Anda di halaman 1dari 6

Jalannya Peristiwa PRRI dan Permesta

Oleh : Kelompok 6

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) merupakan gerakan


oposisi pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat yang melahirkan
pemerintah tandingan pada 15 Februari 1958. Tujuan pemberonrakan PRRI adalah
menuntut pembubaran Kabinet Djuanda dengan pembentukan pemerintahan
sementara yang dipimpin oleh Muhammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX
hingga pemilihan umum selanjutnya dan juga menuntut Soekarno untuk kembali ke
posisi konstitusinya.

Perjuangan Semesta atau dPerjuangan Rakyat Semesta disingkat Permesta


adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh
pemimpin oleh pemimpin militer dan sipil Indonesia bagian timur pada tanggal 2
Maret 1957. Pusat gerakan ini mulanya berada di Makassar yang pada waktu itu
merupakan ibu kota Sulawesi. Latar belakang dari pemberontakan Permesta
tercipta oleh ketidakpuasan rakyat Indonesia bagian Timur yang menganggap
pembangunan hanya terpusat pada daerah Jawa.

Pemberontakan PRRI dan Permesta merupakan perlawanan yang terjadi


akibat adanya ketidakpuasan beberapa daerah di wilayah Indonesia terhadap
kebijakan pemerintahan pusat, yang dinilai tidak adil dan semakin condong ke kiri
(komunis). Termasuk ke dalam kategori peristiwa konflik dan pergolakan yang
berkait dengan sistem pemerintahan.

Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari adanya


persoalan di dalam tubuh Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya
kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa
tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Persoalan
kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidakadilan
yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah
pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan
tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah sebagai alat
perjuangan tuntutan pada Desember 1956 dan Februari 1957, seperti:

1. Dewan Banteng di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
2. Dewan Gajah di Sumatera Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin
Simbolon.
3. Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letkol. Barlian.
4. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.

Dewan-dewan ini bahkan kemudian mengambil alih kekuasaan pemerintah


daerah di wilayahnya masingmasing. Beberapa tokoh sipil dari pusatpun mendukung
mereka bahkan bergabung ke dalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara,
Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir.

KSAD Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi


krisis ini dengan jalan musyawarah, namun gagal. Ahmad Husein lalu mengultimatum
pemerintah pusat, menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan
menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak
pemerintah pusat. Krisis pun akhirnya memuncak ketika pada tanggal 15 Februari
1958 Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan perjuangan
di Sumatera dianggap mengikuti pemerintahan ini. Sebagai perdana menteri PRRI
ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara.

Bagi Syafruddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk


menyelamatkan negara Indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu
mulai memiliki pengaruh besar di pusat. Tokoh-tokoh sipil yang ikut dalam PRRI
sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI.

Berita proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias pula oleh para
tokoh masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan
pemerintah, menjadikan mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesta
sekaligus memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (Kabinet Juanda).

Pemerintah pusat tanpa ragu-ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer


dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam-diam ternyata didukung
Amerika Serikat. AS berkepentingan dengan pemberontakan ini karena
kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat Indonesia yang bisa saja
semakin dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan PRRI dan
Permesta berhasil dipadamkan.

Allen Lawrence Pope Pemberontakan PRRI dan Permesta ternyata


melibatkan AS di dalamnya. Kepentingan AS dalam pemberontakan ini berkait
dengan kekhawatiran negara tersebut bila Indonesia akan jatuh ke tangan komunis
yang saat itu kian menguat posisinya di pemerintahan pusat Jakarta. Salah satu
bukti keterlibatan AS melalui operasi CIA-nya adalah ketika pesawat yang
dikemudikan pilot Allen Lawrence Pope berhasil ditembak jatuh.
Hasrat Allen Lawrence Pope untuk menghabisi komunis begitu besar. Tak
heran dia meninggalkan dua anak dan istrinya jauh di Amerika. Laki-laki kelahiran
Miami, Florida, 20 Oktober 1928 ini telah makan asam garam dalam misi udara.
“Saya suka membunuh komunis dengan cara apa pun yang bisa saya lakukan,”
katanya seperti dikutip Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA (2008).

Seperti yang dicatat harian Sin Po (28/12/1959), Pope mengaku terlibat


55 misi di Semenanjung Korea dan 65 kali di Dien Bien Phu (Vietnam). Semuanya
melawan komunis.

Untuk misinya di Indonesia, Pope berangkat dari Pangkalan Udara Clark di


Filipina, 28 April, menuju Manado. Menurut Harian Rakjat (05/01/1960), Pope
adalah pilot dari maskapai sipil Civil Air Transport (CAT) Taiwan.

“Saya menerbangkan B-26 dan tiba di Manado pada pukul 00.00 paginya,”
kata Pope seperti dikutip Sin Po (03/01/1958). Pope melihat banyak orang
Filipina dan orang kulit putih di Manado, yang diperkirakan adalah warga Amerika
Serikat seperti Pope. Belum lama tiba, datang instruksi dari petinggi Angkatan
Udara Revolusioner (AUREV) Permesta, Petit Muharto dan Hadi Supandi, untuk
misi pengintaian.

“Sore harinya saya mengadakan penerbangan patroli di Ambon. Lima belas


menit terbang, saya mendapat perintah untuk membelokkan pesawat ke arah
Kolonel Sumual yang berada di Laut Morotai,” aku Pope. Sesampainya di sana,
ternyata Sumual dan rombongannya baik-baik saja.

Aksi-aksi Pope selanjutnya terjadi pada siang pukul 14.00 tanggal 29 April
1958. Dari kokpit pesawat B-26, Pope menyerang pangkalan Udara Wolter
Monginsidi dengan bom dan tembakan senapan mesin. Serangan kedua terjadi
lebih dari seminggu kemudian, persisnya pada pukul 06.00, 7 Mei 1958. Atas
nama Permesta, Pope menyerang Pangkalan Udara Pattimura di Ambon. Aksi ini
berhasil merusak pesawat Dakota dan Mustang milik Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI).

Serangan ketiga digencarkan keesokan harinya, 8 mei 1945, pukul 17.00.


Pope kembali beraksi dengan pesawat pembom B-26, membombardir dan
menembaki detasemen AURI di Kendari hingga menyebabkan kebakaran.
Seminggu kemudian, 15 Mei pukul 05.30, Pope kembali beraksi, kali ini di sekitar
Ambon, dengan sasaran kapal motor. Sebanyak 17 personel TNI terbunuh. Enam
lainnya luka-luka.
Tiga hari kemudian, 18 Mei 1958, Pope dua kali beraksi. Pada pukul 06.00,
dia membom sebuah pangkalan udara di Ambon. Setelah dua pesawat AURI rusak
dan sebuah truk hancur, ia bergerak ke utara dan menyerang dua kapal
pengangkut beserta lima kapal pelindungnya yang hendak menuju Morotai.

Aksi-aksi inilah yang dituduhkan penuntut umum kepada Pope di pengadilan.

Tapi akhirnya Pope nahas di Indonesia. Pesawatnya tertembak jatuh di


Pulau Tiga. Ada perdebatan soal siapa sebetulnya penembak pesawat Pope,
apakah artileri Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) atau pesawat Mustang
AURI yang dipiloti Kapten Ignatius Dewanto. Waspada (05/01/1959)
menyebutkan Dewanto bersaksi bahwa dialah yang menembakkan roket dan
peluru ke pesawat AUREV yang hendak mendekati konvoi kapal TNI pada 18 Mei
1958 itu. Setelah menembak pesawat AUREV, Dewanto dikabarkan kembali ke
pangkalan udara Pattimura.

Saat itu Pope terbang bersama petugas radio mantan AURI, Sersan Mayor
Jan Harry Rantung, yang segera terjun ke luar begitu pesawatnya tertembak.
Setelah berenang ke pantai, ia menemukan Pope bergantung di pohon kelapa
dengan kaki yang patah. Ia pun segera mengamankan Pope.

Ketika hendak mencari air untuk minum, Rantung justru kepergok dua
personil KKO (Marinir Indonesia) dan tertangkap. Tak jauh dua KKO itu ada
personel KKO lain yang dipimpin Letnan Kolonel Hunholz, bekas marinir Belanda
yang belakangan ikut Republik. Kala itu, Hunholz memimpin operasi Mena II guna
merebut bandara Morotai yang terletak di utara Halmahera.

Namun, seperti yang diberitakan koran Medan Waspada (05/01/1959),


ketika persidangan kasus Pope, Hunholz sudah bekerja di perusahaan minyak
Caltex.

Jadilah Pope pesakitan pada 28 Desember 1959. Ia masuk ke ruang sidang


dengan celana coklat Panama Wool dan kemeja putih pendek. Bertindak sebagai
Oditur atau penuntut adalah Mayor Prodjodarono dan Hakim Letnan Kolonel
Udara Tituler Mr Sardjono, yang menegur Pope karena tingkahnya yang angkuh.
Menurut laporan Sin Po (28/12/1959), Ia menyilangkan kaki di atas lututnya
ketika sidang berlangsung.

Di mata Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan Partai Komunis


Indonesia (PKI), Pope jelas sadar membantu Permesta. “Ia memang pergi ke
Manado untuk membantu Permesta yang sedang memberontak, ia melakukan
perlawanan bersenjata (kepada) pemerintah Republik Indonesia sebagai
pemerintah yang sah, yang menurut pengetahuannya adalah pemerintah yang
komunis,” tulis Harian Rakjat (05/02/1960).

Menurut Conboy dan Morrison dalam Feet to the Fire CIA (1999), Pope
adalah veteran Perang Korea (1950-1953). Pangkatnya waktu itu adalah letnan
satu Angkatan Udara Amerika. Sejak 1954, ia meninggalkan Angkatan Udara dan
bergabung dengan CIA sebagai pilot CAT.

Pope pun menjadi simbol keterlibatan Amerika Serikat dalam Permesta.


Seperti yang ditulis George dan Audrey Kahin dalam Subversi Sebagai Politik
Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia (1997:232), Pope
kedapatan membawa buku harian tentang misi-misinya dan kartu anggota tentara
Amerika di Pangkalan Militer Clark.

Tertangkapnya Allen Pope jadi blunder bagi diplomat-diplomat AS. Namun,


kendati hendak menutupi keterlibatannya dalam PRRI-Permesta, Washington tak
mau membiarkan warga negaranya dihukum mati negara lain. Skandal ini
dimanfaatkan dengan baik oleh Sukarno.

“Bung Karno ternyata jitu memanfaatkan posisi Amerika […] Ia


menggunakannya sebagai kartu dalam permainan politik tingginya dengan
presiden John F. Kennedy. Itulah sebabnya presiden AS mengutus diplomat
Ellsworth Bunker untuk merintis solusi Irian Barat, dan memenuhi harga diri
nasional Bangsa Indonesia. Allen Pope akhirnya dibebaskan,” tulis Boediardjo
dalam autobiografinya Siapa Sudi Saya Dongengi (1996).

Menurut catatan George dan Audrey Kahin (1997:288), Jaksa Agung


Robert Kennedy—adik dari Presiden John F. Kennedy—bahkan datang ke
Indonesia pada 1961 untuk mengusahakan pembebasan Pope.

“Istri Pope (menghadap) ke Presiden. Dengan air mata ia meminta agar


suaminya dibebaskan. Yah, Pope dibebaskan,” ujar Hasjim Ning dalam Pasang
Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986:214) yang disusun AA
Navis.

Namun tak ada makan siang gratis. Pope tak dilepaskan begitu saja kepada
Paman Sam.
“Setelah ia dihukum, saya sempat mengunjunginya di penjara di Yogya. Ia
menyatakan bahwa ia akan dibebaskan berkat negosiasi pemerintah Amerika
dengan Republik Indonesia, yakni ia akan ditukar dengan ratusan senjata untuk
20 batalion Tentara Nasional Indonesia dan enam pesawat angkut Hercules,” aku
Priyatna Abdurrasyid, seperti dikutip Tempo (25/08/2008)

Boediardjo, yang belakangan jadi Menteri Penerangan di awal Orde Baru,


mengaku dapat tugas rahasia dari Presiden Sukarno. Dengan sepengetahuan
KSAU, ia menjemput Allen Pope dari Jakarta Timur. “Pope langsung saya bawa ke
Bandara Kemayoran, dinaikkan ke pesawat terbang militer AS, dipulangkan ke
negaranya.”

Pope akhirnya pulang ke Amerika, jauh dari korban-korban aksi anti-


komunisnya, yang belum tentu komunis.

Anda mungkin juga menyukai