Anda di halaman 1dari 94

KAJIAN YURIDIS TENTANG PENETAPAN PERWALIAN BAGI ANAK DI

BAWAH UMUR YANG BERAGAMA ISLAM GUNA MELAKUKAN PERBUATAN


HUKUM DI KABUPATEN BANTUL
(Studi Kasus Penetapan Nomor 202/Pdt.P/2016/PA.Btl)

SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) pada
Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta

Disusun Oleh :

Nama : Annas Firdian Sukarja


No. Mhs. : 22110204
Program Studi : Hukum
Bagian : Hukum Perdata

KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI


LEMBAGA LAYANAN PENDIDIKAN TINGGI
WILAYAH V YOGYAKARTA
UNIVERSITAS JANABADRA
FAKULTAS HUKUM
YOGYAKARTA
2023
KAJIAN YURIDIS TENTANG PENETAPAN PERWALIAN BAGI ANAK
DI BAWAH UMUR YANG BERAGAMA ISLAM GUNA MELAKUKAN
PERBUATAN HUKUM DI KABUPATEN BANTUL
(Studi Kasus Penetapan Nomor 202/Pdt.P/2016/PA.Btl)

SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) pada
Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta

Disusun Oleh :

Nama : Annas Firdian Sukarja


No. Mhs. : 22110204
Program Studi : Hukum
Bagian : Hukum Perdata

HALAMAN JUDUL

KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI


LEMBAGA LAYANAN PENDIDIKAN TINGGI
WILAYAH V YOGYAKARTA
UNIVERSITAS JANABADRA
FAKULTAS HUKUM
YOGYAKARTA
2023

i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

KAJIAN YURIDIS TENTANG PENETAPAN PERWALIAN BAGI ANAK DI


BAWAH UMUR YANG BERAGAMA ISLAM GUNA MELAKUKAN
PERBUATAN HUKUM DI KABUPATEN BANTUL
(Studi Kasus Penetapan Nomor 202/Pdt.P/2016/PA.Btl)

Disusun oleh:

Annas Firdian
Nama :
Sukarja
NIM : 22110204
Program Studi : Hukum
Bagian : Hukum Perdata

Disetujui tanggal:

Dosen Pembimbing:

Sri Suwarni, S.H., M.Hum

Mengetahui:

Dekan Fakultas Hukum


Universitas Janabadra

Dr. Sudiyana, S.H., M.Hum

ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI

KAJIAN YURIDIS TENTANG PENETAPAN PERWALIAN BAGI ANAK DI


BAWAH UMUR YANG BERAGAMA ISLAM GUNA MELAKUKAN
PERBUATAN HUKUM DI KABUPATEN BANTUL
(Studi Kasus Penetapan Nomor 202/Pdt.P/20106/PA.Btl)

Disusun oleh:

Annas Firdian
Nama :
Sukarja
NIM : 22110204
Program Studi : Hukum
Bagian : Hukum Perdata

Diuji dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji


pada tanggal: _____________

Susunan Dewan Penguji


Ketua

_____________________________________

Anggota Anggota

___________________ _____________________

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Janabadra

Dr. Sudiyana, S.H., M.Hum

iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Annas Firdian Sukarja


NIM : 22110204
Program Studi : Hukum
Bagian : Hukum Perdata

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Skripsi ini merupakan hasil karya asli
penulis bukan merupakan plagiasi dari hasil karya penulis lain. Jika Skripsi ini
terbukti merupakan plagiasi dari hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia
menerima sanksi akademik dan/ atau sanksi hukum yang berlaku.

Yogyakarta, 21 September 2022


Yang menyatakan,

Annas Firdian Sukarja

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.

karena atas limpahan rahmat-Nya pembuatan skripsi untuk mendapat gelar

Sarjana Hukum (S.H) dilaksanakan hingga dapat diselesaikan dengan baik.

Skripsi ini berisi tentang penelitian sebagaimana kaidah dalam penelitian hukum

yang melahirkan suatu skripsi.

Wali adalah seseorang yang melakukan pengurusan atas diri maupun

harta kekayaan anak yang masih dibawah umur yang tidak berada dibawah

kekuasaan orang tua. Dalam hal pengurusan dimaksud juga dapat diartikan

sebagai pemeliharaan, baik itu dalam pemberian pendidikan, nafkah terhadap

anak yang masih dibawah umur. Perwalian dalam hal penjualan melakukan

perbuatan hukum bagi anak dibawah umur adalah wajib hukumnya, tidak

terkecuali untuk melakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan

pertanahan

Kami berharap dengan disusunnya skripsi yang berjudul “Kajian Yuridis

Tentang Penetapan Perwalian Bagi Anak Di Bawah Umur Yang Beragama Islam

Guna Melakukan Perbuatan Hukum Di Kabupaten Bantul (Studi Kasus Penetapan

Nomor 202/Pdt.P/2016/Pa.Btl”) ini dapat meningkatkan derajat Pengetahuan

Hukum bagi penulis, dan komunitas hukum lainnya, setidaknya di lingkungan

Universitas Janabadra Yogyakarta.

Pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

vi
1. Bapak Prof. Ir. Nur Yuwono, Dip.HE, Ph.D. selaku Rektor Universitas
Janabadra Yogyakarta.
2. Bapak Sudiyana, S.H., M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Janabadra Yogyakarta.
3. Ibu Dr. Fransisca R. Harjiyati, S.H., M.Hum. Selaku Wakil Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta.
4. Bapak Sunarya Raharja, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta.
5. Bapak Tri Yuli, S.H., M.Hum Selaku Ketua Bagian Program Studi Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta.
6. Ibu Sri Suwarni, S.H., M.Hum. selaku dosen pembimbing utama yang telah
memberikan masukan positif baik berupa kritik dan saran yang membangun
sehingga skripsi ini memperoleh hasil yang maksimal.
7. Seluruh dosen dan staf tata usaha serta karyawan Fakultas Hukum
Universitas Janabadra Yogyakarta.
8. Bapak Umar Faruq, S.Ag., M.S.I. Hakim Pengadilan Agama Bantul dan
segenap jajaran Pengadilan Agama Kabupaten Bantul yang telah membantu
dalam terselesaikannya penelitian ini.
9. Ibu saya tercinta dan Bapak saya, keluarga saya, saudara-saudara saya yang
selalu mendo’akan sehingga mendorong selesainya skripsi ini serta kawan-
kawan dan seluruh Sahabat/Saudara saya yang lain.
Semoga keseluruhan dari yang saya telah sebutkan di atas mendapatkan

balasan atas kebaikan yang telah diberikan kepada saya, kesuksesan, kesehatan,

kemulyaan serta lindungan dari Allah SWT. Amin, Amin Ya Rabbalalamin.

Penyusun menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh

karena itu penyusun mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan baik

dalam isi maupun dalam susunan kata. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua

pembaca.

vii
Yogyakarta, 21 September
2022
Penulis

Firdian Sukarja
KAJIAN YURIDIS TENTANG PENETAPAN PERWALIAN BAGI ANAK DI
BAWAH UMUR YANG BERAGAMA ISLAM GUNA MELAKUKAN
PERBUATAN HUKUM DI KABUPATEN BANTUL
(Studi Kasus Penetapan Nomor 202/Pdt.P/2016/PA.Btl)

ABSTRAK

Annas Firdian Sukarja1


Sri Suwarni2

Wali adalah seseorang yang melakukan pengurusan atas diri maupun


harta kekayaan anak yang masih dibawah umur yang tidak berada dibawah
kekuasaan orang tua. Dalam hal pengurusan dimaksud juga dapat diartikan
sebagai pemeliharaan, baik itu dalam pemberian pendidikan, nafkah terhadap
anak yang masih dibawah umur. Perwalian dalam hal penjualan melakukan
perbuatan hukum bagi anak dibawah umur adalah wajib hukumnya, tidak
terkecuali untuk melakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan
pertanahan. Guna memperoleh data dilakukan penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan yang termasuk dalam jenis penelitian normatif serta bersifat
deskriptif. Metode penelitian hukum yang dilakukan adalah dengan cara mengkaji
dan menganalisis isu hukum mengenai pelaksanaan perwalian secara umum
maupun khusus dalam hal penjualan tanah waris. Dalam melakukan perbuatan
hukum penjualan tanah atau perbuatan-perbuatan lain yang berkaitan dengan
kecakapan para pihaknya, perwalian bagi anak dibawah umur adalah wajib.
Penetapan siapakah yang akan menjadi wali dari anak di bawah umur dilakukan
melalui peroses persidangan di Pengadilan Agama setempat berdasarkan pada
hukum yang berlaku. Di Kabupaten Bantul sendiri, proses persidangan perwalian
dilakukan dalam beberapa tahap dan melalui pertimbangan yang matang sebelum
ditetapkan siapakah yang nantinya akan menjadi wali dari anak di bawah umur
yang berkepentingan.

Kata Kunci: Perwalian, Anak, Pengadilan Agama, Penetapan.


_______________________
1
Mahasiswa
2
Dosen Pembimbing

viii
JURIDICAL STUDY ON THE DETERMINATION OF GUARDIANS FOR
CHILDREN UNDER THE AGE OF ISLAM, TO PERFORM LEGAL
ACTIONS AT BANTUL REGENCY
(Case Study of Determination Number 202/Pdt.P/2016/PA.Btl)

ABSTRACT

Annas Firdian Sukarja1


Sri Suwarni 2

A guardian is someone who manages himself and the assets of underage children
who are not under the authority of their parents. In terms of management, it can
also be interpreted as maintenance, both in the provision of education,
maintenance for children who are still underage. Trusteeship in the case of
selling legal actions for minors is obligatory, including taking legal actions
related to land. In order to obtain data, literature research and field research are
included in the type of normative and descriptive research. The legal research
method carried out is by reviewing and analyzing legal issues regarding the
implementation of guardianship in general and specifically in the case of the sale
of inherited land. In carrying out legal actions for selling land or other actions
related to the skills of the parties, guardianship for minors is mandatory.
Determination of who will be the guardian of the minor is carried out through the
trial process at the local Religious Court based on applicable law. In Bantul
Regency itself, the guardianship trial process is carried out in several stages and
through careful consideration before it is determined who will be the guardian of
the minors concerned.
Keywords: Guardian, Children, Religious Court, Determination.
_______________________
1
Student
2
Supervisor

ix
DAFTAR ISI

Contents
HALAMAN JUDUL................................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...............................................................iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN..................................................................iv
KATA PENGANTAR.............................................................................................v
ABSTRAK.............................................................................................................vii
ABSTRACT...........................................................................................................viii
DAFTAR ISI...........................................................................................................ix
BAB I - PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Perumusan Masalah........................................................................................7
C. Tujuan Penelitian............................................................................................8
D. Manfaat Penelitian..........................................................................................8
E. Metode Penelitian...........................................................................................9
BAB II - TINJAUAN PUSTAKA....................................................................13
A. Tinjauan tentang Perwalian.....................................................................13
1. Pengertian Perwalian...........................................................................13
2. Dasar Hukum Perwalian Dalam Hukum Islam...................................23
3. Prosedur Perwalian dalam Hukum Islam................................................28
4. Hak dan Kewajiban Wali........................................................................29
B. Tinjauan tentang Anak di Bawah Umur.......................................................30
1. Pengertian Anak......................................................................................30
2. Hak-hak Anak..........................................................................................35
C. Tinjauan Tentang Perbuatan Hukum............................................................38
1. Pengertian Hukum...................................................................................38
2. Perbuatan Hukum Menurut KUHPerdata................................................40
3. Jenis-Jenis Perbuaatan hukum.................................................................43
BAB III - HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.....................................44
A. Deskripsi Tempat Penelitian.........................................................................44

x
1. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Bantul.............................................44
2. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Bantul..................................48
B. Bagaimana pelaksanaan penetapan perwalian pada anak di bawah umur
dalam melakukan perbuatan hukum penjualan tanah oleh Pengadilan Agama
Bantul?..........................................................................................................50
C. Bagaimana Proses dan Apa Pertimbangan Hakim Dalam Melaksanakan
Sidang Hingga Putusan Terkait Penetapan Perwalian Anak?......................60
BAB IV - PENUTUP.............................................................................................78
A. Kesimpulan...................................................................................................78
B. Saran.............................................................................................................79

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia sebagai negara hukum tentunya memiliki aturan

mengenai batasan usia seseorang dapat dikatakan dewasa atau cakap menurut

hukum sebagai bentuk aturan yang menegaskan apakah seseorang tersebut

sudah dapat secara sah melakukan perbuatan hukum ataukah belum. Hal

tersebut tentunya tidak terkecuali sebagai sebuah persyaratan seseorang untuk

melakukan penjualan atas tanah.

Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum dikaitkan


dengan dewasa secara fisik dalam hukum pertanahan bersandar kepada
ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan
sebelumnya belum kawin, hal ini dapat dimaklumi karena tidak tegas
mengenai ketentuan umur dewasa dalam hukum, terutama hukum adat
yang dapat dijadikan dasar pengaturannya.1

Undang-Undang yang terdapat di dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia turut memberikan jalan keluar ketika batasan usia seseorang menjadi

sebuah halangan untuk melakukan perbuatan hukum. Tanpa menggunakan

lembaga perwalian atau perwakilan, perbuatan hukum oleh anak dibawah usia

dewasa (sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dewasa adalah

21 tahun {dua puluh satu tahun}) adalah dengan cara meniadakan keadaan

1
S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan Di Kantor
Pertanahan, Gresindo, Jakarta, 2005, hlm. 29.
1
2

belum dewasa bagi anak dengan syarat anak tersebut sudah mencapai batasan

umur 20 tahun dan telah ditetapkan pendewasaanya atau handlichting oleh

Presiden berdasarkan rekomendasi dari Mahkamah Agung. Oleh karena itu

dalam melakukan jual beli tanah bersertifikat milik bersama anak di bawah

umur harus dilengkapi dengan Surat Penetapan dari Pengadilan. Hal ini sesuai

ketentuan Pasal 309 dan Pasal 393 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

pengalihan hak milik dari anak yang masih di bawah umur harus berdasarkan

pada Penetapan dari Pengadilan. Penetapan pengadilan adalah sebagai akta

otentik. Setiap produk yang diterbitkan hakim atau pengadilan dalam

menyelesaikan permasalahan yang diajukan kepadanya, dengan sendirinya

merupakan akta otentik,2 yaitu merupakan akta resmi yang dibuat oleh pejabat

yang berwenang untuk itu. Bertolak dari doktrin yang dikemukakan di atas,

setiap penetapan atau putusan yang dijatuhkan pengadilan bernilai sebagai akta

otentik.3 Doktrin ini pun sesuai dengan ketentuan yang digariskan Pasal 1868

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kewajiban penetapan pengadilan dalam pendaftaran peralihan hak atas

tanah dengan jual beli milik bersama anak di bawah umur pada Kantor

Pertanahan adalah didasari pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk

melindungi kepentingan dari anak di bawah umur yang bersangkutan. Namun

demikian, hingga saat ini belum ada aturan yang tegas bersifat universal

tentang batasan usia cakap bertindak dalam hukum di Indonesia, hal ini terlihat

2
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992,
hlm. 199.
3
Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 126.
3

dari banyaknya batasan usia dinyatakan sebagai anak di bawah umur dalam

berbagai peraturan perundangan di antaranya yang terkait dengan jual beli atas

tanah berikut ini:

1. Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perkawinan, dinyatakan bahwa pria dan wanita berumur 19 tahun dapat

melakukan perbuatan hukum perikatan/perjanjian perkawinan atas

persetujuan orangtua atau walinya.

2. Menurut Pasal 39 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris disebutkan: penghadap harus memenuhi syarat

paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah.

Perbedaan ketentuan cakap bertindak karena umur dewasa dalam uraian


tersebut di atas, menunjukkan adanya perbedaan anggapan pada
kemampuan fisik dan atau mental manusia untuk melakukan perbuatan
hukum tertentu yang terukur secara biologis atau psikologis, sehingga
dinilai sanggup menyandang hak dan kewajiban khusus terhadap
perbuatan hukum tertentu.4
Anak di bawah umur yaitu anak yang belum berumur 21 tahun maka

kepengurusan terhadap harta kekayaan anak bawah umur tersebut dapat

dilakukan melalui perwakilan orangtua atau perwalian anak di bawah umur,

baik menurut undang-undang ataupun berdasarkan penetapan pengadilan.

Kewajiban melakukan penetapan pengadilan ini sering dipermasalahkan, ketika

orang tua (dalam hal ini si Ibu) atau saudara kandung sebagai pemilik hak atas

tanah bersama anak di bawah umur yang memperoleh ahli waris dari

peninggalan orang tuanya suami atau orang tua anak-anak tersebut yang akan

menjual tanah milik bersama itu. Walaupun orang tua (si Ibu) sudah layak

4
S. Chandra, op.cit., hlm. 31.
4

sebagai subjek hukum untuk melakukan jual beli atas tanah milik bersama anak

di bawah umur itu, tetapi si anak yang masih di bawah umur tidak layak

sebagai subjek hukum untuk bertindak atas jual beli tanah tersebut. Seorang ibu

melakukan penjualan atas tanah milik bersama anak dibawah umur adalah

demi kepentingan si anak, karena anak yang masih dibawah umur dan belum

cakap melakukan perbuatan hukum itu membutuhkan biaya hidup dan/atau

pendidikan.

Pada kenyataannya untuk satu dan lain hal Notaris / PPAT dalam hal ini

meminta kliennya untuk memenuhi Penetapan Perwalian dari Pengadilan untuk

melaksanakan tujuan tersebut, sehingga mereka dapat tetap melakukan

penjualan tanah dengan mengalihkan haknya. Pengadilan Agama di sini

berwenang untuk mengadili permohonan perwalian anak, yang kerap terjadi

saat si orang tua dari ahli waris yang masih belum cukup usia berkehendak

menjual warisannya, kemudian PPAT mengajukan syarat-syarat yang salah

satunya adalah penetapan perwalian anak meskipun wali yang ada saat itu

adalah orang tua kandungnya sendiri.

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan,

menyatakan perwalian anak jatuh pada orang tuanya yang masih hidup selama

anak tersebut belum berusia 18 tahun dan belum menikah, serta ayat (2) pun

menjelaskan bahwa orang tuanya mewakili si anak mengenai perbuatan hukum

baik di dalam dan di luar Pengadilan. Di lapangan banyak sekali terjadi

sebaliknya, orang tua kandung demi memenuhi syarat untuk menjual hak atas

tanah anaknya, kemudian meminta ke Pengadilan Agama berupa penetapan


5

perwalian anak di bawah umur. Berawal dari masalah inilah penulis ingin

meneliti penetapan Pengadilan Agama mengenai perwalian anak yang diminta

PPAT sebagai syarat pembuatan akta jual beli hak atas tanah.

Hukum di Indonesia mendefinisikan perwalian sebagai kewenangan dalam


melakukan perbuatan hukum tertentu demi kepentingan dan hak anak yang
orang tua kandungnya telah meninggal dunia atau tidak mampu melakukan
perbuatan hukum atau juga diartikan suatu perlindungan hukum yang
diberikan pada seorang anak yang belum dewasa atau belum pernah kawin
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.5

Dipandang lebih umum pada setiap perwalian adanya satu orang wali

saja bagi seorang anak, kecuali jika walinya yaitu ibunya menikah lagi,

kemudian suaminya disebut medevoogd. Perwalian berdasarkan undang-

undang adalah ketika salah satu orang tua dari anak yang belum dewasa itu

meninggal dunia, kemudian berdasarkan undang-undang orang tua yang

lainnya yang hidup terlama itulah secara otomatis berlaku sebagai wali tunggal

bagi anaknya. Adapun dimana seorang anak yang tidak dalam kekuasaan orang

tuanya yang ternyata ia juga tidak memiliki wali baik satu orang pun,

kemudian dalam hal ini hakim dapat menunjuk lewat penetapan pengadilan

yaitu seorang wali atas permintaan pihak tertentu yang punya kepentingan.

Pengecualiannya, ketika orang tua yang hidup terlama mencantumkan di surat

wasiatnya (testamen) mengangkat atau menunjuk seorang wali bagi anaknya

maka itu disebut Perwalian menurut Wasiat.

Wali dalam menjalankan tugasnya diwajibkan untuk memelihara anak

yang berada di bawah perwaliannya dan juga mengurus harta benda anak itu

5
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di
Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 147.
6

dengan sebaik mungkin dengan cara menghormati agama dan kepercayaan

anak itu, selain itu walinya wajib memelihara semua harta benda si anak pada

saat memulai jabatannya sebagai seorang wali dan juga wajib mencatat semua

perubahan yang ada dari harta benda anak itu. Wali yang ditunjuk berdasarkan

Penetapan Pengadilan dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan

hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan terbaik

bagi si anak seperti tercantum dalam Pasal 33 dan 34 Undang-Undang 35

Tahun 2014 tentang Perindungan Anak.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan hukum materiil bagi

hakim pengadilan agama menjadi acuan dalam membuat keputusan berkenaan

dengan perkara yang menjadi kompetensi dari Pengadilan Agama. Makna

perwalian yaitu sebagai suatu kewenangan yang diberikan pada seseorang

untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan

kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup tapi tidak cakap melakukan

perbuatan hukum (Pasal 1 Huruf H Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Dimaksudkan di sini bahwa apabila masih ada ibunya dan dia cakap

melakukan perbuatan hukum, maka ibunya yang bertindak sebagai wali, tidak

perlu ditunjuk orang lain. Adapun Pengadilan Agama dapat mencabut hak

perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak

lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi,

pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan

wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah


7

perwaliannya, hal ini disebutkan dalam Pasal 109 KHI. Berdasarkan dari uraian

tersebut, maka penulis berusaha untuk meneliti dan menjelaskan penetapan

perwalian anak yang diminta PPAT sebagai syarat pembuatan akta jual beli

hak atas tanah di Pengadilan Agama sehingga timbul keinginan penulis untuk

membuat sebuah penelitian hukum dalam bentuk skripsi dengan judul “Kajian

Yuridis Tentang Penetapan Perwalian Bagi Anak Di Bawah Umur Yang

Beragama Islam Guna Melakukan Perbuatan Hukum Di Pengadilan Agama

Bantul”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi permasalahan

dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan penetapan perwalian pada anak di bawah umur

dalam melakukan perbuatan hukum penjualan tanah oleh Pengadilan Agama

Bantul?

2. Bagaimana proses persidangan penetapan perwalian terhadap anak di bawah

umur dan apa saja pertimbangan hakim dalam penetapan perwalian pada anak

di bawah umur guna melakukan perbuatan hukum di wilayah Pengadilan

Agama Sleman?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Tujuan Objektif
8

a. Untuk mengetahui dan menganalisa pelaksanaan penetapan perwalian

pada anak di bawah umur guna melakukan perbuatan hukum penjualan

tanah oleh Pengadilan Agama Bantul.

b. Untuk mengetahui dan menganalisa proses persidangan perwalian

serta pertimbangan hakim dalam penetapan perwalian pada anak di

bawah umur guna melakukan perbuatan hukum penjualan tanah.

2. Tujuan Subjektif

Untuk memperoleh data sebagai bahan penulisan hukum yang merupakan

salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana (S1) pada Fakultas

Hukum Universitas Janabadra.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi

kepentingan ilmu hukum maupun kepentingan praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoristis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk menambah

pengetahuan sekaligus ajang pembanding antara teori yang diterima di

bangku kuliah dan praktik yang terjadi di lapangan khususnya tentang

perwalian.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat dengan adanya penelitian ini diharapkan masyarkat

mendapatkan suatu informasi mengenai perwalian.


9

b. Bagi penulis diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan

tentang ilmu hukum perdata khususnya dalam lingkup peradilan

Agama bagian perwalian.

E. Metode Penelitian

Metode peneiitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian normatif,

yaitu jenis penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan

menemukan kebenaran atau fakta dan mengkaji secara yuridis tentang

penetapan perwalian terhadap anak di bawah umur dalam rangka

melakukan perbuatan hukum penjualan tanah. Menurut Kartono, “Jenis

dari penelitian normatif merupakan penelitian lapangan (field research)

yaitu penelitian yang dilakukan secara sistematis dan metodologis untuk

mengungkap data yang diperlukan dalam penelitian yang bersumber dari

lokasi atau lapangan”.6

2. Metode Pendekatan

Pendekatan Yuridis Kualitatif, yaitu dilakukan dengan menelaah

semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang sedang dihadapi.

3. Sumber Data

Data yang digunakan diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan

penelitian lapangan yang terdiri-dari:


6
Kartini Kartono. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung. Alumni. 2011. hlm.28
10

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden

atau narasumber.

b. Data Sekunder, yaitu data keputakaan yang terdiri dari:

1) Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan

perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki peraturan

perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu berupa teori, doktrin dan literatur

yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu berupa Kamus seperti Kamus Bahasa

Indonesia, Kamus Bahasa Belanda atau Kamus Bahasa Inggris.

Soekanto mendefinisikan bahan “hukum tersier sebagai bahan

yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus,

ensiklopedia, indek komulatif, dan seterusnya”.7

4. Tehnik Pengumpulan Data

a. Penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

melakukan studi pustaka dengan mempelajari buku-buku.

7
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. 2012..

hlm. 52.
11

b. Penelitian lapangan, yaitu berupa penelitian yang langsung dilakukan

di lokasi penelitian dengan cara wawancara, yaitu mengadakan tanya

jawab secara langsung dengan mengajukan pertanyaan yang telah

dibuat terlebih dahulu.

5. Lokasi Penelitian, di Pengadilan Agama Bantul. Data dan informasi

diperoleh dari Pengadilan Agama Bantul.

6. Narasumber, yaitu:

Narasumber dalam penelitian ini adalah Hakim pada Pengadilan

Agama Bantul Bapak Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama

Bantul Bapak Umar Faruq, S.Ag., M.S.I..

7. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian kepustakaan maupun

lapangan diolah dan dianalisis secara diskriptif kualitatif artinya analisis

data berdasarkan apa yang diperoleh dari kepustakaan maupun lapangan

baik secara lisan maupun tertulis, kemudian diarahkan, dibahas, diberi

penjelasan dengan ketentuan yang berlaku serta perbandingkan, kemudian

disimpulkan dengan metode induktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal

yang umum ke hal yang khusus.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Perwalian

1. Pengertian Perwalian

Perwalian anak tidak lepas dari suatu perkawinan, karena dari

hubungan perkawinanlah lahirnya anak atau anak-anak dan bila pada

suatu ketika terjadi perceraian, salah satu orang tua atau kedua orang

tua meninggal dunia maka dalam hal ini akan timbul masalah

perwalian, dan anak-anak akan berada dibawah lembaga perwalian.

Wali merupakan orang yang mengatur dan bertanggung jawab

terhadap kepentingan anak-anak tersebut baik mengenai diri sianak

maupun harta benda milik anak tersebut.

Perwalian timbul maka anak anak berada dibawah Kekuasaan

orang tua yang merupakan kekuasaan yang dilakukan oleh ayah atau

ibu, selama ayah atau ibu masih terikat dalam perkawinan terhadap

anak-anaknya yang belum dewasa. Kekuasaan itu biasanya

dilakukan oleh siayah, namun jika siayah berada diluar kemungkinan

untuk melakukan kekuasaan tersebut maka si ibu yang menjadi wali.

Pada umumnya kedua orang tua wajib memelihara dan

mendidik anak- anak yang belum dewasa, meskipun orang tua dari

13
14

anak yang belum dewasa tersebut kehilangan hak menyelenggarakan

kekuasaan orang tua atau menjadi wali, hal itu tidak membebaskan

orang tua sianak dari kewajiban untuk memberikan tunjangan

untuk membayar pemeliharaan atau pendidikannya sampai anak

tersebut menjadi dewasa.

Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata

wali, dan jamak awliya. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti

teman, klien, sanak atau pelindung. Dalam literatur fiqih Islam

perwalian disebut dengan Al- walayah (orang yang mengurus atau

yang mengusai sesuatu), sedangkan al- wali yakni orang yang

mempunyai kekuasaan.8 Adapun yang dimaksudkan dengan

perwalian dalam terminologi para Fuqaha (Pakar Hukum Islam)

yang di formulasikan dalam istilah Wahbah Al- Zuhayli ialah

“kekuasaan otoritas yang dimiliki seseorang untuk secara langsung

melakukan suatu tindakan sendiri tampa harus bergantung (terikat)

atau seizin orang lain.9

Wali adalah seseorang yang melakukan pengurusan atas diri

maupun harta kekayaan anak yang masih dibawah umur yang tidak

berada dibawah kekuasaan orang tua. Dalam hal pengurusan

dimaksud juga dapat diartikan sebagai pemeliharaan, baik itu dalam

pemberian pendidikan, nafkah terhadap anak yang masih dibawah

8
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Dikeluarga Islam, PT. Raja
Grafindo, Jakarta, 2001, hlm. 134.
9
Ibid, hlm. 137.
15

umur, sehingga dengan demikian perwalian itu sendiri dapat juga

diartikan sebagai suatu lembaga yang mengatur tentang hak dan

kewajiban wali.10

Wali merupakan orang selaku pengganti orang tua yang

menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau

yang belum akil baliq dalam melakukan perbuatan hukum atau orang

yang menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap si

anak.

Menurut Hukum Indonesia, perwalian didefinisikan sebagai

kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi

kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah

meninggal, atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum atau

suatu perlindungan hukum yang diberikan pada seseorang anak yang

belum mencapai umur dewasa atau tidak pernah kawin yang tidak

berada dibawah kekuasaaan orang tua.11 Menurut R. Sarjono,

perwalian adalah suatu perlindungan hukum yang diberikan kepada

seseorang anakyang belum mencapai usia dewasa atau belum pernah

kawin yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.12 Ketentuan

disebutkan dalam Pasal 330 ayat (3) KUHPerdata bahwa Perwalian

(Voogdij) adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur, yang

10
Siti Hafsah Ramadhanay, Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan Selaku Wali
Pengawas Terhadap Harta Anak Dibawah Umur (Study Mengenal Eksitensi Balai Harta
Peninggalan Medan Sebagai Wali Pengawas), SPS-USU, Medan, 2004, hlm. 30.
11
Wahyono Darmabrata dan Surini ahlAn Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia,
cet. 2, Penerbit Fakultas Hukum Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 147.
12
R. Sarjono, Masalah Perceraian, cet. 1 Academika, Jakarta, 1999, hlm. 36.
16

tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. KUHPerdata

meyebutkan, bahwa anak yang belum dewasa atau di bawah umur

adalah yang belum berusia 21 tahun atau belum menikah, dan untuk

dapat melakukan perbuatan hukum dibutuhkan bantuan dari orang

lain (wali), maka sebab itu terbentuklah suatu perwalian terhadap

anak yang masih dibawah umur dengan tujuan untuk dapat

melakukan perbuatan hukum.

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menyebutkan bahwa anak yang belum mencapai

umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,

yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah

kekuasaan wali. Dalam Pasal tersebut ayat (2) juga menyebutkan

perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun

harta bendanya.

Perwalian timbul, maka anak berada dibawah Kekuasaan

orang tua, yang merupakan kekuasaan yang dilakukan oleh ayah atau

ibu, selama ayah atau ibu masih terikat dalam perkawinan.

Kekuasaan itu biasanya dilakukan oleh si ayah, namun jika siayah

berada diluar kemungkinan untuk melakukan kekuasaan tersebut

maka si ibu yang menjadi wali. Kekuasaan itu meliputi pemeliharaan

anak serta kekayaannya dan mewakili anak dalam bertindak hukum


17

kalau ia belum dianggap cakap (di bawah pengampuan).13

Menurut literatur fiqih Islam, perwalian disebut al-walayah

(mengurus/menguasai sesuatu). Secara etimologi perwalian memiliki

beberapa arti yaitu cinta (al-mahabbah), pertolongan (an-nashrah)

dan kekuasaan/otoritas (as-sultan wa al-qudrah).14 Adapun yang

dimaksudkan dengan perwalian dalam terminologi para Fuqaha

(Pakar Hukum Islam) yang diformulasikan dalam istilah Wahbah Al-

Zuhayli ialah “kekuasaan otoritas yang dimiliki seseorang untuk

secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tampa harus

bergantung (terikat) atau seizin orang lain.”15

Adapula yang berpendapat bahwa perwalian itu berhubungan

dengan wali. Adapun wali itu mempunyai banyak arti yang

penggunaannya disesuaikan dengan konteks kalimatnya. Berikut

adalah beberapa pengertian tentang wali yaitu:

a. Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban


mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu
dewasa;
b. Pengusaha pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu
yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki);
c. Orang shaleh (suci), penyebar agama;
d. Kepala pemerintah dan lain sebagainya.16

Wali merupakan orang yang memelihara anak yatim serta


13
Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 167.
14
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm. 134.
15
Ibid., hlm. 137.
16
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2010, hlm. 207.
18

mengurus harta benda anak tersebut baik itu dalam bentuk orang

perorangan atau badan hukum.16 Menurut hukum Islam “perwalian”

terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:

a. Perwalian terhadap jiwa;

b. Perwalian terhadap harta;

c. Perwalian terhadap jiwa dan harta.

Perwalian dalam Islam dibagi kedalam dua kategori yaitu:

a. Perwalian umum biasanya mencakup kepentingan bersama


(Bangsa atau rakyat) seperti waliyul amri (dalam arti
Gubernur) dan sebagainya, sedangkan perwalian khusus
adalah perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang, seperti
terhadap anak yatim.
b. Perwalian khusus yaitu meliputi perwalian terhadap diri
pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta
bendanya.17

Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk

mengurus kepentingan diri sianak, mulai dari mengasuh,

memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama.

Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan

kebutuhan si anak. Semua pembiayaan hidup tersebut adalah

menjadi tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian terhadap

harta bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak

secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai

perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian,

serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa

17
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Akademika Pressindo, Jakarta 2000, hlm. 104.
19

perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri

sendiri.18

Wali merupakan orang yang memelihara anak yatim serta

mengurus harta benda anak tersebut baik itu dalam bentuk orang

perorangan atau badan hukum.19 Perwalian erat kaitannya juga

dengan hadanah. Hadanah merupakan pemeliharaan dan pengasuhan

anak yang masih kecil atau belum mumayyiz. Dalam pengertian lain,

hadanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah

terjadinya putus perkawinan dan anak-anak masih memerlukan

bantuan dari ayah atau ibunya.20

Pemeliharaan anak merupakan hak anak yang dalam Islam

harus dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,

masyarakat pemerintah dan negara. Diantara hak-hak anak tersebut

adalah pemeliharaan atas kehormahan, pemeliharaan atas

keturunan/nasab, pemeliharaan atas jiwa, pemeliharaan atas akal dan

pemeliharaan atas harta.21

Hadanah berlaku ketika si anak masih mempunyai orang tua

dan cakap merawat juga melakukan tindakan lainnya. Namun, ketika

si anak itu sudah tidak memiliki orang tua atau memiliki orang tua

namun sudah tidak cakap melakukan tindakan apapun, maka anak


18
Ibid., hlm.104-105.
19
Sayuti Thalib, op.cit., hlm. 135.
20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqih Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, 2009, hlm. 328.
21
Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), Jakarta, 2007, hlm. 51.
20

tersebut berada dalam perwalian.22

Menurut KHI buku I Bab I Pasal 1 butir h, perwalian adalah

kewenangan yang diberikan seseorang untuk melakukan sesuatu

perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama

anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih

hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perwalian merupakan

kewajiban hukum yang dilakukan seorang wali untuk melakukan

pengawasan dan mengurus diri si anak yang belum dewasa serta

harta bendanya.23 Menurut Subekti, perwalian berasal dari wali yang

mempunyai arti bahwa orang lain sebagai pengganti orang tua

menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau

belum baligh dalam melakukan perbuatan hukum.24 Sedangkan

menurut Sadikin, perwalian adalah pengawasan dan pengurusan

terhadap diri pribadi anak-anak yang belum dewasa dan harta

bendanya yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.25

Dapat dikatakan bahwa perwalian adalah kekuasaan

seseorang untuk memelihara dan mengurus diri anak yang belum

22
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI), Prenada Media,
Jakarta, 2004, hlm. 303.
23
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hlm. 98.
24
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum
Islam, dan Hukum Adat, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 55.
25
Sadikin, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang Hukum Keluarga
dan Waris, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1995, hlm.
18.
21

dewasa termasuk juga memelihara dan mengurus harta bendanya.

Dalam hal ini, penulis membahas tentang perwalian terhadap anak

kecil (belum dewasa) yang telah menjadi yatim oleh Panti Yatim.

Terdapat beberapa ketentuan mengenai perwalian yaitu

sebagai berikut:

a. Menurut Agama Islam

Alquran dan Hadist dalam menetapkan hukum dan

ketentuan mengenai perwalian, merujuk kepada firman Allah

SWT mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama

pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan

oleh orang tuanya. QS An-Nisa ayat (2) menyebut, Allah

berfirman "dan berikanlah kepada anak- anak yatim (yang sudah

dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik

dengan yang buruk, dan jangalah kamu makan harta mereka

bersama hartamu, sungguh tindakan menukar dan memakan) itu

adalah dosa yang besar". Ayat ini menjadi suatu landasan dalam

memelihara harta anak yatim yang telah ditinggalkan orang orang

tuanya atau ahli warisnya. Dimana dalam ayat tersebut

secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan

perlindungan terhadap harta sampai mereka telah cakap

dalam pengelolaannya (dewasa). Artinya jika anak anak

yatim tersebut belum dewasa, maka pengelolaan harta tersebut

harus dijaga dan dipelihara oleh walinya. Selain adanya perintah


22

untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam konteks penjagaan

jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap harta

mereka, Allah sangat murka jika orang yang kemudian menjadi

wali tidak dapat menjaga dan memelihara harta tersebut.

b. Menurut KUHPerdata

Landasan hukum tentang perwalian dalam KUH Perdata

telah disebutkan pada Bab XV dalam Pasal 345 sampai Pasal 354

KUH Perdata. Pasal 345 KUH Perdata juga menyebutkan apabila

terdapat salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka

perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi

hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini

tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.

c. Menurut KHI dan Undang-Udang Perkawinan

Selain Al-Qur'an dan Hadist sebagai landasan ketentuan

mengenai perwalian- dalam konteks hukum Islam, ketentuan

tersebut juga diadopsi dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam),

diatur dalam BAB XV mengenai perwalian. Pada Pasal 107 ayat

(1-4) dinyatakan bahwa:

(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21 tahun

dan atau belum pemah melangsungkan perkawinan;

(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta

kekayaan;

(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas
23

perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah

seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas

permohonan kerabat tersebut

(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut

atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur

dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

2. Dasar Hukum Perwalian Dalam Hukum Islam

Dalam permasalahan perwalian anak yang belum dewasa

untuk mengurus harta dijelaskan Surat al-Nisa ayat 2, 5, 6 dan 10

sebagai berikut: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang

sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik

dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka

bersama hartamu. Sungguh, (tindakan memakan dan menukar) itu

adalah dosa yang besar.” (Q.S. An-Nisa : 2)

Pada ayat 2 surat al-Nisa ini menjelaskan tentang kewajiban

para wali dan penerima wasiat untuk menjaga dan menggunakan

harta anak yatim yang belum dewasa dengan baik.26 Serta larangan

mengambil harta yang bernilai untuk pribadi si wali dan menukarnya

dengan yang buruk untuk diberikan kepada anak yatim.27

26
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, juz 4, terj. Bahrun Abu Bakar, Hery
Noer Aly, CV. Toha Putra, Semarang, 1994, hlm. 323.
27
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 2,
Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 321.
24

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum


sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan)
kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah
mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang baik. Dan ujilah anak-anak yatim
itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan
janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya)
sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu)
mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta
anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia
makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila
kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah
kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas
(Q.S. An-Nisa : 5)”.

Pada ayat ini menjelaskan bahwa, para wali boleh menyerahkan

harta anak yatim ketika si wali melihat tanda-tanda mereka sudah dewasa.

Dan wali juga memberitahukan kepada anak tersebut bahwa harta itu

miliknya dan akan diserahkan kembali ketika mereka sudah dewasa.

Adapun wali bisa menguji kedewasaan anak itu dengan memberi sedikit

hartanya, bila mereka sudah pandai dan mengerti cara menggunakan serta

membelanjakannya berarti mereka sudah dewasa. Atau dengan mengetahui

bahwa anak tersebut siap untuk membina rumah tangga. Serta larangan bagi

wali untuk menggunakan harta anak yang dalam perwaliannya secara

berlebihan untuk kepentingan pribadinya dengan alasan anak tersebut masih

kecil dan wajib menghadirkan saksi ketika penyerahan harta tersebut kepada

anak yang ada dalam perwaliannya.28

28
Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit., hlm. 334.
25

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara

zalim, sebenarnya mereka menelan api dalam perutnya dan mereka akan

masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Q.S An-Nisa : 6) Ayat

tersebut menjelaskan larangan bagi wali memakan harta anak yatim dengan

cara yang tidak benar atau tidak seperlunya saja pada saat yang sangat

terpaksa dan mendesak hanya untuk upah bagi pekerjaan pengasuh.

Karena perbuatan memakan harta yang demikian menyebabkan wali

mendapatkan azab neraka kelak.29

Masalah tentang perwalian harta anak di bawah umur ada dalam

Surat al-An‘am ayat 152, sebagai berikut: “Dan janganlah kamu mendekati

harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia

mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan

dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut

kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun

dia kerabat (mu) dan penuhila janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan

kepadamu agar kamu ingat.” (Q.S Al-An’am : 152)

Pada ayat selanjutnya dijelaskan kembali larangan bagi wali dalam

memakan atau menggunakan bahkan mendekati (tidak terjerumus atau

merangsang nafsu untuk melakukan) dengan cara yang tidak diperkenankan.

Pada ayat ini, lebih berisi perintah-perintah bagi seorang wali yaitu untuk

menyempurnakan pada saat menakar dan menimbang serta melakukannya

29
Ibid., hlm. 337.
26

dengan adil (membuat kedua belah pihak senang dalam hal melakukan

transaksi). Kemudian perintah untuk berbicara yang benar dan adil, bila

tidak mampu atau takut mengucapkan kebenaran maka wajib baginya untuk

diam. Serta perintah untuk memenuhi janji kepada Allah untuk memelihara

dan memenuhi hak-hak kaum yang lemah dalam hal ini adalah anak yatim.30

Aturan mengenai perwalian dalam Surat Al-Isra ayat 34: “Dan

janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih

baik (bermanfaat) sampai dia dewasa, dan penuhilah janji, karena janji itu

pasti diminta pertanggung jawabannya.” (Q.S Al-Isra : 34) Pada ayat ini

pula dijelaskan tentang larangan bagi seorang wali berkaitan dengan harta

anak yatim. Pada ayat ini diingatkan kembali bagi para wali agar tidak

memanfaatkan harta anak yatim untuk kepentingan pribadinya dengan

alasan bahwa mereka adalah orang yang mengelola harta tersebut, meskipun

wali dapat memanfaatkannya dalam batas yang diperkenankan namun tetap

tidak diperbolehkan membelanjakan harta itu dalam keadaan tergesa-gesa

sebelum anak yang berada dalam perwaliannya itu dewasa. 31 Serta

menunaikan janji (memeliharanya menurut cara yang diijinkan oleh syariat

dan undang-undang yang diridhoi oleh Allah). Adapun janji ini seperti akad-

akad muamalah dalam soal jual beli, sewa-menyewa dan lainnya.32

30
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 4,
Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 345-348.
31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 7,
Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 459.
32
Ahmad Mustafa Al-Maragi, op.cit., hlm. 82.
27

Hadist menyebutkan kebolehan wali untuk menggunakan harta anak

yatim yang dipeliharanya sebagai berikut: Dari Aisyah r. a. tentang firman

Allah‚ “dan barangsiapa (di antara pemelihara anak yatim itu) mampu maka

hendaklah ia menahan diri dan barangsiapa miskin maka ia boleh makan

harta itu dengan wajar (An-Nisa : 6); Ini diturunkan tentang wali anak yatim

apabila dalam keadaan miskin, yaitu bahwa ia boleh makan harta anak yatim

yang dipeliharanya itu sebagai ganti dari pemeliharaannya dengan wajar”

(HR. Muslim).

Humaid bin Mas’adah menyatakan sesungguhnya Khalid bin Harith

mengabarkan mereka dari Husain yakni guru, dan dari Amr bin Syu’aib dari

ayahnya dari datuknya, bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki yang

datang kepada Nabi Muhammad SAW lalu ia berkata: “Sesungguhnya aku

adalah miskin, tidak memiliki apa-apa dan aku seorang pemelihara anak

yatim. Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda: makanlah harta anak

yatim yang engkau pelihara itu dengan cara tidak berlebih-lebihan, tidak

boros dan tidak menghabiskan harta pokoknya.” (HR. Abu Daud).

Pengaturan mengenai perwalian, tidak hanya diatur dalam hukum

syariat saja, juga ada di dalam Hukum Islam positif Indonesia, yaitu dalam

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan

bahwa: “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang


28

tua, berada dibawah kekuasaan wali. Dalam ayat (2) Pasal tersebut juga

menyebutkan perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan

maupun harta bendanya.”

Dimaksud dengan perwalian pada ayat tersebut hanya terbatas

kepada perwalian terhadap anak yang belum dewasa, yaitu anak yang belum

berumur 18 tahun dan belum pernah kawin, serta mengenai diri pribadi serta

harta anak yang belum dewasa.33

3. Prosedur Perwalian dalam Hukum Islam

Perwalian dalam Hukum Islam terjadi dengan cara:

a. Perwalian terjadi karena adanya wasiat dari orang tua si anak yang
mewasiatkan kepada seseorang atau Badan Hukum tertentu untuk
melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya
sesudah ia meninggal dunia (Pasal 108 KHI).
b. Berdasarkan pada Pasal 33 ayat (4) UU No. 35 Tahun 2014, bahwa
pengangkatan wali bagi anak harus melalui penetapan Pengadilan. Dalam
penjelasannya, pengadilan yang dimaksud bagi yang beragama Islam
adalah Pengadilan Agama.
c. Pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau Badan
Hukum dan memindahkannya kepada pihak lain (Pasal 109 KHI).
Permohonan untuk pencabutan tersebut diajukan oleh kerabatnya, dengan
alasan wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila, dan atau
melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewnangnya sebagai wali
demi kepentingan yang berada di bawah perwaliannya.
d. Wali wajib untuk mengurus diri dan harta anak yang berada di bawah
perwaliannya (Pasal 110 KHI). Untuk itu wali bertangung jawab
terhadap harta orang yang berda di bawah perwaliannya dan mengganti
kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
e. Apabila anak yang berada di bawah perwaliannya telah mencapai usia 21
(dua puluh satu) tahun, maka wali berkewajiban menyerahkan seluruh
hartanya kepadanya (Pasal 111 KHI).
f. Setelah masa perwalian ini berakhir, Pengadilan Agama berwenang
mengadili perselisihan antara wali dan anak yang berada di bawah
33
Anshary, Kedudukan Anak Dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, CV. Mandar
Maju, Bandung, 2014, hlm. 51.
29

perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya. Namun wali


dapat menggunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya
sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil
ma’ruf jika wali dalam keadaan fakir (Pasal 112 KHI).

4. Hak dan Kewajiban Wali

Hak wali seperti dalam Hukum Islam sama dengan hak orang tua

terhadap anak yaitu bahwa wali berhak atas diri anak yang berada di bawah

perwaliannya serta terhadap harta kekayaanya.34

Kewajiban wali menurut Hukum Islam adalah:

a. Perwalian yang berkaitan dengan diri pribadi anak

Perwalian berkewajiban untuk melakukan perwatan terhadap anak

perwaliannya yang meliputi merawat, mendidik dan memelihara si anak

untuk dapat tumbuh-kembang secara layak sebagai seoranga yang

bermartabat sampai si anak dewasa (berumur 18 tahun), yang sedapat-

dapatnya wali tersebut diambil dari keluarga anak tersebut atau orang

lain yang jujur dan berkelakuan baik. (Pasal 107 KHI)

b. Perwalian yang berkaitan dengan harta benda milik anak

1) Wali berkewajiban mengurus dari dan harta orang yang berada di


bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya;
2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta
orang yang berda di bawah perwaliannya, kecuali jika perbuatan
tersebut menguntungkan bagi orang yang di bawah perwaliannya;
3) Wali bertangggung jawab mengganti kerugian yang timbul sebagai
akibat kesalahan atau kelalaiannya;
4) Wali harus mampu mempertanggungjawabkan pengelolaan harta
orang yang berada di bawah perwaliannya dan harus di buktikan
dengan pembukuan yang di tutup tiap satu tahun sekali;
34
F.X. Suhardana, Hukum Perdata I Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1996, hlm. 56.
30

5) Wali wajib menyerahkan seluruh harta yang berada di bawah


perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai usia 21 tahun
atau telah kawin.

Kewajiban-kewajiban dari seorang wali, menurut Pasal 51 ayat (3, 4

dan 5) UUPA adalah sebagai berikut:

a. Mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya


dengan sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan
kepercayaan anat tersebut;
b. Membuat daftar harta benda anak tersebut, serta mencatat semua
perubahan yang terjadi pada harta benda anak tersebut;
c. Bertanggung jawab atas harta benda anak tersebut, dan kerugian
yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.35

B. Tinjauan tentang Anak di Bawah Umur

1. Pengertian Anak

Menurut Paulus Hadisuprapto, ”pengertian anak dalam kaitannya

dengan perilaku delinkuensi anak, biasanya dilakukan dengan

mendasarkan pada tingkatan usia, dalam arti tingkat usia berapakah

seorang dapat dikategorikan sebagai anak”.36 Selanjutnya dinyatakan

bahwa: “Anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan

dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan

35
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 54.
36
Paulus Hadisuprapto, 2010, Delinkuensi Anak Pemahaman dan Penanggulangannya, Selaras,
Malang, hlm.11.
31

yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak

menjadi penting diprioritaskan”.37

Mengenai definisi anak, dinyatakan oleh Paulus Hadisuprapto

bahwa;

Ada banyak pengertian dan definisi. Secara awam, anak dapat

dartikan sebagai seseorang yang dilahirkan akibat hubungan antara

pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu ikatan perkawinan. Dalam

hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum

dewasa (minderjarig/person under age), orang yang dibawah

umur/keadaan dibawah umur (minderjarig heid/inferiority) atau biasa

disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali

(minderjarige under voordij). Pengertian anak itu sendiri jika kita

tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat

berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal

ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk

menentukan umur anak. Pengertian anak ini menjadi penting terutama

berkaitan dengan upaya perumusan batasan upaya

pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) terhadap seorang

anak yang melakukan tindak kriminal, dalam tingkat usia berapakah

37
PERMEN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I. Nomor 15 Tahun 2010,
Pedoman Umum Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I.
32

seorang anak yang berperilaku kriminal dapat dipertanggungjawabkan

secara pidana.38

Di Indonesia mengenai batasan usia tersebut dapat dilakukan

penelusuran terhadap beberapa peraturan perundang-undangan,

sebagai berikut:

a. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang


Pengadilan Anak, menyatakan bahwa anak adalah orang yang
dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin;

b. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang


Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa bahwa anak adalah setiap
manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya; dan;

c. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak, menyatakan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang ada dalam kandungan.

d. Pasal 1angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang


Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan pengertian Anak yang
berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan
hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang
menjadi saksi tindak pidana.

Pemerintah telah mengeluarkan undang-undang terbaru untuk

menangani anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana atau menjadi

38
Paulus Hadisuprapto, Op.Cit, hlm.1.
33

korban tindak pidana. Undang-undang tersebut adalah Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa,

Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut anak

adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi

belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan

tindak pidana.

Anak adalah makhluk sosial sama halnya dengan orang dewasa

anak juga membutuhkan seseorang untuk mengembangkan

kemampuannya karena pada dasarnya anak lahir sebagai sosok yang lemah

sehingga tanpa bantuan dari orang lain anak tidak mungkin mencapai taraf

kehidupan yang normal. John Locke mengemukakan bahwa anak

merupakan pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-

rangsangan dari lingkungan.

“Pengertian anak dalam kaitannya dengan perilaku delinkuensi

anak, biasanya dilakukan dengan mendasarkan pada tingkatan usia, dalam

arti tingkat usia berapakah seorang dapat dikategorikan sebagai anak”.39

“Anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan

dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang

39
Paulus Hadisuprapto, 2010, Delinkuensi Anak Pemahaman dan Penanggulangannya, Selaras,
Malang, hlm. 11.
34

haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak menjadi penting

diprioritaskan”.40

Pengertian anak itu sendiri jika ditinjau lebih lanjut dari segi usia

kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu

dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang

digunakan untuk menentukan umur anak.

Pengertian anak ini menjadi penting terutama berkaitan dengan upaya


perumusan batasan upaya pertanggungjawaban pidana (criminal
responsibility) terhadap seorang anak yang melakukan tindak
kriminal, dalam tingkat usia berapakah seorang anak yang berprilaku
kriminal dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.41
Membicarakan tentang sampai sebatas mana seseorang dapat

dikatakan tergolong anak, ternyata terdapat batasan yang beraneka

ragam antara berbagai undang-undang yang ada, sebagai akibat dari

latar belakang yang berbeda-beda terhadap maksud dan tujuan dari

undang-undang itu sendiri.

Menurut pengertian yang umum, “anak adalah keturunan atau

manusia yang masih kecil.”42 Sebagai keturunan, anak adalah

seseorang yang dilahirkan karena hubungan biologis antara laki-laki

dengan perempuan. Hubungan semacam itu telah berlangsung

sepanjang sejarah umat manusia, yang menurut agama Samawi

40
PERMEN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I. Nomor 15 Tahun 2010.
Pedoman Umum Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak R.I.
41
Paulus Hadisuprapto, Op.Cit, hlm.1
42
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, hlm. 31.


35

diawali dengan diturunkannya Adam dan Hawa di muka Bumi.

Menurut Islam batasan anak adalah mereka yang telah mimpi basah

bagi anak laki-laki dan telah datang haid bagi anak perempuan.

Menurut bahasa, “anak diartikan sebagai manusia yang masih

kecil, sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia, anak dimaknai

sebagai manusia yang masih kecil yang belum dewasa”.43

2. Hak-hak Anak

a. Pengertian

Menurut Maulana Hasan Wadong yang dimaksud dengan hak

yaitu “kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang (atau

badan hukum) karena perhubungan hukum dengan orang lain (badan

hukum lain)”.44

Hak-hak anak merupakan salah satu hal terpenting yang tidak

boleh kita lupakan, karena hal itu sebagai suatu bentuk sisi pendekatan

untuk melindungi anak-anak dari masalah hukum. Hak anak itu

mempunyai kedudukan yang sama dengan manusia lain atau subjek

hukum lainnya.

Adapun pernyataan tentang hak-hak anak menurut Deklarasi

Hak Anak-Anak 20 November 1958, meliputi:

43
Ibid., hlm. 45.
44
Maulana Hasan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo,
Jakarta, hlm. 29.
36

1) Anak-anak berhak menikmati seluruh hak yang tercantum


didalam deklarasi ini. Semua anak tanpa pengecualian yang
bagaimanapun berhak atas hak-hak ini, tanpa membedakan
suku, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pendapat di bidang politik atau bidang lainnya, asal usul
bangsa atau tingkatan sosial, kaya atau miskin, keturunan
atau status, baik dilihat dari segi dirinya sendiri maupun dari
segi keluarga.

2) Anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan


khusus, dan harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang
dijamin oleh hukum dan sarana lain sehingga secara jasmani,
mental, akhlak, rohani dan sosial, mereka dapat berkembang
dengan sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat.

3) Sejak dilahirkan, anak-anak harus memiliki nama dan


kebangsaan.

4) Anak-anak harus mendapat jaminan. Mereka harus tumbuh


dan berkembang dengan sehat. Untuk maksud ini, baik
sebelum maupun sesudah dilahirkan, harus ada perawatan
dan perlindungan khusus bagi si anak dan ibunya. Anak-anak
berhak mendapat gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan
pelayanan kesehatan.

5) Anak-anak yang cacat tubuh dan mental atau yang berkondisi


sosial lemah akibat suatu keadaan tertentu harus memperoleh
pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus.

6) Agar supaya kepribadiannya tumbuh secara optimal dan


harmonis, anak-anak memerlukan kasih sayang dan
pengertian. Sedapat mungkin mereka harus dibesarkan di
bawah asuhan dan tanggung jawab orang tua mereka sendiri,
dan bagaimana pun harus diusahakan agar mereka tetap
berada dalam suasana penuh kasih sayang, sehat jasmani dan
rohani. Anak-anak di bawah usia lima belas tahun tidak
dibenarkan terpisah dari ibunya. Masyarakat dan penguasa
yang berwenang, berkewajiban memberikan perawatan
khusus kepada anak-anak yang tidak mampu. Diharapkan
agar pemerintah atau pihak yang lain memberikan bantuan
pembiayaan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga besar.
37

7) Anak-anak berhak untuk mendapatkan pendidikan wajib


secara cuma-cuma sekurang-kurangnya di tingkat sekolah
dasar. Mereka harus mendapat pendidikan yang dapat
meningkatkan pengetahuan umumnya, dan yang
memungkinkan mereka, atas dasar kesempatan yang sama,
untuk mengembangkan kemampuannya, pendapat pribadinya
dan perasaan tanggung jawab moral dan sosialnya, sehingga
mereka dapat menjadi anggota masyarkat yang berguna.
Kepentingan-kepentingan anak haruslah dijadikan dasar
pedoman oleh mereka yang bertanggung jawab terhadap
pendidikan dan pendidikan anak yang bersangkutan.
Pertama-tama tanggung jawab tersebut terletak pada orang
tua mereka. Anak-anak harus mempunyai kesempatan yang
leluasa untuk bermain dan berekreasi, yang harus diarahkan
untuk tujuan pendidikan. Masyarakat dan penguasa yang
berwenang harus berusaha meningkatkan hak ini.

8) Dalam keadaan apapun, anak-anak harus didahulukan dalam


menerima perlindungan dan pertolongan.

9) Anak-anak harus dilindungi dari segala bentuk penyia-


nyiaan, kekejaman dan penindasan. Dalam bentuk apapun,
mereka tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan apapun,
mereka tidak boleh menjadi “Bagian Perdagangan”.

10) Anak-anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke


dalam bentuk diskriminasi lainnya. Mereka harus dibesarkan
di dalam semangat yang penuh pengertian, toleransi dan
persahabatan antar bangsa, perdamaian serta persaudaraan
semesta dan penuh kesadaran tenaga dan bakatnya harus
diabadikan kepada sesama manusia. 45

C. Tinjauan Tentang Perbuatan Hukum

1. Pengertian Hukum

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa,

Hukum Agama dan Hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik
45
Mulyana. W. Kusumah, 1986, Hukum dan Hak-hak Anak, CV.Rajawali, Jakarta, hlm. 62–64.
38

perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya

dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan

wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).

Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut

Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di

bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga

berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan

setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah

Nusantara

Hukum memiliki keterkaitan yang erat dengan kehidupan

masyarakat. Dalam kenyataan, perkembangan kehidupan masyarakat diikuti

dengan perkembangan hukum yang berlaku di dalam masyarakat, demikian

pula sebaliknya. Pada dasarnya keduanya saling mempengaruhi dalam

memberikan pengertian hukum. Banyak para ahli telah mengemukakan

pengertian hukum, antara lain:

a. Utrecht, mengatakan pengertian hukum adalah himpunan petunjuk


hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata
tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk
hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah.46
b. Soediman Kartohadiprodjo, mengatakan hukum adalah pikiran ataun
anggapan orang adil atau tidak adil mengenai hubungan antara
manusia.47
c. Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan hukum adalah keseluruhan
kaedah-kaedah serta asas-asas yang mengatur pergaulan hidup
manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara ketertiban
yang meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses guna
mewujudkan berlakunya kaedah itu sebagai menyataan dalam
46
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hlm. 3.
47
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Armico, Bandung, 1985, hlm. 21.
39

masyarakat.48
d. Simorangkir, dan Woerjono Sastropranoto, mengemukakan bahwa
hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat,
yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran
mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya
tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.49
e. Van Vollenhoven mengatakan bahwa hukum adalah suatu gejala
dalam pergaulan hidup yang bergolak terus menerus dalam keadaan
bentur membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala lain.50
f. Ridwan Halim menguraikan bahwa hukum merupakan peraturan-
peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada
dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus
ditaati dalam hidup bermasyarakat.51
g. Meyers mengatakan hukum adalah semua aturan yang mengandung
pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia
dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa negara
dalam melakukan tugasnya.52

Dapat dikatakan bahwa hukum adalah sekumpulan peraturan yang

terdiri dari perintah dan larangan yang dibentuk oleh pemerintah melalui

badan-badan resmi yang bersifat memaksa dan mengikat dengan disertai

sangsi bagi pelanggarnya.

Berdasarkan beberapa batasan tentang hukum yang diberikan oleh

para ahli tersebut, dapat diambil bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur,

yaitu:

a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat

b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib

48
Ibid, hlm. 22.
49
Ibid.
50
Ibid.
51
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm.6.
52
Ibid, hlm. 7.
40

c. Peraturan itu bersifat memaksa

d. Sanksi teradap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.53

2. Perbuatan Hukum Menurut KUHPerdata

Peristiwa hukum adalah peristiwa di dalam masyarakat yang diatur

oleh hukum, yaitu merupakan kejadian-kejadian yang timbul karena

perbuatan manusia di dalam pergaulan bermasyarakat yang diatur dalam

hukum. Peristiwa hukum ini dibedakan dalam dua macam peristiwa, yang

disebut dengan istilah perbuatan subyek hukum dan perbuatan yang bukan

perbuatan subyek hukum. Perbuatan subyek hukum, adalah perbuatan orang

(persoon) baik manusia atau badan hukum, yang berupa perbuatan hukum

dan bukan perbuatan hukum.

Perbuatan hukum, adalah perbuatan yang akibatnya diatur oleh

hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja (bersegi satu) maupun yang

dilakukan dua pihak (bersegi dua). Hal yang harus diperhatikan dalam

peristiwa yang dikatakan perbuatan hukum adalah akibat, oleh karena akibat

itu dapat dianggap sebagai kehendak dari sipembuat (si pelaku). Akibatnya

tidak dikehendaki sipelaku, maka perbuatan itu bukan perbuatan hukum.

Adanya kehendak agar dikatakan sebagai perbuatan hukum, perlu

diperhatikan unsurnya yang esensil (werkelijk = sebenarnya) yang

merupakan hakekat dari perbuatan hukum itu.54

53
Samidjo, op.cit., hlm. 22.
54
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2005, hlm. 40-
41.
41

Akibat hukumnya timbul karena perbuatan satu pihak saja, misalnya

perbuatan membuat surat wasiat (testamen) sebagaimana diatur dalam Pasal

875 KUHPerdata, maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum sepihak.

Selanjutnya apabila akibat hukumnya timbul karena perbuatan dua pihak,

seperti jual beli, sewa menyewa yang merupakan persetujuan (perjanjian)

dua pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, maka

perbuatan itu adalah perbuatan hukum dua pihak. Sedangkan perbuatan

subyek hukum yang bukan perbuatan hukum, adalah perbuatan yang

akibatnya tidak dikehendaki sipelaku, tetapi akibatnya diatur hukum serta

perbuatannya bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang akibatnya diatur

hukum walaupun akibat itu tidak dikehendaki pelaku (rechtmatigedaad),

adalah perbuatan yang di dalam istilah Belanda disebut zaakwaarneming,

yang sifatnya suka-rela tanpa adanya suruhan. Sebagaimana dikatakan di

dalam Pasal 1354 KUHPerdata: “Jika orang dengan sukarela tanpa ada

suruhan, berbuat mengurus urusan orang lain dengan atau tanpa

pengetahuan orang itu, maka berarti secara diam-diam ia telah mengikatkan

dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut sampai

orang yang urusannya diurus itu dapat mengurusnya sendiri”.55

Menurut Soedikno Mertokusumo, perbuatan hukum adalah

perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum

yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum. Pada asasnya akibat hukum

ini ditentukan juga oleh hukum. Unsur-unsur perbuatan hukum adalah

55
Ibid, Hlm. 42.
42

kehendak dan pernyataan kehendak yang sengaja ditujukan untuk

menimbulkan akibat hukum. Perbuatan hukum dapat bersifat aktif dan

maupun pasif. Meskipun seseorang tidak berbuat, tetapi kalau dari sikapnya

yang pasif itu dapat ditafsirkan mengandung pernyataan kehendak untuk

menimbulkan akibat hukum, maka perbuatan yang pasif itupun merupakan

perbuatan hukum. Perbuatan menjadi perbuatan hukum, karena dalam

keadaan tertentu mempunyai arti.56

Pengertian perbuatan hukum adalah suatu perbuatan yang dilakukan

oleh subjek hukum (manusia atau badan hukum), perbuatan mana dapat

menimbulkan suatu akibat yang dikehendaki oleh yang melakukannya. Jika

perbuatan itu akibatnya tidak dikehendaki oleh yang melakukan atau salah

satu di antara yang melakukannya, maka perbuatan itu bukan perbuatan

hukum. Oleh karena itu, kehendak dari subjek hukum (manusia atau badan

hukum) yang melakukan perbuatan itu menjadi unsur pokok dari perbuatan

tersebut. Dengan demikian, jika ditelaah pengertian perbuatan hukum di

atas, terdapat unsur-unsur perbuatan hukum sebagai berikut:

a. Perbuatan itu harus dilakukan oleh subjek hukum.

b. Perbuatan itu akibatnya diatur oleh hukum.

c. Perbuatan itu akibatnya dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu.

56
Soedikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 51.
43

3. Jenis-Jenis Perbuaatan hukum

Adanya suatu perbuatan hukum harus disertai dengan pernyataan

kehendak dari yang melakukan perbuatan hukum tersebut dan akibat dari

perbuatan itu diatur oleh hukum. Dan pernyataan kehendak pada asasnya

tidak terikat dengan bentuk-bentuk tertentu dan tidak ada pengecualiannya.

Adapun Perbuatan Hukum itu terdiri dari:

a. Perbuatan Hukum Sepihak

Perbuatan Hukum Sepihak adalah perbuatan hukum yang

dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada

satu pihak pula. Contoh dari perbuatan Hukum Sepihak tersebut adalah:

1) Perbuatan membuat surat wasiat. Pasal 875 KUHPerdata


menyebutkan bahwa adapun yang dinamakan wasiat atau testamen
adalah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang
olehnya dapat dicabut kembali lagi. Menurut Sulaiman Rasjid, wasiat
adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah
seseorang meninggal dunia.
2) Pemberian hibah sesuatu benda. Pasal 1666 KUHPerdata memberikan
penjelasan bahwa hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si
penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak
dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan
sipenerima hibah yang menerima penyerahan itu.57

b. Perbuatan Hukum Dua Pihak

Perbuatan Hukum Dua Pihak adalah perbuatan hukum yang

dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban bagi kedua pihak (timbal balik). Contoh dari Perbuatan

Hukum Dua Pihak tersebut dapat dijelaskan seabgai berikut:


57
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2013, hlm. 371.
44

3) Persetujuan jual beli. Pasal 1457 KUHPerdata meyebutkan jual beli


adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain
untuk membayar yang telah dijanjikan. Dari pengertian yang
diberikan Pasal 1457 KUHPerdata tersebut, perseetujuan jual beli
sekaligus membebankan dua kewajiban.
4) Perjanjian sewa menyewa. Pasal 1548 KUHPerdata menyebutkan
sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk memberikan pihak lainnya kenikmatan
dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu
disanggupi pembayarannya. Menurut Yahya Harahap, sewa menyewa
adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak
penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan barang yang hendak
disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.
BAB III

PENETAPAN PERWALIAN BAGI ANAK DI BAWAH UMUR YANG


BERAGAMA ISLAM GUNA MELAKUKAN PERBUATAN
HUKUM DI PENGADILAN AGAMA BANTUL
(Studi Kasus Penetapan Nomor 202/Pdt.P/20106/PA.Btl)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Tempat Penelitian

1. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Bantul

Sebelum tahun 1960-an, satu-satunya Pengadilan Agama untuk

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya terdapat di Kota Yogyakarta.

Lembaga Pengadilan Agama (PA) dengan wilayah yuridiksi 5 kabupaten

dan 1 kota provinsi ini mengakibatkan kesulitan bagi daerah luar kota

Yogyakarta apabila akan mengajukan perkaranya. Di sisi lain mayoritas

penduduk terbesar DIY adalah pemeluk Agama Islam maka persoalan

hukum kekeluargaannya diselesaikan oleh Lembaga Peradilan Agama yang

menetapkan hukum dan peraturan sesuai dengan syari'at Islam. Untuk

memenuhi kehendak hukum masyarakat DIY yang implisit di dalamnya

kaum muslimin Kabupaten Bantul, maka Menteri Agama memandang perlu

untuk menerbitkan sebuah peraturan yang menjadi landasan terbentuknya

sebuah Lembaga PA yang dibutuhkan oleh kaum muslimin. Pada tanggal 1

Agustus 1961 secara resmi dibentuk Cabang Kantor PA Bantul.

Penambahan kata "Cabang Kantor" karena pada waktu itu belum memenuhi

persyaratan untuk didirikan PA. Sebelum berdirinya Pengadilan Tinggi


44
45

Agama Yogyakarta, yurisdiksi Pengadilan Agama Bantul berada di dalam

yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Semarang hingga tahun 1993.

Pengadilan Agama Bantul dan pengadilan agama dalam wilayah Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta selanjutnya berada di bawah yurisdiksi

Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta yang berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1992 tanggal 31 Agustus 1992 dan

diresmikan pengoperasiannya pada tanggal 30 Januari 1993 oleh Ketua

Mahkamah Agung RI. 58

Adapun wilayah yuridiksi cabang kantor PA Bantul meliputi seluruh

wilayah Kabupaten Bantul. Sedangkan kekuasaan absolutnya sesuai dengan

ketentuan yang terkandung dalam Staats Blaad tahun 1882 nomor 152 jo.

Staats Blad nomor 116 dan 510 tahun 1937 tentang Peraturan Peradilan

Agama untuk Jawa dan Madura yang meliputi penerimaan, penyelesaian

perselisihan antara suami istri yang beragama Islam, perkara-perkara lain

tentang perkawinan, talak, rujuk, perceraian dan menetapkan syarat jatuhnya

talak yang digantungkan. Di samping itu, tuntutan mas kawin atau mahar

dan tuntutan tentang keperluan hidup istri yang menjadi tanggung jawab

suami termasuk wewenang cabang kantor PA Bantul, kecuali dalam

perselisihan suami istri akibat perkara tersebut di atas mengenai tuntutan

uang dan pemberian benda tertentu tidak termasuk wewenang cabang kantor

PA Bantul.

58
SEJARAH SINGKAT PENGADILAN AGAMA BANTUL,
https://www.pa-bantul.go.id/home/artikel/1467210511 , Diakses pada tanggal 13 Agustus 2022
46

Dalam rangka pembentukan Cabang Kantor PA Bantul kiranya tidak

dapat dilupakan jasabaik dari H. Jamhari yang pada saat itu sebagai Wakil

Ketua DPRD Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagai tokoh

masyarakat yang terpandang, begitu pula jasa baik dari K.H.Muhammad

Shofwan yang saat itu sebagai Kepala Jawatan PA Propinsi Jawa Tengah

dan DIY yang sekaligus merupakan wakil dari pihak pemerintah.

Setelah diadakan pendekatan dan pembicaraan oleh H. Jamhari

dengan tokoh masyarakat dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

Kabupaten Bantul, maka selanjutnya diambil langkah pembentukan Cabang

Kantor Pengadilan Agama Bantul. Atas dasar pemikiran yang sedemikian

itu, kemudian keluarlah Surat Keputusan Menteri Agama nomor 61 tahun

1961 tanggal 25 Juli 1961 yang ditandatangani oleh K.H. Wahid Wahab

tentang pembentukan Cabang Kantor PA Bantul.59

Cabang kantor PA bantul pertama kalinya bertempat di rumah K.H.

Abdul Qodir pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir (Krapyak,

Panggungharjo, Sewon, Bantul) selama kurang lebih tiga bulan. Fasilitas

perkantoran tidak ada sama sekali dan keadaan seperti ini berlangsung

cukup lama. Untuk mengatasi kesulitan tersebut ditempuh jalan

mengumpulkan iuran dari setiap karyawan yang kemudian hasilnya

dipergunakan membeli peralatan yang dipergunakan sehari-hari. Guna

memperlancar hubungan antar instansi maka kantor pindah ke ibukota

Kabupaten Bantul yang bertempat di rumah K.H. Maksum (depan Masjid

59
Ibid.
47

Besar Bantul) selama empat bulan. Atas usaha bersama dengan pihak KUA

Kabupaten bantul akhirnya dapat menempati rumah wakaf dari Ny. Zainal

terletak di Jalan Raya Bantul. Di rumah wakaf Ny. Zainal ini sidang

pertama diselenggarakan, yang menerima talak atas nama Ny. Usir

berlawanan dengan suaminya yang bernama Pardiy, peristiwa bersejarah ini

berlangsung pada tanggal 1 Oktober 1962, majelis hakim dalam

pemeriksaan ini terdiri K.H. Nawawi sebagai Hakim Ketua, Abdul hamid

dan K.H. Tondolaksito sebagai Hakim Aggota dengan dibantu Daman Huri

sebagai panitera. Selama berkantor di Jalan Raya Bantul ada Penambahan

karyawan dan penyediaan peralatan perkantoran walaupun dalam jumlah

yang belum memadai. Pada masa itu pula terjadi pergantian pimpinan dari

K.H. Nawawi yang atas permintaan sendiri pindah ke Pengadilan Agama

Magelang. Pergantian pimpinan ini terasa sekali manfaatnya, tahap demi

tahap suasana kantor yang bersifat tradisi lama berubah menjadi instansi

yang lebih baik dari semula.

Perkembangan yang tidak kalah penting adalah status "Cabang

Kantor" Pengadilan Agama Bantul menjadi Pengadilan Agama Bantul.

Perubahan ini terjadi pada saat diberlakukannya secara efektif Undang

Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Mulai saat itu

perkembangan Pengadilan Agama Bantul menjadi lebih baik di bidang

personalia maupun wewenangnya. Kekuasaan Pengadilan menurut Undang

Undang nomor 7 tahun 1989 ialah Pengadilan Agama bertugas dan


48

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam.

2. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Bantul

Pengadilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan

kehakiman, mempunyai tugas menerima, memeriksa dan mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Wewenang

Pengadilan Agama untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan

dalam bidang hukum keluarga dan perkawinan bagi mereka yang beragama

Islam, berdasarkan hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam yang

berdasarkan Inpres Nomor 1 tahun 1991 dijadikan sebagai pedoman dalam

menyelesaikan masalahmasalahperkawinan, kewarisan, dan perwakafan

menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan

semua masalah dan sengketa yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam

tersebut, melalui pelayanan hukum dan keadilan dalam proses perkara.

Dengan kata lain, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk

menegakkan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil yang berlaku

bagi masyarakat Islam Indonesia.

Selanjutnya terdapat wewenang dari Pengadilan Agama Bantul dan

Pengadilan Agama tingkat pertama secara umum diantaranya adalah:

1) Kekuasaan Absolut (Absolut Competentie)

Kekuasaan absolut adalah kekuasaan pengadilan yang

berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan

pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis


49

pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya. Maksudnya di sini bahwa

kewenangan absolut itu merupakan kewenangan yang dimiliki oleh

masing-masing lembaga peradilan dalam memeriksa perkaraperkara

tertentu yang tidak dapat diperiksa oleh lembaga peradilan lain, baik

dalam lingkungan peradilan yang sama, seperti misalnya antara

Pengadilan Agama dengan Pengadilan Tinggi Agama maupun dalam

lembaga peradilan yang lain, misalnyaantara Pengadilan Umum dengan

Pengadilan Militer atau dengan Pengadilan Tata Usaha Negara. Hukum

acara Peradilan Agama berdasarkan ketentuan UndangUndang Republik

Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 yakni: “Pengadilan Agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan,

waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shdaqah, dan ekonomi

syari’ah”.

2) Kekuasaan Relatif (Relatif Competentie)

Kekuasaan relatif adalah kekuasaan pengadilan yang satu jenis

dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan

yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya. Lebih ringkasnya di sini

kewenangan relatif merupakan kewenangan pengadilan dalam

menanganiperkara-perkara bukan dilihat dari jenis perkaranya tetapi dari

wilayah kekuasaan masing-masing lembaga peradilan tersebut.


50

B. Bagaimana pelaksanaan penetapan perwalian pada anak di bawah umur

dalam melakukan perbuatan hukum penjualan tanah oleh Pengadilan

Agama Bantul?

Pelaksanaan Penetapan perwalian pada anak dibawah umur dalam

melakukan perbuatan hukum penjualan tanah oleh mengharuskan dipenuhinya

persyaratan-persyaratan yang ditentukan. Beberapa persyaratan yang harus

dipenuhi seorang wali yang akan mengajukan permohonan perwalian anak di

bawah umur di Pengadilan Agama Bantul yaitu:

1. Yang mengajukan adalah suami atau istri, jika suami yang meninggal
maka istri yang mengajukan, begitupun sebaliknya. Pengajuan
dilakukan dengan menyertakan fotokopi surat kematian.
2. Fotokopi surat kematian orang tua almarhum suami apabila orang
tuanya sudah meninggal apabila istri yang mengajukan permohonan,
begitupun sebaliknya.
3. Fotokopi KTP pemohon sebanyak dua lembar.
4. Fotokopi buku nikah atau akta cerai (bila telah bercerai) sebanyak dua
lembar.
5. Fotokopi Kartu Keluarga (KK) sebanyak dua lembar.
6. Fotokopi akte kelahiran atau ijazah anak sebanyak dua lembar.
7. Fotokopi buku tabungan atau sertifikat sesuai dengan keperluan.
8. Fotokopi surat keterangan ahli waris dari kelurahan sebanyak dua
lembar.
9. Surat permohonan rangkap lima (surat permohonan harus jelas dan
disertai dengan alasan yang jelas dan terperinci).
10. Membayar panjar biaya perkara.60

Persyaratan diatas merupakan persyaratan awal ketika pemohon datang

ke Pengadilan Agama Bantul. Untuk ketentuan selanjutnya mengikuti petunjuk

dan perintah dari majelis hakim dalam prosedur acara persidangan.

60
Data Hasil Penelitian di Pengadilan Agama Bantul 2022
51

Kemudian mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli menurut

Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa

Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (PP 10/1991) secara

jelas menentukan bahwa akta PPAT hanya suatu alat bukti dan tidak menyebut

bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sahnya suatu jual beli tanah.

Demikian juga dengan Bapak Umar Faruq, S.Ag., M.S.I. mengatakan bahwa

akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah

dilakukannya jual beli.61

Berdasarkan putusan dan pendapat di atas dapat dipahami bahwa akta

PPAT berfungsi sebagai suatu alat bukti tentang telah terjadi perbuatan hukum

atas tanah. Di lain hal dengan sistem pendaftaran tanah menurut Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24 Tahun

1997) pendaftaran jual beli itu hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT

sebagai buktinya. Pasal 37 menyebutkan bahwa peralihan hak atas tanah

melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang

dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan Perundang-undangan.

Hal tersebut menjelaskan bahwa akta PPAT disamping berfungsi

sebagai alat bukti tentang telah terjadinya suatu perbuatan hukum at-q-, tanah,

seperti jual-beli, tukar menukar, hibah, juga berfungsi sebagai alat bukti untuk

melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanahnya. Lebih lanjut mengandung

konsekuensi bahwa bila terjadi sesuatu perbuatan hukum atas tanah berupa

jual-beli, tanpa dibuktikan dengan akta PPAT, maka peralihan hak dari penjual

61
Ibid.
52

kepada pembeli tidak dapat dilangsungkan atau tidak dapat terjadi, demikian

juga dengan pembuktian formal bahwa telah terjadi jual-beli tidak dapat

dibuktikan, sekalipun sesugguhnya jual beli atas tanah menurut asas hukum

agraria adalah sah asalkan terpenuhi unsur terang dan tunai. Oleh karena itu

fungsi akta jual beli yang dibuat oleh PPAT adalah sebagai bukti bahwa benar

telah dilakukan perbuatan hukum, yang bersangkutan dan karena perbuatan itu

sifatnya tunai sekaligus membuktikan berpindahnya hak atas tanah yang

bersangkutan kepada penerima hak.

Pembuatan akta memiliki dua fungsi yaitu akta memiliki fungsi formil

yang artinya bahwa akta tersebut adalah untuk melengkapi sempurnanya suatu

perbuatan hukum. Akta tersebut merupakan syarat form ii untuk adanya suatu

perbuatan hukum. Kedua, akta memiliki fungsi sebagai alat bukti, artinya akta

tersebut sejak awal memang untuk keperluan pembuktian jika kelak terjadi

sengketa di antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Ketika

memegang suatu akta maka jika di kemudian hari terjadi sengketa para pihak

dengan mudah membuktikan dengan alat bukti yang telah ada dan disiapkan

sebelumnya.

Hak atas tanah dapat beralih dan dialihkan dari pemegang hak kepada

orang lain. Lebih khusus dalam hal ini adalah diterbitkannya penetapan

perwalian anak yang nantinya untuk membuat akta jual beli sehingga menjadi

alat bukti yang sah. Terdapat hubungan beruntun dalam hal ini, untuk

menerbitkan akta jual beli hak atas tanah oleh PPAT dibutuhkan penetapan
53

perwalian anak dari Pengadilan, yang sesungguhnya keduanya dibutuhkan

sebagai alat bukti untuk kepentingan para pihak di masa depan.

Ditinjau dari salah satu teori yang digunakan untuk menganalisa

masalah ini, yaitu teori kepastian hukum, yaitu dimana hukum terlaksana

sesuai dengan substansi hukum yang telah disepakati oleh masyarakat dimana

hukum tersebut berlaku. Hal ini memiliki kaitan erat dengan penegakan

hukum. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-

keinginan hukum menjadi kenyataan. Dalam hal ini yang disebut sebagai

keinginan-keinginan hukum tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat

undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan setiap orang menginginkan dapat

ditetapkannya hukum terhadap peristiwa konkret yang terjadi, bagaimana

hukumnya, itulah yang harus diberlakukan pada setiap peristiwa yang terjadi.

Inilah yang diinginkan kepastian hukum dengan adanya kepastian hukum,

ketertiban dalam masyarakat dapat tercapai.

Kepastian hukum adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan

secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak

menimbulkan keraguan (multi tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu

system norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan. Kepastian hukum

adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau

tindakan yang sesuai dengan aturan hukum, karena frasa kepastian hukum

tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara

benar-benar.
54

Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan

ketertiban dalam masyarakat, karena kepastian hukum (peraturan/ketentuan

hukum) mempunyai sifat sebagai berikut:

1. Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang ubertugas

mempertahankan dan membina tata tertiba masyarakat dengan

perantara alat-alatnya.

2. Sifat undang-undang yang berlaku bagi siapa saja.62

Prakteknya, apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan, maka

akan kerap kali tidak sejalan antara satu dengan yang lain. Adapun hal ini

dikarenakan disatu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-

prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang pula ' keadilan mengabaikan

prinsip-prinsip kepastian hukum. Kemudian apabila dalam prakteknya terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilanlah yang

harus diutamakan. Alasannya adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari

hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu

yang konkrit.

Kemudian PPAT meminta penetapan perwalian anak untuk membuat

akta jual beli hak atas tanah bagi anak-anak yang orang tuanya telah meninggal

salah satu yang mana pada peraturannya yaitu Pasal 345-354 KUH Perdata

serta Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan telah disebutkan bahwa

perwaliannya otomatis jatuh kepada orang tuanya yang hidup terlama. Adanya

peralihan hak atas tanah yang dimiliki si anak yang kepemilikan hartanya
62
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Bantul Bapak Umar Faruq, S.Ag., M.S.I. pada
tanggal 23 Mei 2022 pukul 10.00 WIB.
55

terletak pada si anak, jika dilakukan jual-beli, PPAT akan meminta sebuah

penetapan perwalian dari Pengadilan sebagai syaratnya dan dari semua

penjelasan di atas diketahui bahwa alat bukti menjadi alasan kuat dari

permintaan tersebut.

Perihal alat bukti yang dapat menjaga para pihak sendiri dan juga

PPAT, penetapan perwalian sangat dibutuhkan untuk menjamin kebenaran dari

adanya perwalian untuk anak di bawah umur yang masih belum cakap

melakukan perbuatan hukum. Semua dikarenakan adanya jual beli hak atas

tanah harus dibuktikan dengan akta PPAT dan kebenarannya dianggap cukup

untuk mendaftar paralihan hak yang terjadi. Seperti tercantum dalam Pasal 37

ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa peralihan hak

hanya dapat didaftarkan jika dengan akta PPAT dan itu adalah syarat bagi

pendaftaran peralihan haknya. Tentu saja itu semua tetap tidak terlepas dari

Pasal 1320 KUH Perdata mengenai sahnya perbuatan hukum peralihan hak

yang dilakukan harus memenuhi syarat-syarat materiilnya. Konteks yang

terkait dalam hal ini adalah bahwa si anak yang memiliki hak waris dari orang

tuanya yang telah meninggal tidak dapat melakukan jual beli dalam perbuatan

peralihan hak atas tanah dikarenakan belum cakap dan karena itu orang tuanya

yang hidup terlama harus menjadi walinya yang ditetapkan dengan Penetapan

Pengadilan Agama.

Seorang PPAT memiliki suatu kewajiban untuk memberikan

pertimbangan atas akta-akta yang dibuat oleh dan atau di hadapannya juga

memberikan pandangan bukan hanya perihal kebenaran formal dari akta yang
56

bersangkutan melainkan juga perihal kebenaran materiil mengenai hal tersebut.

Akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar telah dilakukan

jual beli di samping itu akta jual beli dan atau akta jual beli dapat dibuatkan

oleh PPAT jika pihak yang berkepentingan yaitu pihak yang menjual hak atas

tanah dan pihak yang membeli hak atas tanah menghadap PPAT di wilayah

kerjanya serta harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum

yang dimaksud atau dapat diwakili oleh seorang kuasa yang sah untuk

melakukan jual beli tersebut.

Pihak yang menjual hak atas tanah harus memenuhi syarat yaitu

berwenang menjual hak atas tanah yang dimaksud. Demikian pula pihak yang

membeli harus memenuhi syarat subjek dari hak atas tanah yang akan diterima.

PPAT wajib menyelidiki atau memeriksa secara hati-hati kebenaran alat bukti

atau syarat yang dijadikan kelengkapan dalam pembuatan akta dan dilihat

sebagai saksi oleh setidaknya dua atau lebih orang yang memenuhi syarat guna

bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum jual beli itu untuk

selanjutnya dilakukan pembacaan dan penandatanganan oleh para pihak, saksi,

dan PPAT. Oleh karena hal tersebut, diperlukan ketelitian dalam segala hal

yang dilakukan oleh PPAT. Pada prakteknya sebagai salah satu contoh dapat

ditemukan transaksi jual beli hak atas tanah yaitu penjualan terhadap hak milik

atas tanah milik anak di bawah umur.

”Penetapan perwalian, wali anak-anak diwajibkan untuk menjamin


kesejahteraan dan masa depan anak-anak yang mereka asuh, termasuk
untuk menjamin pendidikan mereka. Untuk itu, wali terhadap anak
tersebut diberikan akses kepada harta warisan si anak. Apabila ada dugaan
57

pelanggaran atau penyalahgunaan hak-hak perwalian, wali anak dapat


diadili”.63

Kendati demikian, si wali haruslah bisa melakukan tertib administrasi

terkait dengan harta warisan yang dimiliki si anak. Artinya, setelah diputuskan

dengan resmi status wali terhadap diri seseorang, tugas pertama wali adalah

mengidentifikasi apa-apa saja yang menjadi harta warisan yang dimiliki sang

anak dan kemudian mencatatnya.

Proses pencatatan ini sebaiknya melibatkan beberapa saksi agar bisa

dipertanggungjawabkan jika si anak sudah cukup umur dan bisa mengelola

sendiri harta miliknya. ”Wali boleh saja menggunakan harta warisan tersebut

demi kelangsungan hidup mereka jika keadaan mendesak, misalnya ketika

kehidupan perekonomian si wali untuk sementara ini memang tidak

memungkinkan memberi kehidupan yang baik bagi si anak.” 64 Terletak pada

kondisi seperti itu, si wali bisa menggunakan sedikit harta warisan si anak

untuk menunjang kehidupan mereka. Lebih jelas lagi, Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa untuk

kepentingan anak, wali wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan.

Undang-Undang tentang Perkawinan juga mengatur bahwa wali

bertanggungjawab tentang harta benda anak yang berada di bawah

perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau

kelalaiannya.

63
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Bantul Bapak Umar Faruq, S.Ag., M.S.I. pada
tanggal 23 Mei 2022 pukul 10.00 WIB.
64
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Bantul Bapak Umar Faruq, S.Ag., M.S.I. pada
tanggal 23 Mei 2022 pukul 10.00 WIB.
58

Wali juga wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di

bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya sebagai wali dan

mencatat semua perubahan-perubahan harta benda an ak itu. Tanggung jawab

tersebut termasuk melakukan audit tahunan atas harta benda anak itu untuk

menjamin bahwa daftar harta benda selalu diperbaharui. Walaupun sudah ada

ketentuan-ketentuan tersebut, pada prakteknya daftar harta benda jarang dibuat.

Akibatnya, pada saat permohonan untuk penetapan perwalian yang diajukan

kepada Pengadilan Agama, daftar harta benda anak yang bersangkutan

seringkali tidak disediakan. Selain itu, wali juga dilarang menjual, mengalihkan

hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya, kecuali ada

kepentingan untuk si anak. Penting juga untuk dicatat, jika wali adalah seorang

yang miskin, wali dapat menggunakan harta anak yang berada di bawah

perwaliannya untuk keperluan dan kepentingannya, sebatas kebutuhan

mendasar seorang wali.

Harta dari anak yang sudah kehilangan orang tua mereka adalah tetap

menjadi milik si anak. Sementara itu, sang wali hanya bertugas sebagai

pengawas saja, ia tidak boleh menguasai, namun boleh meminjam kalau sangat

mendesak dan boleh mengambil upah sekedarnya.

”Seseorang yang kemudian dikatakan atau ditetapkan menjadi seorang


wali tidaklah berhak atas harta apapun termasuk tanah dari anak yang
berada dalam perwaliannya, namun tidaklah menutup kemungkinan bahwa
wali dari anak tersebut untuk kemudian wali tersebut meminjam atau
mengambil upah yang besarannya tidak lebih hanya untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari. Jadi pengelolaan harta oleh wali juga akan
dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun kelak di akhirat”65
65
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Bantul Bapak Umar Faruq, S.Ag., M.S.I. pada
tanggal 23 Mei 2022 pukul 10.00 WIB.
59

Apabila, misalnya seorang anak memiliki sepetak sawah, wali boleh

mengampil upah sekedarnya dari sawah tersebut. Ketika sang anak dewasa

atau sudah menikah, sang wali harus menyerahkan semua harta milik si anak

dengan disaksikan oleh para saksi. Oleh karenanya harus dipahami bahwa

kewajiban dan tanggung jawab seorang wali terhadap anak yang berada di

bawah perwaliannya sangatlah besar.

Pengetahuan tentang hukum perwalian masih belum sepenuhnya

dikuasai oleh masyarakat awam. Oleh karenanya berbagai aksi sosialisasi

pemahaman tentang hukum perwalian di kalangan masyarakat menjadi hal

yang sangat perlu dilakukan oleh semua pihak yang terkait. Jika demikian

maka masalah perwalian anak merupakan salah satu permasalahan yang sangat

penting dipahami.

Penetapan perwalian anak yang diminta PPAT untuk syarat membuat

akta jual beli hak atas tanah memiliki tujuan yaitu:

1. Untuk membuktikan, secara otentik adanya perwalian yang sah yang


dijamin oleh institusi dalam hal ini Pengadilan Agama bahwa anak di
bawah umur yang diwakili walinya untuk melakukan jual beli adalah
benar dan telah terjadinya jual beli dan untuk kepentingan ke depan
pada hari tertentu, pihak-pihak tertentu yang ada di dalamnya.
2. Merupakan syarat bagi pembuatan akta jual beli hak atas tanah yang
nantinya akan didaftarkan pula ke Kantor Pertanahan setempat guna
kelengkapan transaksi.66

66
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Bantul Bapak Umar Faruq, S.Ag., M.S.I. pada
tanggal 23 Mei 2022 pukul 10.00 WIB.
60

C. Bagaimana Proses dan Apa Pertimbangan Hakim Dalam Melaksanakan

Sidang Hingga Putusan Terkait Penetapan Perwalian Anak?

Peroses persidangan terhadap Permohonan Perwalian Anak di Bawah

Umur dilakukan dalam beberapa tahap. Namun sebelum dilakukan persidangan

terhadap permohonan perwalian anak, haruslah permohonan tersebut

didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama setempat (dalam hal ini

Pengadilan Agama Bantul) baru kemudian ditentukan apakah Permohonan

tersebut layak untuk disidangkan atau harus diperbaiki terlebih dahulu olleh

Pemohon.

Setelah persyaratan pengajuan permohonan dilengkapi dan diajukan ke

Pengadilan, maka pihak yang berperkara menunggu panggilan dari Pengadilan

untuk melakukan sidang pada hari yang telah ditentukan. Proses persidangan

pada kasus permohonan perwalian ini berbeda dengan proses persidangan

dalam gugatan, hanya melalui empat tahap yaitu:

1. Pemeriksaan identitas pihak yang berperkara.


2. Pembacaan permohonan.
3. Pembuktian, dalam hal ini hanya memeriksa bukti-bukti surat atau
saksi- saksi yang diajukan oleh pemohon.
4. Pembacaan putusan.67

”Proses persidangan untuk perkara permohonan perwalian hanya


dilakukan dalam 4 (empat) tahap. Yang pertama adalah pemeriksanaan
identitas, kemudian Pembacaan permohonan, setelah itu Pembuktian,
dalam pembuktian ini nantinya bukti surat maupun saksi akan diperiksa
dan diteliti kebenarannya, dan yang terakhir adalah pembacaan putusan
oleh Majelis Hakim.”68

67
Ibid.
68
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Bantul Bapak Umar Faruq, S.Ag., M.S.I. pada
tanggal 23 Mei 2022 pukul 10.00 WIB.
61

“Jadi di dalam proses sidang permohonan perwalian, tidak ada acara

jawab menjawab seperti di persidangan perdata pada umumnya. Ini

dikarenakan pada persidangan permohonan perwalian hanya ada satu pihak

yaitu Pemohon.”69

Hukum perdata mengatur tentang hak dan kewajiban orang-orang yang

mengadakan hubungan hukum perdata. Hubungan hukum perdata itu

sendiri adalah hubungan hukum yang diatur oleh hukum perdata, dimana

hubungan hukum itu terjadi antara subyek hukum yang satu dengan yang

lain. Kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana

melaksanakan hak- hak dan kewajiban perdata sebagaimana yang diatur

dalam hukum perdata materiil disebut hukum acara perdata. Mengenai

hukum acara perdata terdapat beberapa definisi yang berbeda diantara para

ahli hukum, walaupun pada prinsip dan isinya sama, yaitu peraturan hukum

yang mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata

materiil. Beberapa definisi hukum acara perdata adalah "rangkaian

peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak

satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum

perdata.

Perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama dan akan diperiksa

oleh Hakim adalah perkara sekurang-kurangnya harus ada dua pihak yang

berpekara, yakni Penggugat dan Tergugat. Penggugat adalah pihak yang

69
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Bantul Bapak Umar Faruq, S.Ag., M.S.I. pada
tanggal 23 Mei 2022 pukul 10.00 WIB.
62

merasa dirugikan dan memulai perkara atau memajukan gugatan,

sedangkan Tergugat adalah orang yang dianggap merugikan pihak lain dan

pihak yang ditarik ke muka Pengadilan oleh Penggugat. Pengecualian

terhadap ketentuan ini disebut dengan gugatan volunteer. Artinya bahwa di

dalam perkara tersebut hanya terdapat satu pihak, yaitu Pemohon dan

perkara tersebut hanya terdapat satu pihak, yaitu Pemohon dan perkara

yang lebih dikenal dengan perkara "Permohonan". Menyangkut hal ini,

permohonan penetapan perwalian anak adalah termasuk gugatan volunteer

dikarenakan hanya ada satu pihak dan tidak ada pihak yang dituntut untuk

berbuat sesuatu atau melakukan sesuatu.

Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal

1320 KUHPerdata adalah, adanya kata sepakat dari kedua belah pihak yang

mengikatkan dirinya, adanya kecakapan dalam bertindak untuk membuat

suatu perikatan, adanya suatu hal tertentu dan adanya sebab yang halal.

Syarat subyektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subyek yang

mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan

cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat

obyektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau

berkaitan dengan obyek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak,

yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang.

Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut

dapat dibatalkan sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau


63

orang yang berkepentingan. Dan apabila syarat obyektif tidak dipenuhi,

maka perjanjian batal demi hukum, tanpa perlu ada permintaan dari para

pihak dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak

mengikat siapapun. Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika

suatu perjanjian tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan

untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah

ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum,

karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar

lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau menggugat dengan cam

dan bentuk apapun.

Hukum ada (baik dibuat ataupun lahir dari masyarakat) pada

dasarnya berlaku dan untuk ditaati, dengan demikian akan tercipta

ketentraman dan ketertiban. Hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah

serta asas-asas yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat

yang bertujuan memelihara ketertiban juga meliputi lembagalembaga dan

proses proses guna mewujudkan berlakunya kaidah sebagai kenyataan

dalam masyarakat.

Tujuan hukum berdasarkan cita-hukum Pancasila adalah melindungi

manusia secara pasif (negative) dengan mencegah tindakan sewenang-

wenang. Secara aktif (positive) dengan menciptakan kondisi

kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan proses

kemasyarakatan berlangsung secara wajar, sehingga secara adil tiap


64

manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk

mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh. Cita atau

tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib

dan menciptakan keseimbangan. Melalui tercapainya ketertiban di dalam

masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.

Guna mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan

kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan

mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian

hukum. Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah

konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang yang

bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat

dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan/

berlawanan hukum. Sanksi dikenakan deliquet, karena perbuatannya

sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab.

Ada dua jenis tanggungjawab: Pertanggungjawaban berdasarkan

kesalahan (based on fault) dan Pertanggungjawaban mutlak (absolut

responbility). Tanggungjawab mutlak yaitu sesuatu perbuatan

menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-

undang dan ada suatu hubungan antara perbuatannya dengan akibatnya.

Tiada hubungan antara keadaan jiwa si pelaku dengan akibat dari

perbuatannya. Dalam hukum modern juga dikenal bentuk lain dari

kesalahan yang dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan


65

atau kekhilafan (negligance). Kealpaan atau kekhilafan adalah suatu delik

omisi (kelalaian), dan pertanggungjawaban terhadap kealpaan lebih

merupakan pertanggungjawaban absolut daripada culpability.

Pembedaan terminologi antara kewajiban hukum dan

pertanggungjawaban hukum diperlukan ketika sanksi tidak atau tidak

hanya dikenakan terhadap pelaku delik langsung (deliquent) tetapi juga

terhadap individu yang secara hukum terkait dengannya. Suatu sanksi bila

dikenakan terhadap individu-individu yang memiliki komunitas/masyarakat

hukum yang sama dengan individu yang melakukan delik sebagai organ

komunitas tersebut, maka disebut sebagai pertanggungjawaban kolektif.

Kewajiban hukum merupakan suatu kewajiban yang diberikan dari

luar diri manusia (norma heteronom), sedangkan kewajiban moral

bersumber dari dalam diri sendiri (norma otonom). Kewajiban hukum dan

kewajiban moral dapat berpadu, dalam tataran ini kewajiban-kewajiban

hukum telah diterima sebagai kewajiban-kewajiban moral.

Guna memutus atau menetapkan suatu perkara Hakim memberikan

pertimbangan hukumnya dengan memadukan ketentuan peraturan

perundang- undangan yang ada, fakta di persidangan dan hukum yang

masih hidup di masyarakat, karena Hakim merupakan unsur yang paling

penting dalam tegaknya hukum yang mampu menafsirkan, memperkuat

dan mempertimbangkan peraturan-peraturan yang ada sesuai dengan

perkembangan kebutuhan masyarakat, agar tercipta keadilan hukum dalam


66

masyarakat dan dalam hal ini pertanggungjawaban hakim atas apa yang

diputusnya menjadi poin yang sangat penting.

Peranan hakim diperlukan untuk memutus suatu sengketa yang

terjadi pada pihak-pihak yang berpekara. Putusan yang dibuat Hakim untuk

memutus suatu perkara diharapkan memenuhi rasa keadilan kepada kedua

belah pihak yang bersengketa, meskipun terdapat pihak yang merasa tidak

terpuaskan oleh putusan hakim tersebut, namun hakim harus tetap memutus

berdasarkan alat bukti kesaksian dan yang lain sebagainya untuk

memberikan rasa keadilan.

Kewenangan “baru” Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan

Agama. Secara umum, kewenangan (competency) pengadilan dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu kewenangan relatif (relative competency) dan

kewenagan absolut (absolute competency). Kewenangan relative berkaitan

dengan wilayah, sementara kewenagan absolute berkaitan dengan orang

(kewarganegaraan dan keagamaan seseorang) dan perkara. Setelah

pemberlakuan UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perluasan kompetensi absolute

Pengadilan Agama dijelaskan dalam dua tempat (1) Ketentuan yang

bersifat “umum” yang ditetapkan pada bagian dua tentang kedudukan

peradilan agama, dan (2) Ketentuan rincian yang ditetapkan pada bagian

"Kewenangan Pengadilan".

Ketentuan mengenai kewenangan absolut pengadilan agama yang


67

bersifat umum ditetapkan bahwa peradilan agama adalah salah satu

pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama

Islam mengenai “perkara perdata tertentu”. Sementara dalam UU No. 3

Tahun 2006 ditetapkan bahwa peradilan agama adalah salah satu pelaksana

kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama Islam

mengenai “perkara tertentu”. Perubahan klausul dari “perkara perdata

tertentu” menjadi “perkara tertentu” menunjukkan bahwa peradilan agama

memiliki potensi untuk memeriksa dan memutus perkara perdata yang

lebih luas.

Pengadilan Agama mempunyai peranan untuk menegakkan hukum dan

keadilan karena adanya persengketaan-persengketaan di antara orang-orang

yang beragama Islam yang diajukan kepadanya. Alat bukti berupa

pengakuan dalam hukum acara perdata apabila pihak tergugat atau pihak

lawan dalam perkara di persidangan telah mengakui adanya suatu peristiwa

hukum, umumnya tidak perlu adanya pembuktian. Jika ternyata dalam

suatu perkara pengakuan seorang terhadap hak kepemilikan atas suatu

benda baik bergerak maupun tidak bergerak dan terjadinya suatu peristiwa

hukum disangkal oleh pihak lawan, maka pihak yang disangkal tersebut

harus dapat membuktikan adanya bukti hak kepemilikan atas bendanya dan

bukti atau saksi yang melihat dan mendengar terjadinya peristiwa hukum

yang dilakukan oleh para pihak yang sedang berperkara. Pengakuan yang

diucapkan di muka Hakim dalam perkara perdata dapat dijadikan sebagai


68

alat bukti yang sempurna tentang adanya peristiwa hukum yang menjadi

objek dari pada sengketa.

Tugas Hakim adalah mengadili atau memutuskan suatu perkara

yang diajukan kepadanya. Hakim tidak mungkin mengambil inisiatif

sendiri, karena itu tanpa ada perkara yang menjadi pegangan, Hakim tidak

mungkin bisa berbuat sesuatu, sekalipun secara pribadi banyak mengetahui

suatu masalah. Ketika mengadili perkara perdata Hakim akan bersandar

pada alatalat bukti yang diserahkan padanya. Menurut ketentuan Pasal 27

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman, Hakim bertugas sebagai penegak hukum

dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum

yang hidup di masyarakat, ini berarti bahwa dalam masyarakat yang

mengenal hukum tidak tertulis (Hukum Adat), Hakim adalah menggali

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan merumuskannya lewat

putusan-putusannya. Untuk itu, Hakim harus terjun ke tengah masyarakat

guna mengenal, merasakan dan menyelami perasaan hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Hakim diharapkan bersikap tidak memihak dalam menentukan siapa

yang benar dan siapa yang tidak benar dalam suatu perkara dan mengakhiri

sengketa atau perkaranya. Bagi Hakim dalam mengadili suatu perkara

terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan

hukumnya. Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh


69

putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan

Hakim yang tidak dapat diubah lagi. Melalui putusan ini, hubungan antara

kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selama-lamanya dengan

maksud supaya apabila tidak ditaati secara sukarela, dipaksakan dengan

alat-alat Negara (dengan kekuatan umum).

Penetapan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar

penetapan tersebut, penetapan juga harus memuat pula pasal tertentu dari

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum

tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan yang

dimaksudkan berupa rangkaian argumentasi yuridis yang disusun secara

sistematis dan rasional. Argumentasi disusun dan dikonstruksi sedemikian

rupa, sehingga dapat menunjukan arah, alur dan pola berpikir yang jelas.

Bentuk penyelesaian perkara di pengadilan dibedakan menjadi dua yaitu

putusan dan penetapan. Unsur mendasar adanya suatu putusan adalah

adanya perkara atau sengketa. Jika membahas perkara perdata terdapat

unsur sengketa antara para pihak yang mengaku mempunyai hak dan hak

tersebut dikuasai oleh pihak lain. Penetapan merupakan bentuk tindakan

hakim berhubungan dengan suatu permohonan.

Guna mendapatkan suatu keputusan akhir perlu adanya bahan-bahan

mengenai fakta-fakta. Melalui adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu

akan dapat diketahui dan diambil kesimpulan tentang adanya bukti.

Diketahui bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan dikenal tentang adanya


70

pembuktian. Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat

tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau

untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai

pembuktian. Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam

akta dan surat bukan akta, sedangkan pengertian akta adalah surat sebagai

alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi

dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja

untuk membuktikan.

Guna lebih jelas dalam penetapan perwalian pada anak di bawah

umur guna melakukan perbuatan hukum penjualan, maka disajikan 1 (satu)

contoh kasus (Penetapan Nomor 202/Pdt.P/2016/PA.Btl) sebagai berikut:

DEMI KEADILAN BERDASAR KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Agama Sleman yang memeriksa dan mengadili perkara

tertentu pada tingkat pertama dalam sidang Majelis Hakim telah menjatuhkan

penetapan dalam perkara Perwalian yang diajukan oleh:

SS Binti DS, umur 47 tahun, agama Islam, Pendidikan SD, pekerjaan

Buruh Harian Lepas, tempat tinggal di XXX XXXX XXX, kemudian disebut

sebagai Pemohon;

1. Duduk Perkara

a. Pemohon telah menikah secara sah dengan seorang laki-laki bernama: S

bin DS, di Kasihan pada tanggal 20 Maret 2000, yang dicatat oleh
71

Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kasihan (Kutipan Akta

Nikah Nomor : XXX/XX/XX/2000) tertanggal 20 Maret 2000.

b. Selama dalam pernikahan tersebut telah dikaruniai 1 (satu) orang anak,

bernama OV, Perempuan, lahir di Sleman 27 Oktober 2001

c. Dengan demikian hubungan antara Pemohon dengan kedua anak

tersebut diatas adalah sebagai ibu kandungnya.

d. Pada tanggal 20 April 2007 suami Pemohon (S) tersebut telah meninggal

dunia di Sleman sesuai akta kematian No 1110/X/XXX/2014 tertanggal

30 Mei 2014 yang dikeluarkan di Sleman.

e. Selain mempunyai 1 (satu) orang anak tersebut, almarhum suami

Pemohon (S) tidak ada meninggalkan keturunan lainnya dan tidak

pernah mengadakan pengangkatan anak.

f. Bahwa Pemohon dengan ini bermaksud untuk menjual sebidang tanah

pekarangan yang didalamnya terdapat Hak atas peninggalan waris yang

tertuang dalam Hak Milik No. XXX NIB:XX.XX.XX.XX.X.XXXXXX

seluas 157m2 yang terletak di Kabupaten Sleman atas nama pemegang

hak:

1) SSH
2) S
3) ANF
4) MD
5) SAP
6) A
7) OV
8) SP
Untuk biaya pendidikan dan kehidupan sehari-hari.
g. Untuk keperluan tersebut, berhubung pada saat ini khususnya anak
72

Pemohon yang bernama : OV masih belum dewasa dan belum cakap

serta belum mampu untuk melakukan tindakan / perbuatan hukum

guna memberikan persetujuan yang berkaitan dengan jual-beli dan

proses balik nama sertipikat serta hal lain yang berkaitan atas sebidang

tanah tersebut.

h. Untuk kepentingan tersebut diatas sudah seharusnyalah Pemohon

terlebih dahulu mendapatkan ijin dan adanya Penetapan Perwalian

dari Pengadilan Agama.

Berdasarkan alasan / dalil-dalil sebagaimana diuraikan diatas,

maka Pemohon memohon agar Pengadilan Agama Sleman segera

memeriksa permohonan ini dan selanjutnya memutuskan serta

memberikan penetapan yang amarnya sebagai berikut:

1) Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon.


2) Menetapkan Pemohon (HS binti S) sebagai Wali dari anaknya
yang masih belum dewasa bernama SAP lahir 21 Juli 2006.
3) Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sesuai dengan
hukum yang berlaku.

2. Pertimbangan Hakim

Alasan pokok Pemohon mengajukan permohonan Perwalian adalah

agar Pemohon ditetapkan sebagai wali atas anak kandungnya yang masih

dibawah umur (belum cakap untuk melakukan perbuatan hukum) bernama

OV, karena suami Pemohon telah meninggal dunia, untuk keperluan

pengurusan turun waris dari harta peninggalan almarhum ibunda suami

Pemohon.
73

Guna menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah

mengajukan bukti-bukti surat P.1 sampai dengan P.5 berupa fotokopi-

fotokopi surat yang aslinya dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang

sebagai akta autentik, bermeterai cukup, telah dicap pos (nazegelen) dan

cocok dengan aslinya, isi bukti-bukti tersebut relevan dengan dalil-dalil

yang hendak dibuktikan oleh Pemohon, maka alat-alat bukti tersebut dinilai

telah memenuhi syarat formil dan materil dan sebagai akta autentik yang

memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.

Berdasarkan bukti surat P.1 berupa Surat KTP atas nama Pemohon,

terbukti Pemohon bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Bantul, maka

sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 18

Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan pertama atas

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Majelis

berpendapat perkara ini secara absolut maupun relatif termasuk wewenang

Pengadilan Agama Bantul;

Berdasarkan bukti surat P.2 berupa Kutipan Akta Nikah, terbukti

bahwa S bin DS dengan Pemohon adalah suami istri sah, tercatat di Kantor

Urusan Agama, hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) Kompilasi

Hukum Islam, dengan demikian Pemohon mempunyai kapasitas kedudukan

hukum (legal standing in judicio) dalam perkara ini.

Berdasarkan bukti surat P.3 berupa Kutipan Akta Kematian, terbukti

S bin DS telah meninggal dunia pada tanggal 20 April 2007 di Sleman.


74

Berdasarkan bukti P.4 berupa Kutipan Akta Kelahiran, terbukti OV, lahir di

Bantul pada tanggal 27Oktober 2001 dari pasangan suami istri SS dan S..

Pemohon juga telah mengajukan 2 orang saksi, yang keduanya telah

memberikan keterangan sebagaimana telah diuraikan dalam duduk perkara.

Kedua saksi tersebut adalah orang dewasa yang memberikan keterangan

secara terpisah di bawah sumpah di muka sidang, keterangan kedua saksi

secara materil saling bersesuaian satu sama lain dan relevan dengan dalil-

dalil yang hendak dibuktikan oleh Pemohon serta tidak ada halangan

diterimanya kesaksian para saksi tersebut, maka kedua saksi tersebut telah

memenuhi syarat formil dan materil sehingga keterangan kedua saksi

tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang dapat diterima.

Berdasarkan keterangan Pemohon, bukti-bukti surat dan keterangan

para saksi, maka telah ditemukan fakta-fakta hukum yang disimpulkan

sebagai berikut:

a. Bahwa Pemohon bermaksud meminta penetapan hak perwalian

atas anaknya yang bernama OV, anak tersebut adalah anak

kandung dari Pemohon dengan S bin DS, saat ini anak tersebut

berusia 15 tahun 1 bulan;

b. Bahwa suami Pemohon (S) telah meninggal dunia pada tanggal 20

April 20007 di Sleman;

c. Bahwa setelah suami Pemohon meninggal dunia, anak tersebut

berada di bawah pengasuhan Pemohon hingga sekarang;


75

d. Bahwa selama dalam pengasuhan Pemohon anak tersebut tetap

terurus dengan baik dan Pemohon tidak pernah melakukan tindak

kekerasan terhadap anak tersebut;

e. Bahwa Pemohon termasuk orang yang jujur, adil, dan berakhlak

baik, bisa hidup sederhana dan tidak boros, tidak pernah minum-

minuman keras ataupun berjudi dan tidak pernah tersangkut kasus

pelanggaran hukum maupun norma susila;

f. Bahwa tujuan Pemohon mengajukan permohonan perwalian adalah

untuk keperluan mengurus jual beli dari harta peninggalan

almarhum suami Pemohon;

Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas dan dengan memperhatikan

ketentuan Pasal 50, 51 dan 53 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo.

Pasal 107 sampai dengan 112 Kompilasi Hukum Islam, Majelis berpendapat

permohonan Pemohon dapat dikabulkan;

3. Menetapkan:

a. Mengabulkan permohonan Pemohon;


b. Menetapkan Pemohon (SS binti DS) sebagai Wali dari anaknya yang
masih belum dewasa bernama OV lahir 27 Oktober 2001;
c. Menetapkan memberikan kepada Pemohon untuk menjual sebidang
tanah pekarangan Hak Milik Nomor XXX, NIB: XXX sebagaimana
diuraikan dalam Surat Ukur tertanggal 8 Oktober 1991 Nomor: XXX
selauas 157m2 yang terletak di Kabupaten Sleman
d. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar seluruh biaya
perkara ini sebesar Rp.171.000,00 (seratus tujuh puluh satu ribu
76

rupiah);

Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan, untuk orang yang

beragama Islam saat ini yang kita pakai sebagai undang-undang di

Indonesia adalah ketentuan UU Perkawinan dan ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam KUHPerdata khusus dipergunakan hanya sebagai pedoman

hukum bukan sebagai undang-undang (asas Lex Spesialis Derogat Lex

Generalis). Perwalian anak di sini, seperti dibahas sebelumnya bahwa hakim

memutus perkara ini berdasarkan pertimbangan bahwa Pengadilan tidak

boleh menolak perkara yang masuk kepadanya meskipun telah jelas

disebutkan di Undang-Undang bahwa wali bagi seorang anak yang orang

tuanya meninggal salah satu dan dia memiliki kepentingan mengurus

pembuatan akta jual beli hak atas tanah adalah orang tua kandungnya yang

hidup terlama. Menurut hakim, Pasal 345- 354 KUH Perdata ini tidak

multitafsir, sehingga tidak seharusnya mengajukan permohonan kepada

Pengadilan Agama mengenai penetapan perwalian ini dan sepatutnya cukup

dengan Undang-undang saja ataupun maksimum dengan surat keterangan

dari Kepala Desa. Lebih lanjut, pemohon dan PPAT tidak menghendaki hal

ini demi kepentingan bagi pihak pemohon sendiri dan PPAT.

Hakim pun tidak secara sepihak menolak atau memaksakan agar PPAT

dan pemohon perwalian anak memakai pedoman undang-undang, sehingga

Pasal dalam Undang-Undang ini akhirnya diwujudkan sebagai bentuk


77

Penetapan agar tetap berfungsi dan berguna untuk si anak. Majelis hakim

melihat perkembangan di masyarakat karena adanya isu hukum bahwa

Pasal ini tidak berguna di masyarakat jika tidak diwujudkan dalam

bentuk penetapan. Kasus ini maksudnya adalah apa yang menjadi

permohonan pemohon dan PPAT nantinya dapat melindungi hak-hak anak

untuk ke depan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan semua

pihak.

Selain itu, meskipun telah disebutkan dalam Pasal 359, 366, 370,

dan 338 KUH Perdata bahwa Weskameer atau Balai Harta Peninggalan

wajib memantau dan mengawasi anak-anak yang di bawah perwalian

beserta walinya, namun hingga saat ini belum ada implementasi konkrit

yang dilakukan oleh Weskameer. Bertujuan agar harta dari anak yang di

bawah perwalian tidak disalahgunakan tentunya pengawasan oleh instansi

tertentu sangat penting di sini. Oleh karena itulah, saat ini sedang

dicanangkan penyusunan diktum yang sesegera mungkin akan diwujudkan

dalam konteks persoalan ini. Perwalian memang merupakan kewenangan

absolut Pengadilan Agama karena itu majelis hakim juga menimbang

bahwa sejauh demi Ketuhanan Yang Maha Esa maka tidak ditolak

permohonan tersebut. Selain itu di masyarakat akhirnya terjadi kebiasaan

seperti ini, sehingga majelis hakim dalam menetapkan perwalian mengikuti

kebutuhan masyarakat yang mana diyakini untuk kepentingan dan

kemaslahatan bersama.

Seharusnya pelaksanaan perwalian dalam masyarakat tidak


78

justru menimbulkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, baik bagi

anak yang berada di bawah perwalian itu sendiri maupun bagi orang

dewasa yang menjadi wali, seperti terjadinya pelanggaran Hak-hak

Asasi Manusia (HAM) dan ketidakadilan. Tujuan utama lembaga

perwalian pada dasarnya tidak lain adalah untuk kesejahteraan dan

perlindungan anak demi terjaminnya hak dan kepentingan anak

tersebut, sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang secara wajar

sebagaimana anak pada umumnya.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dari hasil penelitian didapat fakta bahwa pelaksanaan penetapan perwalian

pada anak di bawah umur guna melakukan perbuatan hukum penjualan

tanah oleh Pengadilan Agama Bantul telah dilaksanakan dengan baik sesuai

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penetapan perwalian anak

untuk syarat membuat akta jual beli hak atas tanah memiliki tujuan yaitu,

untuk membuktikan dan merupakan syarat bagi pembuatan akta jual beli

hak atas tanah yang nantinya akan didaftarkan pula ke Kantor Pertanahan

setempat guna kelengkapan transaksi.

2. Proses penetapan perwalian oleh Pengadilan Agama Bantul dimulai setelah

semua persyaratan pengajuan permohonan dilengkapi dan diajukan ke

Pengadilan, maka pihak yang berperkara menunggu panggilan dari

Pengadilan untuk melakukan sidang pada hari yang telah ditentukan. Proses

persidangan pada kasus permohonan perwalian ini berbeda dengan proses

persidangan dalam gugatan, hanya melalui empat tahap saja. Pertimbangan

hakim dalam penetapan perwalian pada anak di bawah umur guna

melakukan perbuatan hukum penjualan tanah antara lain, keterangan

kedua saksi secara materil saling bersesuaian satu sama lain dan relevan

78
79

dengan dalil-dalil yang hendak dibuktikan oleh Pemohon dan hakim

menimbang terlebih dahulu latar belakang penjualan tanah tersebut.

B. Saran
1. Saran kepada Pengadilan Agama Bantul untuk mempertahankan pelayanan

pelaksanaan penetapan perwalian pada anak di bawah umur guna

melakukan perbuatan hukum penjualan tanah oleh Pengadilan Agama

Bantul, untuk itu perlu terus memperhatikan aturan-aturan yang

berkembang seiring juga dengan perkembangan hukum yang terjadi di

Indonesia. Diharapkan atas dipahaminya peraturan-peraturan hukum yang

bermunculan tersebut dapat turut mendorong terciptanya perjanjian yang

sesuai dengan peraturan yang berlaku di Negara Indonesia.

2. Kepada Pengadilan Agama Bantul, perwalian merupakan kewenangan

absolut Pengadilan Agama, oleh karena itu majelis hakim juga harus

memperhatikan kepentingan anak dan dalam menetapkan perwalian

mengikuti kebutuhan masyarakat untuk kepentingan dan kemaslahatan

bersama.
DAFTAR PUSTAKA

Literatur :

__________. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. 2012

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2000.

Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, juz 4, terj. Bahrun Abu
Bakar, Hery Noer Aly, CV. Toha Putra, Semarang, 1994.

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqih


Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, 2009.

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia


(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974
sampai KHI), Prenada Media, Jakarta, 2004.

Anshary, Kedudukan Anak Dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Nasional,
CV. Mandar Maju, Bandung, 2014.

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985.

Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, CV. Rajawali,


Jakarta,1983.

Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Akademika Pressindo, cet pertama, Jakarta


2000.

F.X. Suhardana, Hukum Perdata I Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta, 1996.

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2005.

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Dikeluarga Islam, PT. Raja
Grafindo, Jakarta, 2001.

Kartini Kartono. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung. Alumni. 2011.

Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,


Grasindo, Jakarta, 2000

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Mulyana. W. Kusumah, Hukum dan Hak-hak Anak, CV.Rajawali, Jakarta, 1986


Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak Pemahaman dan Penanggulangannya,
Selaras, Malang. 2010

Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995.

R. Sarjono, Masalah Perceraian, cet. 1 Academika, Jakarta, 1999

S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan Di


Kantor Pertanahan, Gresindo, Jakarta, 2005.

Sadikin, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang


Hukum Keluarga dan Waris, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1995.

Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Armico, Bandung, 1985.

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1986.


Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni,
Bandung,1992.

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung,
1992

Siti Hafsah Ramadhanay, Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan Selaku Wali
Pengawas Terhadap Harta Anak Dibawah Umur (Study Mengenal
Eksitensi Balai Harta Peninggalan Medan Sebagai Wali Pengawas), SPS-
USU, Medan, 2004,

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata


Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1992.

Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta, 1997

Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2013.

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.

Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,


1983.

Wahyono Darmabrata dan Surini ahlAn Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga
di Indonesia, cet. 2, Penerbit Fakultas Hukum Indonesia, Jakarta, 2004

Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.


Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan prospek Doktrin Islam dan Adat
dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2011.

Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Kompilasi Hukum


Islam.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-undang


Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

PERMEN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I. Nomor 15


Tahun 2010. Pedoman Umum Penanganan Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak R.I.
Jurnal :

Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, Komisi


Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, 2007.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,


Volume 2, Lentera Hati, Jakarta, 2002.

Siti Hafsah Ramadhanay, Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan Selaku Wali
Pengawas Terhadap Harta Anak Dibawah Umur (Study Mengenal
Eksitensi Balai Harta Peninggalan Medan Sebagai Wali Pengawas), SPS-
USU, Medan, 2004.

Anda mungkin juga menyukai