Anda di halaman 1dari 38

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Cuci Tangan Pakai Sabun


2.1.1 Pengertian mencuci tangan
Menurut Peraturan Kementerian Kesehatan RI No. 3 Tahun 2014 cuci
tangan pakai sabun (CTPS) merupakan perilaku cuci tangan dengan
menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir. Menurut Kemenkes RI
(2014) mencuci tangan pakai sabun adalah salah satu tindakan sanitasi
dengan menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan
memutuskan mata rantai kuman. Hal ini dilakukan karena tangan seringkali
menjadi agen pembawa kuman dan menyebabkan pathogen berpindah dari
satu orang ke orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak
tidak langsung (menggunakan permukaan-permukaan lain seperti handuk,
gelas). Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan
binatang ataupun cairan tubuh lainnya seperti ingus dan makanan/minuman
yang terkontaminasi saat tidak cuci tangan dengan sabun dapat
memindahkan bakteri, virus dan parasit pada orang lain yang tidak sadar
bahwa dirinya sedang ditularkan.

Mencuci tangan adalah kegiatan membersihkan bagian telapak, punggung


tangan dan jari agar bersih dari kotoran dan membunuh kuman penyebab
penyakit yang merugikan kesehatan manusia serta membuat tangan
menjadi harum baunya. Mencuci tangan merupakan tindakan yang paling
utama dan menjadi satu-satunya cara mencegah serangan penyakit
(Simbolon, 2019).

Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan cuci tangan adalah salah satu
tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari dengan

9
10

menggunakan air ataupun cairan lainnya dengan tujuan untuk menjadi


bersih.

2.1.2 Manfaat mencuci tangan


Cuci tangan dapat berfungsi untuk menghilangkan atau mengurangi
kuman, bakteri dan virus yang menempel di tangan, dapat bermanfaat
untuk mengajarkan anak-anak dan seluruh keluarga hidup sehat sejak dini.
Kebiasaan cuci tangan sebelum makan memakai air dan sabun dapat
mencegah penyakit infeksi (Proverawati dan Rahmawati, 2012). Cuci
tangan sangat berguna untuk membunuh kuman penyakit seperti diare,
kolera disentri, kecacingan, penyakit kulit, infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA), flu burung atau Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
(Maryunani, 2013).

Tangan manusia merupakan tempat berdiamnya beraneka ragam kuman,


seperti virus, bakteri dan bisa juga jamur. Tangan manusia dalam waktu
singkat dapat saja bersentuhan dengan bahan atau benda di sekitar kita
yang mengandung kuman seperti tinja, urin, tanah, air dan sebagainya.
Tangan kita adalah bagian dari tubuh yang paling sering bersentuhan
dengan mulut dan hidung. Mulut sebagai tempat masuknya makanan dan
minuman, sekaligus juga tempat masuknya kuman penyakit. Oleh karena
itu cuci tangan pakai sabun dengan benar dan saat yang tepat dapat
menurunkan angka kejadian diare sebesar 47% dan angka kejadian infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA). Cuci tangan pakai sabun dapat
melepaskan kuman penyakit infeksi dengan murah dan mudah sehingga
dianggap salah satu cara yang efektif mencegah terjadinya penyakit (Zein
dan Newi, 2019).

2.1.3 Langkah-langkah cuci tangan


11

Menurut Peraturan Kementerian Kesehatan RI No. 3 Tahun 2014 langkah-


langkah cuci tangan pakai sabun yang benar antara lain:
2.1.3.1 Basahi kedua tangan dengan air bersih yang mengalir
2.1.3.2 Gosokkan sabun pada kedua telapak tangan sampai berbusa lalu
gosok kedua punggung tangan, jari jemari, kedua jempol, sampai
semua permukaan kena busa sabun.
2.1.3.3 Bersihkan ujung-ujung jari dan sela-sela dibawah kuku
2.1.3.4 Bilas dengan air bersih sambil menggosok-gosok kedua tangan
sampai sisa sabun hilang.
2.1.3.5 Keringkan kedua tangan dengan memakai kain, handuk bersih
atau kertas tisu atau mengibas-ngibaskan kedua tangan sampai
kering.

Menurut World Health Organization (WHO) dalam Kementerian


Kesehatan RI (2020d) 6 langkah cuci tangan yang benar yaitu :
2.1.3.1 Basahi tangan, gosok sabun pada telapak tangan kemudian usap
dan gosok kedua telapak tangan secara lembut dengan arah
memutar.

2.1.3.2 Usap dan gosok juga kedua punggung tangan secara bergantian
12

2.1.3.3 Gosok sela-sela jari tangan hingga bersih

2.1.3.4 Bersihkan ujung jari secara bergantian dengan posisi saling


mengunci

2.1.3.5 Gosok dan putar kedua ibu jari secara bergantian


13

2.1.3.6 Letakkan ujung jari ke telapak tangan kemudian gosok perlahan.


Bilas dengan air bersih dan keringkan

Menurut Standar Operasional Prosedur (SOP) UPTD Puskesmas Jenamas


Nomor 1 yang telah diterbitkan tanggal 02 Januari 2020 langkah-langkah
cuci tangan yang harus diterapkan adalah sebagai berikut:
2.1.3.1 Basahkan tangan dengan air, ambil sabun dan gosok kekedua
telapak tangan
2.1.3.2 Gosok punggung tangan dan sela-sela jari kiri dan kanan
2.1.3.3 Gosok kedua telapak tangan dan sela-sela jari
2.1.3.4 Jari-jari saling mengunci
2.1.3.5 Gosok ibu jari kiri dan kangan memutar dalam genggaman tangan
2.1.3.6 Gosok ujung jari dengan memutar di telapak tangan kanan dan kiri

2.1.4 Waktu penting cuci tangan pakai sabun dan waktu penggunaan hand
sanitizer
Menurut Peraturan Kementerian Kesehatan RI No. 3 tahun 2014 waktu
penting perlunya cuci tangan pakai sabun antara lain sebelum makan,
14

sebelum mengolah dan menghidangkan makanan, sebelum menyusui,


sebelum memberi makan bayi/balita, sesudah buang air besar/kecil dan
sesudah memegang hewan/unggas (Kemenkes RI, 2014).

Mencuci tangan pakai sabun sebaiknya dilakukan sebelum dan setelah


beraktifitas. Waktu yang tepat untuk mencuci tangan pakai sabun yaitu
sebelum dan sesudah makan, setelah ganti pembalut, sebelum dan sesudah
menyiapkan makanan khususunya sebelum dan setelah memegang bahan
mentah, seperti produk ternak dan ikan, setelah memegang hewan atau
kotoran hewan, setelah mengusap hidung atau bersin di tangan, sebelum
atau setelah mengiris sesuatu, sebelum dan setelah mengiris sesuatu,
sebelum dan setelah memegang orang sakit atau orang yang terluka, setelah
menangani sampah, sebelum memasukkan atau mencopot lensa kontak,
setelah menggunakan fasilitas umum (misalnya toilet, warnet, wartel dan
lain-lain), pulang bepergian dan setelah bermain (Simbolon, 2019). Bagi
petugas kesehatan ada lagi saat yang penting untuk cuci tangan yaitu
sebelum dan sesudah memeriksa pasien, sebelum dan sesudah mengenakan
sarung tangan untuk melakukan tindakan medis (Zein dan Newi, 2019).

Menurut WHO (2020) petugas kesehatan membersihkan tangan pakai


sabun harus menggunakan pembersih tangan berbahan dasar alkohol atau
cuci tangan dengan air bersih mengalir dan sabun. Adapun 5 saat petugas
kesehatan harus mencuci tangan pakai sabun yaitu:
2.1.4.1 Sebelum menyentuh pasien
2.1.4.2 Sebelum menjalankan prosedur bersih/aseptik
2.1.4.3 Setelah ada risiko terpapar cairan tubuh.
2.1.4.4 Setelah menyentuh pasien
2.1.4.5 Setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien.
15

Hand sanitizer berbahan alkohol bagus untuk membersihkan tangan hanya


ketika tangan memang sudah dalam keadaan bersih untuk memastikan
kuman benar-benar mati. Banyak ahli sependapat, mencuci tangan dengan
air mengalir dan sabun tetap lebih baik daripada memakai hand sanitizer.
Air dan sabun tetap dipercaya lebih mampu menghilangkan kotoran dan
kuman, apalagi ketika tangan memang terlihat kotor dan berminyak. Hand
sanitizer menjadi pilihan menjaga tangan tetap higienis, untuk yang sedang
bepergian. Cara ini mungkin jadi jalan keluar ketika sulit menemukan air
mengalir dan sabun untuk membersihkan tangan (Kemenkes RI, 2014).

Peneliti kimia Lembaga Ilmu Penelitian Indoensia (LIPI) Joddy Arya


Laksmono menyatakan sabun dan hand sanitizer memiliki efektifitasnya
masing-masing dalam membunuh virus corona yang menyebabkan Covid-
19. Sabun maupun hand sanitizer sama-sama memiliki komposisi kimia
yang dapat melemahkan bahkan membunuh virus Covid-19. Efektifitas
kedua bahan kimia itu sebenarnya dilihat pada saat penggunaannya. Jika
masih banyak air di sekeliling, mencuci tangan dengan sabun akan lebih
baik dilakukan. Namun, jika dalam kondisi tertentu dimana susah
mendapatkan air bersih yang mengalir maka penggunaan hand
sanitizer tetap dapat dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh para
peneliti di University of New South Wales, Australia, menyebutkan bahwa
dinding virus Covid-19 salah satunya terdiri dari serangkaian jaringan
lemak bilayer. Adapun prinsip kerja dari sabun untuk membunuh virus dan
membentuk emulsi dengan suatu kotoran. Ketika sabun melakukan kontak
dengan virus Covid-19 maka sabun secara efektif dapat mengikat dan
meleburkan lapisan lemak yang terdapat pada dinding virus. Tentunya
dengan meleburnya dinding virus oleh sabun maka virus akan melemah
dan akhirnya mati (Febriyanta, 2020).
16

Hand sanitizer sesuai dengan anjuran WHO terdiri dari beberapa


komposisi kimia diantaranya adalah alkohol. Menurut WHO alkohol
merupakan bahan yang efektif untuk membunuh mikroba. Hasil uji
antimikroba untuk senyawa alkohol adalah dapat membunuh bakteri-
bakteri patogen hanya dalam waktu 10-20 detik. Penggunaan hand
sanitizer yang sesuai dengan anjuran WHO, minimal selama 10 detik
sesuai dengan hasil uji antimikrobanya, maka akan sangat efektif untuk
membunuh kuman, oleh karenanya itu penggunaan sabun ataupun hand
sanitizer harus sesuai dengan anjuran sehingga daya kerjanya akan lebih
efektif lagi, namun jika lebih suka menggunakan hand sanitizer karena
lebih praktis bukan merupakan suatu masalah, tetapi sebaiknya tetap
pastikan untuk mencuci tangan sesering mungkin jika di sekeliling kita
terdapat sumber air mengalir (Febriyanta, 2020).

2.1.5 Pengukuran kepatuhan cuci tangan


Pengukuran kepatuhan cuci tangan dilakukan dengan cara melakukan
observasi atau pengamatan langsung pada perawat di saat melakukan cuci
tangan. Aspek yang di observasi adalah kepatuhan terhadap waktu cuci
tangan dan kepatuhan terhadap prosedur cara cuci tangan (Setiaman, 2015).

Mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting dalam


pencegahan dan pengendalian infeksi. Kepatuhan cuci tangan dinilai
dengan menggunakan lembar observasi cuci tangan 5 momen yang
diadopsi dari WHO. Penelitian dapat dilakukan dengan cara melakukan
observasi kegiatan petugas mulai dari awal hingga selesai
kegiatan/tindakan yang dilakukan dan segala kegiatan tersebut dicatat
dalam lembar observasi (Caesarino, 2019).

2.2 Konsep Sarana


17

2.2.1 Pengertian sarana


Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dan bahan
untuk mencapai maksud dan tujuan dari suatu proses produksi. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan bahwa sarana adalah
segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud
dan tujuan (Nurfatimah, 2019).

Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam
mencapai maksud dan tujuan prasarana adalah segala sesuatu yang
merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses. Sarana
digunakan untuk benda yang bergerak dan prasarana untuk benda yang
tidak bergerak gedung (Imbaruddin, 2019).

Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sarana


merupakan seperangkat alat yang digunakan dalam suatu proses kegiatan.

2.2.2 Sarana cuci tangan


Menurut Kemenkes RI (2020b) komponen utama sarana cuci tangan pakai
sabun antara lain:
2.2.2.1 Sumber air bersih yang dapat berupa air tanah, sumur, mata air, air
hujan, PDAM dan penjual air.
2.2.2.2 Wadah air yang dapat berupa tangki air, drum, jerikin dan ember
air.
2.2.2.3 Sabun yang dapat berupa sabun cair, batangan dan air sabun.
Pengering yang dapat berupa tisu.
2.2.2.4 Saluran pembuangan yang berupa drainase air, selokan, lubang
tepi jalan, lubang rendam, pengumpul limbah air sementara
(ember, drum dan lain-lain).
18

2.2.2.5 Material kampanye dan edukasi seperti papan instruksi, selebaran,


poster dan stiker.
2.2.2.6 Distribusi air atau perpipaan yang berdiri sendiri, pipa panjang
untuk beberapa keran, bambu dan pipa besi.
2.2.2.7 Kran air. Keran yang dioperasional dengan pedal dapat
mengurangi risiko penularan penyakit.
2.2.2.8 Penampung yang berupa wastafell stainless, wastafel aluminium,
baskom plastik atau wastafel semen. Penampungan sampah
dengan pedal lebih dapat menghindari dari risiko penularan
penyakit.

Sabun adalah garam natrium dan kalium dari asam lemak yang berasal dari
minyak nabati atau lemak hewani. Sabun yang digunakan sebagai
pembersih dapat berwujud padat (keras), lunak, dan cair. Dewan
Standardisasi Nasional menyatakan bahwa sabun adalah bahan yang
digunakan untuk tujuan mencuci dan mengemulsi, terdiri dari asam lemak
dengan rantai karbon C12-C18 dan sodium atau potassium. Sabun
diproduksi dan diklasifikasikan menjadi beberapa grade mutu, mulai dari
yang terbaik grade A hingga grade C. Minyak atau lemak merupakan
senyawa lipid yang memiliki struktur berupa ester dari gliserol. Pada
proses pembuatan sabun, jenis minyak atau lemak yang digunakan adalah
minyak nabati atau lemak hewan. Sabun memiliki sifat-sifat yaitu larutan
sabun dalam air bersifat basa. Jika larutan sabun dalam air diaduk, maka
akan menghasilkan buih, peristiwa ini tidak akan terjadi pada air sadah.
Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia
koloid. Molekul sabun yang bersifat hidrofobik akan mengelilingi kotoran
dan mengikat molekul kotoran. Proses ini disebut emulsifikasi. Sabun
berkemampuan untuk mengemulsi kotoran berminyak sehingga dapat
dibuang dengan pembilasan. Sabun didalam air menghasilkan busa yang
19

akan menurunkan tegangan permukaan sehingga kain yang dicuci menjadi


bersih dan air meresap lebih cepat ke permukaan kain. Sedangkan bagian
molekul sabun yang bersifat hidrofibik berada di dalam air pada saat
pembilasan menarik molekul kotoran ke luar dari kain sehingga kain
menjadi bersih (Febriyanta, 2020).

Sarana cuci tangan bisa dibuat dari yang sangat baik berupa wastafel
dengan kran yang agak tinggi, dilengkapi dengan sabun cair dan alat
pengering handuk ataupun tisu sampah yang paling sederhana dengan
menggunakan jerigen atau kaleng bekas yang dibeli plastik sederhana yang
bisa dibuat di mana saja seperti seperti di rumah, restoran, rumah makan
warung-warung, di ladang, di kantor-kantor, sekolah-
sekolah, kampus, pasar, penjara, terminal tempat-tempat ibadah dan
lainnya. Penyediaan sarana cuci tangan pakai sabun di tempat-tempat
tersebut merupakan upaya pencegahan penyakit infeksi menular yang
sangat sederhana (Zein & Newi, 2019).
Segala jenis sabun dapat digunakan untuk mencuci tangan baik itu sabun
(mandi) biasa, sabun antiseptik, ataupun sabun cair. Namum sabun
antiseptik/anti bakteri seringkali dipromosikan lebih banyak dipublik.
Hingga kini tidak ada penelitian yang dapat membuktikan bahwa sabun
antiseptik atau desinfektan tertentu dapat membuat seseorang rentan pada
organisme umum yang berada di alam. Perbedaan antara sabun antiseptik
dan sabun biasa adalah sabun ini mengandung zat anti bakteri umum
seperti Triklosan yang memiliki daftar panjang akan resistensinya terhadap
organism tertentu. Namun zat ini tidak resisten untuk organisme yang tidak
terdaftar di daftar, sehingga mungkin tidak seefektif apa yang diiklankan
(Kemenkes RI, 2014).

2.2.3 Prinsip sarana cuci tangan


20

Menurut Kemenkes RI (2020b) tersedianya sarana cuci tangan pakai sabun


(CPTS) dapat meningkatkan kebiasaan cuci tangan yang benar jika
ditempatkan di area penyiapan makanan atau toilet maka sarana CTPS
menjadi pengingat dan hal yang wajib dilakukan ada banyak pilihan sarana
cpts yang dapat dibeli atau dibuat sendiri. Terlepas dari jenis sarana CTPS
yang akan dipilih setidaknya 3 prinsip berikut harus dipertimbangkan:
2.2.3.1 Cuci tangan pakai sabun harus dilakukan dengan air bersih yang
mengalir dan cukup mengikuti langkah-langkah yang disarankan
serta menghindari penggunaan air yang berlebihan.
2.2.3.2 Sarana Cuci tangan pakai sabun harus bebas dari risiko penularan
covid-19.
2.2.3.3 Sarana cuci tangan pakai sabun tidak boleh mencemari
lingkungan sekitar

Menurut Lusia (2019) kesalahan yang harus dihindari dalam penggunaan


sarana cuci tangan pakai sabun antara lain.
2.2.3.1 Jangan biasakan menggunakan satu tempat cuci tangan seperti
kobokan secara bersamaan.
2.2.3.2 Jangan sesekali menggunakan handuk atau lap pengering bekas
pakai orang lain. Lebih baik tisu sekali pakai.
2.2.3.3 Jangan sekali-kali mencuci tangan menggunakan spon apalagi
yang bekas pakai. Sponge adalah sarang kuman. kuman menetap
di tempat yang lembab dan basah.

2.2.4 Pemilihan lokasi penempatan sarana CPTS di berbagai fasilitas


Lokasi penempatan sarana CPTS di berbagai fasilitas antara lain:
2.2.4.1 Area publik
Berdasarkan pedoman terbaru yang disediakan oleh Kementerian
Kesehatan, setidaknya satu sarana CTPS harus disediakan di toilet
21

umum dan tempat-tempat lain yang mudah diakses. Selain itu,


pembersih tangan berbasis alkohol harus disediakan di setiap pintu
masuk utama, lift, dan tempat-tempat lain yang mudah diakses.
2.2.4.2 Fasilitas kesehatan
Sarana CTPS dengan air bersih mengalir harus tersedia di semua
area klinik, terpisah dari dan di samping bak cuci yang digunakan
di kamar mandi pasien, dalam persiapan sampel klinis atau ruang
laboratorium, kamar tidur pasien rawat inap (berdekatan dengan
pintu masuk), ruang operasi atau ruang prosedur termasuk ruang
bersalin, dan tempat perawatan. Sarana CTPS harus dapat diakses
oleh penyandang disabilitas. Catatan yang harus diperhatikan
adalah bak cuci yang digunakan untuk peralatan pembersih atau
pembuangan cairan limbah apa pun tidak boleh digunakan untuk
mencuci tangan. Selama pandemi, sarana CTPS harus ditempatkan
di fasilitas layanan kesehatan sementara atau pada ruang tunggu
untuk pasien.
2.2.4.3 Sekolah
Ada beberapa lokasi penting di sekolah yang perlu dilengkapi
dengan sarana CTPS, seperti: ruang kelas, ruang guru, pintu
masuk sekolah, kantin, toilet, lapangan olahraga, masjid /
musholla. Jumlah sarana CTPS yang memadai harus disediakan
untuk meminimalkan antrian dan menjaga jarak di antara
pengguna anak-anak termasuk untuk penggunaan keran ganda.
2.2.4.4 Tempat karantina dan isolasi
Fasilitas-fasilitas ini dikembangkan selama COVID-19 untuk
memungkinkan isolasi mandiri bagi mereka yang terduga
menderita COVID-19. Untuk mencegah penularan virus COVID-
19, sarana CTPS harus ditempatkan di fasilitas ini, khususnya di
kamar tidur, toilet, dan tempattempat lain yang mudah diakses.
22

Tempat Karantina & Isolasi Selain itu, poster, spanduk atau bahan
komunikasi lainnya tentang pesan kesehatan, termasuk cara
mencuci tangan yang benar dengan sabun, juga harus dipasang di
lokasi strategis seperti gerbang masuk untuk mempromosikan
CTPS (Kemenkes RI, 2020b).

Tenaga kesehatan berperan penting dalam memberikan tanggap terhadap wabah


COVID-19 dan menjadi tulang punggung pertahanan suatu negara untuk
membatasi atau menanggulangi penyebaran penyakit. Di garis terdepan, tenaga
kesehatan memberikan pelayanan yang dibutuhkan pasien suspek dan
terkonfirmasi COVID-19, yang seringkali dijalankan dalam keadaan menantang.
Petugas berisiko lebih tinggi terinfeksi COVID-19 dalam upayanya melindungi
masyarakat lebih luas. Petugas dapat terpapar bahaya seperti tekanan psikologis,
kelelahan, keletihan mental atau stigma. WHO menyadari tugas dan tanggung
jawab besar ini serta pentingya melindungi tenaga fasilitas layanan kesehatan.
Salah satu cara untuk mencegah terinveksi COVID-19 dan penyakit infeksi
lainnya yaitu dengan mencuci tangan pakai sabun. Fasilitas kesehatan harus
menyiapkan titik-titik cuci tangan lengkap dengan antiseptik alkohol atau sabun
dan air bersih mengalir untuk tenaga kesehatan, pasien dan pengunjung (WHO,
2020).

2.3 Konsep Kepatuhan


2.3.1 Pengertian kepatuhan
Istilah kepatuhan (compliance) adalah sikap suka, menurut perintah, taat
pada perintah. Secara sederhana kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan
dan berdisiplin. Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti
disiplin dan taat. Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah
atau aturan. Kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin.
Kepatuhan dokter dan perawat adalah sejauh mana perilaku seorang
23

perawat atau dokter sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan
perawat ataupun pihak rumah sakit (Permatasari, 2016).

Patuh adalah sikap positif individu yang ditunjukkan dengan adanya


perubahan secara berarti sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Ketidak
patuhan adalah suatu kondisi pada perawat yang sebenarnya mau
melakukannya, akan tetapi ada faktor faktor yang menghalangi ketaatan
untuk melakukan tindakan. Kepatuhan perawat adalah perilaku perawat
terhadap suatu tindakan, prosedur atau peraturan yang harus dilakukan atau
ditaat (Arifianto, 2017). Kepatuhan petugas adalah sejauh mana perilaku
seorang petugas sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan
petugas ataupun pihak puskesmas ataupun rumah sakit (Niven, 2012).

Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan kepatuhan adalah


ketaatan seseorang dalam melaksanakan sesuatu sesuai dengan prosedur
yang telah ditetapkan.

2.3.2 Unsur-unsur kepatuhan


Kepatuhan cuci tangan merupakan sebuah perilaku kesehatan. Menurut
Lestari (2014) rangsangan yang terkait dengan perilaku kesehatan terdiri
dari empat unsur, yaitu:
2.3.2.1 Perilaku terhadap sakit dan penyakit
Perilaku tentang bagaimana seseorang menanggapi rasa sakit dan
penyakit yang bersifat respons internal (berasal dari dalam
dirinya) maupun ekstrenal (dari luar dirinya), baik respons pasif
(pengetahuan, persepsi dan sikap) maupun aktif (praktik) yang
dilakukan sehubungan dengan sakit dan penyakit. Perilaku
seseorang terhadap sakit dan penyakit sesuai dengan tingkatan-
24

tingkatan pemberian pelayanan kesehatan yang menyeluruh atau


sesuai dengan tingkatan pencegahan penyakit, yaitu:
a. Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health
promotion behavior)
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)
c. Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior)
d. Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior)
2.3.2.2 Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan
Perilaku ini adalah respons individu terhadap sistem pelayanan
kesehatan modern maupun tradisional, meliputi:
a. Respons terhadap fasilitas pelayanan kesehatan
b. Respons terhadap cara pelayanan kesehatan
c. Respons terhadap petugas kesehatan
d. Respons terhadap pemberian obat-obatan
Respons tersebut terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap
dan penggunaan fasilitas, petugas maupun penggunaan obat-
obatan.
2.3.2.3 Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental
behaviour)
Perilaku ini adalah respons individu terhadap lingkungan sebagai
determinant (faktor penentu) kesehatan manusia. Lingkup perilaku
ini sesuai lingkungan kesehatan lingkungan, yaitu:
a. Perilaku terhadap air bersih, meliputi manfaat dan penggunaan
air bersih untuk kepentingan kesehatan.
b. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor atau
kotoran, disini menyangkut pula hygiene, pemeliharaan, teknik
dan penggunaannya.
c. Perilaku sehubungan dengan pembuangan limbah, baik limbah
cair maupun padat. Dalam hal ini termasuk sistem pembuangan
25

sampah dan air limbah yang sehat dan dampak pembuangan


limbah yang tidak baik.
d. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat. Rumah sehat
menyangkut ventilasi, pencahayaan, lantai dan sebagainya.
e. Perilaku terhadap pembersihan sarang-sarang vektor.

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan


Menurut teori Green dalam Tribowo dan Puspandani (2013) membedakan
adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yaitu behavioral factor
(faktor perilaku) dan non behavioral factors (non perilaku). Kemudian
selanjutnya Green menganalisa, bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan
oleh tiga faktor utama, yaitu:
2.3.3.1 Faktor-faktor disposisi (disposing factors) yaitu faktor-faktor yang
memudahkan atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang,
antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-
nilai, tradisi dan sebagainya.
2.3.3.2 Faktor-faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor-faktor
yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau
tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana
dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan,
misalnya puskesmas, posyandu, rumah sakit, tempat pembuangan
sampah, tempat olahraga, rumah sakit, makanan bergizi, uang dan
sebagainya.
2.3.3.3 Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) adalah faktor-faktor
yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Terkadang
seseorang mengetahui dan mampu untuk berperilaku sehat tetapi
tidak melakukannnya. Dalam hal ini untuk berperilaku sehat
memerlukan contoh dari para tokoh masyarakatnya.
26

Menurut Green perilaku kesehatan ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor


yaitu predisposisi (predisposing factors), faktor pendukung (enabling
factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors). Predisposising factors
mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi,
kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan,
sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan dan tingkat
ekonomi. Enabling factors mencakup ketersediaan sarana dan prasarana
atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Reinforcing factors terwujud
dalam keluarga, sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain,
yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Priyoto,
2014).

Menurut Niven (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan


adalah:
2.3.3.1 Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri,kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Tingginya pendidikan seorang
perawat dapat meningkatkan kepatuhan dalam melaksanakan
kewajibannya, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan
pendidikan yang aktif.
2.3.3.2 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, dari
pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari
27

oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang


tidak didasari oleh pengetahuan.
2.3.3.3 Modifikasi
Faktor lingkungan dan sosial. hal ini berarti membangun
dukungan sosial dari pimpinan rumah sakit, kepala perawat,
perawat itu sendiri dan teman-teman sejawat. Lingkungan
berpengaruh besar pada pelaksanaan prosedur asuhan keperawatan
yang telah ditetapkan. Lingkungan yang harmonis dan positif akan
membawa dampak yang positif pula pada kinerja perawat,
kebalikannya lingkungan negatif akan membawa dampak buruk
pada proses pemberian pelayanan asuhan keperawatan.
2.3.3.4 Perubahan Model Prosedur
Program pelaksanan prosedur asuhan keperawatan dapat dibuat
sesederhana mungkin dan perawat terlihat aktif dalam
mengaplikasikan prosedur tersebut.Keteraturan perawat
melakukan asuhan keperawatan sesuai standar prosedur
dipengaruhi oleh kebiasaan perawat menerapkan sesuai dengan
ketentuan yang ada.

2.3.3.5 Meningkatkan interaksi Profesional Kesehatan


Meningkatkan interaksi profesional kesehatan antara sesama
perawat (khususnya antara kepala ruangan dengan perawat
pelaksana) adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan
balik pada perawat. Suatu penjelasan tetang prosedur tetap dan
bagaimana cara menerapkannya dapat meningkatkan kepatuhan.
Semakin baik pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan, maka
semakin mempercepat proses penyembuhan penyakit klien.
2.3.3.6 Usia
28

Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat
akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan
dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan
bekerja, dari segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa
akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi
tingkat kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman
dan kematangan jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka cara
berfikir semakin matang dan patuh dalam pemberian asuhan
keperawatan.

2.3.4 Strategi meningkatkan kepatuhan


Menurut Notoatmodjo (2014) kepatuhan merupakan sebuah perilaku.
Perubahan perilaku dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:
2.3.4.1 Perubahan alamiah (Natural Change), adalah perubahan yang
dikarenakan perubahan pada lingkungan fisik, sosial, budaya
ataupun ekonomi, dimana dia hidup dan beraktivitas.
2.3.4.2 Perubahan rencana (Planned Change), adalah perubahan ini terjadi
karena memang direncanakan sendari oleh subjek.
2.3.4.3 Kesediaan untuk berubah (Readiness to Change), adalah perubahan
yang terjadi apabila terdapat suatu inovasi atau program-program
baru, maka yang terjadi adalah sebagian orang cepat mengalami
perubahan perilaku dan sebagian lagi lamban. Hal ini disebabkan
setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-
beda.

Menurut Nursalam (2014) strategi yang digunakan untuk meningkatkan


kepatuhan adalah:
2.3.4.1 Dukungan profesional kesehatan
29

Dukungan kesehatan profesional kesehatan sangat diperlukan


untuk meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana
dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik
komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena
komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik
dokter atau perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.
Salah satu dukungan profesional yang diperlukan adalah
dukungan seorang pemimpin.
Menurut Fielder (1967) dalam Asriani (2018) gaya kepemimpinan
yang paling tepat dan ideal dengan situasi adalah gaya
kepemimpinan situasional. Teori Kepemimpinan situasional
mempertimbangkan tipe pemimpin, maturitas kelompok dan
situasi yang sedang terjadi untuk membentuk pendekatan
komprehensif terhadap isu gaya manajemen. Teori kepemimpinan
situasional berpendapat bahwa tidak ada satupun gaya
kepemimpinan yang paling baik melainkan gaya yang digunakan
oleh pimpinan harus sesuai dengan tingkat kematangan dari
karyawan atau kelompok dan situasi yang sedang ditangani.
Model ini dipilih untuk menentukkan gaya manajemen yang
paling sesuai yang merupakan hasil penelitian yang komprehensif
tentang kepemimpinan yang dilakukan pada pertengahan tahun
1960-an di Universitas Ohio. Harsey dan Blanchard
menyampaikan pendekatan ini dengan tujuan agar manajer
menfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan staf. Semakin
manajer mampu beradaptasi pada gaya kepemimpinan untuk
menjawab situasi tertentu dan memenuhi kebuuhan staf, semakin
efektif mereka akan terlibat dapat pencapaian tujuan organisasi.
30

Teori situasional dalam Asriani (2018) menfokuskan bahwa gaya


seorang pemimpin ditentukan pula oleh tingkat kedewasaan para
bawahannya. Kedewasaan itu berada pada empat tingkat yaitu :
M1 : Berarti para bawahan tidak mampu dan tidak mau. Artinya,
tidak memiliki kemampuan bekerja secara produktif dan
tidak mau menjalankan perintah tanpa paksaan.
Menghadapi bawahan yang demikian tidak ada pilihan
bagi seorang manajer kecuali menggunakan gaya yang
otoriter.
Menurut Nursalam (2015) otoriter merupakan
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas atau
pekerjaan. Menggunakan kekuasan posisi dan kekuatan
dalam memimpin. Pemimpin menentukan semua tujuan
yang akan dicpai dalam pengambilan keputusan. Informasi
diberikan hanya pada kepentingan tugas. Motivasi
dilakukan dengan imbalan dan hukuman
M2 : Berarti para bawahan tidak mampu walaupun ada kemauan
untuk berbuat. Gaya yang paling cocok menghadapi para
bawahan seperti ini adalah gaya paternalistik.
M3 : Bawahan mampu tetapi perilakunya cenderung negatif atau
tidak ada kemauan. Peranan pemimpin sebagai pendidik
menjadi penting disini dengan gaya yang paternalistik.
Kepemimpinan paternalistik adalah gaya kepemimpinan
yang menjunjung nilai- nilai budaya dan moralitas didalam
organisasinya. Indikator gaya kepemimpinan ini yaitu
mewajibkan karyawan untuk mematuhi prosedur dan
standar kerja, melibatkan karyawan dalam pengambilan
keputusan, dapat menerima kritik dan saran, peduli
terhadap kehidupan pribadi karyawan, hubungan yang
31

bersifat formal dan informal terhadap karyawan,


memberikan perhatian dan bimbingan pada karyawan yang
memiliki kinerja kurang baik, memberikan sarana untuk
berkerja lebih baik, berlaku adil kepada semua karyawan,
menghargai perbedaan pendapat dengan para karyaawan
(Firidinata, 2017).
M4 :Bawahan mampu dan mau. Artinya, memiliki keterampilan
yang diperlukan dan mau menjalankan perintah atau
instruksi secara ikhlas. Dengan demikian, kepemimpinan
situasional berfokus pada kesesuaian atau efektivitas gaya
kepemimpinan sejalan dengan tingkat kematangan atau
perkembangan yang relevan dari para pengikut.

Gambar 2.1 Model Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard


32

Gambar 2.2 Gaya Kepemipinan Berdasarkan Aspek Situasi

2.3.4.2 Dukungan sosial


Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional
kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk
menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan
dapat dikurangi.
2.3.4.3 Perilaku sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan
diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari
dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita. Modifikasi
gaya hidup dan kontrol secara teratur dan minum obat sangat perlu
diperhatikan oleh pasien, misalnya penderita hipertensi.
2.3.4.4 Pemberian informasi
Pemberian informasi yang jelas mengenai kegiatan yang
dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

2.4 Konsep Motivasi


2.4.1 Pengertian motivasi
Motivasi berasal dari kata motif. Motif dalam bahasa Inggris disebut
motive, yang berasal dari kata motion artinya “gerakan” atau sesuatu yang
bergerak. Dalam arti yang lebih luas motif berarti rangsangan, dorongan
33

atau penggerak terjadinya suatu tingkah laku. Motivasi adalah sesuatu yang
mendorong atau pendorong seseorang bertingkah laku untuk mencapai
tujuan tertentu (Saam & Wahyuni, 2012).

Kata “motif” diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang


untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak
dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu
demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu
kondisi intern (kesiapsiagaan). Berawal dari kata “motif” itu, maka
motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif.
Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk
mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak (Sardiman, 2011).

2.4.2 Unsur-unsur motivasi


Menurut Sardiman (2011) motivasi mengandung tiga unsur penting, yaitu:
2.4.2.1 Motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri
setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa
beberapa perubahan energi di dalam sistem neurophysiological
yang ada pada organisme manusia. Karena menyangkut perubahan
energi manusia, penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik
manusia.
2.4.2.2 Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa “feeling”, afeksi
seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-
persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan
perubahan tingkah laku manusia.
2.4.2.3 Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi
dalam hal ini sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yakni
tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam dari diri manusia,
tetapi kemunculannya karena terangsang / terdorong oleh adanya
34

unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan
menyangkut soal kebutuhan yang akan dicapai oleh orang
tersebut.

2.4.3 Macam-macam motivasi


Menurut Saam & Wahyuni (2012) macam-macam motivasi dibedakan
menjadi motivasi intrinsik dan ektrinsik.
2.4.3.1 Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang telah berfungsi dengan
sendirinya yang berasal dari dalam diri orang tersebut tanpa
adanya dorongan atau rangsangan dari pihak luar. Orang yang
mempunyai motivasi intrinsik yang tinggi mempunyai ciri-ciri
perilaku sebagai berikut:
a. Mempunyai rasa ingin tahu yang besar
b. Menyenangi tantangan
c. Ulet/gigih atau tidak mudah putus asa
d. Memandang keberhasilan sebagai usaha bukan nasib
e. Memakai kriteria internal atas kesuksesan atau kegagalan.
2.4.3.2 Motivasi ektrinsik
Motivasi ektrinsik adalah motivasi yang berfungsi karena adanya
dorongan dari pihak luar atau orang lain. Ditinjau dari segi
ketahanan dan kekuatan, motivasi yang lebih baik adalah motivasi
intrinsik, tetapi jika dilihat dari hasilnya terhadap perilaku
seseorang berkemungkinan adalah sama. Pemberian motivasi
ekstrinsik adalah bertujuan agar lama kelamaan setelah
pengkondisian tertentu motivasi ekstrinsik tersebut berubah
menjadi motivasi intrinsik.
35

Motivasi terdiri dari motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi


instrinsik adalah individu melakukan sesuatu untuk tujuan dan kepentingan
diri sendiri karena adanya ketertarikan dan menikmati hal tersebut
sedangkan motivasi ekstrinsik adalah seseorang melakukan sesuatu untuk
alasan instrumental (Sitorus, 2020).

2.4.4 Fungsi motivasi


Menurut Sardiman (2011) bahwa motivasi dapat berfungsi sebagai berikut:
2.4.4.1 Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau
motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan
motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
2.4.4.2 Menentukan arah perbuatan, yaitu kearah tujuan yang telah dicapai,
dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan
yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
2.4.4.3 Menyeleksi perbuatan, yaitu menentukan perbuatan-perbuatan apa
yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan
menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi
tujuan tersebut.

Menurut Baslemen dkk,. (2011) fungsi motivasi antara lain:


2.4.4.1 Motivasi memberikan kekuatan semangat (energize) kepada
seseorang dalam melakukan kegiatan.
2.4.4.2 Mengarahkan (direct) kegiatan yang perlu motivasi, minat,
perhatian, waktu dan daya diarahkan untuk menemukan cara yang
dapat ditempuh guna mencapai tujuan.
2.4.4.3 Memilih dan menekankan pada tingkah laku yang tepat dilakukan
dalam usaha mencapai tujuan dan menghindari tingkah laku yang
tidak ada hubungannya dengan usaha pencapaian tujuan.
36

2.4.5 Teori-teori motivasi


Teori-teori motivasi (dalam Saam & Wahyuni, 2012):
2.4.5.1 Hierarki kebutuhan Maslow
Menurut Maslow bahwa manusia bertingkah laku karena adanya
kebutuhan yang harus dipenuhi. Terpenuhinya suatu kebutuhan
menimbulkan kepuasan dan bila tidak terpenuhi kebutuhan
menimbulkan ketidakpuasan. Menurut Maslow kebutuhan
manusia tersusun secara hierarki atau bertingkat. Ada lima
kebutuhan manusia menurut Maslow, yaitu: kebutuhan fisiologis,
kebutuhan keselamatan, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan harga
diri dan aktualisasi diri.
2.4.5.2 Teori kebutuhan untuk berprestasi
Motivasi berprestasi adalah ciri-ciri perilaku yang mengarah
pencapaian sukses, prestasi atau kinerja yang lebih bak dari pada
orang lain dan mencoba menyelesaikan kegiatan tersebut secara
unik. Kita belajar menetapkan tujuan secara realistis untuk diri
kita sendiri dan kita lebih berinisiatif pada tugas-tugas. Motivasi
berprestasi merupakan usaha atau perjuangan untuk mencapai
standar yang unggul (excellence). Ada tiga ciri-ciri perilaku orang
yang mempunyai motivasi berprestasi yaitu orang yang
mempuntai motivasi berprestasi menyukai tugas-tugas dengan
tingkat kesulitan sedang, orang-orang yang mempunyai motivasi
berprestasi menyenangi tugas-tugas yang hasilnya ditentukan oleh
usaha, bukan oleh nasib dan yang terakhir orang yang mempunyai
motivasi berprestasi membutuhkan umpan balik dan pengetahuan
yang lebih besar tentang kesuksesan dan kegagalan daripada orang
yang mempunyai motivasi yang rendah.
2.4.5.3 Teori motivasi dua faktor
37

Terdapat dua kebutuhan yang memuaskan manusia yaitu


kebutuhan yang berkaitan dengan kepuasan kerja dan kebutuhan
yang berkaitan dengan ketidakpuasan kerja.
2.4.5.4 Teori harapan Vroom
Teori harapan adalah orang akan termotivasi bila adanya harapan
akan hasil tertentu, harapan tersebut mempunyai nilai positif bagi
yang bersangkutan dan hasil tersebut diperoleh melalui usaha
tertentu.

Menurut Rizal dkk (2020) kebutuhan manusia yang dapat memotivasi


gairah kerja dikelompokkan menjadi 3 yaitu:
2.4.5.1 Kebutuhan akan prestasi karyawan akan antusias untuk
berprestasi tinggi, asalkan kemungkinan untuk hal itu diberi
kesempatan, seseorang menyadari bahwa dengan hanya mencapai
Prestasi Kerja yang tinggi akan dapat memperoleh pendapatan
yang besar, dengan pendapatan yang yang besar ia dapat
memenuhi kebutuhan kebutuhannya.
2.4.5.2 Kebutuhan akan afiliasi seseorang karena kebutuhan afiliasi akan
memotivasi dan mengembangkan diri serta memanfaatkan semua
energinya.
2.4.5.3 Kebutuhan akan kekuasaan, kebutuhan ini merupakan daya
penggerak yang memotivasi semangat kerja seorang
karyawan. ego manusia yang ingin berkuasa lebih dari manusia
lainnya akan menimbulkan persaingan, persaingan ini oleh
manajer ditumbuhkan secara sehat dalam memotivasi bawahannya
supaya termotivasi untuk bekerja giat

2.4.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi


38

Menurut Handoko dan Widayatun (1998) dalam Putra (2011) ada dua
faktor yang mempengaruhi motivasi yaitu faktor internal dan eksternal.
2.4.6.1 Faktor internal
Faktor internal meliputi:
a. Faktor fisik
Faktor fisik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kondisi
fisik misal status kesehatan pengguna Napza. Fisik yang kurang
sehat dan cacat yang tidak dapat disembuhkan berbahaya bagi
penyesuaian pribadi dan sosial. Pengguna napza yang
mempunyai hambatan fisik karena kesehatannya buruk sebagai
akibat mereka selalu frustasi terhadap kesehatannya.
b. Faktor proses mental
Motivasi merupakan suatu proses yang tidak terjadi begitu saja,
tetapi ada kebutuhan yang mendasari munculnya motivasi
tersebut. Pengguna napza dengan fungsi mental yang normal
akan menyebabkan bias yang positif terhadap diri seperti hanya
adanya kemampuan untuk mengontrol kejadian-kejadian dalam
hidup yang harus dihadapi, keadaan pemikiran dan pandangan
hidup yang positif dari diri pengguna Napza dalam reaksi
terhadap perawatan akan meningkatkan penerimaan diri serta
keyakinan diri sehingga mampu mengatasi kecemasan dan selalu
berpikir optimis untuk kesembuhannya.
c. Faktor heredeter
Bahwa manusia diciptakan dengan berbagai macam tipe
kepribadian secara heredeter dibawa sejak lahir. Ada tipe
keperibadian tertentu yang mudah termotivasi atau sebaliknya.
Orang yang mudah sekali tergerak perasaannya, setiap kejadian
menimbulkan reaksi perasaan padanya, sebaliknya ada yang
39

hanya bereaksi apabila menghadapi kejadian-kejadian yang


memang sungguh penting.
d. Keinginan dalam diri sendiri
Misalnya keinginan untuk terlepas dari Napza yang mengganggu
aktifitas sehari-hari, masih ingin menikmati prestasi yang berada
di puncak karir, merasa belum sepenuhnya mengembangkan
potensi-potensi yang dimiliki.
e. Kematangan usia
Kematangan usia akan mempengaruhi pada proses berpikir dan
pengambilan keputusan dalam melakukan pengobatan yang
menunjang kesembuhan pengguna Napza.
2.4.6.2 Faktor eksternal
a. Faktor lingkungan
Lingkungan adalah sesuatu yang berada disekitar pengguna
Napza baik fisik, psikologis maupun sosial. Lingkungan
rehabilitasi sangat berpengaruh terhadap motivasi pengguna
Napza untuk sembuh. Lingkungan rehabilitasi yang tidak
mendukung dan kurang kondusif akan membuat stres
bertambah. Secara fisik misalnya penataan ruangan di
rehabilitasi, konstruksi bangunan akan meningkatkan ataupun
mengurangi stres dan secara biologis lingkungan ini tidak
menganggu kenyamanan yang dapat memicu stres, sedangkan
lingkungan sosial salah satunya adalah dukungan sosial.
b. Faktor dukungan sosial
Dukungan sosial terutama keluarga sebagai orang terdekat
sangat mempengaruhi dalam memotivasi pengguna Napza
untuk sembuh, meliputi dukungan emosional, informasi,
penghargaan dan instrumental. Bentuk perilaku dukungan sosial
terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan non verbal,
40

bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban


sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai
manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima.
c. Fasilitas (sarana dan prasarana)
Ketersediaan fasilitas yang menunjang kesembuhan pengguna
Napza tersedia, mudah menjangkau menjadi motivasi pengguna
untuk sembuh. Termasuk dalam fasilitas adalah tersedianya
sumber biaya yang mencukupi bagi kesembuhan pengguna
Napza, tersedianya alat-alat medis yang menunjang kesembuhan
pengguna Napza.
d. Media
Media merupakan sarana untuk menyapaikan pesan atau info
kesehatan. Adanya media ini pengguna Napza menjadi lebih
tahu tentang kesehatannya dan pada akhirnya dapat menjadi
motivasi untuk sembuh.

Menurut Sutrisno (2011) motivasi sebagai psikologis dalam diri


seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang bersifat internal
maupun eksternal antara lain:
2.4.6.1 Faktor Eksternal (berasal dari luar diri karyawan) yang dapat
mempengaruhi motivasi tersebut mencakup antara lain:
a. Lingkungan kerja yang menyenangkan
b. Kompensasi yang memadai
c. Supervisi yang baik
d. Adanya jaminan pekerjaan
e. Status dan tanggung jawab
f. Peraturan yang fleksibel.
41

2.4.6.2 Faktor internal (berasal dari dalam diri karyawan) yang


mempengaruhi pemberian motivasi pada diri seseorang, antara
lain:
a. Keinginan untuk dapat hidup
b. Keinginan untuk dapat memiliki
c. Keinginan untuk memperoleh penghargaan
d. Keinginan untuk memperoleh pengakuan
e. Keinginan untuk berkuasa.

2.5 Konsep Petugas Kesehatan


2.5.1 Pengertian petugas kesehatan
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun
2012 petugas Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan
(Kemenkumham, 2012).

2.5.2 Macam-macam petugas kesehatan


Menurut Muslimin (2015) tenaga kesehatan terdiri dari sebagai berikut:
2.5.2.1 Tenaga medis (dokter dan dokter gigi)
2.5.2.2 Tenaga keperawatan (perawat dan bidan)
2.5.2.3 Tenaga kefarmasian (apoteker, analisis farmasi dan asisten
apoteker).
2.5.2.4 Tenaga kesehatan masyarakat (epidemiolog kesehatan,
entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh
kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian).
2.5.2.5 Tenaga gizi (nutrisionis dan dietisien)
42

2.5.2.6 Tenaga keterapian fisik (fisioterapis, okupasiterapis dan terapis


wicara).
2.5.2.7 Tenaga keteknisian medis (radiografer, radioterapis, teknisi gigi,
teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien,
otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis).

2.5.3 Peran tenaga kesehatan


Menurut Putri (2016) macam-macam peran tenaga kesehatan dibagi
menjadi beberapa, yaitu:
2.5.3.1 Komunikator
Komunikator adalah orang yang memberikan informasi kepada
orang yang menerimanya. Komunikator merupakan orang
ataupun kelompok yang menyampaikan pesan atau stimulus
kepada orang atau pihak lain dan diharapkan pihak lain yang
menerima pesan (komunikan) tersebut memberikan respons
terhadap pesan yang diberikan. Proses dari interaksi antara
komunikator ke komunikan disebut juga dengan komunikasi.
Selama proses komunikasi, tenaga kesehatan secara fisik dan
psikologis harus hadir secara utuh, karna tidak cukup hanya
dengan mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi saja
tetapi juga sangat penting untuk mengetahui sikap, perhatian,
dan penampilan dalam berkomunikasi. Sebagai seorang
komunikator, tenaga kesehatan seharusnya memberikan
informasi secara jelas kepada pasien. Pemberian informasi
sangat diperlukan karena komunikasi bermanfaat untuk
memperbaiki kurangnya pengetahuan dan sikap masyarakat yang
salah terhadap kesehatan dan penyakit. Komunikasi dikatakan
efektif jika dari tenaga kesehatan mampu memberikan informasi
secara jelas kepada pasien.
43

2.5.3.2 Motivator
Motivator adalah orang yang memberikan motivasi kepada orang
lain. Sementara motivasi diartikan sebagai dorongan untuk
bertindak agar mencapai suatu tujuan tertentu dan hasil dari
dorongan tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku yang
dilakukan. Motivasi adalah kemampuan seseorang untuk
melakukan sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan,
keinginan, dan dorongan untuk melakukan sesuatu. Peran tenaga
kesehatan sebagai motivator tidak kalah penting dari peran
lainnya. Seorang tenaga kesehatan harus mampu memberikan
motivasi, arahan, dan bimbingan dalam meningkatkan kesadaran
pihak yang dimotivasi agar tumbuh ke arah pencapaian tujuan
yang diinginkan. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya
sebagai motivator memiliki ciri-ciri yang perlu diketahui, yaitu
melakukan pendampingan, menyadarkan, dan mendorong
kelompok untuk mengenali masalah yang dihadapi dan dapat
mengembangkan potensinya untuk memecahkan masalah
tersebut.
2.5.3.3 Fasilitator
Fasilitator adalah orang atau badan yang memberikan
kemudahan dalam menyediakan fasilitas bagi orang lain yang
membutuhkan. Tenaga kesehatan juga harus membantu klien
untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal agar sesuai
dengan tujuan yang diharapkan. Tenaga kesehatan harus mampu
menjadi seorang pendamping dalam suatu forum dan
memberikan kesempatan pada pasien untuk bertanya mengenai
penjelasan yang kurang dimengerti. Menjadi seorang fasilitator
tidak hanya di waktu pertemuan atau proses penyuluhan saja,
tetapi seorang tenaga kesehatan juga harus mampu menjadi
44

seorang fasilitator secara khusus, seperti menyediakan waktu dan


tempat ketika pasien ingin bertanya secara lebih mendalam dan
tertutup.
2.5.3.4 Konselor
Konselor adalah orang yang memberikan bantuan kepada orang
lain dalam membuat keputusan atau memecahkan suatu masalah
melalui pemahaman terhadap fakta-fakta, harapan, kebutuhan
dan perasaan-perasaan klien. Proses dari pemberian bantuan
tersebut disebut juga konseling. Seorang konselor yang baik
harus memiliki sifat peduli dan mau mengajarkan melalui
pengalaman, mampu menerima orang lain, mau mendengarkan
dengan sabar, optimis, terbuka terhadap pandangan interaksi
yang berbeda, tidak menghakimi, dapat menyimpan rahasia,
mendorong pengambilan keputusan, memberi dukungan,
membentuk dukungan atas dasar kepercayaan, mampu
berkomunikasi, mengerti perasaan dan kekhawatiran klien, serta
mengerti keterbatasan yang dimiliki oleh klien.

2.6 Kerangka Konsep


45

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antar


konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan
dilakukan (Notoatmodjo, 2014). Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat
dilihat pada gambar 2.1 berikut:

Predisposing Factor
(faktor yang memudahkan)
- Pengetahuan
- Sikap
- Kepercayaan
- Motivasi
- Keyakinan
- Kebiasaan
- Nilai-nilai
- Norma sosial
- Sosio demografi

Reinforcing Factor
(faktor pendorong)
- Petugas kesehatan Kepatuhan Cuci Tangan
- Tokoh masyarakat
- Tokoh agama
- Keluarga
- Kelompok referensi

Enabling Factor
(faktor yang memungkinkan)
- Lingkungan fisik
- Sarana

= diteliti = tidak diteliti

Sumber: Teori Green (1980) dalam Tribowo dan Puspandani


Gambar 2.1. Kerangka Teori
46

2.7 Hipotesis
Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian. Hipotesis
biasanya dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua variabel, yaitu variabel
bebas dan variabel terikat yang berfungsi untuk menentukan kearah pembuktian
(Notoatmodjo, 2014).
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara motivasi dan
ketersediaan sarana dengan kepatuhan pegawai dalam melakukan cuci tangan
pakai sabun di Puskesmas Jenamas Kabupaten Barito Selatan.

Anda mungkin juga menyukai