EC mereka.
Karena masing-masing ayah dan ibu dapat memengaruhi perkembangan EC anak dengan
cara yang berbeda melalui kemampuan regulasi emosi mereka, perbedaan ini menjadi hal
yang menarik untuk dilihat lebih lanjut.
Selain memiliki perbedaan antara keduanya, kemampuan regulasi emosi ayah dan
ibu juga dapat berinteraksi dalam memengaruhi perkembangan EC anak. Dalam konteks
pengasuhan, ibu dan ayah dapat memberikan kontribusi gabungan terhadap
perkembangan EC anak. Walau temuan ini dihasilkan dari studi mengenai pengasuhan
orang tua secara umum, namun regulasi emosi merupakan salah satu hal yang
memengaruhi pengasuhan mereka. Dalam konteks regulasi emosi, bagaimana salah satu
orang tua mengekspresikan emosinya kepada anak dapat memoderasi ekspresi emosi
orang tua lainnya. Sebagai contoh, ayah yang mampu meregulasi emosinya dengan baik
Universitas Indonesia
dapat memperkuat hubungan antara regulasi emosi ibu dan perkembangan EC anak.
Adanya kemungkinan akan interaksi antara regulasi emosi ibu dan ayah juga menjadi hal
yang patut untuk dipelajari.
Belum adanya penelitian yang mempelajari hubungan antara regulasi emosi orang
tua dan EC anak secara langsung membuat peneliti ingin menambah literatur yang ada
serta melengkapi limitasi pada penelitian terdahulu. Hal ini dilakukan dengan menyelidiki
bagaimana pengaruh kemampuan regulasi emosi orang tua terhadap EC anak usia dini
yang tengah mengalami perkembangan EC yang pesat. Penelitian ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya dengan dua cara. Pertama, penelitian ini tidak hanya sebatas
melihat bagaimana pengaruh kemampuan regulasi emosi orang tua secara umum, namun
kemampuan regulasi emosi dilakukan kepada ayah dan ibu untuk melihat perbedaan
kemampuan regulasi emosi keduanya dan apakah masing-masing memberikan kontribusi
yang berbeda pada EC anak. Kedua, peneliti juga akan melihat interaksi antara
kemampuan regulasi emosi keduanya dan apakah interaksi tersebut memengaruhi EC
anak.
Universitas Indonesia
Pada bab ini, akan dijelaskan metode yang digunakan dalam penelitian. Penjelasan
metode terdiri dari masalah penelitian, hipotesis penelitian, variabel penelitian, tipe dan desain
penelitian, partisipan penelitian, instrumen penelitian, prosedur penelitian, dan metode
pengolahan data.
21 Universitas Indonesia
Peran regulasi..., Prisheilla Dwifahira, FPSI-UI, 2021
22
penilaian orang tua. Skor CBQ yang tinggi mengindikasikan kemampuan EC anak
yang baik, begitu pula sebaliknya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Seperti DERS, DERS-18 juga mengukur enam dimensi dalam disregulasi emosi:
(1) kurangnya kesadaran individu terhadap emosinya (awareness); (2) kurangnya
kejelasan mengenai sifat dari emosi individu (clarity); (3) kurangnya penerimaan individu
terhadap emosinya (nonacceptance), (4) kurangnya akses individu pada strategi regulasi
emosi yang efektif (strategies), (5) kurangnya kemampuan individu untuk terlibat dalam
aktivitas yang mengarahkan pada tujuan ketika mengalami emosi negatif (goals); (6)
kurangnya kemampuan individu untuk mengelola impulsnya ketika mengalami emosi
negatif (impulse).
Skor akhir DERS-18 berupa skor tunggal dengan rentang skor 18-90, dimana skor
yang lebih tinggi mengindikasikan kesulitan meregulasi emosi yang lebih besar pula.
Untuk mengerjakan DERS-18, orang tua diminta untuk menilai sejauh mana tiap item
berkaitan dengan diri mereka menggunakan skala Likert dengan rentang 1–5 (1 = hampir
tidak pernah, 5 = hampir selalu). Secara psikometri, DERS-18 memiliki reliabilitas
internal consistency sebesar 0.91, validitas concurrent sebesar 0.98 yang didapatkan dari
korelasi DERS dengan DERS-18, dan validitas convergent dalam rentang 0.49 – 0.67 dari
korelasi DERS-18 dengan skala Borderline Personality Disorder (BPD) (Victor &
Klonsky, 2016).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
yang baik (> 0,7) (Kaplan & Saccuzzo, 2017). Berdasarkan uji validitas melalui corrected
item-total correlation, diperoleh korelasi yang baik untuk masing-masing item dengan
nilai di atas 0.2 (Nunnally & Bernstein, 1994). Dari korelasi product moment Pearson,
diperoleh nilai korelasi yang signifikan antara masing-masing item dengan item total.
Selanjutnya, dari uji reliabilitas skala DERS, diperoleh nilai koefisien reliabilitas yang
baik sebesar 0.902. Berdasarkan uji validitas melalui corrected item-total correlation,
terdapat tiga item yang berada di bawah nilai 0.2, yaitu item nomor 1, 2, dan 3:
Item No. 1 : Saya menaruh perhatian pada hal yang saya rasakan
Item No. 2 : Saya memperhatikan perasaan saya
Item No. 3 : Ketika saya kesal, saya menyadari kehadiran emosi pada diri saya
sendiri
Walau demikian, berdasarkan uji korelasi product moment Pearson semua item
berkorelasi secara signifikan dengan skor total. Untuk mengatasi adanya tiga item yang
berada di bawah nilai 0.2 pada corrected item-total correlation, dibuat dua perubahan
pada DERS: pertama, kalimat di nomor tiga diparafrase menjadi “Ketika saya kesal, saya
menyadari kehadiran emosi yang saya rasakan”; kedua, urutan item diacak sehingga
ketiga item tersebut tidak berurutan dalam kuesioner.
Universitas Indonesia
terkait anak yaitu EC dan kemampuan sosial anak. Selanjutnya, orang tua mengisi bagian
mengenai variabel terkait diri mereka sendiri, yaitu EC, regulasi emosi, dan pola asuh.
Pada penelitian ini, data yang digunakan hanya EC anak dan regulasi emosi orang tua.
Pengambilan data dilakukan pada 117 pasangan orang tua di Indonesia yang memiliki
anak usia 3-8 tahun. Dari keseluruhan data pasangan yang didapat, dilakukan penyaringan
untuk memastikan bahwa semua partisipan memenuhi kriteria. Setelah melakukan
penyaringan, terdapat sejumlah 98 pasangan orang tua dengan anak usia 3-8 tahun yang
memenuhi kriteria partisipan.
Universitas Indonesia
Pada bab ini, akan dijabarkan hasil pengolahan statistik dari data penelitian yang
diperoleh. Penjabaran terdiri dari pemaparan tentang gambaran umum partisipan yang
dilanjutkan dengan hasil analisis inferensial.
Tabel 4.1
Data Demografis
Variabel N Presentase
Usia Anak
3 26 26.5%
4 16 16.3%
5 13 13.3%
6 15 15.3%
7 17 17.3%
8 11 11.2%
Jenis Kelamin Anak
Laki-laki 48 49%
Perempuan 50 51%
29 Universitas Indonesia
Peran regulasi..., Prisheilla Dwifahira, FPSI-UI, 2021
Tabel 4.1
Data Demografis (lanjutan)
Variabel N Presentase
Pendidikan Anak
Belum sekolah 27 27.6%
Kelompok bermain 17 17.3%
Taman kanak-kanak 19 19.3%
Sekolah dasar 35 35.7%
Tingkat Pendidikan Ibu
Rendah 9 9.2%
Sedang 27 27.6%
Tinggi 62 63.3%
Tingkat Pendidikan Ayah
Rendah 4 4.1%
Sedang 33 33.7%
Tinggi 61 62.2%
Tingkat SES
Rendah 20 20.4%
Menengah 66 67.3%
Tinggi 12 12.2%
Dari hasil analisis deskriptif terhadap variable utama, seluruh persebaran skor, baik
EC anak maupun regulasi emosi orang tua, cenderung mengarah pada skor maksimum.
Gambaran deskriptif mengenai EC anak dan regulasi emosi orang tua dijabarkan pada
Tabel 4.2.
32 Universitas Indonesia
31 Universitas Indonesia
Variabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Effortful Control -
2. Jenis Kelamin -.27** -
3. Usia Anak -.15 -.03 -
4. Pendidikan Ayah .13 -.10 -.09 -
32 Universitas Indonesia
4.4 Hasil Analisis Regresi Effortful Control Anak dan Regulasi Emosi Orang
Tua
Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua, dilakukan analisis
multiple hierarchical regression dalam tiga tahap. Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Pada tahap pertama, varibel yang disertakan adalah variabel sekunder berupa variabel
demografi anak (usia dan jenis kelamin) serta orang tua (pendidikan orang tua dan tingkat
sosial ekonomi). Selanjutnya, regulasi emosi ibu disertakan di tahap kedua dan regulasi
emosi ayah disertakan pada tingkat ketiga. Pada tahap pertama, dari seluruh variabel
sekunder, hanya variabel jenis kelamin anak yang memberikan kontribusi signifikan
terhadap EC anak (βJenisKelamin = -.24, p=.02). Kontribusi dari jenis kelamin anak juga
secara konsisten ditemukan di dua tahap selanjutnya.
Pada tahap kedua, penambahan faktor regulasi emosi ibu tidak menambahkan
kontribusi ke model regresi setelah mempertimbangkan kovariat. Begitu pula pada tahap
selanjutnya, dimana penambahan faktor regulasi emosi ayah juga tidak menambahkan
kontribusi ke model regresi. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada kaitan antara skor
CBQ dan skor DERS ibu dan ayah setelah mengontrol data demografi anak (usia dan
jenis kelamin) serta orang tua (pendidikan orang tua dan tingkat sosial ekonomi). Dengan
ini, hipotesis kedua dari penelitian ditolak.
Universitas Indonesia
Tabel 4.4
Regresi Regulasi Emosi Orang Tua dan EC Anak
Variabel β R R² ΔR t
Tahap 1 .333 .111 .111
Usia Anak -.140 -1.403
Jenis Kelamin Anak .249 2.482*
Pendidikan Ibu .129 .825
Pendidikan Ayah .017 .114
SES -.037 -.320
Universitas Indonesia
Tabel 4.5
Interaksi Regulasi Emosi Ibu dan Ayah
Variabel β R R² ΔR t
Universitas Indonesia
Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan lebih lanjut mengenai hasil penelitian yang
telah didapat. Pembahasan akan dimulai dengan kesimpulan, dilanjutkan dengan diskusi hasil
penelitian, dan diakhiri dengan saran metodologis dan praktis yang diharapkan dapat
digunakan untuk penelitian berikutnya yang terkait.
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini, didapatkan beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara kemampuan regulasi emosi ayah dan
ibu.
2. Kemampuan regulasi emosi ayah dan ibu tidak dapat memprediksi EC anak usia
3-8 tahun setelah mengontrol usia anak, jenis kelamin anak, tingkat sosial
ekonomi keluarga, dan tingkat pendidikan orang tua.
3. Interaksi antara kemampuan regulasi emosi ayah dan ibu tidak dapat memprediksi
EC anak setelah mengontrol usia anak, jenis kelamin anak, tingkat sosial ekonomi
keluarga, dan tingkat pendidikan orang tua.
5.2 Diskusi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi regulasi emosi orang tua terhadap EC
anak usia dini. Regulasi emosi orang tua diduga berkontribusi terhadap perkembangan EC anak
melalui ekspresi emosi yang diberikan orang tua dalam pengasuhan. Orang tua yang berhasil
meregulasi emosinya dengan baik diduga akan menunjukkan perilaku hangat yang mendukung
perkembangan EC anak, sementara orang tua yang kesulitan untuk meregulasi emosinya akan
menunjukkan rasa frustrasi, agresi, bahkan perilaku yang terlalu membatasi ke anaknya.
Berbeda dengan sejumlah penelitian sebelumnya (e.g. Cipriano & Stifer, 2010; Tiberia et al.,
2016), penelitian ini tidak berusaha untuk mempelajari perkembangan EC anak melalui
pengaruh pengasuhan orang tua. Penelitian ini secara langsung menyelidiki pengaruh regulasi
emosi orang tua sebagai sesuatu yang diindikasikan berhubungan dengan perkembangan EC
anak namun belum pernah diteliti secara langsung, setidaknya sejauh pengetahuan peneliti.
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini tidak menemukan adanya kaitan antara kedua
variabel tersebut, bahkan setelah mengontrol variabel yang mungkin memengaruhi keduanya
33 Universitas Indonesia
Peran regulasi..., Prisheilla Dwifahira, FPSI-UI, 2021
34
yaitu usia anak, jenis kelamin anak, tingkat sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan orang
tua. Selain itu, tidak terdapat kaitan pula antara interaksi regulasi emosi ibu dan ayah dan
tidak ada perbedaan kemampuan regulasi emosi antara ibu dan ayah. Sejumlah temuan
ini berada di luar dugaan peneliti, mengingat bahwa penelitian terdahulu cenderung
mendukung dugaan bahwa adanya hubungan antara regulasi emosi orang tua dengan EC
anak melalui bagaimana orang tua menunjukkan emosinya dalam pengasuhan (e.g.
Cipriano & Stifer, 2010; Hoffman, 2001, Shaffer & Obradovic, 2016). Hal ini membuat
interpretasi hasil cukup menantang.
Dugaan pertama dari penelitian ini adalah adanya perbedaan antara regulasi emosi
ibu dan ayah, dimana ibu memiliki kemampuan regulasi emosi yang lebih baik dibanding
ayah. Pada penelitian terdahulu, ibu ditemukan lebih terlibat dalam mensosialisasikan
emosinya terhadap anak, sementara ayah cenderung memiliki peran yang lebih pasif
(Bariola et al., 2012; Doan et al., 2018). Berbeda dengan temuan penelitian terdahulu,
temuan penelitian ini tidak menemukan adanya perbedaan signifikan dalam kemampuan
regulasi emosi keduanya. Salah satu kemungkinan yang dapat menjelaskan tidak adanya
perbedaan ini adalah karena keterbatasan pengukuran regulasi emosi yang dilakukan.
Pada penelitian ini, regulasi emosi orang tua hanya diukur melalui alat ukur self-report,
yaitu skala disregulasi emosi Difficulties in Emotion Regulation Scale Brief Version
(DERS-18; Victor & Klonsky, 2016). Walau skala ini sudah memiliki karakteristik
psikometri yang baik berdasarkan uji coba alat ukur, masih terdapat kemungkinan adanya
bias dalam pengerjaannya. Sebagai contoh, partisipan dapat memberikan jawaban yang
kesannya dapat membuat diri mereka terlihat sebagai orang baik. Hal ini merupakan
wujud dari social desirability, yaitu kecenderungan untuk memberikan respons atau
berperilaku tertentu dengan cara yang lebih diterima masyarakat di situasi tertentu. Bias
ini dapat memengaruhi bagaimana orang tua menjawab kuesioner regulasi emosi di
penelitian ini, sehingga skor regulasi emosi orang tua tidak menunjukkan kemampuan
regulasi emosi mereka yang sebenarnya.
Terdapat limitasi lainnya terkait alat ukur self-report. Menurut Gratz & Roemer
(2004), pengukuran regulasi emosi melalui alat ukur self-report memiliki limitasi karena
bisa saja terdapat individu yang tidak memiliki kesadaran penuh akan respons emosinya,
hingga mereka tidak bisa melaporkan emosinya secara tepat dalam mengerjakan skala
disregulasi emosi. Menyertakan penilaian regulasi emosi melalui observasi dapat
Universitas Indonesia
melengkapi kekurangan ini dengan melihat sampel tingkah laku orang tua di luar
pertanyaan di kuesioner. Tidak hanya dipengaruhi bias dan ketidaksadaran respons emosi,
ada kemungkinan bahwa hasil juga dapat dipengaruhi oleh kelelahan. Mengingat bahwa
penelitian ini tergabung pada payung penelitian beserta dua penelitian lainnya, kuesioner
yang harus diisi partisipan cukup banyak dan memakan waktu cukup lama (20 – 25 menit)
karena menggabungkan pertanyaan screening dan alat ukur masing-masing variabel
peneliti yang terlibat. Dengan demikian, pengerjaan keseluruhan kuesioner mungkin saja
menimbulkan rasa lelah pada partisipan hingga akurasi jawabannya terganggu.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah kondisi saat uji coba alat ukur. Dari
pengujian kedua alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, tidak semua data yang
didapat berasal dari pasangan orang tua. Hanya terdapat 18 pasangan ibu dan ayah dari
total 98 partisipan uji coba, sementara partisipasi keduanya dibutuhkan. Adanya
kekurangan dalam partisipasi ayah pada tahap uji coba dapat memengaruhi hasil dari
pengujian alat ukur. Karena hal tersebut, karakteristik psikometri alat ukur yang
didapatkan melalui tahap uji coba mungkin belum bisa menggambarkan pasangan orang
tua secara sempurna. Selain didominasi akan partisipasi ibu pada tahap uji coba,
karakteristik demografi yang didapatkan pada data utama juga memiliki kecenderungan
terhadap kelompok tertentu. Partisipasi yang didapat pada data utama didominasi oleh
ibu dan ayah yang berasal dari tingkat pendidikan tinggi dan SES menengah. Meskipun
tingkat SES tidak ditemukan berkorelasi dengan regulasi emosi orang tua di penelitian
ini, sebelumnya sudah terdapat sejumlah penelitian yang menemukan kaitan antara
keduanya sehingga variabel ini perlu tetap dipertimbangkan sebagai hal yang dapat
mempengaruhi variabel utama penelitian. Maka dari itu, perlu dilakukan studi lebih lanjut
dengan uji coba alat ukur kepada pasangan ibu dan ayah yang lebih banyak dan
pengambilan data utama dengan variasi demografi yang lebih merata.
Dugaan terakhir berkaitan dengan perbedaan regulasi emosi orang tua di situasi
pandemi. Salah satu penelitian terkait regulasi emosi dalam masa pandemi COVID-19
menemukan bahwa strategi regulasi emosi reappraisal, yang biasanya dianggap sebagai
strategi yang lebih adaptif (Gross & John, 2003), ternyata memiliki kaitan yang lebih
lemah dengan kesehatan psikologis individu dibandingkan dengan strategi suppression
dan rumination (Low et al., 2020). Temuan ini mengindikasikan bahwa penggunaan
Universitas Indonesia
strategi regulasi emosi orang tua juga dapat berubah sebagai tanggapan terhadap situasi
pandemi yang sulit ditebak dan tidak dapat dikendalikan.
Selanjutnya, regulasi emosi ibu dan ayah serta interaksi antara keduanya tidak
ditemukan berkaitan dengan EC anak setelah mengontrol usia anak, jenis kelamin anak,
tingkat sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan orang tua. Terdapat beberapa
kemungkinan yang menyebabkan tidak signfikannya hasil penelitian ini. Pertama,
kemungkinan terdapat variabel lain di luar penelitian yang dapat lebih berkontribusi
terhadap EC anak, di antaranya variabel yang terkait karakteristik demografi partisipan.
Beberapa contoh yang dapat dipertimbangkan sebagai variabel yang juga berkontribusi
terhadap EC anak adalah berapa lama waktu anak berinteraksi dengan orang tua serta
kehadiran anggota keluarga lain di tempat tinggal. Walau kuesioner screening penelitian
ini sudah menanyakan mengenai siapa pengasuh utama anak, mungkin saja terdapat
anggota keluarga lain yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak sehingga
kontribusi regulasi emosi orang tua tidak terlalu besar. Pada penelitian ini, peneliti belum
mengontrol waktu anak berinteraksi dengan orang tua dan kehadiran anggota keluarga
lain karena kuesioner screening yang diberikan sudah amat panjang. Penambahan
pertanyaan screening diduga akan menambahkan beban terhadap partisipan, yang
mungkin akan memengaruhi pengerjaan kuesioner utama setelahnya. Hal ini menjadi
kekurangan penelitian yang perlu untuk dilengkapi di penelitian lanjutan.
Kemungkinan lain adalah perbedaan situasi saat pengambilan data. Penelitian ini
dilakukan di masa pandemi COVID-19, dimana situasi menuntut beberapa tempat kerja
dan sekolah untuk menerapkan kebijakan bekerja serta belajar dari rumah. Ayah dan/atau
ibu yang sebelumnya lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk bekerja saat
ini harus melakukannya di rumah, sehingga mereka lebih sering bertemu dan berinteraksi
dengan anaknya yang sedang bersekolah di rumah secara online. Adanya rutinitas baru
ini memungkinkan munculnya dinamika baru pula antara ibu, ayah, dan anak di rumah.
Lebih lagi, di masa pandemi, orang tua dari anak usia sekolah berada dalam situasi yang
unik dimana mereka dihadapkan dengan tantangan yang lebih banyak karena harus
menyeimbangkan waktunya untuk mengatur kehidupan anak dan pekerjaannya sendiri
sembari memikirkan kekhawatiran lain terkait aspek finansial dan kesehatan (Yale
University, 2020). Situasi yang penuh tantangan ini juga perlu dipertimbangkan sebagai
sesuatu yang dapat memengaruhi regulasi emosi orang tua. Walau tidak termasuk
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
diharapkan dapat melengkapi limitasi dari penelitian ini untuk memberikan pemahaman
yang lebih menyeluruh mengenai peran orang tua dalam perkembangan EC anak usia
dini, mengingat bahwa EC berperan penting bagi anak untuk menyesuaikan diri dengan
tantangan di lingkungan sekitarnya.
5.3 Saran
Di bagian ini, akan diberikan saran metodologis dan praktis untuk pelaksanaan penelitian
terkait selanjutnya.
Universitas Indonesia
REFERENSI
Adler, N. E., Boyce, T., Chesney, M. A., Cohen, S., Folkman, S., Kahn, R. L., & Syme,
S. L. (1994). Socioeconomic status and health: The challenge of the gradient.
American Psychologist, 49, 15–24. doi: 10.1037/0003-066X.49.1.15
Ali, H., & Purwandi, L. (2016). Indonesia 2020: The urban middle-class millenials.
Diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/314448735_Indonesia_2020_The_Urb
an_Middle_Class_Millenials
Asril, S. (2019, Juli 23). Hari Anak Nasional, KPAI Ingatkan Masyarakat Jangan Anggap
Remeh Kasus Bullying. KOMPAS.com. Diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2019/07/23/18331981/hari-anak-nasional-
kpai-ingatkan-masyarakat-jangan-anggap-remeh-kasus
Bariola, E., Hughes, E. K., & Gullone, E. (2012). Relationships between parent and child
emotion regulation strategy use: A brief report. Journal of Child and Family
Studies, 21(3), 443-448. doi:10.1007/s10826-011-9497-5
Blair, C., & Ursache, A. (2011). A bidirectional theory of executive functions and self-
regulation. Dalam K. Vohs, & R. Baumeister (Eds.), Handbook of self-regulation:
Research, theory, and applications (2nd ed., pp. 300-320). New York, NY:
Guilford Press.
Braungart-Rieker, J., Garwood, M. M., & Stifter, C. A. (1997). Compliance and
noncompliance: The roles of maternal control and child temperament. Journal of
Applied Developmental Psychology, 18, 411−428.
Bridgett, D. J., Oddi, K. B., Laake, L. M., Murdock, K. W., & Bachmann, M. N. (2013).
Integrating and differentiating aspects of self-regulation: Effortful control,
executive functioning, and links to negative affectivity. Emotion, 13(1), 47–63.
doi: 10.1037/a0029536
Butler, E. A., Lee, T. L., & Gross, J. J. (2007). Emotion regulation and culture: Are the
social consequences of emotion suppression culture-specific? Emotion, 7(1), 30–
48. doi: 10.1037/1528-3542.7.1.30
Universitas Indonesia
Catanzaro, S. J., & Mearns, J. (1990). Measuring generalized expectancies for negative
mood regulation: Initial scale development and implications. Journal of
Personality Assessment, 54, 546–563.
Cipriano, E. A., & Stifter, C. A. (2010). Predicting preschool effortful control from
toddler temperament and parenting behavior. Journal of Applied Developmental
Psychology, 31(3), 221–230.doi:10.1016/j.appdev.2010.02.004
Cole, P. M., Michel, M. K., & Teti, L. O. (1994). The development of emotion regulation
and dysregulation: A clinical perspective. Dalam N. A. Fox (Ed.), The
development of emotion regulation: Biological and behavioral considerations.
Monographs of the Society for Research in Child Development, 59(240), 73–100.
Colman, R. A., Hardy, S. A., Albert, M., Raffaelli, M., & Crockett, L. (2006). Early
predictors of self-regulation in middle childhood. Infant and Child Development,
15(4), 421–437. doi:10.1002/icd.469
Cortez, V. L., & Bugental, D. B. (1994). Children’s visual avoidance of threat: A strategy
associated with low social control. Merrill-Palmer Quarterly, 40, 82–97.
Crespo, L. M., Trentacosta, C. J., Aikins, D., & Wargo-Aikins, J. (2017). Maternal
emotion regulation and children’s behavior problems: The mediating role of child
emotion regulation. Journal of Child and Family Studies, 26(10), 2797–
2809.doi:10.1007/s10826-017-0791-8
Diamond, A., Barnett, W. S., Thomas, J., & Munro, S. (2007). Preschool program
improves cognitive control. Science, 30, 1387–1388.
doi:10.1126/science.1151148
Dix, T. (1991). The affective organization of parenting adaptive and maladaptive
processes. Psychological Bulletin, 110, 3-25
Doan, S. N., Son, H., & Kim, L. N. (2018). Maternal and paternal emotional contributions
to children's distress tolerance: Relations to child depressive symptoms. Psychiatry
Research, 267, 215–220
Eisenberg, N., Cumberland, A., Spinrad, T. L., Fabes, R. A., Shepard, S. A., Reiser, M.,
… Guthrie, I. K. (2001). The relations of regulation and Emotionality to Childrens
Externalizing and Internalizing Problem Behavior. Child Development, 72(4),
1112–1134. doi: 10.1111/1467-8624.00337
Universitas Indonesia
Eisenberg, N., Zhou, Q., Losoya, S. H., Fabes, R. A., Shepard, S. A., Murphy, B. C., &
Cumberland, A. (2003). The relations of parenting, effortful control, and ego
control to children's emotional expressivity. Child Development, 74, 875−895.
Eisenberg, N. & Smith, C. & Sadovsky, A. & Spinrad, T. (2004). Effortful control:
Relations with emotion regulation, adjustment, and socialization in childhood.
Dalam K. D. Vohs, & R. F. Baumeis- ter (Eds.), Handbook of self-regulation:
Research, theory, and applications (2nd ed.; pp. 263–276). New York, NY:
Guilford Press.
Eisenberg, N., Zhou, Q., Spinrad, T. L., Valiente, C., Fabes, R. A., & Liew, J.
(2005). Relations Among Positive Parenting, Children’s Effortful Control, and
Externalizing Problems: A Three-Wave Longitudinal Study. Child Development,
76(5), 1055–1071. doi:10.1111/j.1467-8624.2005.00897.x
Eisenberg, N., Valiente, C., Spinrad, T. L., Liew, J., Zhou, Q., Losoya, S. H., Reiser, M.,
& Cumberland, A. (2009). Longitudinal relations of children's effortful control,
impulsivity, and negative emotionality to their externalizing, internalizing, and
co-occurring behavior problems. Developmental psychology, 45(4), 988–1008.
https://doi.org/10.1037/a0016213
Eisenberg, N. (2012). Temperamental effortful control (self-regulation). Dalam R. E.
Tremblay, M. Boivin, & R. DeV, Peters (Eds.). Encyclopedia on early childhood
development [online]. Montreal, Quebec: Centre of Excellence for Early Childhood
Development. Diakses dari http://www. child-
encyclopedia.com/sites/default/files/textes-experts/en/ 892/temperamental-
effortful-control-self-regulation.pdf
Else-Quest, N. M., Hyde, J. S., Goldsmith, H. H., & Hulle, C. A. (2006). Gender
differences in temperament: A meta-analysis. Psychological Bulletin, 132(1), 33-
72. doi:10.1037/0033-2909.132.1.33
Ford, B. Q., & Mauss, I. B. (2015). Culture and emotion regulation. Current Opinion in
Psychology, 3, 1–5. doi: 10.1016/j.copsyc.2014.12.004
Garner, P. W., & Spears, F. M. (2000). Emotion regulation in low-income preschoolers.
Social Development, 9, 246–264.
Universitas Indonesia
Garon, N., Bryson, S. E., & Smith, I. M. (2008). Executive function in preschoolers: A
review using an integrative framework. Psychological Bulletin, 134, 31–60.
doi:10.1037/0033-2909.134. 1.31
Goldsmith, H. H., Buss, A. H., Plomin, R., Rothbart, M. K., Thomas, A., Chess, S., et al.
(1987). What is temperament? Four approaches. Child Development, 58, 505–
529. doi:10.2307/1130527
Goldsmith, H. H., Buss, K. A., & Lemery, K. S. (1997). Toddler and childhood
temperament: Expanded content, stronger genetic evidence, new evidence for the
importance of environment. Developmental Psychology, 33(6), 891–905.
doi:10.1037/0012-1649.33.6.891
Goubet, K. E. & Chrysikou, E. G. (2019) Emotion Regulation Flexibility: Gender
Differences in Context Sensitivity and Repertoire. Frontiers in Psychology, 10,
935. doi:10.3389/fpsyg.2019.00935
Gratz, K. L., & Roemer, L. (2004). Multidimensional Assessment of Emotion Regulation
and Dysregulation: Development, Factor Structure, and Initial Validation of the
Difficulties in Emotion Regulation Scale. Journal of Psychopathology and
Behavioral Assessment, 26(1), 41–54. doi:10.1023/b:joba.0000007455.08539.94
Gravetter, F. J., & Forzano, L. A. B. (2012) Research methods for the behavioral science.
Belmont: Cengage Learning.
Graziano, F., Bonino, S., & Cattelino, E. (2009). Links between maternal and paternal
support, depressive feelings and social and academic self-efficacy in
adolescence. European Journal of Developmental Psychology, 6(2), 241-257.
https://doi.org/10.1080/17405620701252066
Gross, J. J. (1998). The Emerging Field of Emotion Regulation: An Integrative
Review. Review of General Psychology, 2(3), 271–299. doi: 10.1037/1089-
2680.2.3.271
Gross, J. J., John, O. P. (2003). Individual differences in two emotion regulation
processes: implications for affect, relationships, and well-being. Journal of
Personality and Social Psychology, 85(2), 348-362.
Gross, J. J. & Thompson, R. (2007). Emotion regulation: Conceptual foundations. Dalam
Gross, J. J. (Eds.), Handbook of Emotion Regulation. (pp. 3-24). New York, NY:
Guilford Press.
Universitas Indonesia
Hoffman, M. L. (2001). Empathy and moral development implications for caring and
justice. Cambridge: Cambridge University.
Hofmann, W., Friese, M., Schmeichel, B. J., & Baddeley, A. D. (2011). Working memory
and self-regulation. Dalam K. D. Vohs, & R. F. Baumeister (Eds.), Handbook of
self-regulation: Research, theory, and applications (2nd ed., pp. 204–225). New
York, NY: Guilford Press.
James, W. (1884). What is an emotion? Mind, 9, 188-205.
Kanacri, B. P. L., Pastorelli, C., Eisenberg, N., Zuffianò, A., & Caprara, G. V. (2013).
The development of prosociality from adolescence to early adulthood: The role of
effortful control. Journal of Personality, 81, 301–312. doi:10.1111/jopy.12001
Kaplan, R. M. & Saccuzzo, D. P. (2017). Psychological Testing Principles, Applications,
and Issues. Nelson Education.
Kaufman, E. A., Xia, M., Fosco, G., Yaptangco, M., Skidmore, C. R., & Crowell, S. E.
(2015). The Difficulties in Emotion Regulation Scale Short Form (DERS-SF):
Validation and replication in adolescent and adult samples. Journal of
Psychopathology and Behavioral Assessment, 38(3), 443–455.
Kiff, C. J., Lengua, L. J., & Zalewski, M. (2011). Nature and Nurturing: Parenting in the
Context of Child Temperament. Clinical Child and Family Psychology Review,
14(3), 251–301. doi:10.1007/s10567-011-0093-4
Kochanska, G., Murray, K. T., & Harlan, E. T. (2000). Effortful control in early
childhood: Continuity and change, antecedents, and implications for social
development. Developmental Psychology, 36(2), 220–232. doi: 10.1037/0012-
1649.36.2.220
Kochanska, G., Coy, K. C., & Murray, K. T. (2001). The Development of Self-Regulation
in the First Four Years of Life. Child Development, 72(4), 1091–1111. doi:
10.1111/1467-8624.00336
KPAI. (2017, November 3). Soal Anak SDN Pekayon yang Jadi Korban Bullying, KPAI:
Ini Warning Bagi Dinas Pendidikan. Diakses dari
https://www.kpai.go.id/berita/soal-anak-sdn-pekayon-yang-jadi-korban-bullying-
kpai-ini-warning-bagi-dinas-pendidikan
Universitas Indonesia
Kraus, M. W., Piff, P., & Keltner, D. (2009). Social class, sense of control, and social
explanation. Journal of Personality and Social Psychology, 97, 992–1004.
doi:10.1037/a0016357
Kwon, H., Yoon, K. L., Joormann, J., and Kwon, J. H. (2013). Cultural and gender
differences in emotion regulation: relation to depression. Cognition & Emotion,
27(5), 769–782. doi: 10.1080/02699931.2013.792244
Lengua, L. J. (2002). The Contribution of Emotionality and Self-Regulation to the
Understanding of Childrens Response to Multiple Risk. Child Development, 73(1),
144-161. doi:10.1111/1467-8624.00397
Lengua, L. J., Moran, L., Zalewski, M., Ruberry, E., Kiff, C., & Thompson, S. (2015).
Relations of Growth in Effortful Control to Family Income, Cumulative Risk, and
Adjustment in Preschool-age Children. Journal of Abnormal Child
Psychology, 43(4), 705-720. doi:10.1007/s10802-014-9941-2
Liew, J. (2011). Effortful Control, Executive Functions, and Education: Bringing Self-
Regulatory and Social-Emotional Competencies to the Table. Child Development
Perspectives, 6(2), 105–111. doi: 10.1111/j.1750-8606.2011.00196.x
Lorber, M. F. (2012). The role of maternal emotion regulation in overreactive and lax
discipline. Journal of Family Psychology, 26, 642–647.
Low, R. S., Overall, N., Chang, V., & Henderson, A. M. (2020). Emotion Regulation and
Psychological and Physical Health during a Nationwide COVID-19 Lockdown.
doi:10.31234/osf.io/pkncy
Mauss, I. B., Butler, E. A., Roberts, N. A., & Chu, A. (2010). Emotion Control Values
and Responding to an Anger Provocation in Asian-American and European-
American Individuals. Cognition & emotion, 24(6), 1026–1043.
McClelland, M. M., Cameron, C. E., Connor, C. M., Farris, C. L., Jewkes, A. M.,
Morrison, F. J. (2007). Links between behavioral regulation and preschoolers'
literacy, vocabulary, and math skills. Developmental Psychology, 43(4), 947-59.
McRae, K., Ochsner, K. N., Mauss, I. B., Gabrieli, J. J. D., & Gross, J. J. (2008). Gender
Differences in Emotion Regulation: An fMRI Study of Cognitive Reappraisal.
Group Processes & Intergroup Relations, 11(2), 143–
162.doi:10.1177/1368430207088035
Universitas Indonesia
Mischel, W., & Baker, N. (1975). Cognitive appraisals and transformations in delay
behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 31(2), 254–261. doi:
10.1037/h0076272
Matsumoto, D., Yoo, S. H., Nakagawa, S. (2008). Culture, emotion regulation, and
adjustment. Journal of Personality and Social Psychology, 94(6), 925-937.
Miyake, A., Friedman, N., Emerson, M., Witzki, A., Howerter, A., & Wager, T. (2000).
The Unity and Diversity of Executive Functions and Their Contributions to
Complex “Frontal Lobe” Tasks: A Latent Variable Analysis. Cognitive
psychology, 41, 49-100. 10.1006/cogp.1999.0734.
Morelen, D., Shaffer, A., & Suveg, C. (2016). Maternal Emotion Regulation. Journal of
Family Issues, 37(13), 1891–1916. doi:10.1177/0192513x14546720
Moriya, J., & Tanno, Y. (2008). Relationships between negative emotionality and
attentional control in effortful control. Personality and Individual Differences,
44(6), 1348–1355.doi:10.1016/j.paid.2007.12.003
Murray, K. T., & Kochanska, G. (2002). Effortful control: factor structure and relation to
externalizing and internalizing behaviors. Journal of Abnormal Child Psychology,
30(5), 503–514. doi:10.1023/a:1019821031523
Nathanson, L,, Rimm-Kaufman, S., Brock, L. (2009). Kindergarten adjustment difficulty:
The contribution of children's effortful control and parental control. Early
Education and Development, 20(5), 775–798.
Nolen-Hoeksema, S. (2012). Emotion regulation and psychopathology: the role of
gender. Annual Review of Clinical Psychology, 8, 161–187. doi: 10.1146/annurev-
clinpsy-032511- 143109
Nunnally, J. C., & Bernstein, I. H. (1994). Psychometric theory (3rd ed.). New York, NY:
McGraw-Hill, Inc.
Oatley, K., & Johnson-Laird, P. N. (1987). Towards a cognitive theory of emotions.
Cognition and Emotion, 1, 29-50.
OECD. (2019. Programme for International Student Assessment (PISA) Results from
PISA 2018. Diakses dari
https://www.oecd.org/pisa/publications/PISA2018_CN_IDN.pdf
Olson, S. L., Sameroff, A. J., Kerr, D. C. R., Lopez, N. L., & Wellman, H. M.
(2005). Developmental foundations of externalizing problems in young children:
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Schwarz, N., & Clore, G. L. (1983). Mood, misattribution, and judgments of well-being:
Informative and directive functions of affective states. Journal of Personality and
Social Psychology, 45, 513-523.
Shaffer, A., & Obradović, J. (2016). Unique contributions of emotion regulation and
executive functions in predicting the quality of parent–child interaction
behaviors. Journal of Family Psychology, 31(2), 150–159.
Sheppes, G., Scheibe, S., Suri, G., & Gross, J. J. (2011). Emotion-Regulation
Choice. Psychological Science, 22(11), 1391–1396. doi:
10.1177/0956797611418350
Shields, A., Dickstein, S., Seifer, R., Giusti, L., Magee, K., Spritz, B. (2001) Emotional
competence and early school adjustment: A study of preschoolers at risk. Early
Education and Development, 12(1), 73–96.
Silva, K. M., Spinrad, T. L., Eisenberg, N., Sulik, M. J., Valiente, C., Huerta, S., …
School Readiness Consortium. (2011). Relations of Children’s Effortful Control
and Teacher–Child Relationship Quality to School Attitudes in a Low-Income
Sample. Early Education & Development, 22(3), 434–460.
doi:10.1080/10409289.2011.578046
Spinrad, T. L., Eisenberg, N., Cumberland, A., Fabes, R. A., Valiente, C., Shepard, S. A.,
Reiser, M., Losoya, S. H., Guthrie, I. K. (2006). Emotion, 6(3), 498-510.
Spinrad, T. L., & Eisenberg, N. (2015). Effortful Control. Emerging Trends in the Social
and Behavioral Sciences, 1–11. doi: 10.1002/9781118900772.etrds0097
Steinberg, L. (2005). Cognitive and affective development in adolescence. Trends in
Cognitive Sciences, 9(2), 69–74. doi: 10.1016/j.tics.2004.12.005
Suri, G., Sheppes, G., Young, G., Abraham, D., Mcrae, K., & Gross, J. J. (2017). Emotion
regulation choice: the role of environmental affordances. Cognition and
Emotion, 32(5), 963–971. doi: 10.1080/02699931.2017.1371003
Tiberio, S. S., Capaldi, D. M., Kerr, D. C., Bertrand, M., Pears, K. C., & Owen, L. (2016).
Parenting and the development of effortful control from early childhood to early
adolescence: A transactional developmental model. Development and
psychopathology, 28(3), 837–853. https://doi.org/10.1017/S0954579416000341
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Zhou, Q., Chen, S. H., & Main, A. (2011). Commonalities and Differences in the
Research on Children’s Effortful Control and Executive Function: A Call for an
Integrated Model of Self-Regulation. Child Development Perspectives, 6(2), 112–
121. doi: 10.1111/j.1750-8606.2011.00176.x
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Universitas Indonesia
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.911 14
Item-Total Statistics
Scale Variance Corrected Cronbach's
Scale Mean if if Item Item-Total Alpha if Item
Item Deleted Deleted Correlation Deleted
CBQ_1 74.2667 197.250 .566 .907
CBQ_2 74.2333 195.538 .583 .906
CBQ_3 74.1833 199.203 .460 .912
CBQ_4 73.5167 188.356 .788 .898
CBQ_5 73.7667 198.148 .575 .907
CBQ_6 73.9167 201.332 .566 .907
CBQ_7 73.8333 201.260 .507 .909
CBQ_8 73.4167 192.010 .843 .898
CBQ_9 74.1000 201.346 .558 .907
CBQ_10 75.0333 200.609 .352 .919
CBQ_11 74.2333 191.606 .675 .903
CBQ_12 73.7000 186.654 .790 .898
CBQ_13 73.6333 191.965 .804 .899
CBQ_14 73.4000 191.193 .814 .898
Pearson Correlation
CBQTotal
CBQ_1 Pearson Correlation .582**
Sig. (2-tailed) .000
N 71
CBQ_2 Pearson Correlation .605**
Sig. (2-tailed) .000
N 67
CBQ_3 Pearson Correlation .463**
Sig. (2-tailed) .000
N 66
CBQ_4 Pearson Correlation .815**
Sig. (2-tailed) .000
N 71
CBQ_5 Pearson Correlation .657**
Sig. (2-tailed) .000
N 71
CBQ_6 Pearson Correlation .622**
Sig. (2-tailed) .000
Universitas Indonesia
N 71
CBQ_7 Pearson Correlation .604**
Sig. (2-tailed) .000
N 67
CBQ_8 Pearson Correlation .844**
Sig. (2-tailed) .000
N 71
CBQ_9 Pearson Correlation .610**
Sig. (2-tailed) .000
N 71
CBQ_10 Pearson Correlation .404**
Sig. (2-tailed) .000
N 71
CBQ_11 Pearson Correlation .704**
Sig. (2-tailed) .000
N 71
CBQ_12 Pearson Correlation .809**
Sig. (2-tailed) .000
N 71
CBQ_13 Pearson Correlation .809**
Sig. (2-tailed) .000
N 69
CBQ_14 Pearson Correlation .807**
Sig. (2-tailed) .000
N 71
CBQTot Pearson Correlation 1
al Sig. (2-tailed)
N 71
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.902 18
Item-Total Statistics
Corrected Item- Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance Total Alpha if Item
Item Deleted if Item Deleted Correlation Deleted
DERS1_r 42.12 144.890 .175 .912
Universitas Indonesia
Pearson Correlation
DERSTotal
DERS1_r Pearson Correlation .240*
Sig. (2-tailed) .013
N 106
DERS2_r Pearson Correlation .208*
Sig. (2-tailed) .032
N 106
DERS3_r Pearson Correlation .214*
Sig. (2-tailed) .028
N 106
DERS4 Pearson Correlation .721**
Sig. (2-tailed) .000
N 106
DERS5 Pearson Correlation .719**
Sig. (2-tailed) .000
N 106
DERS6 Pearson Correlation .682**
Sig. (2-tailed) .000
N 106
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Valid N (listwise) 98
Jenjang Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Belum Sekolah 27 27.6 27.6 27.6
Kelompok Bermain 17 17.3 17.3 44.9
Sekolah Dasar (SD) 20 20.4 20.4 65.3
kelas 1
Sekolah Dasar (SD) 7 7.1 7.1 72.4
kelas 2
Sekolah Dasar (SD) 8 8.2 8.2 80.6
kelas 3
Universitas Indonesia
SES
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 0 20 20.4 20.4 20.4
1 66 67.3 67.3 87.8
2 12 12.2 12.2 100.0
Total 98 100.0 100.0
Pendidikan_Ayah
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 0 4 4.1 4.1 4.1
1 33 33.7 33.7 37.8
2 61 62.2 62.2 100.0
Total 98 100.0 100.0
Pendidikan_Ibu
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 0 9 9.2 9.2 9.2
1 27 27.6 27.6 36.7
2 62 63.3 63.3 100.0
Total 98 100.0 100.0
Universitas Indonesia
Correlations
Jenis
Kelamin Usia_Ana Pendidikan Pendidikan SKOR_CB TOTALDE TOTALDE
Anak k SES _Ibu _Ayah Q RS_IBU RS_AYAH
**
Jenis Pearson 1 .033 .111 .185 .104 .266 -.085 .086
Kelamin Correlation
Anak Sig. (2-tailed) .745 .276 .068 .306 .008 .403 .401
N 98 98 98 98 98 98 98 98
Usia_Anak Pearson .033 1 -.091 -.147 -.094 -.149 .004 .029
Correlation
Sig. (2-tailed) .745 .371 .149 .360 .144 .969 .774
N 98 98 98 98 98 98 98 98
SES Pearson .111 -.091 1 .503** .432** .076 -.077 -.181
Correlation
Sig. (2-tailed) .276 .371 .000 .000 .458 .453 .075
N 98 98 98 98 98 98 98 98
Pendidikan_I Pearson .185 -.147 .503** 1 .740** .189 -.087 -.162
bu Correlation
Sig. (2-tailed) .068 .149 .000 .000 .062 .393 .111
N 98 98 98 98 98 98 98 98
Pendidikan_ Pearson .104 -.094 .432** .740** 1 .135 -.057 -.261**
Ayah Correlation
Sig. (2-tailed) .306 .360 .000 .000 .184 .577 .010
N 98 98 98 98 98 98 98 98
SKOR_CBQ Pearson .266** -.149 .076 .189 .135 1 .021 -.038
Correlation
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Lampiran C.2. Perbedaan Regulasi Emosi Orang Tua berdasarkan Jenis Kelamin
Group Statistics
Hubungan Std. Error
dengan anak N Mean Std. Deviation Mean
TOTALDERS Ayah 98 51.02 10.509 1.062
Ibu 98 51.32 9.800 .990
Lampiran C.3. Model Regresi Regulasi Emosi Orang Tua dan EC Anak
Model Summary
Universitas Indonesia
ANOVAa
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coeffic
Coefficients ients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 5.726 .400 14.303 .000
Usia_Anak -.073 .052 -.140 -1.403 .164
Jenis Kelamin .453 .183 .249 2.482 .015
Anak
SES -.059 .184 -.037 -.320 .750
Pendidikan_Ay .027 .235 .017 .114 .910
ah
Pendidikan_Ibu .178 .216 .129 .825 .411
2 (Constant) 5.458 .641 8.514 .000
Usia_Anak -.072 .052 -.139 -1.394 .167
Jenis Kelamin .460 .184 .253 2.503 .014
Anak
SES -.055 .185 -.034 -.298 .766
Pendidikan_Ay .025 .236 .016 .107 .915
ah
Pendidikan_Ibu .183 .217 .132 .844 .401
Universitas Indonesia
Excluded Variablesa
Partial Collinearity
Correlatio Statistics
Model Beta In t Sig. n Tolerance
1 TOTALDERS_IB .053b .536 .593 .056 .986
U
TOTALDERS_A -.040b -.387 .700 -.041 .909
YAH
2 TOTALDERS_A -.070c -.628 .532 -.066 .785
YAH
a. Dependent Variable: SKOR_CBQ
b. Predictors in the Model: (Constant), Pendidikan_Ibu, Usia_Anak, Jenis Kelamin
Anak, SES, Pendidikan_Ayah
c. Predictors in the Model: (Constant), Pendidikan_Ibu, Usia_Anak, Jenis Kelamin
Anak, SES, Pendidikan_Ayah, TOTALDERS_IBU
Lampiran C.4. Uji Moderasi Interaksi Regulasi Emosi Orang Tua dan EC Anak
Model : 1
Y : CBQ
X : DERSAYAH
W : DERSIBU
Covariates:
Gender UsiaAnak PddkAyah PddkIbu SES
Universitas Indonesia
Sample
Size: 98
***********************************************************
***************
OUTCOME VARIABLE:
CBQ
Model Summary
R R-sq MSE F df1
df2 p
.3501 .1225 .7982 1.5536 8.0000
89.0000 .1504
Model
coeff se t p
LLCI ULCI
constant 7.6045 2.8085 2.7077 .0081
2.0240 13.1849
DERSAYAH -.0434 .0536 -.8101 .4201
-.1500 .0631
DERSIBU -.0328 .0575 -.5704 .5699
-.1470 .0814
Int_1 .0008 .0011 .7081 .4807
-.0014 .0029
Gender .4778 .1869
2.5559 .0123 .1064 .8492
UsiaAnak -.0795 .0533 -1.4927 .1391
-.1853 .0263
PddkAyah .0087 .2440 .0357 .9716
-.4760 .4935
PddkIbu .2085 .2197 .9488 .3453
-.2281 .6451
SES -.0863 .1889 -.4569 .6489
-.4616 .2890
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia