Anda di halaman 1dari 11

Ujian Akhir Semester Komunikasi Gender:

Representasi Feminisme Pada Film Gangubai Kathiawadi

Yulia Istivani
14040119130118
Komunikasi Gender Kelas 7

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
I. Pendahuluan

Gangubai Kathiawadi adalah sebuah film drama biografi Bollywood berdurasi 2


jam 34 menit yang baru saja rilis di tahun 2022 dan ditulis serta disutradarai oleh
Sanjay Leela Bhansali. Film ini merupakan adaptasi dari buku yang berjudul Mafia
Queens of Mumbai yang juga menceritakan kisah nyata mengenai kehidupan
Gangubai Harjeevandas atau Gangubai Kothewali, seorang pekerja seks komersial
sekaligus aktivis yang memperjuangkan hak-hak pekerja seks. Pada film ini akan
digambarkan sosok Gangubai bangkit dari takdirnya yang nahas dan membuat
gerakan serta berbagai upaya untuk menyejahterakan perempuan-perempuan
dengan takdir yang sama dengannya. Meskipun cerita yang diangkat berasal dari
lingkup prostitusi dan eksploitasi seksual pada perempuan, film ini tidak sedikitpun
menunjukkan adanya adegan vulgar maupun konten pornografi yang banyak kita
temukan dalam film dengan topik yang sama. Dengan demikian, penonton akan
merasa lebih nyaman ketika menyaksikan film ini dan lebih fokus kepada pesan dan
benang merah yang ditawarkan oleh film ini.

Gambar 1 Poster Film Gangubai Kathiawadi


Film ini diperankan oleh aktris Bollywood cantik, Alia Bhatt, sebagai pemeran
utama yaitu Gangubai itu sendiri diiringi dengan pemeran lainnya seperti Shantanu
Maheshwari, Vijay Raaz, Varun Kapoor, dan pemeran lainnya yang turut
melengkapi cerita perjalanan Gangubai Kathiawadi dengan latar tahun 1960-an.
Film Gangubai Kathiawadi ini menuaikan banyak apresiasi dari berbagai kalangan
bahkan menduduki tempat di box office semenjak film ini di rilis. Film ini tidak
hanya mementingkan isi cerita dan pesan yang ingin disampaikan, melainkan juga
menawarkan visual yang cantik sehingga cukup me

Gangubai Kathiawadi atau biasa dipanggil Gangu digambarkan sebagai perempuan


muda yang berasal dari keluarga yang terpandang dari daerah Kathiawad dengan
kepribadian yang baik dan juga menyenangkan. Gangu memiliki mimpi untuk dapat
menjadi aktris Bollywood. Namun, mimpinya tersebut terhalang oleh restu orang
tuanya yang menentang mimpi Gangu tersebut. Kekasih Gangu yang bernama
Ramnik mengupayakan mimpi Gangu tersebut dengan membelikannya tiket kereta
menuju Mumbai (pada masa itu disebut Bombay) yang merupakan sentra industri
Bollywood. Mereka akhirnya pergi dari rumah Kathiawad dengan membawa bekal
berupa emas yang Gangu ambil secara diam-diam dari lemari ibunya. Gangu dan
Ramnik pun pergi dengan perasaan senang namun juga khawatir karena telah
mengelabuhi kedua orang tua Gangu.

Sesampainya di Mumbai, Gangu dibawa oleh Ramnik ke rumah di wilayah


Kamathipura yang diyakini sebagai rumah bibinya bernama Sheela yang sangat
besar dan dipenuhi perempuan-perempuan muda layaknya sebuah asrama putri.
Nahasnya, tiba-tiba Gangu ditinggal oleh Ramnik dan membawa kabur emas milik
Gangu. Ternyata, tempat tersebut adalah salah satu rumah bordil atau tempat
prostitusi yang memang berada di tengah-tengah banyak rumah bordil lainnya
dalam satu gang dan Gangu adalah sebagai “barang yang dijual” oleh Ramnik
kepada pemilik rumah bordil tersebut. Gangu merasa sakit hati karena telah
dikhianati oleh orang yang dicintainya. Ia seolah-olah enggan melanjutkan hidupnya
setelah mengetahui bahwa Ia telah terjebak dunia yang tidak Ia inginkan. Namun
akhirnya, Ia memilih untuk bangkit dan menghadapi takdir yang Ia miliki saat ini.
Setiap hari Gangu dan perempuan-perempuan lainnya harus melayani pria yang
datang ke rumah tersebut untuk memenuhi kebutuhan nafsunya. Mereka semua
bekerja di bawah kuasa muncikari dan pemilik rumah bordil tersebut yaitu Bibi
Sheela. Setelah melakukan pekerjaannya, para perempuan di rumah itu akan
mendapatkan bayaran berupa uang tunai yang sebelumnya telah dikurangi dengan
bagian untuk Bibi Sheela. Dengan seiring berjalannya waktu, Gangu pun mulai
menyesuaikan dirinya dengan kondisinya tersebut.

Selama berada di rumah bordil tersebut, Gangu sudah memperlihatkan watak


dominan serta kepemimpinannya. Salah satunya adalah sikapnya yang
memperjuangkan hari libur bagi para pekerja seks dan mengajak mereka untuk pergi
ke bioskop bersama-sama untuk menonton film. Hal tersebut Ia lakukan untuk
menjaga hak-hak para pekerja seks seperti layaknya pekerja pada umumnya agar
dapat menikmati waktu untuk beristirahat dan bersenang-senang. Gangu bahkan
tidak segan untuk menentang Bibi Sheela apabila Ia merasa tuntutan darinya tidak
manusiawi. Hingga pada suatu hari, pemilik rumah bordil atau Bibi Sheela jatuh
sakit dan tidak lama kemudian meninggal dunia. Sejak hari itu, Gangu yang menjadi
kepercayaan perempuan lainnya di rumah itu mengangkat Gangu sebagai atasannya
dan akan mengikuti perintah yang diberikan olehnya. Ia menjadi seorang bos yang
sangat memerhatikan kesejahteraan para pekerjanya meskipun mereka adalah
seorang pekerja seks yang notabene memiliki pandangan buruk dari kalangan
masyarakat umum lainnya.

Puncak masalah pada cerita film ini adalah ketika ada salah satu pihak yang
menuntut agar gang yang berisi rumah bordil di daerah Kamathipura itu ditutup.
Pihak yang memberi tuntutan tersebut adalah sekolah yang letaknya bertetangga
dengan gang rumah bordil, dengan alasan keberadaan rumah-rumah bordil tersebut
dapat merusak prinsip moral murid-murid dari sekolah tersebut. Bahkan sekolah
tersebut menolak untuk menerima anak-anak dari perempuan-perempuan pekerja
seks karena dianggap dapat mendatangkan nilai-nilai negatif kepada anak lainnya.
Hal ini tentunya membuat Gangubai geram karena perlakuan yang tidak adil dari
masyarakat lain kepada kaumnya terutama ketika anak-anak mereka yang tidak
bersalah juga mendapatkan imbasnya. Gangubai berprinsip bahwa pekerja seks juga
merupakan manusia biasa yang melakukan upaya untuk bertahan hidup dengan
mencari uang melalui pekerjaannya tersebut sama halnya seperti orang pekerja
lainnya. Begitu juga anak-anak mereka yang pantas mendapatkan hak pendidikan
yang sama dengan anak-anak pada umumnya.

Film ini menggambarkan usaha yang dilakukan Gangubai untuk mempertahankan


keberadaan rumah bordil beserta isinya. Ia melakukan berbagai upaya mulai dari
meminta bantuan secara material kepada bandar narkoba, bekerja sama dengan
seorang jurnalis agar ceritanya dapat didengar oleh masyarakat luas, hingga
berhadapan langsung dengan Perdana Menteri India yang saat itu diduduki oleh
Jawaharlal Nehru agar memberikan perlindungan yang sah kepada para pekerja seks
komersial. Di dalam film ini juga ditunjukan hal- hal yang dilakukan Gangubai
Kathiawadi yang secara tersirat menyuarakan keluh kesahnya mewakili kaum
perempuan mengenai penindasan yang mereka dapatkan sehingga tidak
mendapatkan hak mereka seutuhnya sebagai masyarakat. Salah satunya adalah
ketika Gangubai Kathiawad memberikan pidato di tengah-tengah masyarakat
disaksikan oleh berbagai media mengenai bagaimana kaumnya tidak mendapatkan
pengakuan dari masyarakat lain dan memaksanya untuk mengeluarkan semua
tenaga dan pikirannya untuk mendapatkan pengakuan tersebut.

II. Analisis Teoritis


A. Feminisme Liberal
Feminisme liberal memiliki pandangan bahwa perempuan berhak untuk
memiliki kebebasan secara utuh dan keseluruhan bagi dirinya sendiri.
Sebagaimana argumen dari Aristoteles bahwa manusia adalah animal rasionale
(binatang yang berasio), kaum liberal memberikan definisi rasionalitas dalam
berbagai poin termasuk menekankan pada moralitas dan kebijaksanaan (Gadis
Arivia, 2003:99). Dengan demikian, menurut kaum liberal manusia memiliki
kapasitas untuk berpikir serta bertidak secara rasional termasuk dengan
perempuan. Perempuan akan memikirkan cara untuk mempersiapkan diri agar
mereka bisa masuk ke dalam lingkup masyarakat luas dan memiliki kesempatan
yang sama seperti laki-laki. Jadi, penekanan pada paham feminisme ini adalah
pada rasionalitas perempuan untuk mempertahankan posisinya.
Kesempatan yang sama atau adil yang dimaksud dan menjadi benang merah
dalam permasalahan di film Gangubai ini adalah kesempatan dalam bidang
ekonomi dan pendidikan. Pada sisi ekonomi, hal yang diinginkan oleh Gangubai
dan perempuan pekerja seks komersial lainnya adalah bahwa perempuan dari
kaum mereka dapat dengan aman dan tentram melakukan pekerjaannya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan anak-anaknya. Gangubai
juga sempat mengatakan kepada para perempuan-perempuan pekerja bahwa
jadilah pekerja yang jujur dan pekerja yang sepenuh hati serta pastikan bahwa
mereka dibayar dengan layak dan penuh demi kemajuan mereka. Di dalam film
terdapat permasalahan mengenai rumah-rumah bordil yang dituntut untuk tutup
karena masyarakat dikhawatirkan dapat mengganggu norma-norma masyarakat.
Sedangkan pada kenyataannya, rumah bordil di daerah tersebut sudah ada lebih
dulu dibandingkan sekolah yang ada di sebelahnya. Gangubai mempertanyakan
apa bedanya pekerja-pekerja seks komersial dengan pekerja yang lainnya. Pada
dasarnya mereka sama-sama seorang manusia yang berupaya untuk hidup dan
memenuhi kebutuhannya untuk bertahan hidup. Di sinilah terdapat tuntutan dari
Gangubai agar pekerja seks komersial juga memiliki hak serta kebebasan dalam
memilih pekerjaan mereka karena pada hakikatnya mereka adalah sebatas
penyedia jasa yang melayani masyarakat yang membutuhkan.

Selain dalam hal memilih pekerjaan, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya
kebebasan yang diharapkan selanjutnya adalah dalam bidang pendidikan. Di
dalam film, terdapat satu adegan layer ketika anak-anak dari para pekerja seks
atau anak asuh Gangubai ditolak oleh pihak sekolah ketika Gangu hendak
mendaftarkannya ke sekolah tersebut. Bahkan sekalipun anak-anaknya berhasil
masuk ke sekolah, anak-anak itu dipukuli hingga akhirnya diusir oleh guru di
sekolah tersebut. Hal ini tentunya cukup melampaui batas karena telah
melibatkan anak-anak yang tidak berdosa bahkan hingga melibatkan kekerasan
secara verbal maupun fisik. Meskipun mungkin Ibu mereka dinilai sebagai
orang-orang kotor oleh masyarakat lain, tetapi anak-anak tetaplah anak-anak
yang berhak mendapatkan kehidupan yang layak. Bahkan, tidak ada jaminan
bahwa anak-anak tersebut akan tumbuh besar sama seperti Ibu mereka. Bisa jadi
anak-anak tersebut akan tumbuh menjadi sosok yang bermanfaat bagi
lingkungannya bahkan negaranya sendiri.
Gambar 2 Cuplikan dari Film Gangubai Kathiawadi

Di dalam film juga terdapat beberapa adegan dimana Gangubai menyerukan


tentang kedudukan perempuan yang ada dipandangannya yaitu bahwa
perempuan juga memiliki nalar dan kecerdasan yang tidak kalah dari laki-laki.
Gangubai juga menganggap bahwa laki-laki dan stigma masayarakat adalah
terlalu mengagung-agungkan posisi laki-laki hingga posisi perempuan
tertindas. Hal ini juga masih berkaitan dengan sistem feminisme liberal yang
berasal dari sistem patriarki yang sangat kuat di kalangan masyarakat sehingga
memicu adanya perlawanan dari para perempuan. Feminisme liberal merasa
bahwa ada pembatasan yang tidak adil antara perempuan dan laki-laki yang
berdampak pada kehidupan masyarakat sehari-harinya.

Sebagai tambahan dan juga penguatan argumen, Rosemarie Tong dalam


bukunya mengatakan bahwa ada beberapa hak yang diperjuangkan oleh para
feminis liberal, antara lain:
1. Equal Education
Masyarakat harus memiliki pemikiran bahwa perempuan harus
mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak laki-laki karena seluruh
individu di dunia ini layak mendapatkan kesempatan yang sama untuk
meningkatkan kapasitas rasional dan moral mereka agar mereka dapat
mencapai kepribadian mereka secara penuh (Tong, 2009:15). Hal ini dapat
dikaitkan dengan salah satu adegan di dalam film mengenai anak-anak para
pekerja seks yang tidak diterima ke dalam lembaga pendidikan atau sekolah
karena status pekerjaan Ibu mereka tersebut. Padahal anak-anak tersebut
bukanlah pemeran dari pekerjaan tersebut. Sehingga, anak-anak mereka
juga tetap layak untuk mendapatkan pendidikan yang utuh. Begitu juga
dengan anak-anak dan perempuan yang lainnya.
2. Equal Liberty
John Stuart Mill dan Harriet Taylor berpendapat bahwa cara untuk
memaksimalkan kebahagiaan seorang individu adalah dengan memberikan
akses individu tersebut untuk mengejar keinginan mereka asalkan individu
tersebut tidak menghalangi antara satu dengan yang lain dalam prosesnya
tersebut. Mill dan Taylor juga menegaskan bahwa jika masyarakat ingin
mencapai kesetaraaan seksual maupun keadilan gender maka masyarakat
harus memberikan kesempatan pada perempuan hak- hak politik dan hak
ekonomi yang sama serta pendidikan yang sama seperti laki-laki (Tong,
2009:16). Pada film Gangubai Kathiawadi, benang merah yang dapat ditarik
adalah mengenai bagaimana Gangubai mengupayakan agar pekerjaan
mereka juga dapat divalidasi dan dianggap ada oleh masyarakat bahkan
pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari keinginan Gangubai agar perempuan
yang memiliki takdir sebagai pekerja seks komersial tetap dapat
mendapatkan kesejahteraan mereka dan juga merdeka secara ekonomi. Pada
film, Gangubai juga sempat tampil di depan public untuk menyampaikan isi
hatinya mengenai keluh kesahnya kepada masyarakat luas terhadap
pandangan kepada para kaumnya bahkan Ia juga menyampaikan keluh
kesahnya di hadapan Perdana Menteri. Hal ini juga menggambarkan sedikit
adanya hak-hak politik yaitu hak dalam kebebasan berpendapat.
3. The suffrage
John Stuart Mill dan Harriet Taylor memercayai bahwa perempuan
membutuhkan hak pilih agar mendapatkan status kesetaraannya dengan
para laki-laki. Mereka beranggapan bahwa pemungutan suara memberikan
seseorang kekuatan. Tidak hanya untuk mengekspresikan pandangan
politiknya namun juga mengubah struktur, system, dan sikap yang memiliki
kontribusi terhadap penindasan (Tong, 2009:21). Pada hal ini, poin ini
digambarkan dengan dukungan-dukungan yang akhirnya masyarakat
berikan kepada Gangubai seusai Ia menyampaikan pidatonya. Adanya
dukungan masyarakat luas sangat penting untuk memberikan rasa
kepercayaan perempuan bahwa mereka telah diakui oleh kalangan lainnya.
4. Equal rights
Tong (2009:34) memberikan pendapatnya bahwa kaum feminis liberal
memiliki kesadaran mengenai tidak tersedianya kesetaraan antara hak
perempuan dan juga laki- laki yang menjadikan mereka ingin mendapatkan
kebebasan serta persamaan hak sebagai seorang idnvidu. Kaum feminisme
liberal ingin membebaskan perempuan dari peran gender yang menindas
yaitu sebuah peran yang dipakai sebagai alasan untuk memberikan para
perempuan posisi yang lebih rendah atau bahkan tidak memiliki posisinya
sama sekali sepeeti pada hal akademis maupun forum. Kesetaraan yang
diupayakan oleh para feminis liberal merupakan kesetaraan dalam hal
kebebasan indicidu dan negara, kebabsan dan berpolitik, serta kebebasan
dalam hak ekonomi. Kembali lagi pada benang merah dari film ini mengenai
keinginan Gangubai untuk mendapatkan kesejahteraan para pekerja seks
komersial dalam bidang apapun. Hal ini dilakukan sekaligus agar posisi
perempuan tidak selalu di bawah dibandingkan dengan posisi laki-laki.
Meskipun mungkin pekerjaan mereka bukanlah pekerjaan yang “umum”
maupun “biasa” di kalangan masyarakat lainnya, namun tetap saja
pekerjaan mereka adalah pekerjaan yang dapat mendukung mereka untuk
bertahan hidup.

III. Kesimpulan
Film Gangubai Kathiawadi membawakan isi cerita yang sepenuhnya terfokuskan
pada peran perempuan yang dalam film ini peran perempuan tersebut adalah para
pekerja seks komersial. Pekerja seks komersial memang memiliki banyak
pandangan negatif dari masyarakat luas. Namun, fokus dari film ini bukanlah
mengenai baik atau buruknya pekerjaan tersebut, melainkan menekankan pada
pekerja seks komersial adalah pekerjaan yang juga sama-sama dilakukan sebagai
mata pencaharian untuk banyak individu dapat hidup. Gangubai Kathiawadi sangat
menggambarkan semangat perempuan untuk membela kaum dan hak-haknya yang
belum seutuhnya mereka dapatkan.

Menggunakan dengan paham feminis liberal sebagai interpretasi dari film ini,
terdapat beberapa poin yang dapat ditarik atas adanya kesamaan yang ada, antara
lain:
1. Perempuan berhak untuk dapat memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan,
hobi, ataupun yang mereka lakukan lainnya.
2. Perempuan berhak untuk bisa mendapatkan hak politik yang sama dengan para
laki-laki dengan dapat memberikan pendapat dan juga suara mereka dengan
lantang hingga mendapatkan validasi dan timbal balik yang baik dari
masyarakat. Selain itu, perempuan juga berhak untuk “tampil” di depan
khalayak umum.
3. Perempuan berhak untuk mendapatkan pendidikan yang utuh dan layak sama
seperti laki- laki pada umumnya tanpa harus mendapatkan diskriminasi dalam
bidang akademis. Pada film ini, berlaku juga untuk anak-anak dari para
perempuan pekerja seks komersial yang mendapatkan pertentangan dari pihak
sekolah tersebut.
4. Seorang pekerja seks komersial juga berhak mendapatkan hak yang sama
untuk menganggap dirinya adalah individu yang memiliki nilai yang tetap bisa
menjaga dan memiliki harga diri dan martabat serta mempertahankan dan
memperjuangkan kesejahteraannya.

Berdasarkan poin-poin tersebut, telah digambarkan banyak aspek dari film


Gangubai Kathiawadi yang memiliki pesan yang mendalam mengenai perjuangan
seorang bahkan sekelompok perempuan untuk mendapatkan hak-hak yang justru
seharusnya tidak perlu untuk mereka perjuangkan melainkan sudah seharusnya
langsung secara alami mereka dapatkan. Dari beberapa poin mengenai paham
feminism liberal yang telah dibahas sebelumnya juga memberikan pandangan
mengenai betapa sulitnya perempuan di dunia ini untuk mendapatkan validasi
maupun pengakuan mengenai keberadaan mereka secara utuh. Mulai dari peran
perempuan pada bidang ekonomi, bidang politik, bidang pendidikan, dan bidang-
bidang yang lainnya masih sangat membutuhkan perhatian dari berbagai pihak agar
posisi perempuan bisa berpindah daari yang sebelumnya tertindas ke posisi yang
sama dengan perempuan. Mengetahui hal ini tentunya sangat disayangkan ketika
perempuan harus berdarah-darah untuk menunjukkan eksistensinya di hadapan laki-
laki. Padahal yang perempuan butuhkan hanyalah pengakuan serta apresiasi bukan
untuk menyaingi laki-laki maupun mengunggul- unggulkan peran atau posisi
perempuan.
Daftar Pustaka

Film diakses melalui:


https://www.netflix.com/watch/81280352?trackId=255824129&tctx=0%2C0%2C
NAPA%40%40%7Cb23e4538-e257-4188-b620-2fb37423de1b-
643549459_titles%2F1%2F%2Fganguba%2F0%2F0%2CNAPA%40%40%7Cb23
e4538-e257-4188-b620-2fb37423de1b-
643549459_titles%2F1%2F%2Fganguba%2F0%2F0%2Cunknown%2C%2Cb23e
4538-e257-4188-b620-2fb37423de1b-643549459%7C1%2CtitlesResults%2C

Sumber internet:
https://www.parapuan.co/read/533276359/sinopsis-film-gangubai-kathiawadi-
kisah-mafia-yang-memperjuangkan-hak-perempuan

https://journal.sociolla.com/lifestyle/film-bollywood-gangubai-kathiawadi

https://www.cultura.id/gangubai-kathiawadi-review

https://www.imdb.com/title/tt10083340/

Buku:

Arivia, Gadis (2003). Filsafat berperspektif feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal


Perempuan.

Tong, Rosemarie (2009). Feminist Thought: A More Comprehesive Introduction.


Amerika Serikat: Westview Press.

Yulia Maulida Rahmawati, RR Dyah Woroharsi Parnaningrum (2020).


FEMINISME LIBERAL DALAM FILM DIE GÖTTLICHE
ORDNUNG KARYA PETRA B. VOLPE. Jurnal Identitaet: Vol 9, No 2

Anda mungkin juga menyukai