Anda di halaman 1dari 46

STUDI KOMPARATIF TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS

PENGGANTI MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN


KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPER)

(Perspektif Hakim Pengadilan Agama Mojokerto dan Hakim Pengadilan


Negeri Mojokerto)

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH
INDRA DWI YUSA PUTRA
NIM. 931104219

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2023
STUDI KOMPARATIF TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS
PENGGANTI MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPER)
(Perspektif Hakim Pengadilan Agama Mojokerto dan Hakim Pengadilan
Negeri Mojokerto)

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan kepada
Institut Agama Islam Negeri Kediri
Untuk memenuhi salah satu persyaratan
Dalam menyelesaikan program Sarjana Hukum
(S.H)

OLEH
INDRA DWI YUSA PUTRA
NIM. 931104219

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2023

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal Dengan Judul

STUDI KOMPARATIF TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS


PENGGANTI MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPER)

(Perspektif Hakim Pengadilan Agama Mojokerto dan Hakim Pengadilan


Negeri Mojokerto)

Disusun oleh :

Indra Dwi Yusa Putra

NIM: 931104219

Telah Disetujui Untuk Diujikan

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Husnul Yaqin, S.H, M.H Zakiyatus Soimah, M.HI


NIP. 19760808 200604 1003 NIP. 2015068401

iii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul....................................................................................... i
Halaman Judul.......................................................................................... ii
Halaman Persetujuan............................................................................... iii
Daftar Isi.................................................................................................... iv
A. Konteks Penelitian................................................................................. 1
B. Fokus Penelitian.................................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 10
D. Kegunaan Penelitian............................................................................. 10
E. Penelitian Terdahulu............................................................................. 11
F. Landasan Teori...................................................................................... 12
1. Kompilasi Hukum Islam (KHI)......................................................... 12
a) Sejarah Perumusan KHI.............................................................. 12
b) Kewarisan dalam KHI................................................................. 16
c) Ahli Waris Pengganti menurut KHI............................................ 22
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)........................... 24
a) Sejarah Hukum Perdata Indonesia.............................................. 24
b) Kewarisan dalam KUHPer.......................................................... 26
c) Ahli Waris Pengganti Menurut KUHPer.................................... 31
G. Metode Penelitian.................................................................................. 31
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian........................................................ 31
2. Kehadiran Peneliti............................................................................. 33
3. Data dan Sumber Data....................................................................... 33
4. Metode Pengumpulan Data............................................................... 35
5. Pengecekan Keabsahan Data............................................................. 36
6. Analisis Data..................................................................................... 36
7. Tahap-tahap Penelitian...................................................................... 37
H. Sistematika Pembahasan...................................................................... 37
I. Rencana Daftar Isi................................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 40

iv
A. Konteks Penelitian
Di Negara Republik Indonesia ini terdapat tiga sistem hukum yang
diberlakukan dan menjadi suatu bagian dari tatanan kehidupan
masyarakat. Ketiga sistem hukum tersebut antara lain Hukum Adat,
Hukum Islam, dan Hukum Perdata (BW) yang dikodifikasikan sebagai
Hukum Negara (Konstitusi). Pada penerapannya, dari tiga sistem hukum
ini masing-masing memiliki fondasi hukum yang berbeda.1
Dalam hukum adat, bentuk materiil dari hukum tersebut sebagian
besar tidak tertulis karena telah menjadi aturan dan pedoman dalam
kehidupan yang sudah mengakar dan berkembang. Sehingga meskipun
memiliki latar belakang corak budaya dan sosial yang berbeda-beda di
setiap daerahnya, Hukum Adat ini masih dapat berlaku dan legal selama
hukum tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan negara maupun
ketetapan syara’. Hukum Islam muncul karena Agama Islam sendiri telah
menjadi kepercayaan atau keyakinan yang dianut oleh mayoritas
masyarakat Negara Republik Indonesia, sehingga memberinya ruang
untuk menjadi bagian dari konsep hukum berlandaskan syari’at Islam
yang berkekuatan tetap. Sedangkan untuk Hukum Perdata (BW) sendiri
merupakan adaptasi dari hukum barat sepeninggal Belanda setelah
menjajah Indonesia yang kemudian dijadikan sebagai Hukum Konstitusi
Negara Republik Indonesia guna mencakup seluruh dimensi dan ruang
lingkup segala aturan yang berlaku dan berkembang di Indonesia.
Ketiga hukum yang hidup di Indonesia ini yakni hukum adat, hukum
islam dan hukum barat hidup sebagai aturan dan norma yang berlaku
secara berdampingan karena toleransi akan pluralisme hukum dikalangan
masyarakat Indonesia. Namun kenyataan yang terjadi pada saat ini,
pelaksanaan sistem-sistem hukum tersebut mengalami suatu problematika
dalam rangka mewujudkan suatu pembaharuan hukum. Di Indonesia, di
mana undang-undang adalah bagian dari pengaturan hukum yang utama.

1
Munarif, Asbar Tantu (2022), Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata di Indonesia
(Studi Perbandingan), ALMASHADIR, Vol. 4 (2), Hal. 139

1
Pembaharuan, masyarakat melalui jalan hukum berarti melaksanakan
pembaharuan hukum terutama melalui perundang-undangan2.
Sistem hukum yang masih menjadi dilema di Indonesia salah satunya
adalah tentang kewarisan. Praktik didalamnya memiliki banyak perbedaan
penerapan dikarenakan tata kehidupan masyarakat Indonesia yang
majemuk serta belum adanya suatu kodifikasi hukum waris yang berlaku
bagi seluruh masyarakat Indonesia.. Bentuk serta sistem hukum waris
memiliki korelasi yang kuat dengan bentuk masyarakat serta sifat
kekeluargaan, terutama di Indonesia dikarenakan masyarakatnya
menempati struktur yang penting dimana didalamnya terdiri dari
bermacam-macam suku, ras, agama dan budaya yang mempunyai corak
berbeda-beda.
Dengan meninggalnya seseorang terjadilah suatu proses pemindahan
dan pengoperan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia
yang dikenal dengan pewarisan.3 Sehingga yang dapat menimbulkan
persoalan atau konflik dalam hal ini adalah proses perpindahan pusaka
peninggalan berupa harta benda, pada siapa yang berhak menanggung
segala urusan yang berhubungan dengan seseorang yang telah tiada
tersebut (pewaris) berupa kekayaan baik benda bergerak maupun tidak
bergerak dimulai dari hutang-hutangnya hingga wasiatnya.
Dalam sistem waris adat masyarakat Indonesia, hak mewaris
diberlakukan berdasarkan sistem garis keturunan yang terbagi dalam tiga
macam keturunan, meliputi sistem matrilineal (garis keturunan ibu)
seperti yang dilaksanakan di daerah Minangkabau, partrilineal (garis
keturunan ayah) seperti yang ada di daerah Bali dan Ambon serta parental
(garis keturunan ayah dan ibu) yang terjadi di daerah Jawa dan Madura. 4
Sedangkan menurut hukum perdata, hukum waris diatur dalam buku
II KUHPerdata tentang benda dimulai dari pasal 830-1130 KUHPerdata.
Alasan hukum waris tercantum dalam buku II KUHPerdata tentang benda

2
Ibid, 139.
3
Oemar Moechtar. Perkembangan Hukum Waris : Praktik Penyelesaian Sengketa Waris di
Indonesia. (Jakarta: Prenadamedia Grup). 2019, Hal. 5
4
Supriyadi (2015), Pilihan Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Pluralistik (Studi Komparasi
Hukum Islam dan Hukum Perdata), AL-‘ADALAH, Vol. XII (3), Hal. 554

2
dikarenakan hak mewaris berkaitan erat dengan hak kebendaan
sebagaimana yang diatur dalam 528 KUHPerdata dan hak waris
merupakan salah satu cara seseorang dalam memperoleh hak kebendaan
yang tercantum pada pasal 584 KUHPerdata. Berlakunya hukum perdata
barat di Indonesia ini berdasarkan Pasal 131 IS Jo. Staatsblad 1917
Nomor 12 Jo. Staatsblad 1924 Nomor 557 tentang Penundukan Diri
Terhadap Hukum Eropa, dimana subjek hukum dari hukum perdata barat
ini diberlakukan untuk: 5
a) Orang Eropa atau yang disamaratakan pada orang Eropa
b) Orang Asing bagian Timur atau Tionghoa (Staatsblad 1917 No. 129)
c) Orang Asing lain serta orang Indonesia yang menganut Hukum Eropa
Hal ini menunjukkan bahwa semua masyarakat Indonesia diberlakukan
persamaan hukum untuk menundukkan diri terhadap hukum Eropa.
Penggolongan ahli waris yang diatur dalam KUHPerdata terbagi
dalam empat golongan berdasarkan dari urutan dekat jauhnya hubungan
pertalian darah/keluarga dari pewaris, dimana orang yang memiliki
hubungan pertalian darah terdekat dengan pewaris menutup orang yang
memiliki hubungan pertalian darah yang lebih jauh dengan pewaris.
Penggolongan ahli waris ini dimulai dari golongan pertama yang terdiri
dari: a) anak-anak dan keturunannya; b) suami atau istri yang hidup
terlama (pasal 852 (1) KUHPerdata). Kemudian golongan kedua yakni: a)
orang tua; b) saudara laki-laki dan keturunannya; c) saudara perempuan
dan keturunannya (pasal 854 (1) KUHPerdata). Untuk golongan ketiga
terdiri keluarga pertalian darah terdekat (sedarah) pada garis keturunan
keatas, baik pertalian darah bapak atau ibu (pasal 853 KUHPerdata). Dan
golongan keempat terdiri keluarga sedarah dalam garis menyimpang
sampai derajat keenam (pasal 858 KUHPerdata).
Untuk kewarisan dalam hukum islam, waris berasal dari Bahasa Arab
Mawarits yang merupakan bentuk jama’ al-irts (‫ )اإلرث‬atau al-mirats (
‫)االميراث‬, yang berarti “seperangkat kekayaan milik seseorang yang telah

5
Maman Suparman. Hukum Waris Perdata. (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), Hal. 4

3
ditinggalkan karena seseorang tersebut telah tiada (meninggal dunia)”. 6
Munculnya ketetapan tentang waris ini bersamaan turunnya wahyu (Al-
Qur’an) sebagai landasan adanya sistem waris yang biasa disebut juga
dengan Al-Faraid. Istilah “faraid“ ini mengacu terhadap konsep tentang
ketentuan pasti kepada semua pihak yang termasuk dalam ahli waris.
Maksud dari ketentuan tersebut adalah berdasarkan dengan yang telah
ditetapkan wahyu sebagai bagian dari pedoman suci dan norma. Sehingga
hal tersebut dipahami oleh para ahli yuridis klasik adalah sebagai suatu
kewajiban yang harus dilakukan dan dijalankan oleh setiap muslim.
Melaksanakannya berarti memenuhi dan menaati perintah agama. Ia
dianggap sebagai compulsory law (dwingend recht) – hukum yang
bersifat mutlak.7
Lain halnya dengan hukum perdata barat, hukum kewarisan dalam
Islam tidak menyamaratakan porsi harta waris untuk laki-laki dan
perempuan, akan tetapi hukum waris islam menempatkan seolah laki-laki
sebagai ahli waris yang lebih dominan dan superior daripada perempuan.
Hal ini bukan tanpa alasan namun berdasarkan dengan asas yang dianut
hukum kewarisan islam yakni asas keadilan berimbang, dimana maksud
dari keadilan disini adalah perolehan hak serta penunaian kewajiban
haruslah balance (seimbang). Sedangkan maksud berimbang adalah baik
laki – laki maupun perempuan dapat menjadi pewaris maupun ahli waris
tanpa membedakan usia dan asal usul silsilah kekerabatan.
Dalam hal ini asas keadilan berimbang diterapkan juga dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 176 yang berbunyi “apabila
hanya ada anak perempuan tunggal dia mendapat separoh bagian, apabila
ada dua atau lebih mereka bersama-sama mendapatkan bagian dua pertiga
dan bila anak perempuan bersama anak laki-laki, bagiannya anak laki-laki
dua berbanding satu dengan anak perempuan”. Juga terdapat dalam 180
KHI yang berisi “Janda mendapat seperempat bagian pewaris tidak

6
Teungku Muhammad hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2002. Hal. 5
7
Sukris Sarmadi. Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan
Fiqh Sunni). Yogyakarta: Aswaja Pressindo. 2013, Hal. 2

4
meninggalkan anak dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda
mendapat seperdelapan bagian”. Dari pasal 176 dan 180 KHI tersebut
dapat diartikan bahwa perbandingan bagian yang didapat antara laki-laki
dengan perempuan yakni satu banding dua (1:2). Hal ini merupakan
ketentuan fara’id yang telah ditetapkan berdasarkan nash seperti yang
tertera pada QS. An-Nisa’ ayat 11-12 yang menjelaskan tentang porsi
laki-laki dan perempuan, pendapat para fuqaha dan hasil ijtihad para
ulama serta cendekiawan muslim di Indonesia.
Namun dalam pelaksanaannya, hukum waris Islam di Indonesia
memiliki keterbatasan ruang untuk menjadi suatu hukum yang dominan
meskipun mayoritas dari masyarakat Indonesia beragama Islam karena
harus berbagi ruang dengan hukum waris adat yang telah menjadi
pedoman yang mengakar dalam masyarakat serta hukum perdata yang
bertindak sebagai penyatu hukum untuk seluruh lapisan dan golongan
masyarakat. Tidak berhenti disitu, adanya suatu problematika yang
dimana terdapat banyak kitab yang mengkaji hukum waris Islam yang
didalamnya terkandung banyak penafsiran sehingga menyebabkan adanya
perbedaan pendapat8.
Mengenai pemaparan diatas, menunjukkan suatu bukti bahwa
penerapan Hukum waris di Indonesia ini terbilang mengalami disharmoni,
dikarenakan banyaknya sumber hukum yang dijadikan sebagai acuan dan
diakui legalitasnya yang dapat menyebabkan terdistorsinya perspektif
masyarakat terhadap keabsahan hukum. Salah satu contoh permasalahan
yang dihadapi dalam kewarisan yang ada di Indonesia adalah tentang ahli
waris pengganti. Para ahli hukum berpendapat bahwa penggantian tempat
didalam waris hanya ada dalam hukum kewarisan adat dan hukum
kewarisan perdata barat yang disebut dengan plaatsvervulling. Namun
Hazairin (1906-1975), seorang tokoh pembaharuan hukum mengatakan
bahwa didalam hukum kewarisan Islam terdapat konsep tentang
penggantian tempat ahli waris sama seperti yang ada dalam hukum adat
dan hukum perdata barat. Hazairin berkata demikian bukan tanpa alasan
8
Aulia Muthiah, Novy Sri Pratiwi Hardani. Hukum Waris Islam. (Yogyakarta: Medpress
Digital), 2015. Hal. 4

5
dan dasar yang jelas, tetapi beliau mengambil dan menjadikan ahli waris
pengganti dalam KUHPerdata (plaatsvervulling) sebagai ijtihadnya yang
disandarkan pada QS. An-Nisa’ ayat 33 yang berbunyi:
‫ِذ‬ ‫ِل ِن‬ ‫ِل ِم‬ ‫ِل‬
‫َو ُك ٍّل َج َع ْل َن ا َم َو ا َي َّم ا َتَر َك ا ْل َو ا َد ا َو اَأْلْقَر ُبو َن ۚ َو ا َّل ي َن َع َقَد ْت َأْيَم ا ُنُك ْم‬
‫َفآ ُتو ُه ْم َنِص ي َبُه ْم ۚ ِإَّن ال َّل َه َك ا َن َع َل ٰى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِه ي ًد ا‬

“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu


bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada)
orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan
segala sesuatu.”
Menurut penafisran Hazairin, dalam ayat tersebut tercantum kata
“mawali” yang berarti orang-orang yang menggantikan seseorang dalam
memperoleh harta waris yang ditinggalkan oleh orang tua atau kerabat
dekat yang sebenarnya harta waris tersebut ditujukan pada anak atau
saudara yang telah tiada lebih dulu daripada pewaris untuk kemudian
digantikan tempatnya dengan alasan karena mereka masih kerabat dengan
pewaris dan tidak adanya penghubung diantara mereka dengan pewaris.
Sehingga Hazairin disini mendefinisikan mawali sebagai ahli waris
pengganti seperti pada hukum adat dan hukum perdata barat. Pada
akhirnya ketentuan ahli waris pengganti atau mawali juga tercantum pada
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 185 ayat 1 & 2, berbunyi :
1) ”Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang di
sebut dalam Pasal 173 KHI”
2) “Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti”
Berbanding berbalik dengan ahli waris pengganti (plaatsvervulling)
yang diatur dalam KUHPerdata, dimana pada pasal 841 KUHPerdata
menyebutkan “penggantian memberi hak pada seorang pengganti itu
untuk berlaku menjadi pengganti pada derajat dan semua hak orang yang
digantikan”. Dari pasal 841 KUHPerdata tersebut dapat dipahami bahwa

6
dalam penggantian tempat ahli waris tidak ada pembatasan untuk
memperoleh hak serta kewajiban tanpa membeda-bedakan laki-laki
ataupun perempuan didalam kewarisan. KUHPerdata juga menjelaskan
tentang golongan yang dapat menjadi ahli waris pengganti yaitu golongan
kebawah, kesamping & menyimpang yang dijelaskan pada pasal 842-845
KUHPerdata serta ketentuan yang tidak memperbolehkan orang
menggantikan tempat ahli waris yang masih hidup yang tertera pada pasal
843 dan 847 KUHPerdata.
Dari penjabaran ringkas tentang ahli waris pengganti menurut KHI
dan KUHPerdata diatas dapat dipahami adanya suatu perbedaan yang
signifikan terkait sistem pembagian waris serta penggolongan ahli waris
pengganti karena meskipun baik dari KHI maupun KUHPerdata
merupakan bentuk produk pemerintahan yang sama, namun keduanya
memiliki ruang dimensi berbeda, sudut pandang serta asas-asas tertentu
yang menjadi landasan dalam perumusan masing-masing hukum tersebut.
Menurut Busthanul Arifin, ada perbedaan asas yang terdapat dalam
masing-masing sistem hukum yang berpolemik dalam sistem hukum di
Indonesia, perbedaan tersebut yaitu: 9
a) Tujuan Hukum
Tujuan hukum Islam yakni mengatur kehidupan manusia baik di dunia
maupun di akhirat sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT
(ta’abuddi). Sedangkan tujuan hukum barat hanya berkaitan dengan
sesama manusia untuk menciptakan kedamaian.
b) Metode Penemuan (Pengambilan) Hukum
Metode pengambilan hukum Islam adalah deduktif dan kasuistik,
dimana setiap peristiwa hukum didasarkan pada sumber pokok Islam
terlepas dari ada tidaknya suatu masyarakat. Sedangkan hukum barat
memakai metode pengambilan hukum deduktif, dimana hukum itu
dibuat berdasarkan sikap dan kesadaran dari masyarakat tersebut.
c) Konsep Keadilan

9
Siska Lis Sulistiani. Hukum Perdata Islam (Penerapan Hukum Keluarga dan Hukum Bisnis
Islam di Indonesia). (Jakarta : Sinar Grafika), 2018. Hal. 15

7
Konsep keadilan yang tercantum pada hukum Islam didasarkan pada
keadilan yang ditetapkan Allah SWT, sedangkan konsep keadilan
dalam hukum barat berdasarkan hasil penalaran logika serta
pengamatan empiris terhadap suatu fenomena yang ada di masyarakat.
Dari beberapa perbedaan yang disebutkan oleh Busthanul Arifin
diatas, dapat menjadi alasan utama ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dalam KHI dan KUHPer terutama dibidang waris tidak dapat diterapkan
dalam peradilan secara merata dan sama, dikarenakan setiap peradilan
memiliki porsi dan pedomannya masing-masing dalam memeriksa,
menangani dan memutus perkara yang ada. Meskipun setiap peradilan,
baik pengadilan agama maupun pengadilan negeri mempunyai pedoman
hukumnya masing-masing, tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu
hal yang mengharuskan hakim-hakim pengadilan tersebut mencari
sumber-sumber hukum lain sebagai langkah dalam menyelesaikan
perkara yang ditanganinya.
Berkaitan dengan KHI dan KUHPer, ketetapan tentang ahli waris
pengganti jika dilihat sekilas khususnya oleh masyarakat awam tampak
jelas akan ketidaksamaannya, mulai dari siapa yang bisa menjadi ahli
waris pengganti hingga bagian yang diperoleh. Hal ini bisa terjadi karena
adanya perbedaan suatu asas keadilan berimbang yang diterapkan dalam
KHI seperti yang sudah dijelaskan diatas. Namun dimasa modern saat ini
laki-laki tidak selalu menjadi sumber pencari nafkah independen dalam
suatu keluarga, akan tetapi banyak juga perempuan yang turut menjadi
pencari nafkah juga dalam keluarga karena muncul berbagai macam
profesi yang bervariasi dan sesuai untuk perempuan. Sehingga asas
keadilan berimbang yang sudah menjadi aspek fundamental dalam KHI
bisa dipatahkan karena banyaknya diluar sana perempuan yang menjadi
tulang punggung keluarga.
Terdapat banyak peradilan di Indonesia ini baik pengadilan agama
maupun pengadilan negeri yang menyelesaikan perkara tentang waris,
salah satunya adalah pengadilan agama dan pengadilan negeri yang ada di
Mojokerto. Meskipun perkara yang paling masuk di pengadilan negeri

8
Mojokerto adalah perkara tindak pidana, namun perkara perdata yang
masuk juga tidak kalah banyak. Dikutip dari laporan tahunan pengadilan
negeri Mojokerto, Selama periode 2020-2022 terdapat 1769 perkara
perdata yang masuk di pengadilan negeri Mojokerto, ini menjadi suatu
catatan yang baik serta bukti bahwa pengadilan negeri terutama yang
berada di Mojokerto memiliki kapabilitas yang berkualitas dalam
menangani berbagai perkara baik perkara pidana maupun perkara perdata
mengingat pengadilan negeri Mojokerto baru saja naik kelas dari 1B ke
1A ditahun 2022 kemarin. Sedangkan untuk pengadilan agama sendiri
sudah menjadi suatu hal yang wajar menerima banyak perkara perdata
yang masuk, terutama pengadilan agama yang berada di Mojokerto.
Terbukti pada rentang periode 2020-2022 kemarin sudah tercatat dalam
website pengadilan agama Mojokerto ada 21.217 perkara yang ditangani
dan ditahun 2023 ini mulai Bulan Januari-Oktober kemarin terhitung
sudah ada 5.689 perkara yang masuk. Hal ini menandakan bahwa selain
karena pelayanannya yang cepat dan efisien, hakim-hakim yang berada di
pengadilan agama Mojokerto sudah terbukti memiliki kapabilitas dalam
menangani berbagai perkara perdata termasuk didalamnya perkara
tentang waris.
Dari pemaparan ringkas tentang fenomena diatas, memunculkan
sebuah pertanyaan tentang ketentuan ahli waris pengganti dalam KHI dan
KUHPer, khususnya dalam KHI tentang apakah asas keadilan berimbang
yang dianut masih relevan dengan masa sekarang. Hal inilah yang perlu
dipahami oleh masyarakat sehingga perlu adanya suatu penjelasan dari
perspektif masing-masing hakim pengadilan agama dan pengadilan negeri
terutama tentang ahli waris pengganti ini agar masyarakat awam baik
orang muslim maupun non-muslim dapat mengetahui dan memahami
tentang mengapa dan bagaimana hukum Islam dan hukum perdata
memiliki beberapa perbedaan yang signifikan.
Berangkat dari sinilah peneliti ingin membahas tentang kewarisan
yang berfokus pada ruang lingkup Hukum Perdata dan Hukum Islam
menggunakan metode studi komparasi (perbandingan) dengan

9
mengangkat suatu permasalahan tentang kedudukan ahli waris pengganti
berdasarkan KHI dan KUHPer serta bagaimana pandangan hakim
pengadilan agama dan pengadilan negeri yang ada di Mojokerto tentang
ketentuan ahli waris pengganti dalam KHI dan KUHPer dengan Judul
“Kedudukan Hukum Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
(KUHPer) (Perspektif Hakim Pengadilan Agama Mojokerto dan
Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto)”
B. Fokus Penelitian
1. Bagaimana ketetapan hukum seorang ahli waris pengganti dalam KHI
dan KUHPer?
2. Bagaimana pandangan dari hakim Pengadilan Agama Mojokerto dan
hakim Pengadilan Negeri Mojokerto tentang perbedaan ahli waris
pengganti dalam KHI dan KUHPer?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yang ingin dicapai dan disampaikan oleh
peneliti dalam penyusunan skripsi ini yaitu :
1. Untuk memahami kedudukan hukum seorang ahli waris yang
menggantikan tempat menurut KHI dan KUHPer
2. Untuk menegtahui pandangan dari hakim Pengadilan Agama
Mojokerto dan hakim Pengadilan Negeri Mojokerto tentang perbedaan
ahli waris pengganti yang diatur dalam KHI dan KUHPer
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Dari penyusunan skripsi ini, peneliti ingin mengetahui dan memahami
secara mendalam tentang hukum waris yang tertera dalam KHI serta
KUHPer serta ingin berfokus untuk memahami tentang kedudukan ahli
waris pengganti berdasarkan KHI dan KUHPer.
2. Kegunaan Praktis
a) Menjadi syarat bagi peneliti untuk mendapatkan gelar sarjana (S1)
program studi Hukum Keluarga Islam

10
b) Sebagai sumber referensi bagi para pembaca, terutama para
akademisi di IAIN Kediri
c) Dapat menjadi suatu sumbangan pemikiran terkait dalam hukum
waris terutama dalam menyelesaikan masalah waris yang berkaitan
dengan perkara ahli waris pengganti berdasarkan KHI dan KUHPer.
E. Penelitian Terdahulu
Agar tidak terjadi suatu ketimpangan dengan penelitian yang lain,
maka perlu dilakukan telaah pustaka yang bertujuan untuk mendapatkan
data serta informasi ilmiah & kredibel serta memperoleh gambaran tentang
permasalahan baru dari permasalahan yang sudah diteliti oleh peneliti lain.
Sejauh ini peneliti telah menemukan 3 (tiga) penelitian terkait dengan
hukum waris menurut KHI & KUHPer :
Pertama, Skripsi penelitian yang ditulis oleh Wenny Welia Sari yang
berjudul “Ahli Waris Pengganti Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Pasal 185 dan Menurut Hazairin”, Mahasiswa Program Studi
Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam Institut
Agama Islam Negeri Curup, Tahun 2019. Dalam penelitian ini membahas
tentang batasan-batasan bagian yang didapatkan oleh Ahli Waris
Pengganti dalam Waris, berdasarkan KHI Pasal 185 serta pendapat dari
seorang Pakar Hukum Islam di Indonesia yakni Hazairin. Persamaan
dalam penelitian milik Saudari Wenny Welia Sari dengan peneliti adalah
menjelaskan kedudukan seorang Ahli Waris Pengganti menurut KHI.
Sedangkan untuk perbedaannya adalah dari segi ruang lingkup komparasi
(perbandingan) hukumnya, dimana peneliti akan membandingkan
persamaan dan perbedaan antara KHI dengan KUHPer yang membahas
tentang kedudukan seorang ahli waris pengganti.
Kedua, Skripsi penelitian yang ditulis oleh Hasanudin yang berjudul
“Perbandingan Pembagian Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW) dan Pembagian Waris Menurut Islam”, Mahasiswa Program
Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Palembang, Tahun 2015. Dalam penelitian ini berfokus pada
pertanggungjawaban seorang Ahli Waris terhadap Hutang yang dimilik

11
Pewaris kepada pihak lain. Persamaan dalam penelitian milik Saudara
Hasanudin dengan peneliti adalah melakukan studi komparasi
(perbandingan) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW) dalam ruang lingkup Waris. Sedangkan untuk
perbedaannya adalah pada fokus permasalahan yang dibahas, dimana
peneliti berfokus pada pandangan hakim pengadilan agama dan pengadilan
negeri terhadap ketetapan seorang ahli waris pengganti dalam KHI serta
KUHPer.
Ketiga, jurnal penelitian yang ditulis oleh Hajar M. yang berjudul
“Asal Usul dan Implementasi Ahli Waris Pengganti Perspektif Hukum
Islam”, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, Tahun 2016. Dalam Penelitian ini Hajar M.
berfokus pada ahli waris pengganti dalam perspektif hukum Islam
terutama yang telah dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dengan menyimpulkan bahwa ahli waris pengganti dalam KHI perlu
ditinjau kembali karena meskipun ketentuan ini telah menjadi budaya
dimasyarakat namun perumusannya berasal dari hukum adat, dimana
hukum adat merupakan adaptasi hukum perdata Belanda dan hukum
perdata Belanda merupakan adopsi dari hukum Perancis yang bersumber
dari hukum Romawi. Perbedaan jurnal penelitian tersebut dengan
penelitian penulis yakni penulis hanya akan berfokus pada perbandingan
hukum tentang ahli waris pengganti antara KHI dan KUHPer.
F. Landasan Teori
1. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
a. Sejarah Perumusan KHI
Pada saat agama Islam masuk ke wilayah Indonesia, tidak
serta-merta nilai-nilai hukum yang terkandung didalamnya
langsung diterima oleh masyarakat dikarenakan pada saat itu
hukum adat telah berlaku dan menjadi bagian terpenting sebagai
pedoman utama masyarakat dalam berkehidupan. Setelah
berdirinya kesultanan Islam di Nusantara seperti Samudera Pasai,
Demak Bintoro, Cirebon, Buton dan Ternate, barulah kerajaan-

12
kerajaan tersebut menerapkan norma-norma hukum Islam dengan
dalih bahwa agama Islam merupakan suatu creedo (keyakinan)
yang didalamnya secara tidak langsung terdapat suatu konsekuensi
logis untuk menaati segala hukum yang di perintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Kemudian untuk pemberlakuan hukum Islam di
Nusantara sendiri berdasarkan pada madzhab yang dianut oleh
masing-masing kerajaan Islam tersebut, sehingga setiap
kesultanan-kesultanan Islam tersebut mulai membentuk badan-
badan peradilan yang berlandaskan pada hukum syari’at Islam.10
Sampai pada saat Hindia-Belanda datang ke Indonesia,
menurut Muhammad Daud Ali, pemerintah Hindia-Belanda pada
masa tersebut telah mengakui eksistensi dari hukum Islam tersebut
sebagai hukum positif terutama bagi masyarakat Indonesia yang
beragama Islam yang kemudian oleh pemerintah Hindia-Belanda
dirumuskan dan diformulasikan menjadi suatu teori yang
didalamnya terkandung cita-cita hukum dan adat masyarakat
Indonesia dengan mengimplementasikannya dalam pengalihan
kewenangan peradilan agama dalam menangani masalah kewarisan
pada peradilan umum dengan pertimbangan bahwa hukum waris
belum menjadi hukum adat sebagai bagian dari rencana untuk
mempermudah jalan mereka dalam melakukan penjajahan.11
Kemudian setelah Indonesia merdeka, menurut Prof. Dr.
Hazairin, S.H, pemerintah RI memberlakukan hukum berdasarkan
pada agama-agama yang telah diakui dan salah satunya adalah
agama Islam dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
45 tahun 1957 tentang Pembentukan Mahkamah Syar’iyah atau
Peradilan Agama di seluruh wilayah Provinsi Indonesia12, serta
ditetapkannya beberapa kitab fiqh sejumlah 13 sebagai sumber
hukum materiil dalam praktik peradilan yang dilaksanakan oleh

10
Iim Fahimah (2018), Sejarah Perkembangan Hukum Waris di Indonesia (NUANSA), Vol. XI
(2), Hal.110
11
Ibid, 111
12
Aulia Muthiah, Novy Sri Pratiwi Hardani. Hukum Waris Islam. (Yogyakarta: Medpress Digital),
2015. Hal. 9

13
pengadilan agama berdasarkan Surat Edaran Kepala Biro
Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 yang dikeluarkan pada 18
Februari 1985. Langkah tersebut diambil dikarenakan hukum Islam
dalam ruang lingkup yang dipahami secara masyhur serta yang
diberlakukan dikalangan masyarakat awam nyatanya tidak tertata
dan tertulis pada beberapa kitab fiqh. Beberapa kitab fiqh yang
dijadikan referensi hukum materiil dalam praktik peradilan yang
dilaksanakan oleh Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:13
1) Al-Bajuri;
2) Fathul Mu’in;
3) Asy-Syarkawi ‘ala at-Tahrir;
4) Al-Qalyubi/al-Mahalli;
5) Fathu al-Wahhab wa Syarhuh;
6) At-Tuhfah;
7) Targhib al-Musytaq;
8) Al-Qawanin asy-Syar’iyyah li Sayyid bin Yahya;
9) Al-Qawanin asy-Syar’iyyah li Sayyid Shadaqoh Dachlan;
10) Asy-Syamsuri fi al-Faraid;
11) Bughyah al-Mustarsyidin;
12) Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al - Arba’ah;
13) Al-Mughni al-Muhtaj.
Namun karena banyaknya pendapat dalam suatu madzhab
dalam hukum Islam, menyebabkan putusan yang tidak sama dalam
pelaksanaannya di Pengadilan. Perbedaan putusan inilah yang akan
menjadi suatu pembiasan untuk pencari keadilan dalam
memperoleh kepastian hukum dimana jika dalam satu momen
terdapat perkara-perkara yang sama menjadikan adanya
kemungkinan putusan yang berbeda. Pendapat yang berbeda-beda
dalam kitab-kitab fiqh tersebutlah yang menjadi awal mula sebuah
putusan yang berbeda-beda dalam lembaga Peradilan yang dapat

13
Hikmatullah (2017), Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia (Ajudikasi), Vol. 1 (2), hal. 43

14
menyebabkan berpecahnya kesatuan persepsi dalam penerapan
hukum.
Berangkat dari permasalahan tentang keseragaman dalam
peneteapan hukum inilah sebagai cikal bakal awal dari perumusan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) oleh Departemen Agama diadakan
dengan tujuan untuk mewujudkan kodifikasi dan unifikasi hukum
nasional bagi masyarakat terutama yang beragama Islam. Karena
pada masa pemerintahan Hindia-Belanda terjadi pengalihan
kewenangan peradilan agama untuk mengadili perkara kewarisan
kepada peradilan umum, maka pihak pemerintah mngeluarkan UU
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (kemudian diubah
menjadi UU No. 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7
tahun 1989 Tentang Peradilan Agama) yang didalamnya berisi
tentang tugas dan kewenangan untuk peradilan agama dalam
menuntaskan permasalahan orang-orang Islam tentang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah pada tingkat
pertama.14
Juga dipertegas dalam UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang didalamnya,
tepatnya pada pasal 10 menyebutkan bahwa lingkungan peradilan
di Indonesia ada 4 yakni peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dari pasal
tersebut bisa disimpulkan bahwa peradilan agama merupakan
lembaga hukum yang sama rata kewanangannya dengan lembaga
hukum peradilan-peradilan yang lainnya.15
Adanya gagasan rencana untuk menyusun Kompilasi Hukum
Islam (KHI) ini muncul selang waktu beberapa tahun setelah
Mahkamah Agung (MA) membentuk dan menaungi divisi teknik
yustisial Peradilan Agama yang berdasarkan UUD No. 14 tahun
1970 tentang kekuasaan pokok kehakiman pada pasal 2 (1) yang
14
Aulia Muthiah, Novy Sri Pratiwi Hardani. Hukum Waris Islam. (Yogyakarta: Medpress
Digital), 2015. Hal. 13
15
Hikmatullah (2017), Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia (Ajudikasi), Vol. 1 (2), Hal. 42

15
menyatakan “Pengadaan kekuasaan kehakiman tercantum pada
pasal 1 dilimpahkan pada lembaga-lembaga peradilan dan
ditetapkan undang-undang dengan tugas-tugas pokok untuk
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang di ajukan kepadanya”.16
b. Kewarisan dalam KHI
KHI menerapka ketentuan tentang hukum waris berdasarkan
dengan ketentuan faraid seperti yang tercantum pada QS. An-
Nisa’ ayat 11-12:
‫ُيوِص يُك ُم الَّلُه يِف َأْو الِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْث ُل َح ِّظ األْنَثَيِنْي َف ِإْن ُكَّن ِنَس اًء َفْو َق اْثَنَتِنْي َفَلُه َّن ُثُلَث ا َم ا‬
‫ِح ٍد ِم‬ ‫ِه ِل‬ ‫ِح‬
‫َتَر َك َو ِإْن َك اَنْت َو ا َد ًة َفَلَه ا الِّنْصُف َو ألَبَو ْي ُك ِّل َو ا ْنُه َم ا الُّس ُد ُس َّمِما َتَر َك ِإْن َك اَن َل ُه‬
‫ِد‬ ‫ِم‬ ‫ِه‬ ‫ِه‬
‫َو َلٌد َفِإْن ْمَل َيُك ْن َلُه َو َلٌد َو َو ِر َثُه َأَبَو اُه َفألِّم الُّثُلُث َفِإْن َك اَن َلُه ِإْخ َو ٌة َفألِّم الُّس ُد ُس ْن َبْع‬
‫ِص َّيٍة وِص ي ا َأ ٍن آ اُؤ ُك َأ َن اُؤ ُك ال َتْد وَن َأُّي َأ َلُك ْف ا َفِر ي ًة ِم الَّل ِه‬
‫ُه ْم ْقَر ُب ْم َن ًع َض َن‬ ‫ُر‬ ‫َهِب ْو َدْي َب ْم َو ْب ْم‬ ‫َو ُي‬

‫) َو َلُك ْم ِنْص ُف َم ا َتَر َك َأْز َو اُج ُك ْم ِإْن ْمَل َيُك ْن ُهَلَّن َو َل ٌد َف ِإْن‬١١( ‫ِإَّن الَّل َه َك اَن َعِليًم ا َح ِكيًم ا‬
‫ِم ِد ِص ٍة ِص‬
‫َك اَن ُهَلَّن َو َل ٌد َفَلُك ُم الُّر ُبُع َّمِما َتَر ْك َن ْن َبْع َو َّي ُيو َني َهِبا َأْو َدْيٍن َو ُهَلَّن الُّر ُبُع َّمِما َتَر ْك ُتْم‬
‫ِم ِد ِص ٍة‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ْن ْمَل َيُك ْن َلُك ْم َو َلٌد َف ْن َك اَن َلُك ْم َو َلٌد َفَلُه َّن الُّثُمُن َّمِما َتَر ْك ُتْم ْن َبْع َو َّي ُتوُص وَن َهِبا َأْو‬

‫َدْيٍن َو ِإْن َك اَن َرُج ٌل ُيوَر ُث َك الَلًة َأِو اْم َر َأٌة َو َلُه َأٌخ َأْو ُأْخٌت َفِلُك ِّل َو اِح ٍد ِم ْنُه َم ا الُّس ُد ُس َف ِإْن‬

‫َك اُنوا َأْك َثَر ِم ْن َذِل َك َفُه ْم ُش َر َك اُء يِف الُّثُلِث ِم ْن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُيوَص ى َهِبا َأْو َدْيٍن َغْيَر ُمَض اٍّر‬

)١٢(‫َو ِص َّيًة ِم َن الَّلِه َو الَّلُه َعِليٌم َح ِليٌم‬

(11)“Allah telah mensyara’kan kepada kalian tentang pembagian


(harta pusaka untuk) anak-anakmu, yakni bagian dari anak laki-laki
disamakan dua bagian anak perempuan. Serta apabila semuanya
adalah anak perempuan (yang jumlahnya) diatas dua anak, porsi
untuknya (anak-anak perempuan tersebut) adalah dua pertiga dari
harta peninggalan tersebut. Apabila anak perempuan itu tunggal,
maka dia mendapatkan (bagian) setengah. Dan orang tua (ayah

16
Ibid, 42

16
ibu), masing-masing (bagian) mereka seperenam, apabila yang mati
itu memiliki anak. Namun apabila yang mati tidak memiliki anak
dan hanya diwarisi kedua orang tuanya, maka ibunya memperoleh
(bagian) sepertiga. Apabila yang mati itu juga memiliki beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. Diberlakukan
(pembagian-pembagian tersebut) setelah terpenuhi wasiatnya (dan)
atau selepas terbayar hutangnya. Kedua orang tuamu serta anak-
anakmu, tidak pernah bisa kamu tahu sesiapapun diantaranya yang
lebih bermanfaatnya untukmu. Ini merupakan ketentuan Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(12)”Serta bagian kalian (suami-suami) mendapatkan bagian
setengah dari harta pusaka peninggalan istri-istrimu, apabila (istri-
istrimu) tidak memiliki anak. Namun apabila mereka (istri-istrimu)
memiliki anak, kamu mendapatkan bagian seperempat dari harta
pusaka yang ditinggalkan (istri-istrimu) selepas terpenuhi wasiat-
wasiat mereka (dan) atau setelah dibayar hutang-hutang mereka.
Para istri mendapatkan bagian seperempat dari harta pusaka
peninggalanmu apabila (kamu) tidak memiliki anak. Namun
apabila kamu memiliki anak, maka mereka (istri-istrimu)
mendapatkan bagian seperdelapan dari harta peninggalanmu
selepas terpenuhi wasiat (dan) atau selepas terbayar hutangmu.
Apabila diantara kalian ada yang meninggal, baik laki-laki ataupun
perempuan, tidak meninggalkan ayah dan anak, namun memiliki
saudara laki-laki atau perempuan (seibu) yang tunggal, maka
bagian yang mereka dapatkan (secara individu) dari kedua jenis
saudara itu seperenam dari harta pusaka yang kamu tinggalkan.
Namun apabila jumlah saudara-saudara (seibu) banyaknya diatas
satu, mereka secara bersama mendapat sepertiga bagian dari harta
pusaka selepas terpenuhi wasiat (dan) atau terbayar hutangnya
tanpa memberatkan (ahli waris lain). Demikianlah ketetapan Allah.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

17
Dari QS. An-Nisa’ ayat 11 dan 12 diatas (untuk bagian 2/3
terdapat dalam ayat 176) juga dapat dipahami bahwa telah
ditetapkan bagian – bagian yang diperoleh ahli waris,
pembagiannya seperti berikut:17
1) Dzawil Furudh (ahli waris yang mendapat bagian tertentu)
a. Dua pertiga (2/3):
a) 2 anak perempuan atau lebih
b) 2 saudara perempuan
b. Seperdua (1/2):
a) Suami, jika pewaris tidak memiliki anak
b) Saudara perempuan
c. Sepertiga (1/3):
a) Ibu, jikalau pewaris tidak ada anak
b) 2 saudara seibu atau lebih
d. Seperempat (1/4):
a) Suami, jika pewaris memiliki anak
b) Istri, jika pewaris tidak memiliki anak
e. Seperenam (1/6):
a) Bapak ibu, apabila pewaris memiliki anak
b) Saudara seibu laki-laki ataupun perempuan, jikalau
pewaris tidak memiliki ayah dan anak
f. Seperdelapan (1/8): Istri, apabila pewaris memiliki anak
2) Ashabah (ahli waris yang mendapat bagian sisa harta setelah
dibagikan kepada dzawil furudh), dibagi menjadi tiga:
a. Ashabah Binnafsi (ahli waris ashabah karena
kedudukannya sendiri)
a) Anak laki-laki
b) Cucu laki-laki
c) Ayah
d) Kakek
e) Saudara laki-laki sekandung
17
Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam
(Bandung:CV. Mandar Maju, 2009), Hal. 77 - 82

18
f) Saudara laki-laki seayah
g) Anak saudara laki-laki sekandung
h) Anak saudara laki-laki seayah
i) Paman
j) Anak paman, baik sekandung maupun seayah
b. Ashabah Bilghair (ahli waris perempuan yang mendapat
ashabah karena bersama dengan ahli waris laki-laki)
a) Anak perempuan bersama anak laki-laki
b) Cucu perempuan bersama cucu laki-laki pancar laki-laki
c) Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki
sekandung
d) Saudara perempuan seayah bersama saudara laki – laki
seayah
c. Ashabah Ma’al Ghair (ahli waris perempuan yang
mendapat ashabah apabila bersama perempuan yang tidak
menerima ashabah)
a) Saudara perempuan kandung bersama dengan anak
perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki, baik
seorang atau lebih
b) Saudara perempuan tunggal seayah bersama dengan anak
perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki, baik
seorang atau lebih
3) Dzawil Arhaam (ahli waris yang masih kerabat dengan pewaris,
namun tidak termasuk dalam dzawil furudh dan ashabah)
a) Anak dari anak perempuan
b) Anak dari saudara perempuan
c) Anak perempuan dari saudara laki-laki atau seayah
d) Anak perempuan dari saudara laki-laki ayah (paman)
e) Saudara laki-laki ayah seibu (paman seibu)
f) Saudara laki-laki ibu (paman)
g) Saudara perempuan ayah (bibi)
h) Saudara perempuan ibu (bibi)

19
i) bapak dari ibu (kakek)
j) Ibu dari bapaknya ibu (nenek buyut)’
k) Anak saudara laki-laki seibu
Dari pemaparan tentang pembagian perolehan harta waris
dalam Islam diatas, terdapat golongan ashabah binnafsi yang
mengkhususkan bagi ahli waris laki-laki saja untuk mendapatkan
sisa harta waris setelah dibagi dengan dzawil furudh, hal ini juga
berkaitan dengan asas keadilan berimbang diatas.
Dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) terdapat 3 bidang yang
diatur dan terbagi dalam 3 buku dengan terdiri 229 pasal, antara
lain yakni :18
1. Buku I Hukum Perkawinan (Pasal 1 - 170)
2. Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171 - 214)
3. Buku III Hukum Perwakafan (Pasal 215 - 229)
Menurut Intruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991, Pembentukan
serta penyebaran KHI ini dijadikan acuan yuridis pada pelaksanaan
praktik penyelesaian masalah – masalah masyarakat di Pengadilan
Agama atau intansi yang lainnya yang berkaitan dengan bidang-
bidang yang telah tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dalam buku II tentang hukum kewarisan, ketentuan/aturan yang
telah ditetapkan dalam KHI berdasarkan pada pandangan para
fuqaha, namun beberapa diantaranya terdapat pengecualian
seperti:19
1. Diperolehnya waris bagi anak angkat atau orang tua angkat
(pasal 171, 209 KHI)
2. Bagian harta waris ayah bukan menjadi ashabah, tetapi
mendapat 1/3 bagian apabila si pewaris meninggal tanpa adanya
far’u al-waris (keturunan dari jalur laki-laki, baik anak maupun
cucu) (pasal 177 KHI)

18
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: PT
Logos WacanaIlmu, 1999), Hal.. 12.
19
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1997),Hal. 196-198

20
3. Tidak adanya perincian tentang bagian dari Dzawil Arham
(kerabat pewaris yang tidak tercantum ashabul furud (ahli waris
utama) & ashabah (ahli waris yang memperoleh sisa harta)).
4. Metode penyelesaian Radd (kadar bagian yang berlebih),
apabila tidak ada yang mendapat ashabah maka ada
penambahan kadar bagian penerimaan terhadap ahli waris
lainnya.
5. Penjelasan tentang walad, dimana saudara sekandung (laki-laki
atau perempuan) tidak mendapat bagian jikalau beserta anak
laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki atau ayah.
6. Penegasan terhadap wasiat wajibah anak atau orang tua bukan
kandung (angkat) (pasal 209 KHI) dan penggantian tempat
orang tua yang mati lebih dulu daripada pewaris yang biasa
disebut dengan ahli waris pengganti (pasal 185 KHI).
Alasan yang menjadi pertimbangan mengapa KHI menetapkan
standarisasi hukum tentang kewarisan berdasarkan ketentuan
faraid selain berdasarkan nash dan doktrin para madzhab serta
ijtihad para ulama, penilaian secara objektif, realistis dan rasional
juga dilakukan untuk dijadikan pertimbangan tentang kesesuaian
perolehan hak serta kewajiban diantara laki-laki dan perempuan.
Perempuan berhak mendapatkan mahar, nafkah, tempat tinggal
dan hal lainnya yang berkaitan dengan kebutuhan materi,
sedangkan laki-laki memiliki kewajiban serta tanggung jawab
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materi perempuan yang
berhak mereka dapatkan. Sehingga Islam menempatkan laki-laki
memikul beban lebih berat dengan tujuan untuk menjaga,
melindungi dan menghidupi perempuan serta anak-anaknya yang
menjadikan laki-laki memperoleh bagian lebih banyak dalam
perolehan waris sebagai bagian dari hak yang diperoleh serta
beban kewajiban yang menjadi tanggung jawab seumur
hidupnya.20

20
Ibid, Hal. 104 - 108

21
Adapun rukun dan syarat dalam kewarisan, dimana 2 hal ini
selalu ada dalam segala kegiatan manusia. Rukun dapat diartikan
berarti sesuatu yang harus dilakukan sebagai bagian dari bentuk
pertanggungjawaban akan sahnya suatu pekerjaan, sedangkan
syarat merupakan petunjuk atau pedoman yang harus di penuhi
terlebih dahulu sebelum menjalankan rukun. Rukun-rukun yang
ada dalam kewarisan antara lain:21
1. Ahli waris (Al-Warits), orang yang berhak mendapat bagian dari
harta warisan
2. Pewaris (Al-Muwarits), orang yang meninggal dunia kemudian
harta warisannya
3. Harta waris (Al-Mauruts), segala kebendaan yang berharga yang
ditinggalkan oleh pewaris
Sedangkan untuk syarat – syarat waris antara lain yakni:
1. Telah meninggalnya seseorang, baik secara takdir maupun
hukum
2. Adanya ahli waris yang hidup setelah pewaris meninggal dunia,
meskipun seorang anak dalam kandungan
3. Tidak adanya sesuatu yang menjadikan ahli waris terhalang
dalam mewarisi harta benda pewaris.
c. Ahli Waris Pengganti menurut KHI
Ahli waris pengganti dalam Bahasa Arab disebut dengan
mawali, sedangkan dalam Burgelijk Wetboek (BW) ahli waris
pengganti ini disebut dengan Plaatsvervulling yang secara istilah
dapat diartikan bahwa seseorang yang menjadi ahli waris
dikarenakan seseorang tersebut menggantikan orang lain yang pada
awalnya mendapat bagian harta warisan yang disebabkan karena
orang lain yang sebenarnya mendapatkan harta waris tersebut
sebelumnya terlebih dulu tiada dari pewaris. Orang lain yang
menggantikan ahli waris yang sebenarnya merupakan keturunan

21
Ibid, 198 - 199

22
dari anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan orang
yang mengadakan perjanjian mewaris dengan pewaris.22
Dalam pandangan kalangan ahlu sunnah menentukan ahli
waris pengganti terbatas hanya pada keturunan anak laki-laki saja.
Bagian yang diperoleh cucu laki-laki dan cucu perempuan dari
anak laki-laki terbagi sebagai berikut:
1) Cucu laki-laki dari anak laki-laki mendapatkan hak
kewarisannya sama seperti anak laki-laki
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki terbagi menjadi empat (4)
bagian:
a) Seperdua (1/2), jika hanya seorang tanpa disertai anak laki-
laki atau dua anak perempuan
b) Dua pertiga (2/3), jika 2 orang atau lebih tanpa disertai anak
laki-laki atau anak perempuan
c) Seperenam (1/6), jika hanya seorang disertai dengan anak
perempuan
d) Ashabah, jika disertai adanya anak laki-laki dari anak laki-
laki
Ahli waris pengganti juga tercantum dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pada pasal 185, dimana pada ayat 1
disebutkan bahwa ahli waris pengganti hanya sebatas pada cucu.
Namun dalam praktik yang dijalankan oleh hakim Pengadilan
Agama tidak hanya mengacu pada ketentuan wasiat wajibah yang
ada dalam konsep Fiqh Mawarits, tetapi mengakulturasikan dengan
aturan-aturan yang tercantum pada hukum perdata (BW). 23 Dari
pernyataan tersurat dalam KHI pasal 185 (1) tersebut dapat
diketahui bahwa KHI telah mengakui dan mengesahkan bahwa ahli
waris pengganti merupakan sebuah inovasi yang bisa menjadi
alternatif untuk mengakomodasi pembagian harta waris bagi cucu
laki-laki atau perempuan dari garis keturunan perempuan yang

22
Dwi Putra Jaya, Hukum Kewarisan di Indonesia (Bengkulu: Zara Abadi, 2020), Hal. 131
23
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta:Prenada Media
Group, 2011), Hal. 81

23
terhijab (terhalang) baik karena orang tuanya meninggal terlebih
dahulu daripada ahli waris yang lain atau karena Dzawil Arham.24
2. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer)
a. Sejarah Hukum Perdata Indonesia
Perkembangan hukum Perdata yang ada di Indonesia ini
tidak bisa dipisahkan dengan histori dari negara-negara lainnya
terutama diwilayah Eropa, yang dapat diartikan bahwa
perkembangan hukum perdata di Indonesia sedikit banyaknya
memiliki korelasi dengan hukum di negara-negara lainnya.
Dikarenakan Indonesia yang dahulunya merupakan negara
dibawah kependudukan Hindia-Belanda, menyebabkan peraturan-
peraturan didalamnya terutama hukum perdata tidak jauh berbeda
dengan yang ditetapkan di Belanda. Menurut Kansil (1993:63),
1848 merupakan tahun krusial dalam sejarah di Indonesia dibidang
hukum dikarenakan pemberlakuan hukum privat dalam ranah untuk
golongan orang-orang Eropa , dijadikan dalam beberapa kodifikasi
berdasarkan ketentuan suatu sistem.25
Pengkodifikasian hukum perdata, tetap menganut asas
konkordansi (asas penyesuaian atau asas persamaan pemberlakuan
sistem hukum di Indonesia), sehingga dapat dikatakan bahwa
hukum Perdata yang diberlakukan di Indonesia sebenarnya
merupakan perpaduan atau campuran beberapa hukum yang
berasal dari hukum Romawi, hukum Perancis dan Belanda yang
kuno. Sehingga konsekuensinya adalah sebagian besar hasil
kodifikasi hukum perdata di Indonesia yang dilakukan pada tahun
1848 merupakan tiruan dari pengkodifikasian setelah diterapkan di
Belanda pada tahun 1838, dalam beberapa pengecualian sebagai
suatu upaya penyesuaian hukum yang diperuntukkan golongan
Eropa di Indonesia.26

24
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), Hal. 187-188
25
Rika Aryati, Hamzah Vensuri, M Febrianto (2022), Sejarah Berlakunya BW dan KUHPerdata
di Indonesia (Journal of Criminology an Justice), Vol. 2 (1), hal. 13
26
Ibid, 14

24
Disatu sisi, hukum perdata di Indonesia juga tidak lepas dari
pengaruh politik liberal di Belanda yang berupaya untuk
melakukan suatu perubahan-perubahan mendasar dalam tata
hukum kolonial, yang nantinya dari sini akan membuka lembaran
baru dalam pembinaan kebijakan kolonial di Indonesia (1840-
1860), dengan tujuan untuk membagi kewenangan dan kekuasaan
raja beserta aparat eksekutifnya terhadap daerah jajahan dan pihak
lainnya mengupayakan untuk memberi jaminan perlindungan
hukum yang pasti untuk seluruh masyarakat yang bermukim di
daerah jajahan tersebut. Kebijakan ini dikenal dengan sebutan de
bewuste rechtspolitiek. 27
Sumber yuridis utama yang dijadikan pedoman resmi oleh
Belanda dalam hukum perdata adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek (BW). Sebagian
besar isi dari KUHS ini merupakan hukum perdata Perancis, yakni
Code Napoleon (1811-1838) sebagai akibat dari penjajahan yang
dilakukan oleh Perancis terhadap Belanda. Code Napoleon ini
berasal dari Code Civil, yakni karangan tentang Hukum Romawi
yang diciptakan oleh para pengarang hukum dari Perancis
(Corpus Juris Civilis). Untuk beberapa peraturan yang belum
ditetapkan dimasa Romawi dimana tidak tercantum dalam Code
Civil, namun dipisahkan dalam sebuah kitab undang-undang yakni
Code de Commerce.28
Setelah kependudukan Perancis usai, dibentuk susunan
kepanitiaan yang ditugaskan untuk menyusun rencana kodifikasi
hukum perdata Belanda bersumberkan pada Code Napoleon serta
hukum Belanda Kuno. Perumusan hukum perdata Belanda ini
sebenarnya selesai sebelum 5 Juli 1830, namun baru diumumkan
secara resmi pada 1 Oktober 1838 dengan mengeluarkan dua kitab
undang – undang, yakni:
1. Burgerlijk Wetboek (KUH Sipil)
27
Ibid, 14
28
Ibid, 15

25
2. Wetboek van Koophandel (KUH Dagang)
Dari hukum perdata yang telah dikodifikasikan oleh Belanda tersebut,
ini merupakan sebuah contoh untuk pembentukan kodifikasi hukum
perdata yang ada di Indonesia sebagai bentuk dari asas
konkordansi. Pengkodifikasian ini diumumkan secara resmi pada
30 Juni 1847 (Staatsblad no. 23) kemudian diberlakukan 1 Mei
1848 di Indonesia.29
Yang menjadi landasan ketentuan tentang berlakunya Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) di Indonesia adalah
Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 amandemen keempat, yang
menyatakan bahwa semua peraturan perundang-undangan
bilamana telah ditetapkan masih berlaku sampai adanya undang-
undang baru yang ditetapkan.
Dari sini dapat dipahami bahwa selama peraturan yang baru
belum ada, maka peraturan perundang-undangan hasil dari masa
penjajahan Belanda tetaplah berlaku, termasuk hukum perdata.
Akan tetapi hukum dan atau peraturan perundangan-undangan
tersebut disesuaikan dengan berdasarkan pada falsafah Pancasila.
b. Kewarisan dalam KUHPer
Secara umum, hukum yang diyakini oleh masyarakat awam
terdapat 2 macam yakni hukum publik (hukum pidana) dan
hukum privat (hukum perdata). Hukum publik (hukum pidana)
adalah suatu aturan atau ketetapan yang mengatur segala hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum, sedangkan hukum privat
(hukum perdata) merupakan aturan yang ditujukan untuk
kepentingan-kepentingan antara satu subjek hukum dengan subjek
hukum yang lain.
Dalam hukum perdata sendiri dibagi menjadi 2 yakni hukum
perdata formil dan hukum perdata materiil. Hukum perdata formil
bertujuan untuk mengatur setiap subjek hukum agar tidak
dilanggar hak-haknya, sedangkan hukum perdata materiil

29
Ibid, 15

26
bertujuan untuk mengatur setiap kepentingan masing-masing dari
subjek hukum. Dari sini dapat dipahami bahwa hukum perdata
formil merupakan perisai bagi setiap orang sebagai bagian dari
terlaksananya fungsi hukum perdata materiil dengan baik.
Di Indonesia hukum perdata yang dijadikan acuan hingga
saat ini berasal dari hukum perdata barat yang disebut dengan
Burgelijk Wetboek (BW) dan telah dikodifikasikan menjadi Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). KUHPerdata ini
terbagi dalam 3 buku, antara lain:30
1. Buku I tentang orang, berisi 18 bab
2. Buku II tentang benda/barang, berisi 21 bab
3. Buku III tentang perikatan, berisi 18 bab
Dalam KUHPerdata buku II tentang benda/barang, tidak
mengatur tentang kebendaan, namun juga mengatur tentang
hukum kewarisan karena berdasarkan pada pasal 528
KUHPerdata yang berbunyi “atas suatu kebendaan, seseorang
dapat mempunyai baik suatu berkedudukan kuasa, baik hak waris,
baik hak pakai, baik hak pengabdian tanah, baik hak gadai atau
hipotek”. Dari pasal tersebut tercantum kata “kebendaan”, yang
berkaitan erat dengan pelaksanaan kewarisan yakni tentang
peralihan harta benda dari orang yang sudah meninggal.
Waris dalam bahasa Belanda disebut dengan Erfrecht.
Penjelasan tentang pengertian waris menurut KUHPerdata
terdapat pada pasal 830 yang menjelaskan bahwa “pewarisan
dapat dilakukan jika seseorang telah meninggal dunia”. Dari sini
bisa diartikan bahwa waris merupakan pemindahan harta benda
berharga (kekayaan) dari seseorang yang telah meninggal dunia
kepada orang lain. Dalam hukum waris BW terdapat tiga unsur
pokok yang harus terpenuhi dalam pelaksanaan kewarisan:31
1. Pewaris, orang yang meninggalkan harta bendanya (erflater)
30
Djaja S. Meliala, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung:
Penerbit Nuansa Aulia, 2018), Hal. 1
31
Dwi Putra Jaya, Hukum Kewarisan di Indonesia (Bengkulu: Zara Abadi, 2020), Hal. 21-22

27
2. Ahli waris, orang yang memperoleh hak untuk mendapat harta
dari pewaris (erfernus)
3. Harta waris, harta yang telah ditinggalkan pewaris
(erfergenaam)
Kewarisan dalam BW (KUHPerdata) tidak hanya
menitikberatkan pada sebuah peralihan harta benda saja, juga
termasuk didalamnya ada peralihan hak dan kewajiban dari
pewaris kepada orang yang mewarisi sebatas dalam hal yang
berkaitan dengan kebendaan, tidak termasuk pada kekeluargaan
atau kepribadian karena kegiatan waris-mewarisi ini tidak semua
orang bisa mendapat bagian dari harta warisan, akan tetapi tertuju
pada orang-orang yang memiliki pertalian darah dekat dengan
pewaris, yang menjadikan setiap ahli waris tersebut dapat
menuntut haknya untuk memperoleh bagian dari harta waris
tersebut (pasal 834 KUHPerdata).32
Dalam penggolongan ahli waris yang telah diatur dalam
KUHPerdata tersebut telah dibagi juga bagian-bagian perolehan
ahli waris dari empat golongan tersebut. Pembagiannya sebagai
berikut:33
a) Golongan pertama yang terdiri:
1. Anak-anak, masing-masing mendapat 1/3 bagian. Sedangkan
apabila anak lebih dahulu meninggal dunia daripada pewaris
dan anak itu mempunyai penerus nasab (cucu), sehingga
cucu itu mendapat bagian yang sama, dihitung berdasarkan
pancang. Sehingga apabila anak meninggalkan keturunan
lebih dari 1 orang, maka keturunan-keturunan dari anak
tersebut mendapat bagian 1/3 dibagi sejumlah keturunan dari
anak.
2. Suami/istri yang hidup lebih lama, mendapatkan bagian ¼
apabila beserta anak. Namun apabila suami/istri tidak

32
Ibid, 81-82
33
Surini Ahlan Sjarif, Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat: Pewarisan Menurut
Undang – Undang. (Jakarta: Prenada Media, 2018), Hal. 49

28
mempunyai anak atau anak dari suami/istri ini menolak harta
warisan (pasal 1057 KUHPerdata); dinyatakan tidak patut
menerima warisan (pasal 838 KUHPerdata), maka peralihan
harta warisan sepenuhnya diberikan kepada suami/istri yang
hidup lebih lama meskipun anak dari suami/istri tersebut
memiliki keturunan (cucu) akan tetapi keturunan dari anak
tersebut tertutup oleh suami/istri yang lebih lama hidup
karena suami/istri tersebut termasuk dalam golongan I dalam
ahli waris, kecuali suami/istri telah bercerai maka suami/istri
tersebut tidak berhak mendapatkan harta waris karena
perceraian menghilangkan hak mewaris dari suami – istri.
Apabila salah satu suami ataupun istri ini telah tiada dan
mempunyai anak kemudian melaksanakan perkawinan
keduanya yang juga memiliki anak, maka bagian suami/istri
dari perkawinan kedua tersebut mendapat bagian tidak lebih
dari ¼ dan sisanya dibagikan kepada sesama ahli waris
lainnya termasuk anak dari perkawinan pertama dan kedua.
b) Golongan kedua yang terdiri:
1. Orang tua (ayah ibu), dalam KUHPerdata bagian dari orang
tua dijamin tidak kurang dari ¼ dan sisanya dibagi rata
kepada saudara-saudara pewaris secara bersama baik laki-
laki maupun perempuan. Jika orang tua bersama seorang
saudara pewaris maka bagian dari orang tua adalah 1/3.
Sedangkan jika orang tua bersama 2 orang atau lebih saudara
dari pewaris maka bagian orang tua adalah ¼. Apabila hanya
ada salah satu orang tua yang hidup lebih lama baik ayah
atau ibu bersama seorang saudara dari pewaris, maka
ayah/ibu tersebut mendapat bagian ½, 1/3 jika ayah/ibu
bersama 2 orang saudara pewaris dan ¼ jika ayah/ibu
bersama lebih dari 2 orang saudara pewaris.
2. Saudara baik laki-laki maupun perempuan beserta
keturunannya, jika ayah dan ibu telah meninggal dunia maka

29
harta waris dibagikan kepada saudara-saudara pewaris secara
bersama dan sama rata. Apabila pewaris meninggalkan
saudara sekandung, saudara seayah dan saudara seibu maka
harta waris dibagi dua terlebih dahulu untuk masing-masing
saudara seayah dan seibu yakni ½. Kemudian ½ bagian ini
dihitung masing masing saudara seayah dan saudara seibu
bersama saudara sekandung, sehingga saudara sekandung
mendapat bagian dari jumlah penambahan total setelah
perhitungan pembagian saudara sekandung bersama saudara
seayah dan saudara seibu. Namun jika orang tua dari pewaris
masih hidup, maka bagian dari orang tua pewaris masing –
masing adalah ¼, yang kemudian sisanya yakni ½ (karena
bagian ayah ditambah ibu adalah ½) dibagi dua untuk
saudara seayah dan saudara seibu yakni masing – masing ¼.
Jikalau pewaris hanya meninggalkan saudara seayah dan
atau saudara seibu tanpa meninggalkan saudara sekandung
maka harta waris tersebut dibagi rata kepada saudara ayah
dan atau saudara seibu secara bersama.
c) Golongan ketiga yang terdiri:
1. Pertalian darah keluarga dari ayah dalam garis keatas,
mendapat bagian ½ yang kemudian dibagi rata secara
bersama dengan ahli waris lain yang sederajat yang masih
hidup dan lebih dekat hubungan kekerabatannya yakni kakek
dan nenek (ayah dan ibu dari ayah). Dalam pertalian darah
keluarga keatas tidak mengenal penggantian tempat karena
tertutup oleh kerabat keluarga yang memiliki hubungan
pertalian darah yang lebih dekat (pasal 834 KUHPerdata).
2. Pertalian darah keluarga dari ibu dalam garis keatas,
mendapat bagian yang sama dengan kerabat keluarga dari
ayah dalam garis keatas yakni ½ yang juga dibagi sama rata
dengan ahli waris lainnya yang sederajat yakni kakek dan
nenek (ayah dan ibu dari ibu). Penggantian tempat dalam

30
pertalian darah keluarga ibu garis keatas juga tidak berlaku
karena tertutup oleh ahli waris yang mempunyai pertalian
darah kerabat yang terdekat.
d) Golongan keempat, Dalam pembagian harta waris golongan
keempat ini memiliki bagian yang sama dengan golongan
ketiga yakni dibagi dua untuk kerabat baik dari ayah dan ibu
sampai dengan derajat yang keenam, seperti paman dan bibi
serta keturunannya dengan syarat apabila pewaris sudah tidak
memiliki orang tua dan saudara (golongan II) dan hanya ada
saudara dari salah satu pertalian darah garis lurus keatas baik
dari ayah maupun ibu (golongan III) dengan prinsip bahwa
kerabat yang terdekat dari pewaris menghalangi kerabat yang
lebih jauh dari pewaris serta tidak berlaku adanya penggantian
tempat.
c. Ahli Waris Pengganti menurut KUHPerdata
Hukum kewarisan berdasarkan KUHPerdata membagi
macam-macam ahli waris menjadi 2, yakni ahli waris dikarenakan
posisinya sendiri (uit efgen hoofde) dan ahli waris dikarenakan
menggantikan posisi ahli waris lain (bij plaatsvervulling).34 Ahli
waris karena kedudukannya merupakan orang yang menjadi ahli
waris karena adanya ikatan perkawinan antara suami dan istri
yang berdampak pada terjalinnya hubungan kekerabatan melalui
anak keturunan, orang tua, kakek/nenek, saudara, tanpa
membedakan umur maupun jenis kelamin (pasal 852 (1)
KUHPerdata).
Sedangkan untuk ahli waris karena penggantian tempat
adalah orang yang pada awalnya tidak termasuk dalam ahli waris,
namun kedudukannya berubah menjadi ahli waris ketika ada ahli
waris utama yang sudah meninggal dunia terlebih dahulu daripada
pewaris (pasal 841 KUHPerdata). Contohnya seperti seorang
yang meninggal dunia (pewaris) yang seharusnya anaknya
34
Djaja S. Meliala, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung:
Penerbit Nuansa Aulia, 2018), Hal. 10

31
menjadi ahli warisnya namun anak dari pewaris tersebut (ahli
waris) sudah tiada lebih dulu, namun ahli waris itu sebelum
meninggal dunia telah mempunyai seorang anak (cucu pewaris).
Dalam keadaan ini si cucu pewaris yang awal kedudukannya
bukan termasuk ahli waris pada akhirnya dapat menempati
kedudukan ahli waris dikarenakan si cucu pewaris tersebut
menempati tempat yang semula ahli warisnya merupakan anak
dari pewaris, namun ahli waris tersebut telah meninggal dunia
lebih dulu sebelum si pewaris.
Ahli waris pengganti dalam KUHPerdata terbagi dalam tiga
macam penggantian (representatie), yakni penggantian dalam
garis lurus kebawah, penggantian dalam garis kesamping dan
penggantian dalam garis kesamping menyimpang. Dalam hal
penggantian ahli waris, KUHPerdata menetapkan bahwa
kedudukan seorang ahli waris pengganti pada saat menggantikan
tempat orang tuanya adalah mutlak, yang berarti semua urusan
yang berkaitan dengan kewarisan baik hak maupun kewajiban
yang seharusnya ditanggung oleh orang tuanya, telah menjadi
tanggung jawab dari si ahli waris pengganti.35
a. Penggantian tempat garis kebawah
Setiap anak yang meninggal lebih dahulu dari orang tuanya,
maka yang menggantikan anak yang menjadi ahli waris adalah
anaknya dari anak yang menjadi ahli waris yang tiada lebih
dulu tersebut (cucu). Dan apabila anak dari ahli waris yang
sudah tiada tersebut ternyata juga telah meninggal dunia, maka
yang menggantikannya adalah anaknya dari anaknya dari anak
yang menjadi ahli waris yang lebih dulu tiada tersebut (cicit),
seterusnya begitu tanpa ada batas dalam garis keturunan
kebawah dengan pengecualian khusus apabila ahli waris
pengganti yang menolak atau tidak patut menerima warisan,
sehingga anak keturunan dari seorang yang menolak atau tidak

35
Dwi Putra Jaya, Hukum Kewarisan di Indonesia (Bengkulu: Zara Abadi, 2020), Hal. 141 - 143

32
patut untuk menempati ahli waris pengganti itu juga tidak bisa
menggantikan kedudukannya tetapi menjadi ahli waris sendiri
b. Penggantian dalam garis kesamping
Apabila pewaris memiliki saudara (kandung maupun tiri) dan
telah lebih dulu meninggal dunia dari pewaris, maka anak
keturunan dari saudara-saudaranya tersebut (kandung maupun
tiri) dapat menggantikan kedudukannya.
c. Penggantian dalam garis kesamping menyimpang
Penggantian tempat ahli waris dalam garis kesamping
menyimpang ini berkaitan dengan pertalian darah yang lebih
jauh, baik dari ayah maupun ibu hingga derajat keenam. Hal
ini dapat terjadi apabila orang tua dari pewaris keduanya telah
meninggal dunia terlebih dahulu, maka yang dapat
menggantikan kedudukan kedua orang tua dari pewaris adalah
paman & bibi beserta keturunan – keturunannya serta kakek
dan nenek.
Adapun syarat-syarat seseorang terpenuhi sebagai ahli waris
pengganti pada Pasal 860-866 KUHPerdata yakni:
a) Orang yang telah mencukupi dalam kualifikasinya menjadi
seorang ahli waris dan harus masih hidup serta ketika pewaris
mati serta tidak boleh menolaknya (onwaardig)
b) Ahli waris yang digantikan tempatnya telah benar-benar
dinyatakan sudah meninggal
c) Orang yang bertindak sebagai ahli waris pengganti harus
merupakan keturunan sah dari ahli waris yang telah
meninggal.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis metode penelitian yang digunakan oleh
penulis adalah metode penelitian normatif-empiris, yakni peneliti
melakukan menelaah konsep-konsep hukum serta mengumpulkan teori
dari berbagai macam sumber baik sumber tertulis maupun sumber lisan

33
kemudian dikaji dan disusun secara sistematis untuk mendapatkan suatu
kesimpulan dengan tujuan untuk menemukan solusi atau menjawab
permasalahan yang dibahas yang berkaitan dengan masalah yang diteliti
yaitu kedudukan hukum ahli waris pengganti menurut KHI &
KUHPerdata serta pandangan hakim pengadilan agama dan pengadilan
negeri tentang pasal ahli waris pengganti dalam KHI dan KUHPer
tersebut.
Berdasarkan judul penelitian ini yaitu “Studi Komparatif Tentang
Kedudukan Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
(Perspektif Hakim Pengadilan Agama Mojokerto dan Hakim
Pengadilan Negeri Mojokerto)”, maka penelitian ini menggunakan
penelitian kualitatif. Pendekatan kualitatif yaitu pendekatan penelitian
yang menghasilkan data deskriptif baik berupa kata, kalimat yang
disusun secara sistematis. Untuk mendapatkan data, pendekatan
kualitatif menggunakan cara seperti, bertemu dan berhadapan langsung
dengan informan / objek peneliti untuk melakukan wawancara.
2. Kehadiran Peneliti
Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti yakni penelitian
normatif yang menyatakan bahwa kehadiran peneliti sangat penting.
Selain menjadi alat pengumpulan data, analisis dan merekam
interpretasi data yang telah dikumpulkan, peneliti merupakan
intstrumen yang penting dalam memahami suatu makna.
3. Data dan Sumber Data
Peneliti membagi/mengklasifikasikan sumber – sumber data yang
diperoleh dan dijadikan sebagai bahan penelitian menjadi dua jenis,
yatu :
a) Bahan Hukum Primer, mengacu pada pengumpulan data dan
informasi pada buku, jurnal dan dokumentasi hukum
b) Bahan Hukum Sekunder, mengutip data dan informasi yang
bersumber dari internet yang memiliki relevansi terhadap penelitian
yang dikaji.

34
4. Metode Pengumpulan Data
Adapun Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi merupakan pengamatan yang dilakukan pada objek yang
ada di tempat penelitian dengan cara mencatat fenomena-fenomena
yang terjadi.36 Observasi dilakukan dengan cara melihat,
mendengarkan, dan kemudian dicatat subjek dalam penelitiannya.
Mengacu pada pedoman observasi yang disusun oleh penulis, maka
dari itu, dalam penelitian ini penulis turun langsung ke lokasi
penelitian yaitu di Pengadilan Agama Mojokerto dan Pengadilan
Negeri Mojokerto.
b. Wawancara
Wawancara yaitu proses tanya jawab antara dua orang atau lebih
dengan cara duduk berhadapan baik secara fisik dan membahas
mengenai suatu masalah tertentu. Wawancara juga merupakan
metode pengumpulan data yang menghendaki komunikasi secara
langsung antara peneyelidik dengan subjek atau responden. Teknik
wawancara sendiri memiliki tujuan untuk mengumpulkan
informasi.37 Peneliti akan melakukan wawancara langsung kepada
perwakilan majelis hakim dari masing Pengadilan Agama
Mojokerto dan Pengadilan Negeri Mojokerto guna memperoleh
data dan informasi lebih mendalam terkait pandangan mereka
tentang ketentuan ahli waris yang ditetapkan dalam KHI dan
KUHPer
c. Literature review
Literature review merupakan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti dengan menggunakan sejumlah buku, jurnal, artikel yang
berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Teknik ini
dilakukan dengan tujuan untuk mengungkapkan berbagai teori-teori

36
Jonedi Efendy dan Johny Ibrahim, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Jakarta: Prenata Media Group, 2011) hlm. 78
37
Chalid Narbuka & Abu Ahmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009) hlm, 83.

35
yang relevan dengan permasalahan yang diteliti sebagai bahan
rujukan dalam pembahasan hasil penelitian. Sumber Pustaka yan
digunakan dalam penyusunan skripsi dengan literature review ini
melalui website jurnal seperti google scholar, pasal 185 KHI dan
pasal 841 KUHPer, literatur buku, jurnal, serta sumber internet
yang relevan dengan mengutip bagian – bagian yang berkaitan
dengan pokok pembahasan penelitian.
5. Pengecekan Keabsahan Data
Uji keabsahan data memiliki tujuan untuk memeriksa atau
menghindari kurangnya penelitian atau beberapa kesalahan dari data
yang sudah dikumpulkan. Penelitian ini menggunakan Teknik
triangulasi. Triangulasi dibedakan menjadi tiga yaitu: triangulasi
metode, triangulasi teori, dan triangulais sumber data. 38 Triangulasi
yang digunakan peneliti pada penelitian ini merupakan triangulasi
sumber data, dimana peneliti menggali kebenaran informasi yang
didapat dengan menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen,
hasil wawancara, hasil observasi atau bahkan dengan mewawancarai
lebih dari satu subjek yang memilki sudut pandang berbeda.
6. Analisis Data
Analisis data adalah proses penyusunan dan penafsiran data yang
bersifat deskriptif dengan menjabarkan serta menjelaskan
permasalahan yang diangkat dengan tujuan agar dapat dipahami lebih
mudah poin-poin utama yang dikaji dan diteliti. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan dua metode untuk menganalisis data, yakni :
a) Metode Deduktif, yakni berfikir secara analitik dengan
menjabarkan suatu informasi yang bersifat umum kemudian di
fokuskan pada realita kehidupan yang khusus
b) Metode Komparatif, yakni melakukan suatu perbandingan terhadap
persamaan dan perbedaan pada objek yang memiliki ranah sama.
7. Tahap-tahap Penelitian
a) Tahap Perencanaan
38
Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metodologi Penelitian Survey, (Jakarta: LP3IES, 1982),
hlm. 63

36
Ditahap awal peneliti melakukan studi kepustakaan berupa
pencarian sumber tertulis yang berkaitan dengan fokus
permasalahan yang diangkat
b) Tahap Penerapan
Pada tahap ini peneliti menggunakan sumber-sumber tertulis yang
sudah ditemukan dalam penyusunan proposal, dimulai dari analisis
data, pengecekan keabsahan data serta menggali sumber informasi
lebih dalam lagi sebagai unsur tambahan dalam penelitian
c) Tahap Penulisan
Hasil dari pencarian dan pengumpulan sumber-sumber yang
dibutuhkan dalam penelitian, ditahap ini penulis memulai penulisan
laporan, konsultasi hasil penelitian kepada pembimbing, perbaikan
penulisan laporan dan mengurus perlengkapan ujian munaqosah.
H. Sistematika Pembahasan
Berdasarkan hasil pemaparan ringkas diatas, dalam skripsi ini
peneliti akan menyusun penelitian ini dalam 5 bab agar setiap pembahasan
dapat dikorelasikan dengan pembahasan lain sehingga dapat membentuk
suatu uraian yang sistematis.
1. BAB I : dalam bab ini akan menjabarkan beberapa penjelasan sebagai
pengantar/pendahuluan dalam penelitian ini yang didalamnya terdiri
atas tujuh sub-bab. Dimulai dari konteks penelitian/latar belakang
masalah, fokus penelitian/rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian dan penelitian terdahulu/telaah pustaka.
2. BAB II : bagian ini merupakan landasan teori/kajian teoritis yang
berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPer), masing-masing didalamnya berisi
sub bab yang memaparkan secara ringkas tentang sejarah, ketentuan
tentang kewarisan dan ahli waris pengganti
3. BAB III : pada bagian ini akan memaparkan metode penelitian yang
digunakan oleh peneliti dalam menyusun penelitian ini yang berisi
pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian,

37
sumber data, teknik pengumpulan data, pengecekan keabsahan data dan
analisis data.
4. BAB IV : dibagian ini berisi tentang pemaparan data dan temuan
penelitian yang meliputi gambaran umum lokasi penelitian, paparan
data dan temuan penelitian
5. BAB V : dibagian ini akan langsung berfokus menjelaskan tentang
kedudukan ahli waris pengganti berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer).
6. BAB VI : dibab ini peneliti akan menguraikan tentang pandangan
hakim terhadap ahli waris pengganti berdasarkan KHI serta
KUHPerdata. Dalam bab ini akan terdiri dari beberapa sub-bab yang
berisi tentang pandangan hakim Pengadilan Agama Mojokerto dan
hakim Pengadilan Negeri Mojokerto berkaitan dengan ketentuan ahli
waris pengganti yang telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
7. BAB VII : ini adalah bagian bab penutup. Pada bagian penutup ini
peneliti akan mencantumkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan
meliputi kesimpulan dan saran, dilengkapi dengan daftar pustaka
dengan tujuan untuk mengetahui sumber-sumber yang dijadikan
sebagai bahan referensi untuk mengumpulkan data dan informasi yang
dibutuhkan.
I. Rencana Daftar Isi
I. Bagian awal
A. Halaman sampul
B. Halaman judul
C. Halaman persetujuan
D. Halaman pengesahan
E. Halaman moto
F. Halaman pernyataan keaslian tulisan
G. Halaman abstrak
H. Kata pengantar

38
I. Daftar isi
II. Bagian inti
A. BAB I PENDAHULUAN
1. Konteks Penelitian
2. Fokus Penelitian
3. Tujuan Penelitian
4. Kegunaan Penelitian
5. Penelitian Terdahulu
B. BAB II LANDASAN TEORI
1. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
a. Sejarah Perumusan KHI
b. Kewarisan dalam KHI
c. Ahli Waris Pengganti Menurut KHI
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
a. Sejarah Hukum Perdata Indonesia
b. Kewarisan dalam KUHPer
c. Ahli Waris Pengganti Menurut KUHPer
C. BAB III METODE PENELITIAN
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
2. Kehadiran Peneliti
3. Lokasi Penelitian
4. Data dan Sumber Data
5. Metode Pengumpulan Data
6. Pengecekan Keabsahan Data
7. Analisis Data
D. BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
2. Paparan Data
3. Temuan Penelitian
E. BAB V KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI MENURUT
KHI DAN KUHPER
1. Ahli Waris Pengganti dalam Perspektif KHI

39
2. Ahli Waris Pengganti dalam Perspektif KUHPer
F. BAB VI PERSPEKTIF HAKIM TENTANG KETENTUAN AHLI
WARIS PPENGGANTI DALAM KHI DAN KUHPER
1. Perspektif Hakim Pengadilan Agama Mojokerto
2. Perspektif Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto
G. BAB VII PENUTUP
a) Kesimpulan
b) Saran
III. Bagian akhir
A. Daftar rujukan
B. Lampiran-lampiran
C. Riwayat hidup

DAFTAR PUSTAKA

40
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)

Aulia Muthiah, Novy Sri Pratiwi Hardani. Hukum Waris Islam. (Yogyakarta:
Medpress Digital), 2015.

Chalid Narbuka & Abu Ahmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: PT Logos WacanaIlmu, 1999)

Djaja S. Meliala, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata, (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2018)

Dwi Putra Jaya, Hukum Kewarisan di Indonesia (Bengkulu: Zara Abadi, 2020)

Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia


(Jakarta:Prenada Media Group, 2011)

Hikmatullah (2017), Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum


Islam di Indonesia (Ajudikasi), Vol. 1 (2)

Iim Fahimah (2018), Sejarah Perkembangan Hukum Waris di Indonesia


(NUANSA), Vol. XI (2).

Jonedi Efendy dan Johny Ibrahim, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, (Jakarta: Prenata Media Group, 2011)

Maman Suparman. Hukum Waris Perdata. (Jakarta: Sinar Grafika), 2015.

Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metodologi Penelitian Survey, (Jakarta:


LP3IES, 1982)

Munarif, Asbar Tantu (2022), Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata di
Indonesia (Studi Perbandingan), ALMASHADIR, Vol. 4 (2)

Oemar Moechtar. Perkembangan Hukum Waris : Praktik Penyelesaian Sengketa


Waris di Indonesia. (Jakarta: Prenadamedia Grup). 2019

Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi Kompilasi Hukum


Islam (Bandung:CV. Mandar Maju, 2009)

41
Rika Aryati, Hamzah Vensuri, M Febrianto (2022), Sejarah Berlakunya BW dan
KUHPerdata di Indonesia (Journal of Criminology an Justice), Vol. 2 (1)

Siska Lis Sulistiani. Hukum Perdata Islam (Penerapan Hukum Keluarga dan
Hukum Bisnis Islam di Indonesia). (Jakarta:Sinar Grafika), 2018.

Sukris Sarmadi. Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi


Hukum Islam dan Fiqh Sunni). Yogyakarta: Aswaja Pressindo. 2013

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan


Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997)

Supriyadi, Pilihan Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Pluralistik (Studi


Komparasi Hukum Islam dan Hukum Perdata), AL-‘ADALAH, Vol. XII
(3). 2015

Surini Ahlan Sjarif, Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat: Pewarisan
Menurut Undang – Undang. (Jakarta: Prenada Media, 2018)

Teungku Muhammad hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris (Semarang: PT.


Pustaka Rizki Putra, 2002.

Wenny Welia Sari, Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 185 dan Hazairin, Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari’ah
dan Ekonomi Islam IAIN Curup, 2019.

42

Anda mungkin juga menyukai