Oleh : Kelompok 6
1. Dewan Banteng di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
2. Dewan Gajah di Sumatera Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin
Simbolon.
3. Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letkol. Barlian.
4. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Berita proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias pula oleh para
tokoh masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan
pemerintah, menjadikan mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesta
sekaligus memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (Kabinet Juanda).
“Saya menerbangkan B-26 dan tiba di Manado pada pukul 00.00 paginya,”
kata Pope seperti dikutip Sin Po (03/01/1958). Pope melihat banyak orang
Filipina dan orang kulit putih di Manado, yang diperkirakan adalah warga Amerika
Serikat seperti Pope. Belum lama tiba, datang instruksi dari petinggi Angkatan
Udara Revolusioner (AUREV) Permesta, Petit Muharto dan Hadi Supandi, untuk
misi pengintaian.
Aksi-aksi Pope selanjutnya terjadi pada siang pukul 14.00 tanggal 29 April
1958. Dari kokpit pesawat B-26, Pope menyerang pangkalan Udara Wolter
Monginsidi dengan bom dan tembakan senapan mesin. Serangan kedua terjadi
lebih dari seminggu kemudian, persisnya pada pukul 06.00, 7 Mei 1958. Atas
nama Permesta, Pope menyerang Pangkalan Udara Pattimura di Ambon. Aksi ini
berhasil merusak pesawat Dakota dan Mustang milik Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI).
Saat itu Pope terbang bersama petugas radio mantan AURI, Sersan Mayor
Jan Harry Rantung, yang segera terjun ke luar begitu pesawatnya tertembak.
Setelah berenang ke pantai, ia menemukan Pope bergantung di pohon kelapa
dengan kaki yang patah. Ia pun segera mengamankan Pope.
Ketika hendak mencari air untuk minum, Rantung justru kepergok dua
personil KKO (Marinir Indonesia) dan tertangkap. Tak jauh dua KKO itu ada
personel KKO lain yang dipimpin Letnan Kolonel Hunholz, bekas marinir Belanda
yang belakangan ikut Republik. Kala itu, Hunholz memimpin operasi Mena II guna
merebut bandara Morotai yang terletak di utara Halmahera.
Menurut Conboy dan Morrison dalam Feet to the Fire CIA (1999), Pope
adalah veteran Perang Korea (1950-1953). Pangkatnya waktu itu adalah letnan
satu Angkatan Udara Amerika. Sejak 1954, ia meninggalkan Angkatan Udara dan
bergabung dengan CIA sebagai pilot CAT.
Namun tak ada makan siang gratis. Pope tak dilepaskan begitu saja kepada
Paman Sam.
“Setelah ia dihukum, saya sempat mengunjunginya di penjara di Yogya. Ia
menyatakan bahwa ia akan dibebaskan berkat negosiasi pemerintah Amerika
dengan Republik Indonesia, yakni ia akan ditukar dengan ratusan senjata untuk
20 batalion Tentara Nasional Indonesia dan enam pesawat angkut Hercules,” aku
Priyatna Abdurrasyid, seperti dikutip Tempo (25/08/2008)