Anda di halaman 1dari 4

Dilema Nara

(karya Alya Khalisah)

Nara terbangun karena sinar matahari menembus jendela


kamarnya yang entah sejak kapan terbuka. Sejenak, ia hanya
menatap langit-langit kamar. Matanya masih terasa sembab, sisa
tangisan tadi malam.

Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis


itu memandang sekeliling kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan
kaca terdengar dari luar.

Nara menutup kedua telinganya kuat-kuat, enggan mendengar


apa pun. Setetes bening air matanya bergulir di pipi. Wajahnya
dibenamkan dalam kedua telapak tangan yang lemah. Rasanya ia
sudah tak sanggup lagi hidup dalam situasi seperti ini. Ia tak kuat
hidup dalam lingkaran kesedihan yang menggiringnya menuju
kegilaan.

Nara berjalan perlahan ke luar rumah, di antara jalanan sepi


sambil menundukkan kepala seolah malu dunia melihatnya. Ia
menatap siluet hitamnya di antara bayang-bayang pepohonan dan
rumah. Nara berhenti melangkah saat seseorang menghalangi
bayangannya.

“Ada yang ingin kukatakan padamu.” Orang itu mulai berbicara


kepadanya.

Nara mendongak. Wajahnya terasa familiar.

“Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan wajah datar, tapi


Nara hanya diam. “KENAPA KAMU HARUS LAHIR DI DUNIA
INI?!” Ia mulai membentak.

Gadis itu melayangkan telapak tangannya ke pipi Nara. “PERGI!”


Nara tak sanggup menatap lawan bicaranya. Ia hanya
memegang pipinya yang terasa nyeri karena tamparan
barusan. Hilanglah dari dunia ini, dasar penghancur keluarga
orang! hardik gadis itu. Nara terisak diiringi suara teriakan gadis
itu di telinganya. Tetesan bening meleleh, merayapi sudut
wajahnya.

Nara adalah anak perempuan biasa yang hidup dengan kasih


sayang utuh dari orang tua. Ia hidup berkecukupan, bahkan lebih.
Semula, ia mengira hidup dalam zona kesempurnaan. Tetapi
ternyata, semua itu hanya bualan. Ayahnya, ternyata, seorang
pria yang telah berkeluarga. Saat itulah ia menyadari, ibunya
adalah istri kedua ayahnya.

Keluarganya tidak diinginkan oleh semua orang. Ibunya dianggap


wanita yang tak punya harga diri. Tidak ada yang sudi berbagi
nafas dan tempat dengan keluarga Nara. Mereka tidak pernah
mau tahu separah apakah kerusakan jiwa yang mendera orang
yang mereka cemooh.

Istri pertama ayah Nara adalah sahabat dekat ibu Nara. Sahabat
dekat yang saling mengaitkan janji satu sama lain sejak duduk di
bangku sekolah untuk tidak mengkhianati. Begitu istri pertama
ayahnya mengetahui apa yang telah terjadi, ia tentu syok berat.
Suami yang ia cintai, berpaling darinya. Sahabat yang paling ia
percaya, mengkhianatinya dalam waktu yang sama.

Nina, anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya. Ia nyaris


pingsan saat ayahnya mengungkapkan hal itu sendiri.
Selanjutnya, teror mulai berdatangan sebagai tanda balas
dendam. Mulai dari pecahnya kaca jendela di rumah, hingga
lemparan api untuk rumahnya.

“Na?” Lamunan Nara terhenti. Gadis itu tetap diam, memandang


kosong.
“Nara? Sayang, kamu ada di dalam, kan?” Panggilan itu tak
membuat Nara beranjak dari posisi yang nyaman bagi dirinya.
Kemudian ketukan demi ketukan tak bernada mulai terdengar dari
balik pintu.

“Nara, buka pintunya, Sayang. Ibu mau bicara mengenai


kepindahan kita,”

Memang, keluarganya berencana untuk pindah. Pindah ke


wilayah yang cukup jauh untuk mengubur kelamnya masa lalu dan
melanjutkan hidup. Tapi baginya, pindah rumah hanyalah bentuk
pelarian diri. Raganya takkan teraniaya lagi. Namun, jiwa dan
pikirannya telah menyatu dengan frustasi berkepanjangan yang
diderita Nara selama ini. Ia tetap tidak akan hidup dalam damai
seperti sebelumnya.

Nara bergeming. Dalam pikirannya yang kalut, ia mengingat Nina.


Gadis itu ingi ia lenyap dari dunia ini. Ia ingin Nara musnah. Nara
tahu apa artinya itu.

Nara memandangi tubuh kakunya yang ditumpahi tangisan dan


penyesalan yang terlontar dari ayah dan ibunya. Ia tertegun dan
mengingat kejadian yang terasa begitu cepat.

Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan


gunting hijau kesukaannya. Awalnya, ia tidak mau melihat
orangtuanya menangis hebat sambil memeluknya. Awalnya, ia
ingin merasakan rasa sakit yang mendera jiwanya lebih lama lagi.
Namun, saat ia menutup mata dan menguatkan diri atas segala
risiko perbuatannya nanti, seberkas cahaya putih menyinari
dirinya. Sesaat, ia pikir cahaya itu hanya datang dari luapan
fantasinya ketika ia sudah berhasil mati. Kemudian Nara tahu,
kematiannya akan membawa segala keadaan berubah menjadi
baik. Inilah yang diinginkan semua orang.
Nara tersenyum. Sedikit pun, ia tak merasakan kesedihan. Ia
hanya merasakan gema bebas dan damai berdengung dalam
pikirannya. Sekarang, ia tak perlu lagi menerima berbagai bentuk
kekerasan mental dari orang-orang di sekitarnya. Ia sudah bebas
dan hidup dalam kedamaian yang dirindukan.

Nara menutup matanya, merasakan seluruh sensasi dan


kenikmatan damai yang mengalir di sekujur tubuhnya. Berkas-
berkas cahaya itu kembali datang dan menyinari tubuhnya,
menuntun gadis kecil itu menuju dimensi lain. Dimensi yang akan
membawanya menuju keabadian.

Anda mungkin juga menyukai