Anda di halaman 1dari 65

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penuaan adalah hal alami bagi setiap individu. Mekanisme penuaan terjadi

bertahap pada semua bagian tubuh serta organ. Jenis penuaan terdapat dua jenis,

yakni penuaan kronologis serta biologis. Adapun penuaan kronologis termasuk

penuaan yang tidak bisa dihambat, dalam hal ini seperti bertambahnya usia.

Sedangkan penuaan biologis termasuk penuaan yang bisa dihambat melalui

pencegahan penyakit ataupun mekanisme penuaan itu sendiri. Hal ini dipelajari

dalam ilmu Anti Aging Medicine.

Anti Aging Medicine diprakarsai mulai 1993, dimana berpandangan bahwa

penuaan serupa sebuah penyakit. Sehingga dengan dasar pandangan sebagai

penyakit, penuaan bisa dicegah serta diobati sehingga penuaan itu berjalan dengan

lambat bahkan ditiadakan. Hal itu membuat manusia berupaya untuk tidak

menjadi tua dengan berbagai upaya terapi. Namun terapi ini masih butuh diteliti

lebih lanjut sebab ilmu ini masih baru (Pangkahila 2007). Saat ini teori penyebab

penuaan mulai berkembang, dengan ini sebagai dasar untuk upaya mencegah

penuaan guna mencapai individu yang panjang umur dalam keaadaan sehat serta

kualitas yang baik.

1
2

Penyebab penuaan dibedakan menjadi dua faktor, yakni faktor internal

serta eksternal. Adapun faktor internal terdiri dari radikal bebas, perubahan

hormon, metilasi, kerusakan sel glikosilasi, serta penurunan kondisi kekebalan

tubuh. Sementara faktor eksternal terdiri dari polusi, tingkat stres, ekonomi, serta

gaya hidup (Pangkahila 2011). Secara khusus penuaan pada kulit terjadi akibat

faktor eksternal seperti konsumsi alkohol serta rokok, asupan nutrisi, serta

paparan sinar ultraviolet (UV). Adapun paparan sinar UV secara berulang bisa

mengakibatkan photoaging. Adapun photoaging sering terjadi dibagian kulit yang

terkena langsung matahari, contohnya wajah, lengan, serta dada. Gejala yang bisa

muncul akibat photoaging bisa berupa kulit mengalami kerutan, kasar, lesi

pigmen, serta sampai keganasan (Geng, dkk., 2021).

Sinar matahari merupakan sumber utama sinar UV. Sinar UV terdiri dari

tiga jenis, yaitu UVA, UVB, dan UVC. Pada UVA panjang gelombang yang

dimiliki yaitu 320-400 nm, UVB memiliki panjang gelombang 280-320 nm dan

UVC memiliki panjang gelombang 100-280 nm. Sinar UV yang memiliki

kemampuan merusak hingga menembus lapisan dermis dan serat kolagen adalah

sinar UVB (Krutmann, 2011).

Radikal bebas pada sel atau disebut reactive oxygen species (ROS)

disebabkan akibat kerusakan sel cross-linking pada basa pirimidin. Hal ini terjadi

akibat paparan sinar UVB melebihi dosis serta secara berulang dalam waktu yang

lama. Hal ini juga mengakibatkan degradasi kolagen yang makin tinggi.

Mekanisme peningkatan degradasi kolagen berawal dari paparan sinar UVB


3

mengakibatkan terbentuknya ROS yang selanjutnya menginduksi matriks

metalloproteinase (MMPs). Mekanisme induksi matriks metalloproteinase

(MMPs) menyebabkan juga penurunan Transforming Growth Faktor-beta (TGF-

ß) (Alam and Havey 2010; Krutmann 2011).

Kolagen termasuk suatu protein dalam tubuh dengan fungsi sebagai

pelindung organ dari trauma luar serta bisa direnggangkan menjadi kulit. Kolagen

pada kulit terdiri dari kolagen tipe I, III, IV, V, VII serta XVII (Lawton 2019).

Proses kerusakan kolagen akibat photoaging diawali dengan kolagen

mengalami glikasi. Glikasi yakni reaksi non enzimatik, dimana gula mereduksi

molekul matriks ekstraseluler kolagen serta protein. Akibat hal ini kolagen

mengalami kehilangan kelenturan sehingga tidak bisa kembali seperti kondisi

semula. Selain mengalami glikasi, kolagen juga mengalami degradasi serta

terhambatnya pertumbuhan prokolagen (Geng, dkk., 2021). Degradasi kolagen

berpengaruh terhadap percepatan penuaan kulit, dimana akan lebih cepat terjadi

keriput, kelenturan kulit menurun, dan sebagainya.

Salah satu pencegah serta penghambat proses tersebut yakni antioksidan.

Secara mandiri kulit telah mengandung antioksidan seperti superoksida dismutase

(SOD), katalase, glutation peroksidase, tokoferol (vitamin E), koenzim Q10

(CoQ10), asam askorbat (vitamin C) serta karotenoid, namun jumlah yang

terkandung belum efektif guna mengatasi stress oksidatif yang dialami (Yaar dan

Gilchrest, 2008). Akibat jumlah yang tidak memadai, membuat tubuh butuh

asupan antioksidan dari luar melalui konsumsi suplemen antioksidan. Suplemen


4

ntioksidan yang terdapat dipasaran mengandung senyawa senyawa fenol golongan

flavonoid seperti vitamin C serta antosianin.

Mekanisme perlindungan kolagen dari dampak sinar UV oleh vitamin C

dengan cara menetralisasi radikal bebas pada kulit melalui donasi elektron.

Sedangkan mekanisme antosianin mencegah kerusakan kolagen melalui cara

mencegah terjadinya degradasi kolagen matur serta penurunan kolagen baru

akibat faktor transkripsi (Apak et al. 2007; Telang 2013).

Umbi bit merah termasuk sumber antosianin serta senyawa fenolik tingkat

tinggi. Sebuah tanaman seperti umbi bit merah (Beta vulgaris) juga dikenal

sebagai akar bit. Di Indonesia umbi bit merah sudah mulai banyak dikembangkan,

khususnya di Pulau Jawa terutama di daerah Cipanas, Lembang, Pengalengan,

Batu dan Kopeng. Umbi bit yang dijual di Indonesia sebagian besar dari daerah

tersebut (Fardiaz 2013).

Pigmen betalain, yang memberi warna ungu kemerahan pada umbi bit

merah, adalah komponen yang paling penting. Umbi bit dalam beberapa

penelitian meupakan sepuluh buah yang memiliki konsentrasi antioksidan

terbesar. Ada dua subkelas betalain, yaitu betacyanin (merah violet) dan

betaxanthin (kuning oranye). Kedua subkelas tersebut termasuk pigmen nitrogen

yang larut dalam air. Betacyanin, sering dikenal sebagai betanin, yakni komponen

betalain utama yang ada dalam umbi bit. Ada hubungan diantara aktivitas pH,

cahaya, udara, serta air pada bit merah dengan kualitas betalain pigmen tumbuhan

tersebut, dengan pigmen lebih stabil pada pH 5,6 dibandingkan pada suhu
5

serendah 14oC (Mastuti, dkk., 2010). Konsentrasi antioksidan pada umbi bit

merah yakni 1,98 mmol/100 g, menjadikannya satu dari makanan yang paling

kaya antioksidan. Flavonoid (350-2760 mg/kg), betacyanin (840-900 mg/kg),

betanin (300-600 mg/kg), asam askorbat (50-868 mg/kg), serta karotenoid (0,44

mg/kg) merupakan mayoritas komposisi antioksidan bit merah (Ananda 2008). Bit

merah juga termasuk umbi-umbian yang mudah diperoleh di pasar tradisional

Indonesia (Nanda 2014).

Untuk mengetahui apakah ekstrak bit dapat menekan ekspresi MMP1 dan

menghambat penurunan kadar kolagen pada kulit tikus Wistar yang terpapar sinar

radiasi UV-B, peneliti ingin menguji hipotesis ini dengan memakai ekstrak bit

merah (Beta vulgaris). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam

upaya pencegahan dan terapi baru terhadap penuaan kulit di masa yang akan

datang.

1.2 Rumusan masalah


1. Apakah krim ekstrak Umbi bit merah (Beta vulgaris) secara topikal bisa

menghambat peningkatan ekspresi MMP 1 pada kulit tikus Wistar yang

dipapar sinar ultraviolet B?

2. Apakah krim ekstrak Umbi bit merah (Beta vulgaris) secara topikal bisa

menghambat penurunan jumlah kolagen pada kulit tikus Wistar yang

dipapar sinar ultraviolet B?


6

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan ekstrak bit (Beta

vulgaris) untuk menekan peningkatan ekspresi MMP1 dan mengurangi jumlah

kolagen di kulit tikus Wistar yang terpapar UV, dan untuk mengurangi efek

paparan sinar UVB.

1.3.2 Tujuan Khusus

Sesuai uraian rumusan masalah, tujuan khusus dari penelitian ini yakni :

1. Guna pembuktian bahwasanya krim ekstrak Umbi bit merah (Beta

vulgaris) Secara topikal, dapat menghambat peningkatan ekspresi MMP1

pada kulit tikus Wistar yang terpapar sinar UV-B.

2. Guna pembuktian bahwasanya krim ekstrak Umbi bit merah (Beta

vulgaris) secara topikal bisa menghambat penurunan jumlah kolagen pada

kulit tikus Wistar yang dipapar sinar ultraviolet B.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

Untuk menambah pengetahuan mengenai krim ekstrak Umbi bit merah (Beta

vulgaris) menghambat peningkatan ekspresi MMP 1 dan penurunan jumlah

kolagen pada kulit yang dipapar sinar ultraviolet B.


7

1.4.2 Manfaat praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan masukan mengenai krim ekstrak Umbi bit merah (Beta

vulgaris) Di masa depan, akan menekan peningkatan ekspresi MMP1 dan

penurunan jumlah kolagen di kulit yang terpapar UVB

2. Hasil penelitian ini dapat menjadi prosedur yang spesifik dalam

mengetahui pengaruh ekstrak Umbi bit merah (Beta vulgaris) Sebagai

anti-penuaan kulit berkualitas tinggi, aman dan memiliki khasiat.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya

mengenai kemungkinan krim ekstrak Umbi bit merah (Beta vulgaris)

menghambat peningkatan ekspresi MMP 1 dan penurunan jumlah kolagen

pada kulit yang dipapar sinar ultraviolet B di masa mendatang.


8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Proses Penuaan

2.1.1. Teori Penuaan

Konsep mencegah penuaan melalui pandangan penuaan seperti sebuah

penyakit. Sehingga dengan dasar pandangan sebagai penyakit, penuaan dapat

dicegah dan diobati sehingga penuaan itu berjalan dengan lambat bahkan

ditiadakan. Hal itu membuat manusia berupaya untuk tidak menjadi tua dengan

berbagai upaya terapi. Namun terapi ini masih perlu diteliti lebih lanjut karena

ilmu ini masih baru (Pangkahila, 2007).

Menurut American Academy of Anti Aging Medicine (A4M), penuaan

adalah fisik dan mental yang mengalami kegagalan yang berhubungan dengan

penambahan usia dan disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat dicegah

dengan intervensi kedokteran yang tepat (Goldman and Klatz 2017).

Secara umum teori penuaan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu teori

keausan dan teori program. Teori keausan menunjukkan bahwa tubuh menua

hingga mati karena akumulasi kerusakan pada tubuh, baik itu kerusakan DNA,

organ, atau efek radikal bebas. Sedangkan berdasarkan prinsip teori program,

bahwa penuaan terjadi karena tubuh telah memprogram jam biologis, teori ini

meliputi reproduksi terbatas, proses imun dan teori neuroendokrin (Pangkahila,

2011).

8
9

2.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Penuaan

Proses penuaan disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal disebabkan oleh faktor fisiologis dari dalam tubuh. Faktor intrinsik

terdiri dari genetik, keadaan fisik, dan keadaan mental. Faktor genetik merujuk

pada gen pada DNA seseorang yang memiliki komponen gen yang membawa

kecenderungan penyakit tertentu. Proses penuaan terjadi karena perlambatan

pergantian sel-sel yang rusak sehingga banyak organ akan terjadi penurunan

fungsi normalnya. Keadaan fisik merupakan kondisi organ, daya tahan tubuh dan

penyakit fisik yang diderita. Daya tahan tubuh berbanding lurus dengan kesakitan

seseorang, semakin tinggi daya tahan seseorang maka makain jarang terkena

penyakit. Kondisi kesakitan ini berpengaruh terhadap cepatnya proses penuaan

(Aryana dan Semaradana, 2019). Selain itu keadaan hormonal, radikal bebas,

glikolisis dan apoptosis turut mempengaruhi proses penuaan (Alfredo Gragnani,

dkk., 2014).

Faktor ekternal penyebab penuaan merupakan faktor yang berasal dari luar

tubuh. Faktor ekternal dapat berupa aktivitas, makanan, dan lingkungan. Aktivitas

fisik yang rendah akan lebih cepat mengalami proses penuaan. Konsumsi makanan

berpengaruh terhadap asupan gizi seseorang yang berpengaruh terhadap metabolism

pada tubuh dan proses perbaikan sel. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap

penuaan terutama paparan polusi dan radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul

tidak stabil yang menyerang sel-sel tubuh. Hal ini dapat mempercepat penuaan.

Proses penuaan dapat terjadi lebih cepat akibat interaksi kedua faktor internal dan

eksternal (Aryana dan Semaradana, 2019).


10

2.1.3. Gejala Klinis Penuaan

Proses penuaan terjadi diawali dengan penurunan fungsi organ tubuh.

Penurunan fungsi organ ini menyebabkan muncul gejala dan tanda penuaan.

Mekanisme penuaan berlangsung secara 3 fase (Pangkahila, 2011).

1. Fase Subklinik (usia 25 – 35 tahun):

Pada fase subklinik terjadi penurunan hormon dalam tubuh. Hormon ini antara

lain hormone pertumbuhan, testosterone, dan estrogen. Selain itu fase ini telah

mengalami pembentukan radikal bebas yang merusak bagian sel dan DNA. Hal

ini membuat perubahan tidak tampak dari luar dan kondisi yang dialami

tampak normal.

2. Fase Transisi (usia 35 – 45 tahun):

Pada fase ini hormone mengalami penurunan hingga 25%. Selain itu otot juga

mengalamin penurunan hingga 1 kg per tahun. Akibat penurunan ini komposisi

lemak tubuh meningkat dan tenaga serta kekuatan cenderung menurun. Hal ini

mengakibatkan terjadinya resistensi insulin, peningkatan risiko penyakit

jantung, pembuluh darah, dan obesitas. Gejala yang muncul pada fase ini

antara lain rambut mengalami pemutihan, indera penglihatan dan pendengaran

menurun, kondisi elastisitas dan pigmen kulit menurun, dan seksualitas

menurun. Perubahan ini terlihat dari luar sehingga tampak lebih tua.

3. Fase Klinik (usia 45 tahun ke atas):

Pada fase ini kondisi penurunan hormone semakin berlanjut. Penurunan

hormone ini terjadi pada DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin,

hormone pertumbuhan, testosteron, estrogen dan tiroid. Kemampuan


11

pencernaan juga mengalami penurunan, seperti penyerapan nutrisi, vitamin,

dan mineral. Kondisi otot juga mengalami penurunan hingga 1 kg setiap tiga

tahun yang berdampak pada peningkatan lemak dan ketidakmampuan mebakar

kalori. Kondisi organ kengalami gagal fungsi dan disfungsi seksual

(Pangkahila, 2011).

2.2 Kulit

2.2.1 Anatomi Kulit

15% dari komposisi berat tubuh manusia yakni kulit, sehingga kulit

menjadi organ terbesar dari tubuh. Susunan kulit terdiri dari epidermis, dermis,

serta subkutis yang memiliki fungsi serta karekteristik tersendiri (Lawton 2019).

2.2.1.1 Lapisan Epidermis

Lapisan paling luar yang terdiri dari epitel skuamosa disebut lapisan

epidermis. Keratinosit serta sel dendritik membentuk epidermis. Dari dalam ke

luar, itu terdiri dari stratum basale (lapisan sel basal) serta sublapisannya stratum

granular, stratum spinosum (lapisan sel skuamosa), serta stratum korneum

(lapisan sel cornified) (Lawton 2019).

2.2.1.2 Lapisan Dermis

Dermis mengacu pada lapisan jaringan yang terletak di diantara epidermis

serta lemak di bawah kulit. Ketebalan kulit ditentukan oleh lapisan ini, serta

akibatnya, tampilannya terpengaruh. Saraf, arteri darah, kelenjar keringat, serta

kolagen membentuk sebagian besar lapisan dermis. Dermis retikuler dan papiler
12

merupakan dua lapisan dermis yang paling dekat dengan epidermis serta lemak

subkutan. Dalam perjalanan penuaan, dermis kehilangan volume serta kepadatan

Bundel kolagen kecil, kepadatan tinggi, serta adanya komponen vaskular

mencirikan pars papiler dermis. Kelenjar polysebaceous (penghasil kulit) serta

apokrin/ekrin (penghasil saraf) semuanya bisa ditemukan di pars reticulare. Area

ini juga mencakup kolagen yang lebih matang serta lebih banyak pembuluh darah

dan elastin (Lawton 2019).

Fibroblas dermal yakni jenis sel yang paling umum. Kolagen, elastin, serta

protein matriks lainnya semuanya diproduksi oleh fibroblas, seperti juga enzim

seperti kolagenase serta stromelisin. Sel mast, leukosit polimorfonuklear, limfosit,

serta makrofag juga ditemukan di dermis (Lawton 2019).

2.2.1.3. Lapisan Subkutis

Sebagian besar lapisan subkutis, ataupun hipodermis, terdiri dari lemak,

yang menyediakan energi bagi tubuh. Kolagen I, III, serta V semuanya ada di

lapisan ini. Guna menjaga agar kulit tetap melekat pada jaringan di bawahnya,

maka lapisan subkutis diperlukan. Dari segi kuantitas serta ukuran, itu tergantung

pada bagian tubuh tertentu serta status gizi individu (Lawton 2019).

2.2.2 Penuaan Kulit

Kulit menjadi organ yang paling terlihat perubahannya saat proses penuaan.

Penuaan pada kulit terjadi melalui dua mekanisme, ialah penuaan intrinsik serta

ekstrinsik. Seiring bertambahnya usia, gen kita mulai berubah, mengakibatkan

timbulnya penuaan intrinsik. Penuaan internal, di sisi lain, mengacu pada penuaan

organ internal seseorang, termasuk kulit serta organ dalam seperti jantung dan
13

paru-paru. Dari kedua mekanisme tersebut yang bisa dicegah yakni faktor

ekstrinsik. Pencegahan ini dilakukan dengan usaha anti aging.

Mekanisme penuaan kulit secara intrinsik akibat kerusakan endogen secara

kumulatif. Kurusakan ini diakibatkan pembentukan ROS selama metabolisme

oksidasi seluler. Mekanisme lainnya melalui pembelahan sel yang mengalami

pemendekan telomere, penurunan hormon pertumbuhan, serta penurunan hormon

ekstogen. Atrofi epidermis, pendataran rete ridges epidermal, serta atrofi dermis

bisa dilihat di bawah mikroskop (Lawton 2019).

Penyebab utama terjadinya penuaan ekstrinsik akibat dari paparan sinar

UV. Mekanisme ini disebut dengan photoaging. 80% penuaan ekstrinsik terjadi

melalui mekanisme photoaging, dimana area terpapar sinar matahari langsung

seperti wajah serta lengan paling berdampak (Geng, dkk., 2021). Photoaging

terjadi akibat paparan radiasi UV jangka Panjang yang merubah jalur pensinyalan

sel sehingga terjadi degradasi matrik ekstraseluler (ECM), penurunan sintesis

kolagen serta peningkatan degradasi kolagen. Penurunan sintesis protein melalui

jalur Transforming growth faktor β (TGF β)/Smad serta ekspresi yang tidak

seimbang dari matrix metalloproteinases (MMPs)/inhibitor (Li, dkk. 2022).

Frackles, lentigines, hiperpigmentasi, serta lesi hipopigmentasi yakni gejala

umum dari photoaging. Fragmentasi kolagen dan elastin, peningkatan ikatan

silang, serta kalsifikasi termasuk karakteristik histopatologis dan atrofi epidermal.

Penuaan intrinsik berbeda dari penuaan ekstrinsik dalam hal kulit tampak lebih

halus serta kurang keriput, meskipun fakta bahwasanya kulit menua secara

intrinsik lebih tipis serta kurang elastis (Lawton 2019).


14

Sinar matahari termasuk sumber utama sinar UV. Sinar UV terdiri dari

tiga jenis, ialah UVA, UVB, serta UVC. Pada UVA panjang gelombang yang

dimiliki ialah 320-400 nm, UVB panjang gelombang yang dimiliki ialah 280-320

nm serta sinar UVC panjang gelombang yang dimiliki ialah 100-280 nm. Sinar

UV yang memiliki kemampuan merusak hingga menembus lapisan dermis serta

serat kolagen yakni sinar UVB (Krutmann, 2011). Dampak UVB paling banyak

terjadi di epidermis dengan mengalami kelainan keratinosit. Sedangkan sinar

UVB yang menembus epidermis hingga dermis dapat menimbulkan kerusakan

lebih banyak (Alam dan Havey, 2010).

Gambar 2.1 Mekanisme Photoaging Kulit (Sumber: Li, dkk. 2022)

2.3 Umbi Bit Merah

Umbi bit merah (Beta vulgaris) atau akar bit yang merupakan tanaman

dari familia Chenopodiaceae dengan ciri tanaman berbentuk akar yang mirip
15

umbi-umbian. Umbi bit merah tubuh di wilayah dataran rendah hingga dataran

tinggi dengan ketinggian 500 dpl sampai 1.000 dpl dan banyak ditemui di wilayah

Eropa, Asia, dan Amerika. Umbi bit merah berbentuk bulat seperti kentang,

warnanya merah keunguan tua, dan memiliki tinggi bervariasi antara 1-3 meter.

Di Indonesia ubi bit sudah mulai banyak dikembangkan, khususnya di Pulau Jawa

terutama di daerah Cipanas, Lembang, Pengalengan, Batu dan Kopeng (Fardiaz

2013). Dalam penelitian ini digunakan umbi bit merah yang berasal dari Batu

Malang.

Tampak dalam umbi bit merah apabila dipotong secara melintang akan

tampak garis-garis putih dan berwarna merah muda. Kandungan nutrisi umbi bit

antara lain kandungan vitamin C yang tinggi sebagai antioksidan. Warna merah

muda umbi bit berasal dari kandungan pigmen betasianin (Nanda 2014). Daun bit

memiliki bentuk memanjang dan segitiga. Varietas daun dapat memiliki helaian

daun bergelombang atau lurus dan permukaan daun rata atau melengkung. Batang

bit tipis dan panjangnya bervariasi. Sistem akar bit sangat efisien, membuat

tanaman ini toleran terhadap kekeringan (Wibawanto, 2014). Semakin tua umbi

bit kadar vitamin C semakin tinggi, tetapi untuk konsumsi menjadi lebih keras

(Wibawanto, 2014).

2.3.1 Taksonomi Umbi Bit Merah

Taksonomi umbi bit merah diklasifikasikan sebagai berikut (Splittstoesser,

1984 dalam Wibawanto, 2014):

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)


16

Super Divisi : Spermatophyta (mengandung biji)

Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Hamamelidae

Ordo : Caryophyllales

Famili : Chenopodiaceae

Genus : Beta

Spesies : Beta vulgaris

Gambar 2.2 Umbi Bit Merah (Beta vulgaris) (Sumber: Ananingsih, 2015)

2.3.2 Golongan Senyawa Antioksidan pada Umbi Bit

Umbi bit merah (Beta vulgaris) atau akar bit, tanaman dari famili

Chenopodiaceae, dengan bentuk akar tanaman mirip umbi. Ada empat jenis bit

yaitu bit merah, bit swiss, bit gula dan bit pakan ternak. Komponen utama umbi

bit adalah pigmen betalain yang memberi warna merah - ungu. Berdasarkan

penelitian sebelumnya, umbi bit termasuk dalam 10 buah dengan antioksidan


17

terbanyak, yaitu betalain. Betalain memiliki dua subkelas, yaitu betacyanin dan

betaxanthin, yang menambahkan warna merah-ungu dan kuning-oranye pada

bunga, buah, dan jaringan vegetatif. Komponen utama betalain dalam bit adalah

betacyanin, yang disebut betanin. Sifat betalain betalain dipengaruhi oleh pH,

cahaya, aktivitas udara dan air, stabilitas pigmen lebih baik pada suhu rendah

(<14oC) dalam kondisi gelap, dengan kadar udara rendah pada kisaran pH 5-7,

tetapi lebih stabil pada pH 5,6 (Mastuti, dkk., 2010).

Menurut Kusumaningrum, dkk (2012) kandungan vitamin dan mineral

dalam umbi bit mampu merangsang perbaikan sistem peredaran darah dan sel

darah merah. Umbi bit merah kaya akan berbagai vitamin B, yaitu B1, B2, B3,

dan B6. Kandungan nutrisi utama umbi bit adalah asam folat, serat dan gula,

namun nilai kalori umbi bit masih tergolong sedang. Kandungan antioksidan lain

pada umbi bit yaitu kandungan total fenolik flavonoid sebesar 10,19±1,7mg/100g

bobot segar dan kandungan total fenolik sebesar 323mg/100g bobot segar, yang

berarti kandungan total fenolik lebih tinggi dibandingkan dengan buah dan sayur

lainnya. Buah dan sayuran dengan kandungan fenol tinggi, yaitu wortel hitam

(350 mg/100 g), umbi bit (323 mg/100 g), jahe (221,3 mg/100 g), kunyit (175

mg/100 g), brokoli (87,5 mg/100 g), batang teratai (85,7 mg/100 g), coriander

(82,5 mg/100 g), dan tomat (68 mg/100 g) (Venkatachalam, 2014). Andarwulan,

dkk (2011) dalam penelitiannya menyatakan umbi bit mengandung kalium

sebesar 14,8 %, serat sebesar 13,6 %, vitamin C sebesar 10,2 %, magnesium

sebesar 9,8 %, triptofan sebesar 1,4 %, zat besi sebesar 7,4 %, tembaga sebesar
18

6,5 %, fosfor sebesar 6,5 %, dan kumarin. Kandungan kimia dalam 100 g umbi bit

dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kandungan Umbi Bit Merah (USDA 2015)


Nutrisi Kandungan
Air (g) 87,58
Energi (kkal) 43,00
Protein (g) 1,61
Lemak (g) 0,17
Karbohidrat (g) 9,56
Serat (g) 2,80
Gula (g) 6,76
Kalsium (mg) 16
Zat besi (mg) 0,80
Magnesium (mg) 23
Phosphorus (mg) 40
Potassium (mg) 325
Sodium (mg) 78
Vitamin C (mg) 4,90
Thiamin (mg) 0,03
Riboflavin (mg) 0,04
Niacin (mg) 0,33
Vitamin B6 (mg) 0,07
Vitamin E (mg) 0,04
Vitamin K (mg) 0,20

2.4 Krim

Krim adalah bentung sediaan dalam bentuk setengah padat, dengan

kandungan air kurang dari 60%, serta mengandung bahan obat terlarut yang

bertujuan untuk pemakain luar (Allisa dkk., 2011). Menurut formularium

nasional, krim adalah sediaan setengah padat, berupa emulsi kental mengandung

air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. Secara

tradisional istilah krim digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai

konsistensi relatif cair di formulasi sebagai emulsi air dalam minyak (a/m) atau

minyak dalam air (m/a) (Allisa, Hartanti, and Chairunnisa 2011).


19

Penambahan zat antioksidan kedalam krim semakin sering digunakan.

Antioksidan topikal berguna untuk menekan efek ROS pada kulit. Basis krim

minyak dalam air menjadi pilihan antioksidan topikal, karena stabil, krim lebih

mudah menyerap serta lebih mudah dihapus (Dreher and Maibach 2001).

2.5 Tikus (Rattus Norvegicus) Galur Wistar

Mamalia kecil menjadi pilihan untuk berbagai penelitian karena mempunyai

beberapa keuntungan, yaitu tidak mahal, mudah didapat, hanya membutuhkan

sedikit ruang, makan, dan minum, mudah dalam pemeliharaan, dan dapat diubah

secara genetik. Hewan kecil biasanya mempunyai cara mempercepat

penyembuhan dibandingkan manusia, dengan jangka waktu beberapa hari,

sedangkan pada manusia dalam beberapa minggu atau bulan (Birke 2014).

Persyaratan untuk hewan yang digunakan dalam penelitian farmakologi

harus dipenuhi, yaitu harus memiliki fisiologi yang jelas, bebas dari penyakit,

berasal dari tempat berkembang biak yang baik atau dibiakkan secara mandiri.

Etika hewan percobaan juga harus diperhatikan berdasarkan hasil lokakarya yang

membentuk Komite Etik Penelitian Medis pada tahun 1986. Salah satu poin etika

dalam pertemuan tersebut adalah jika percobaan menyebabkan lebih dari rasa

sakit atau nyeri ringan dalam waktu singkat harus dilakukan dengan pra-

perawatan yang tepat dan di bawah anestesi sesuai dengan praktik dokter hewan

yang terstandar. Pada poin tambahan dinyatakan bahwa pada akhir percobaan,

hewan yang menderita sakit parah atau penderitaan kronis, rasa tidak enak, atau
20

cacat yang tidak dapat disembuhkan harus di-eutanasia dengan cara yang tepat

(Darmono 2011).

Tikus termasuk dalam genus Rattus dengan spesies Rattus rattus dan Rattus

Norvegicus. Tikus yang sering digunakan sebagai tikus laboratorium adalah

Rattus Norvegicus karena tubuhnya yang lebih besar dari pada Rattus rattus

(Keith, 2010).

Rattus Norvegicus yang sering dipakai dalam penelitian adalah strain Wistar

dan Spargue Dawley yang merupakan tikus albino. Tikus strain Wistar memiliki

ciri – ciri kepala lebar, telinga panjang dan memiliki ekor panjang kurang dari

panjang tubuhnya, sedangkan strain Sprague Dawley memiliki ekor untuk

meningkatkanrasio panjang tubuh dibandingkan dengan tikus Wistar (Keith,

2010).

2.6 Matrix Metalloproteinase

Matrix Metalloproteinase adalah endopeptidase yang mengandung seng

dengan berbagai kekhususan substrat. Secara kolektif enzim ini mampu

mendegradasi berbagai komponen protein matriks ekstraseluler. MMP memiliki 5

subkategori, yaitu kolagenase, gelatinase, stromelisin, matrilisin, dan MMP tipe

membrane. Salah satu MMP yang berperan dalam kerutan kulit adalah MMP 1

(Pittayapruek , dkk., 2016).

MMP 1 atau Matrix Metalloproteinase 1 adalah proteinase ekstraseluler

pada kulit yang dominan daripada proteinase ekstraseluler lainnya. MMP 1 juga

disebut kolagenase. MMP 1 tersusun atas propeptida, katalik, dam hemopexin.


21

MMP 1 berperan dalam pemecahan kolagen tipe 1 dengan mekanisme pemecahan

kolagen setelah residu ke 775 (Gly), dalam sekuen rantai GIA-alpha 1 dan rantai

GLL-alpha2 (Chang dan Buehler, 2014). MMP 1 disekresikan oleh keratinosit dan

fibroblast dermal sebagai respon terhadap rangsangan stres oksidatif, radiasi UV,

dan sitokin (Pittayapruek, dkk., 2016).

Gambar 2.3 Diagram Peran MMP dalam Proses Photoaging Akibat Kelebihan
Dosis Paparan UV (Sumber: Pittayapruek, dkk., 2016)

MMP 1 sangat berpengaruh terhadapa photoaging akibat paparan sinar UV

B. Photoaging mengakibatkan transformasi kulit yang dilihat secara klinis terjadi


22

kerutan kasar dan halus, dispigmentasi bernoda, telangiectasia, pucat, peningkatan

kerapuhan, dan tekstur kulit kasar. Degradasi kolagen oleh MMP adalah aktivitas

alami, namun peningkatan aktivitas MMP akibat faktor eksternal mempercepat

perubahan kulit terkait usia (Pittayapruek, dkk., 2016).

2.7 Kolagen

Kolagen adalah protein tersusun dari triple helix dari tiga rantai α

polipeptida yang menyusun komponen matrik ekstraseluler. Kolagen adalah

komponen utama penyusun jaringan ikat dan membentuk kurang lebih 25%

protein pada mamalia (Dewi 2012). Kolagen berfungsi mengikat jaringan,

perlekatan sel, migrasi sel, pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis),

morfogenesis jaringan, dan perbaikan jaringan.

Pada kulit terdapat 4 jenis kolagen, yaitu kolagen tipe I, III, V, dan VI yang

membentuk struktur horizontal di dermis, diselingi oleh serat elastis. Kolagen tipe

I adalah jenis kolagen yang paling banyak ditemukan pada jaringan kulit. Serat

kolagen pada kulit memiliki fungsi memberikan kekuatan, intergritas, struktural,

dan ketahanan pada kulit (Kadler, dkk., 2007). Kolagen tipe I mengalami dua

proses sintesis pada sel fibroblas, yaitu proses di dalam dan di luar sel. Proses

sintesis dalam sel dimulai dengan pembentukan prokolagen berupa dua rantai

alfa-peptida selama translasi di ribosom sepanjang retikulum endoplasma kasar.

Rantai polipeptida dilepaskan ke dalam lumen RER. Sinyal peptida dilepaskan di

RER, setelah itu rantai peptida menjadi rantai pro-alfa. Selain itu, terjadi proses

hidroksilasi asam amino lisin dan prolin di dalam lumen dengan kofaktor asam
23

askorbat. Residu hidroksilisin kemudian mengalami glikosilasi. Triple alpha helix

terbentuk di dalam retikulum endoplasma. Prokolagen kemudian dieksositosiskan

ke dalam aparatus Golgi. Dalam proses ekstraseluler, prokolagen eksositosis

kemudian diubah menjadi tropokolagen oleh aksi prokolagen peptidase. Beberapa

tropokolagen membentuk kolagen fibril melalui ikatan silang kovalen. Beberapa

fibril kolagen membentuk serat kolagen. Kolagen kemudian melekat pada

membran sel oleh beberapa protein, termasuk integrin fibronektin (Mescher,

2010).

Gambar 2.4 Skema Sintesis Kolagen (Sumber: Gelse, dkk. 2003)


24

Produksi kolagen dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor

internal meliputi genetika dan hormon, sedangkan faktor eksternal meliputi sinar

ultraviolet, polusi, dan pola makan. Produksi kolagen juga dipengaruhi oleh

hormon estrogen. Estrogen dapat meningkatkan sintesis kolagen. Pada wanita

pascamenopause, kadar kolagen menurun secara signifikan (Kadler , dkk., 2007).


25

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN, DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir

Sinar UV adalah salah satu faktor ekstrinksik yang dapat menyebabkan

penuaan pada kulit yang disebut photoaging. Pada photoaging terjadi perubahan

pada kulit berupa kerutan, lesi pigmentasi, hiperpigmentasi dan hipopigmentasi.

Sinar UV yang dapat menembus sampai ke lapisan kulit dan merusak serat – serat

kolagen adalah sinar UVB. Pada tikus juga terjadi hal yang sama, dimana tikus

yang terpapar UVB mengalami photoaging melalui mekanisme terbentuknya

radikal bebas pada epidermis.

Sinar UVB memiliki panjang gelombang 290 – 320 nm, hanya 2 – 5 %

dari sinar UVB yang mencapai bumi dan kerusakannya menembus sampai ke

lapisan dermis. Paparan sinar UVB berulang akan berinteraksi langsung dengan

DNA yaitu induksi kerusakan DNA, berupa Cross-linking basa pirimidin. Reaksi

ini dapat menghasilkan reactive oxygen species (ROS).

Kolagen merupakan komponen fibrillar dari jaringan ikat dan sebagai

protein ekstraselular yang paling utama dari tubuh manusia. Kolagen mengisi 70 –

80% dermis, dengan tipe kolagen dermis terbanyak yaitu tipe kolagen I yang

menjaga kelenturan dermis. Kolagen yang telah terpapar berulang oleh sinar UVB

akan mengalami degradasi dan penghambatan pertumbuhan prokolagen.

Degradasi kolagen tidaklah lengkap, akan tetapi terjadi akumulasi fragmentasi

25
26

kolagen yang mengurangi integritas struktural dermis. Akumulasi fragmentasi

kolagen menghambat pertumbuhan kolagen baru dan memberikan efek regulasi

negatif pada sintesis kolagen. Gambaran histopatologi kulit dan kolagen yang

terpapar UVB yaitu atrofi epidermis, pendataran dermal epidermal junction

(DEJ), elastosis dermis dan fragmentasi kolagen.

MMP 1 atau Matrix Metalloproteinase 1 adalah proteinase ekstraseluler

pada kulit yang dominan daripada proteinase ekstraseluler lainnya. MMP 1

berperan dalam pemecahan kolagen tipe 1.

Komponen utama pada bit ialah pigmen betalain yang memberikan warna

merah keunguan. Berdasarkan penelitian terdahulu buah bit termasuk dalam 10

buah dengan antioksidan tertinggi yaitu betalain. Umbi bit merah kaya akan

berbagai kandungan vitamin B yaitu vitamin B1, B2, B3 dan B6. Kandungan gizi

utama umbi bit merah adalah asam folat, serat dan gula, namun nilai kalori umbi

bit merah masih tergolong sedang. Kandungan senyawa fenol dan flavonoid yang

cukup tinggi menjadikan umbi bit salah satu bahan yang memiliki potensi sumber

antioksidan kuat yang dapat menekan efek stress oksidatif sel dan sebagai

protektor kolagen.
27

3.2. Konsep Penelitian

(Beta vulgaris)

 Aktivitas
 Lingkungan
 Makanan

Tikus (Rattus novergicus) galur


wistar yang dipapar sinar UVB
Ekspresi MMP 1
Jumlah Kolagen 1

Tidak Diteliti Diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.3. Hipotesis Penelitian

1. Tidak ada pengaruh pemberian krim ekstrak Umbi bit merah (Beta

vulgaris) dalam menghambat peningkatan ekspresi MMP 1 dan penurunan

jumlah kolagen pada kulit tikus Wistar yang dipapar sinar ultraviolet B.
28

2. Ada pengaruh pemberian krim ekstrak Umbi bit merah (Beta vulgaris)

dalam menghambat peningkatan ekspresi MMP 1 dan penurunan jumlah

kolagen pada kulit tikus Wistar yang dipapar sinar ultraviolet B.


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan


rancangan post test only control group.

P0 O1

P S P1 O2

P2 O3

Gambar 4.1 Rancangan Post Test Only Control Group


Keterangan:
P : Populasi
S : Sampel
P0 : Tanpa perlakuan
P1 : Kelompok dengan intervensi paparan sinar ultraviolet B dan krim bahan
dasar
P2 : Kelompok dengan intervensi paparan sinar ultraviolet B dan krim ekstrak
Umbi bit merah (Beta vulgaris)
O1 : Pengamatan ekspresi MMP 1 dan jumlah kolagen kelompok 1, setelah
perlakuan P0
O2 : Pengamatan ekspresi MMP 1 dan jumlah kolagen kelompok 2, setelah
perlakuan P1
O3 : Pengamatan ekspresi MMP 1 dan jumlah kolagen kelompok 3, setelah
perlakuan P2

29
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Agustus 2022

sampai dengan Desember 2022. Pembuatan krim ekstrak umbi bit merah dan krim

bahan dasar dibuat di Unit Layanan Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Udayana. Waktu pembuatan ekstrak selama 2 minggu. Analisis

Fitokimia ekstrak umbi bit merah dilakukan di Unit Layanan Laboratorium

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Pemeriksaan histopatologi

jaringan kulit dilakukan di Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana. Waktu pemeriksaan histopatologis dilakukan selama 1

minggu.

4.3. Sumber Data Penelitian

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah tikus (Rattus Norvegicus) galur wistar

jantan berusia 10-12 minggu. Tikus tidak menderita sakit, mau makan dan minum.

Tikus ini diperoleh dari Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana.

4.3.2 Kriteria Sampel

Kriteria Inklusi

a) Tikus (Rattus Norvegicus) galur Wistar jantan

b) Umur 2 bulan

c) Berat 160 – 200 gram


d) Sehat

e) Mau makan dan minum

Kriteria drop out : apabila tikus Wistar mati pada saat penelitian.

4.4. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel

Dengan menggunakan rumus dari Federer (Federer 2008), maka besarnya

sampel dapat dihitung sebagai berikut :

Keterangan :

n : Banyaknya ulangan

t : Banyaknya perlakuan

(n – 1)(t – 1) = 15

(n – 1)(3 – 1) = 15

(n – 1)(2) = 15

n – 1 = 7,5

n = 8,5

dibulatkan menjadi 9

Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas maka diperoleh n = 9.

Karena sampel dibagi menjadi 3 kelompok, maka jumlah sampel adalah 27.

Sampel ditambah 10% dari 27 yaitu penambahan 2,7 (dibulatkan menjadi 3)

sampel menjadi 30 ekor untuk menghindari drop out selama penelitian. Jadi

masing-masing kelompok 10 ekor


4.5. Variabel Penelitian

4.5.1. Identifikasi Variabel

Variabel yang akan diukur adalah ekspresi MMP 1 dan jumlah kolagen

yang diambil dari jaringan kulit tikus wistar jantan secara histopatologi pada

kelompok yang terpapar sinar ultraviolet B dengan pemberian krim bahan dasar

dan kelompok yang terpapar sinar ultraviolet B dengan pemberian krim ekstrak

umbi bit merah (Beta vulgaris).

4.5.2. Klasifikasi Variabel

a) Variabel prakondisi adalah sinar UVB

b) Variabel bebas adalah krim ekstrak umbi bit merah.

c) Variabel tergantung adalah ekspresi MMP 1 dan jumlah kolagen.

d) Variabel kendali adalah strain tikus, umur, jenis kelamin, genetik,

pakan tikus, aktifitas tikus, kesehatan tikus dan berat badan tikus.

4.5.3. Hubungan Antar Variabel

Variabel Prakondisi
 Sinar UVB

Variabel Bebas Variabel Tergantung


 Krim ekstrak umbi  MMP 1
bit merah  Kolagen

Variabel Kendali
 Strain tikus, umur, jenis kelamin, genetik, pakan tikus,
aktifitas tikus, kesehatan tikus dan berat badan tikus
Gambar 4.2 Bagan Hubungan Antar Variabel
4.5.4. Definisi Operasional Variabel

a. Sinar UVB adalah radiasi elektromagnetik yang mempunyai panjang

gelombang nm menggunakan lampu sinar UVB

b. Krim ekstrak umbi bit merah adalah ekstrak umbi bit merah yang

dicampur dengan bahan krim dasar yang terdiri dari cerra alba, sodium

lauril sulfat, vaselin alba, propilen glikol, dan aquadest.

c. MMP 1 adalah MMP 1 yang diperiksa merupakan ekspresi MMP 1 pada

dermis diukur dengan metode imunohistokimia. Pengukuran dengan cara

menghitung jumlah sel fibroblast yang mengekspresikan MMP 1. Ekspresi

MMP 1 dinyatakan dalam persen (%).

d. Kolagen adalah Kolagen yang diperiksa merupakan jumlah kolagen pada

dermis dengan pewarnaan Pico-Sirius-Red yang diukur dan diamati

dengan menggunakan microskop Olympus dan alat Optilab untuk

pengambilan gambar dengan format Jpeg. Jumlah kolagen dinyatakan

dalam persen (%).

4.6. Alat dan Bahan Percobaan

Alat, bahan dan hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

4.6.1 Alat Percobaan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Kandang tikus (Rattus Norvegicus) galur Wistar

2. Lampu ultraviolet B.
3. Alat cukur.

4. Timbangan digital.

5. Peralatan bedah seperti gunting anatomis untuk bedah, skalpe.

6. Peralatan untuk membuat sediaan histopatologi seperti mikrotom, gelas

objek dan gelas penutup.

7. Mikroskop Olympus.

8. Kamera.

9. Penggaris.

4.6.2 Bahan Percobaan

Bahan utama untuk penelitian ini adalah krim dengan kandungan 15%

ekstrak umbi bit merah (Beta vulgaris) yang diekstrak di laboratorium Fakultas

Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

4.7. Prosedur Penelitian

4.7.1 Persiapan Hewan Uji

1. Sampel yang terdiri dari 30 ekot tikus diadaptasi selama 1 minggu

2. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok secara random. Kelompok 1 tanpa

perlakuan (P0), kelompok 2 dipapar UVB dan diberikan krim bahan

dasar (P1), dan kelompok 3 dipapar UVB dan diberikan krim umbi bit

(P2), masing – masing kelompok terdiri dari 10 ekor tikus.

3. Semua tikus dari kelompok 2 dan 3 dicukur bulu punggungnya,

diaplikasikan krim bahan dasar pada kelompok 2 dan krim ekstrak

umbi bit merah pada kelompok 3. Perlakuan dilakukan setiap hari


sampai minggu ke-4. Pemberian bahan topikal pada hari penyinaran

diberikan jeda 20 menit sebelum penyinaran UVB.

4. Dilakukan penyinaran UVB dengan lampu UVB merek G-Box

Syngene, dengan dosis total penyinaran pada kelompok 2 dan

kelompok 3 sebesar 840 mJ/cm2 yang diberikan 3 kali seminggu

selama 4 minggu dengan rincian penyinaran sebagai berikut:

Tabel 4.1 Rincian Penyinaran UVB


Jadwal Penyinaran Dosis UVB Lama Penyinaran
Minggu 1 50 mJ/cm2 50 detik
(Senin, Rabu, Jumat)
Minggu 2 70 mJ/cm2 70 detik
(Senin, Rabu, Jumat)
Minggu 3 dan 4 80 mJ/cm2 80 detik
(Senin, Rabu, Jumat)

5. Setelah 48 jam penyinaran terakhir dilakukan pengambilan jaringan

kulit punggung dengan ukuran 2x2 cm untuk dilakukan pemeriksaan

MMP 1 dan kolagen. Sebelum dibiopsi, hewan uji dieuthanasia

dengan dosis xylazine 4-8 mg/ kgBBIM dan ketamin 22-44mg/

kgBBIM (KNEPK, 2011).

4.7.2 Pembuatan Sediaan Histologi

1. Tahap fiksasi dilakukan dengan cara hasil biopsy direndam dalam

larutan formalis buffer fosfat 10% selama 24 jam kemudian dilakukan

trimming bagian jaringan.


2. Selanjutnya jaringan tersebut direndam alkohol bertingkat yaitu

50%, 70%, 90%, dan 100% masing-masing 2 kali selama 2 jam

yang disebut dengan tahap dehidrasi

3. Dilakukan tahap pembersihan, dimana jaringan tersebut dimasukan

ke clearing agent (xylene) selama 24 jam sampai transparan

4. Tahap penyisipan dilakukan dengan proses infiltrasi parafin murni

selama 1 jam pada suhu cairan 60°C, kemudian jaringan

dibenamkan dalam parafin cair dan dibiarkan membentuk blok.

Langkah ini dilakukan selama 1 hari untuk memudahkan

pemotongan mikrotom

5. Sediaan dipotong satu per satu dengan mikrotom putar (Jung

Histocut Leica 820), setebal 3-5 mikron, dan diambil irisan ke-5,

ke-10, ke-15 untuk penempelan pada slide kaca dan diinkubasi

pada suhu 60°C selama 2 jam. ..

6. Sediaan yang diwarnai dengan metode immunohistokimia

menggunakan object glass yang sudah dilapisi daya rekat Poly-

Lysine

4.7.3 Pewarnaan dengan Sirius Red

1. Slide dideparafinisasi dan direhidrasi, termasuk perendaman dalam

larutan xilena selama 2 x 5 menit, etanol 100% selama 2 menit,

etanol 96% selama 2 x 2 menit, etanol 70% selama 2 menit, dan air

suling selama 2 menit.


2. Pewarnaan inti sel dengan hematoxilin gill selama 10 menit dan

dicuci selama 10 menit dangan air mengalir

3. Pewarnaan dengan picro sirius red selama 1 jam yang bertujuan

memberikan pewarnaan mendekati seimbang

4. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan air asam sebanyak 2 kali

5. Menghilangkan air yang berlebih dengan menggoyangkan secara

perlahan

6. Dehidrasi dalam etanol 70% selama 10 detik, etanol 96% selama 2

x 10 detik, etanol selama 100 detik, xylene selama 2 x 2 menit.

Kemudian dikeringkan selama 2 jam pada suhu kamar, diikuti oleh

media pemasangan berbasis xylene (DPX).

4.7.4 Pengamatan dan Perhitungan Hasil Kolagen

1. Jumlah kolagen dihitung dengan metode analisis digital yang

cepat. Setiap spesimen difoto dengan kamera LC Evolution dan

mikroskop Olympus pada pembesaran objektif 400x. Setiap

spesimen difoto tiga kali dan disimpan dalam format jpeg.

2. Perhitungan jumlah kolagen dalam dermis dilakukan dengan

menghitung persentase kolagen dari seluruh area jaringan yang

tampak berwarna merah cerah. Rumus untuk menghitung jumlah

kolagen adalah:
4.7.5 Perwarnaan Immunohistokimia MMP 1

1. Slide dideparafinisasi dan direhidrasi. Ini termasuk perendaman

dalam larutan xylene selama 2 x 5 menit, 100% etanol selama 2

menit, 96% etanol selama 2 x 2 menit, 70% etanol selama 2 menit,

dan air aquades selama 2 menit.

2. Tahap selanjutnya adalah pengumpulan antigen, yaitu slide

direndam dalam buffer trisodium sitrat kemudian dipanaskan dalam

oven microwave dengan daya 800 watt selama 5 menit. Kemudian

dicuci dengan PBS 2 x 5 menit

3. Peroksidase endogen diblokir dalam kotak plastik dengan 3% H2O2

selama 30 menit. Kemudian dicuci dengan PBS 1X 5 menit

masing-masing 2 kali.

4. Slide diteteskan 5% FBS 100L selama 2 jam dalam suhu ruangan

dan boks dalam keadaan tertutup. Setelah satu malam dicuci

dengan PBS 1X selama 5 menit dalam glass jar masing-masing

sebanyak 2 kali sambal digoyangkan.

5. Setelah itu link biotinilasi diteteskan pada seluruh permukaan

jaringan diinkubasi selama 30 menit dalam kotak tertutup,

kemudian dicuci dalam toples kaca selama 5 menit dalam PBS 1X,

setiap kali dikocok dua kali.

6. Selanjutnya senyawa biotinilasi diteteskan pada seluruh permukaan

jaringan, kemudian diinkubasi selama 30 menit dalam kotak

tertutup, kemudian dicuci dalam PBS 1X selama 5 menit dalam


toples kaca, setiap kali dikocok dua kali. Tetesan streptavidin

peroksidase kemudian didiamkan dalam kotak tertutup selama 30

menit, dicuci kembali dalam toples kaca menggunakan PBS 1 x 4

kali selama 3 menit sambil dikocok. DAB ditambahkan tetes demi

tetes hingga berwarna coklat kemudian dicuci 1x dengan PBS

hingga bening dan kering.

7. Slide Diteteskan Hematoxylin Gill didiamkan selama lima menit

kemudian dicuci dengan air mengalir. Direndam dalam etanol

absolut sebanyak dua kali masing-masing selama lima menit,

dilanjutkan perendaman pada xylene sebanyak dua kali masing-

masing selama lima menit. Setelah kering slide di-mounting dengan

medium berbasis xylene dan ditutup cover glass.

4.7.6 perhitungan hasil MMP 1

Perhitungan ekspresi MMP 1 dilakukan dengan cara menghitung persentase

fibroblast yang mengekspresikan MMP 1 dari seluruh area jaringan. Adapun

rumus perhitungan ekspresi MMP 1 sebagai berikut:


4.8. Alur Penelitian

Pemilihan sampel tikus


sebanyak 30 ekor

Adaptasi tikus selama 1


minggu

Pilih kelompok P0 Pilih kelompok P1 Pilih kelompok P2


(10 ekor) (10 ekor) (10 ekor)

Pemberian krim bahan Pemberian krim 15%


Tanpa perlakuan dan dipapar UVB ekstrak umbi bit
selama 4 minggu merahdan dipapar UVB
selama 4 minggu

Observasi dan pemeriksaan jumlah MMP 1 dan kolagen pada jaringan kulit

Gambar 4.3 Alur Penelitian

4.9. Analisis Data

Data yang telah terkumpul diproses dengan software komputer dan

dianalisis dengan langkah–langkah sebagai berikut:

1. Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dan diagram untuk

mengetahui karakteristik data yang dimiliki.

2. Uji normalitas data menggunakan uji Shapiro-Wilk, oleh karena

sampel berjumlah lebih kecil dari 30. Data terdistribusi normal pada

p> 0,05.

3. Uji homogenitas, setelah dilakukan uji normalitas data dengan

menggunakan uji Levene’s . Data dinyatakan homogen pada p>0,05.


4. Analisis perbedaan rerata antar kelompok menggunakan uji one way

ANOVA, berdistribusi normal dan homogen.

5. Analisis korelasi menggunakan uji korelasi Rank Spearman dengan

melihak kemaknaan dari nilai p<0,05 dan kekuatan korelasi dari

koefisien korelasi (r).


BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana dan Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas

Udayana dimulai Agustus sampai Desember 2021. Sampel yang digunakan hewan

coba tikus jantan Rattus Norvegicus strain wistar sebanyak 30 ekor sesuai kriteria

ekslusi dan inklusi. Dalam perjalanan proses penelitian dilakukan tidak terdapat

tikus yang mengalami drop out.

Pada proses adaptasi selama 1 minggu tikus dalam kondisi sehat dan

normal. Pada saat perlakuan tikus tampak sehat tidak terdapat kelainan, tikus

menghabiskan pakan yang diberikan setiap hari 40 gr serta berat badan tikus rata-

rata 120-200 gram. Setelah dilakukan perlakuan selama 4 minggu, dilakukan

biopsi pengambilan jaringan kulit punggung dengan ukuran 2x2 cm untuk

dilakukan pemeriksaan MMP 1 dan kolagen.

5.1.1 Hasil Pengamatan Ekspresi MMP 1 Pada Kulit Tikus Wistar

Pengamatan ekspresi MMP1 oleh imunohistokimia pada tikus dari tiga

kelompok perlakuan dilakukan menggunakan kamera evolusi LC dan mikroskop

Olympus pada pembesaran objektif 400x. Berikut gambar jaringan dermis hewan

uji yang telah dilakukan imunohistokimia.

42
43

Gambar 5.1 Ekspresi MMP-1 pada Jaringan Dermis dengan Pengecatan


Imunohistokimia
Keterangan:
A: Jaringan dermis P2 (Kelompok dipapar UVB dan diberikan krim umbi bit)
B: Jaringan dermis P2 diperbesar 400X
C: Jaringan dermis P1 (Kelompok dipapar UVB dan diberikan krim bahan dasar)
D: Jaringan dermis P1 diperbesar 400X
E: Jaringan dermis P0 (Kelompok tanpa perlakuan)
F: Jaringan dermis P0 diperbesar 400X
Tanda panah merah menunjukkan sel fibroblast yang mengekspresikan MMP-1
44

Tanda panah hitam menunjukkansel fibroblast yang tidak mengekspresikan MMP-1

Berdasarkan Gambar 5.1 menunjukan hasil pengamatan jaringan dermis

dengan pengecatan imunohistokimia sebagai berikut:

1. Kelompok pengamatan P2 (Kelompok dipapar UVB dan diberikan krim

umbi bit) pada gambar A dan B tampak ekspresi MMP-1 (warna coklat)

lebih sedikit dibandingkan kelompok pengamatan P1 (Gambar C dan D)

dan lebih banyak dari kelompok pengamatan P0 (Gambar E dan F) .

2. Pada gambar C dan D menunjukan jaringan dermis kelompok pengamatan

P1 (Kelompok dipapar UVB dan diberikan krim bahan dasar), dimana

tampak ekspresi MMP-1 (warna coklat) meningkat dibandingkan

kelompok pengamatan P2 (Gambar A dan B) dan kelompok pengamatan

P0 (Gambar E dan F).

3. Kelompok pengamatan P0 dapat dilihat pada gambar E dan F

dibandingkan dengan kelompok pengamatan P1 (Gambar C dan D)

memiliki ekspresi MMP-1 lebih sedikit. Sedangkan dibandingkan dengan

kelompok pengamatan P2 (Gambar A dan D) memiliki ekspresi MMP-1

Lebih banyak

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka dapat dihitung ekspresi MMP1

pada ketiga kelompok tikus dengan cara menghitung persentase fibroblast yang

mengekspresikan MMP 1 dari seluruh area jaringan sebagai berikut.

Tabel 5.1 Rerata Ekspresi MMP1 pada Kulit Tikus Wistar


Kelompok Pengamatan Rerata (% sel)
P0 36,94 ± 5,15
45

P1 55,76 ± 3,96
P2 25,11 ± 4,02
Keterangan: P0 (tidak ada perlakuan kelompok); P1 (kelompok yang terpapar UVB dan
menerima krim dasar); P2 (kelompok yang terpapar UVB dan menerima krim bit)

Berdasarkan tabel 5.1 di atas, dapat diketahui kelompok tikus dengan

intervensi paparan UVB dan diberikan krim umbi bit memiliki rerata ekspresi

MMP1 paling rendah, yaitu 25,11 % dibandingkan dua kelompok pengamatan

lainnya.

5.1.2 Hasil Pengamatan Jumlah Kolagen Pada Kulit Tikus Wistar

Hasil pengamatan jumlah kolagen oleh pewarnaan merah Sirius pada tikus

dari tiga kelompok pengamatan difoto untuk setiap spesimen menggunakan

kamera evolusi LC dan mikroskop Olympus Berikut gambar jaringan kulit

punggung hewan uji yang telah dilakukan pewarnaan sirius red.

A B

C
Gambar 5.2 Jumlah Kolagen pada Jaringan Dermis dengan Pengecatan Picro-
Sirius Red
Keterangan: A (P2: kelompok yang terpapar UVB dan diberi krim bit); B (P1:
46

kelompok yang terpapar UVB dan menerima krim dasar); C (P0: tidak ada perlakuan);
tanda panah hitam menunjukkan serat kolagen utuh. Panah kuning menunjukkan serat
kolagen tidak utuh

Berdasarkan Gambar 5.2 menunjukan hasil pengamatan jumlah kolegen

pada jaringan dermis sebagai berikut:

1. Kelompok pengamatan P2 (Kelompok dipapar UVB dan diberikan krim

umbi bit) gambar A menunjukkan ekspresi kolagen, dengan serat

kolagen merah yang lebih lebar dan tebal.

2. Gambar B menunjukkan kelompok pengamatan P1 (terkena radiasi

UVB dan diberi pemakaian cream dasar), di mana susunan dan struktur

kolagen rusak, dan serat kolagen merah tampak tipis.

3. Kelompok pengamatan P0 (Kelompok tanpa perlakuan) dapat dilihat

pada gambar C. Menunjukkan bahwa kolagen dengan sejumlah serat

kolagen merah yang lebar serta tebal antara gambar A dan gambar C.

Berdasarkan pengamatan tersebut, jumlah kolagen pada ketiga kelompok

tikus tersebut dapat dihitung dengan menghitung persentase kolagen dari seluruh

wilayah jaringan yang tampak berwarna merah cerah. Hasil perhitungan jumlah

rerata kolagen pada setiap kelompok observasi ditunjukkan pada tabel di bawah

ini.

Tabel 5.2 Rerata Jumlah Kolagen pada Kulit Tikus Wistar


Kelompok Pengamatan Rerata (% pixel)
P0 74,99 ± 1,47
P1 69,38 ± 0,89
P2 80,08 ± 0,88
Keterangan: P0 (Kelompok tanpa perlakuan); P1 (Kelompok dipapar UVB dan diberikan
krim bahan dasar); P2 (Kelompok dipapar UVB dan diberikan krim umbi bit)
47

Berdasarkan tabel 5.2 di atas, dapat diketahui kelompok tikus dengan

intervensi paparan UVB dan diberikan krim umbi bit memiliki rerata jumlah

kolagen lebih banyak dibandingkan dua kelompok pengamatan lainnya, yaitu

sebanyak 80,08 % pixel.

5.2. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Ekspresi MMP-1 dan Jumlah

Kolagen pada Tikus (Rattus Norvegicus) Galur Wistar yang Dipapar

Sinar Ultra Violet-B

Dalam penelitian ini, ekspresi variabel MMP1 dan jumlah kolagen

diskalakan dengan rasio konstan sehingga dipilih pendekatan analisis statistik

parametrik untuk mengkonfirmasi hipotesis penelitian. Analisis parametrik

bagaimana-jika pertama kali dilakukan sebelum analisis data lebih lanjut untuk

membuktikan hipotesis. Artinya, data didistribusikan secara normal. Jika tidak,

analisis statistik nonparametrik akan digunakan. Pada penelitian ini dilakukan uji

normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Kriteria keputusan adalah

apakah p-value lebih besar dari tingkat signifikansi α = 0,05. maka data

berdistribusi normal dan sebaliknya bila nilai p lebih kecil dari taraf signifikansi α

= 0.05 maka data tidak berdistribusi normal. Pada analisis uji Shapiro-Wilk

diperoleh tampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.3 Uji normalitas ekspresi MMP1 dan kandungan kolagen pada tikus strain
Wistar (Rattus Norvegicus) yang terkena sinar radiasi UV-B
Kelompok Pengamatan Nilai p
Ekspresi MMP 1 Jumlah Kolagen
P0 0,087 0,994
P1 0,594 0,295
P2 0,005 0,547
48

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa data kandungan kolagen untuk ketiga

kelompok observasi menunjukkan bahwa data tersebut secara normal

didistribusikan dengan p-value > 0,05, sehingga dilakukan uji parametrik. Data

ekspresi MMP1 untuk kelompok pengamatan P2 menunjukkan bahwa data

tersebut didistribusikan secara tidak normal dengan p-value <0,05 dilakukan

secara nonparametrik.

Selanjutnya dilakukan uji levene untuk mengetahui homogenitas data.

Berikut hasil uji homogenitas ketiga kelompok pengamatan.

Tabel 5.4 Hasil homogenetis ekspresi MMP1 dan kandungan kolagen pada tikus
Wistar (Rattus Norvegicus) yang terkena penyinaran sinar UV B
Variabel nilai p
Ekspresi MMP 1 0,469
Jumlah Kolagen 0,274

Berdasarkan Tabel 5.4 menunjukan bahwa data ekspresi MMP 1 memiliki

nilai p yaitu 0,469 dan jumlah kolagen dengan nilai p yaitu 0,274. Jadi kedua

variabel telah terbukti homogen dengan nilai p > 0,05

5.3. Analisa Beda Rerata Pemberian Krim Ekstrak Umbi Bit Merah (Beta

vulgaris) Terhadap Ekspresi MMP-1 pada Tikus (Rattus Norvegicus)

Galur Wistar yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B

Pemeriksaan Kruskal-Wallis dilakukan untuk memeriksa perbedaan antara

dosis rerata krim bit merah(Beta vulgaris) dan ekspresi MMP-1 pada tikus strain

Wistar (Rattus Norvegicus) yang terpapar sinar UV-B pada tiga kelompok

perlakuan. Dimana uji statistik ini melihat kemaknaan melalui nilai p.


49

Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis pada data ekspresi MMP-1 diperoleh

ada perbedaan yang bermakna rerata ekspresi MMP-1 ketiga kelompok

pengamatan, hal ini ditunjukan dengan nilai nilai p 0,001 (nilai p<0,05).

Selanjutnya dilakukan uji perbandingan antar kelompok perlakuan dengan Post

Hoc Mann-Whitney disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 5.5 Hasil Uji Perbandingan Rerata Kelompok Pengamatan Ekspesi MMP 1
Tikus (Rattus Norvegicus) Galur Wistar yang terkena sinar UV-B
Kelompok Pengamatan Rerata nilai p
MMP 1 P1 14,90 0,000*
P2 6,10
MMP 1 P0 13,15 0,023*
P2 7,50
Keterangan: *Bemakna p<0,05

Tabel 5,5 menunjukkan p-value sebesar < 0,05, berdasarkan hasil post hoc

test Mann-Whitney. Ini berarti bahwa semua kelompok yang diamati

menunjukkan perbedaan rata-rata yang signifikan dari kelompok lain. Ekspresi

MMP-1 rata-rata ditunjukkan pada kelompok tikus yang mengalami intervensi

paparan UVB. dan diberikan krim umbi bit merah lebih kecil dibandingkan

kelompok tanpa perlakuan dan kelompok dengan intervensi paparan UVB dan

diberikan krim dasar.

Berdasarkan hasil perhitungan, perlakuan dengan pemberian cream bit

merah pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang terkena sinar UV-B

berpengaruh signifikan dalam menekan peningkatan ekspresi had MMP-1.


50

5.4. Analisa Beda Rerata Pemberian Krim Ekstrak Umbi Bit Merah (Beta

vulgaris) Terhadap Jumlah Kolagen pada Tikus (Rattus Norvegicus)

Galur Wistar yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B

One way Anova dilakukan untuk memeriksa perbedaan antara dosis rerata

cream bit merah (Beta vulgaris) dan jumlah kolagen pada tikus strain Wistar

(Rattus Norvegicus) yang terpapar sinar UV-B pada tiga kelompok perlakuan.

Dimana uji statistik ini melihat kemaknaan melalui nilai p dan rerata masing-

masing kelompok.

p-value 0,000 (p-value < 0,05) berdasarkan hasil uji one way Anova untuk

jumlah data kolagen. Selanjutnya dilakukan uji perbandingan antar kelompok

perlakuan dengan uji Post Hoc Least Significant Difference/LSD :

Tabel 5.6 Hasil uji perbandingan antar kelompok Pengamatan kandungan kolagen
dengan penyinaran sinar ultraviolet B pada tikus Wistar (Rattus
Norvegicus)
Kelompok Pengamatan Beda Rerata nilai p
P0 P1 5,61* 0,001
P2 -5,09* 0,000
P1 P0 -5,61* 0,001
P2 -10,70* 0,000
P2 P0 10,70* 0,000
P1 5,09* 0,003
Keterangan: *Bemakna p<0,05

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa nilai p <0,05. Hal ini berarti

semua kelompok pengamatan memiliki perbedaan rerata yang signifikan terhadap

kelompok lainnya. Tampak nilai rerata jumlah kolagen pada kelompok tikus

dengan intervensi paparan UVB dan diberikan krim umbi bit merah lebih besar

dibandingkan kelompok tanpa perlakuan dan kelompok dengan intervensi paparan


51

UVB dan diberikan krim dasar. Dimana beda rerata kelompok pengamatan P2

(kelompok dipapar UVB dan diberikan krim umbi bit merah) dengan kelompok

pengamatan P0 (kelompok tanpa perlakuan) sebesar 10,70 dan dengan kelompok

pengamatan P1 (kelompok dipapar UVB dan diberikan krim bahan dasar) sebesar

5,09.

Berdasarkan perhitungan hasil tersebut, dapat diartikan bahwa memberikan

cream bit merah untuk tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang terkena sinar UV-B

berpengaruh signifikan dalam menghambat turunnya kandungan kolagen.

5.5. Analisa Korelasi Pemberian Krim Ekstrak Umbi Bit Merah (Beta

vulgaris) Terhadap Ekspresi MMP-1 serta Jumlah Kolagen pada Tikus

(Rattus Norvegicus) Galur Wistar yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B

Uji korelasi merupakan tes untuk menentukan seberapa dekat hubungan

antara dua variabel. Pada penelitian ini peneliti bertujuan untuk mengetahui

tingkat kedekatan hubungan antara pemberian ekstrak bit merah (Beta vulgaris)

dengan ekspresi MMP-1 dan kandungan kolagen dengan uji korelasi Rank-

Spearman. Dimana uji statistik ini melihat kemaknaan melalui nilai p, sedangkan

untuk melihat besar korelasi dilihat dari nilai r. Hasil analisa data tersebut

disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 5.7 Hasil Uji Korelasi Antara Pemberian Krim Ekstrak Umbi Bit Merah
(Beta vulgaris) Terhadap Ekspresi MMP-1 dan Jumlah Kolagen pada
Tikus (Rattus Norvegicus) Galur Wistar yang Dipapar Sinar Ultra
Violet-B
52

Variabel Koefisien Korelasi (r) nilai p


Ekspresi MMP 1 -0,712 0,000*
Jumlah Kolagen 0,785 0,000*
Keterangan: *Bemakna p<0,05

Uji Rank Spearman menghasilkan p-value sebesar p 0,000 (p<ɑ), sehingga

menyimpulkan hubungan yang signifikan antara pemberian ekstrak bit merah

(Beta vulgaris) dengan ekspresi MMP-1 dan jumlah kandungan kolagen pada

tikus (Rattus norvegicus) strain Wistar yang terkena sinar UV-B. Dari tabel di

atas, koefisien korelasi (r) antara pemberian ekstrak bit merah (Beta vulgaris) dan

ekspresi MMP-1 adalah -0,712, menyiratkan bahwa arah korelasi antara kedua

variabel adalah negatif Ini berarti bahwa pemberian ekstrak bit merah (Beta

vulgaris) menekan peningkatan ekspresi MMP-1 dengan kekuatan relatif kuat.

Tabel 5.6 menunjukan koefisien korelasi (r) antara pemberian ekstrak umbi

bit merah (Beta vulgaris) Kandungan kolagen 0, 785, yang berarti bahwa arah

korelasi antara kedua variabel menunjukan hasil yang positif. Artinya, pemberian

ekstrak bit merah (Beta vulgaris) menekan penurunan jumlah kolagen karena

kekuatan hubungannyaa.
53

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana dan Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas

Udayana. Penelitian ini menggunakan umbi bit merah yang diperoleh dari pasar

diwilayah Kota Denpasar. Proses bit merah dalam pembuatan cream dilakukan

dengan mencampurkan ekstrak bit dengan cream dasar yang terdiri dari Cera

Alba, Sodium Lauryl Sulfate, Petrolatum Alba, Propylene Glycol dan Distilled

Water.

Penelitian dilaksanakan selama 6 minggu dan dilakukan pembedahan di

minggu ke 4 penyinaran. Sampel yang digunakan hewan coba tikus jantan (Rattus

Norvegicus) galur wistar sebanyak 30 ekor sesuai kriteria ekslusi dan inklusi yang

dibagi menjadi 3 kelompok. Selama proses penelitian tidak ada sampel yang

mengalami drop out.

6.2. Pengaruh Pemberian Krim Ekstrak Umbi Bit Merah (Beta vulgaris)

Terhadap Penghambatan Ekspresi MMP-1 pada Tikus (Rattus

Norvegicus) Galur Wistar yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B

Berdasarkan hasil analisa univariat dapat diketahui kelompok tikus dengan

intervensi paparan UVB dan diberikan krim umbi bit memiliki rerata ekspresi

MMP1 paling rendah, yaitu 25,11 % dibandingkan dua kelompok pengamatan

53
54

lainnya. Sedangkan rerata tertinggi yaitu 55,76 % pada Kelompok dipapar UVB

dan diberikan krim bahan dasar. Hal ini terbukti dari pengamatan jaringan dermis

kelompok dipapar UVB dan Ekspresi MMP-1 (coklat) pada kelompok cream bit

merah relatif sedikit daripada kelompok cream dasar.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jung et al (2021),

dimana sinar UV-B mempengaruhi peningkatan ekspresi MMP-1. Hal ini juga

didukung penelitian lain, dimana MMP-1 disekresikan oleh keratinosit dan

fibroblast dermal sebagai respon terhadap rangsangan radiasi UV (Pittayapruek,

dkk., 2016).

Paparan berulang terhadap radiasi sinar UV mempercepat penuaan dini pada

kulit atau photoaging (Todorova and Mandinova A 2020). Keriput kulit terutama

disebabkan oleh sinar UV yang meningkatkan ekspresi protein MMP-1 dan stres

oksidatif serta menguras kolagen pada kulit (Kim and Lee 2018). Regulasi MMP-

1 yang diinduksi oleh sinar UV berdampak langsung pada proses kerutan kulit

(Roh et al. 2017). Ekspresi MMP-1 yang berlebihan oleh radiasi sinar UV

memfasilitasi kerutan kulit dengan mengganggu integritas jaringan. Studi

sebelumnya telah menunjukkan bahwa jalur MAP kinase yang teraktivasi UV,

termasuk JNK dan p38, menyebabkan aktivasi AP-1, yang selanjutnya

meningkatkan ekspresi MMP-1. SUV mengaktifkan jalur MAPK dan Akt.

Khususnya, radiasi UV dapat mengaktifkan jalur pensinyalan ERK, yang

memainkan peran penting dalam aktivasi faktor transkripsi AP-1. Aktivitas AP-1

ditingkatkan oleh jalur MAPK dan Akt melalui fosforilasi c-Fos dan c-Jun, karena

AP-1 terdiri dari homodimer c-Jun atau heterodimer c-Jun dan c-Fos. Dalam sel
55

epidermis dan dermal, AP-1 membentuk kompleks untuk mengatur transkripsi

MMP-1, yang merupakan faktor transkripsi penting. Upregulasi mRNA MMP-1

dimodulasi oleh AP-1. Photoaging yang ditandai dengan kerutan kulit adalah

proses penuaan yang terjadi secara alami. Dengan demikian, penting untuk

menemukan agen baru yang dapat menghambat atau menunda proses photoaging

(Kim and Lee 2018; Li et al. 2018).

Berdasarkan hasil analisa perbedaan rerata dengan uji Kruskal-Wallis

diperoleh perbedaan bermakna rerata ekspresi MMP-1 antara tikus tanpa

perlakuan, kelompok perlakuan P1 (Kelompok dipapar UVB dan diberikan krim

bahan dasar), dan P2 (Kelompok dipapar UVB dan diberikan krim umbi bit

merah). Selain itu, dari analisa uji korelasi didapatkan nilai p 0,000 (p <ɑ ) dan

koefisien korelasi (r) sebesar -0,712 yang artinya arah korelasi antara kedua

variabel adalah negatif. Ini berarti bahwa ekstrak bit merah (Beta vulgaris)

menghambat ekspresi MMP-1 dengan potensi relatif kuat. Artinya, pemberian

cream bit merah pada tikus strain Wistar (Rattus Norvegicus) yang terpapar sinar

UV-B berpengaruh signifikan terhadap penghambatan ekspresi MMP-1.

Bit merah mengandung sejumlah senyawa bioaktif yang dapat menunjukkan

efek peningkatan kesehatan, termasuk betalain, asam askorbat, flavonoid,

karotenoid, polifenol, saponin, dan nitrat tingkat tinggi (Clifford et al. 2015).

Betalain memiliki karakteristik struktural seragam yang berasal dari asam

betalamik, bersama dengan radikal R1 atau R2, di mana substituennya dapat

berupa hidrogen atau radikal. Variasi dalam kelompok substituen berasal dari asal

pigmen yang beragam dan memengaruhi stabilitas dan coraknya. Menurut struktur
56

kimianya, relatif mudah untuk mengekstraksi betalain. Dua bentuk predominat

termasuk betaxanthins kuning dan betacyanins redviolet. Bit memiliki sekitar

75−95% betasianin dan 5−25% betaxanthin (Sitompul and Puspita Zulfati 2019).

Lebih dari 80% pigmen dari bit merah terdiri dari betacyanin, yaitu betanin dan

isobetanin, isomer betanin. Sebuah studi sebelumnya menyelidiki kandungan

betalain dalam jus bit olahan dan melaporkan bahwa betanin berfungsi sebagai

komponen yang paling melimpah (300−600 mg/kg), diikuti oleh vulgaxanthin dan

isobetanin (Slavov et al. 2013). Betacyanin yang terkenal adalah betanin karena

warna merahnya yang khas.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan melawan radikal

bebas betanin dalam umbi bit merah hampir dua kali lebih tinggi dari beberapa

anthocyanin di bawah keadaan pH> 4 (Fu et al. 2020). Kemampuan melawan

radikal bebas dan aktivitas antioksidan betanin yang tinggi terkait dengan

keberadaan gugus hidroksi fenolik dalam struktur (Costa et al. 2017). Laporan

sebelumnya juga menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan betanin dikaitkan

dengan ikatan tak jenuh yang kaya pada cincin benzena (Esatbeyoglu et al. 2014).

Adapun kelompok fungsional aktif tertentu, diperlukan penelitian dan konfirmasi

lebih lanjut. Selain mengandung betanin, umbi bit merah juga mengandung

polifenol dan fenolik yang cukup banyak, sedikit vitamin C dan vitamin E, yang

telah dibuktikan dengan kemampuan antioksidan yang besar (Kavalcová et al.

2015).

Dalam sel hidup, reaksi berantai enzimatik yang dihasilkan dari proses

metabolisme membentuk radikal bebas pada membran plasma yang juga


57

terbentuk dalam organel seperti peroksisom, retikulum endoplasma, mitokondria

dan sitosol. Radikal bebas sangat reaktif dan dapat menyebabkan perubahan kimia

dan merusak berbagai komponen seperti karbohidrat, nukleotida, lipid dan

protein. Dengan adanya antioksidang yang diproduksi secara alami oleh tubuh,

maka tubuh mampu menyerap radikal bebas ini. Seiring bertambahnya usia,

radikal bebas terus meningkat, tetapi antioksidan alami saja tidak cukup. Ini

menciptakan ketidakseimbangan antara radikal bebas yang terbentuk dan

antioksidan yang ada, yang mengarah pada pembentukan spesies oksigen reaktif

(ROS). ROS memainkan peran penting dalam metabolisme kolagen. Spesies

oksigen reaktif tidak hanya secara langsung menghancurkan kolagen interstitial,

tetapi juga menginduksi enzim yang bertanggung jawab untuk degradasi kolagen,

yaitu matrix metalloproteinases (MMPs), mengakibatkan hilangnya kolagen

dermal (Eickelberg 2011). Melalui jalur ini, antioksidan umbi bit berperan sebagai

antioksidan eksternal yang menghambat proses pembentukan MMP-1.

6.3. Pengaruh Pemberian Krim Ekstrak Umbi Bit Merah (Beta vulgaris)

Terhadap Penghambatan Penurunan Jumlah Kolagen pada Tikus (Rattus

Norvegicus) Galur Wistar yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B


Hasil analisa univariat menunjukan kelompok tikus dengan intervensi

paparan UVB dan diberikan krim umbi bit memiliki rerata jumlah kolagen paling

tinggi, yaitu sebanyak 80,08 % pixel. dibandingkan dua kelompok pengamatan

lainnya. Sedangkan rerata terendah pada Kelompok dipapar UVB dan diberikan

krim bahan dasar yaitu 69,38 % pixel. Hasil pengamatan jaringan dermis juga

menunjukan kelompok pengamatan P2 (Kelompok dipapar UVB dan diberikan

krim umbi bit) Ini memiliki serat kolagen merah yang tampak lebih lebar dan

lebih tebal, menunjukkan ekspresi kolagen.

Penelitian lain juga menunjukan hasil yang sama, dimana Radiasi UV-B 3

kali seminggu selama 6 minggu dengan ukuran 130 mj/cm 2 in vivo menyebabkan

peningkatan kerusakan fibroblas pada mencit (Li et al. 2022). Pada penelitian

yang dilakukan Wahyono (2020) pemberian sinar UVB dengan dosis 130

mJ/cm2 sampai 150 mJ/cm2 dapat menurunkan ekspresi kolagen tipe-1 pada kulit

mencit umur 4 sampai 7 bulan.

Produksi kolagen dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti radiasi

UV, polusi serta diet (Krutmann et al. 2021). Peningkatan ROS akibat radikal

bebas karena sinar UV-B ini dapat menyebabkan peningkatan perooksidasi lipid.

Tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh dapat ditunjukkan dengan rendahnya

aktivitas antioksidan enzim dan tingginya malondialdehid (MDA) (Aliahmat et al.

2012). Senyawa ROS ini tidak hanya memecah kolagen, tetapi juga berperan

dalam metabolisme kolagen, karena menginduksi beberapa enzim yang berperan

dalam degradasi kolagen, yaitu matrix metalloproteinases (MMPs), yang

menyebabkan penurunan kolagen kulit. (Eickelberg 2011). Akumulasi oksigen


reaktif meningkatkan MMP-1 serta MMP-3. MMP-1 menurunkan kolagen tipe 1,

MMP-3 memecahkan kolagen tipe IV, proteoglikan, fibronektin, serta laminin.

Kerusakan kolagen tipe I dan IV menyebabkan penurunan produksi kolagen.

Berdasarkan hasil analisa perbedaan rerata dengan uji one way ANOVA

diperoleh perbedaan bermakna rerata jumlah kolagen pada jaringan dermis antara

tikus tanpa perlakuan, Kelompok perlakuan P1 ( terpapar sinar UVB kemudian

dioleskan dengan cream bahan dasar) kemudian P2 ( terpapar sinar UVB lalu

dioleskan dengan cream bit merah). Selain itu, dari analisa uji korelasi didapatkan

nilai p 0,000 (p <ɑ ) dan koefisien korelasi (r) dengan total 0,785 dapat diartikan

bahwa kesamaan antara variabel satu dengan variabl lainnya bernilai positif. Hal

ini berarti dapat menghambat menurunnya jumlah kolagen dengan kekuatan

hubungan yang kuat sebagai akibat dari pemberian ekstrak bit merah (Beta

vulgaris). Hal ini berarti pemberian krim umbi bit merah sangat berpengaruh

untuk menurunkan sejumlah kolagen pada tikus (Rattus Norvegicus) galur wistar

yang terkena sinar UV-B.

Kandungan nutrisi umbi bit antara lain kandungan vitamin C yang tinggi

sebagai antioksidan. Warna merah muda umbi bit berasal dari kandungan pigmen

betasianin (Nanda 2014). Menurut Kusumaningrum, dkk (2012) kandungan

vitamin dan mineral dalam umbi bit mampu merangsang perbaikan sistem

peredaran darah dan sel darah merah. Antioksidan lain dalam bit merah adalah

fenolik, dengan total flavonoid 10,19 ± 1,7 mg/100g berat segar dan total fenol

323 mg/100g berat segar, diartikan bahwa total kandungan fenolik lebih tinggi
daripada sayuran maupun buah buahan lainnya. Kegunaan bit merah dapat sebagai

pelindung UV (Chen et al. 2021).

Antioksidan seperti vitamin C dan betalain memainkan peran penting dalam

melindungi kulit terhadap ROS. Saat kulit terpapar sinar UV, senyawa ROS

seperti ion superoksida dan peroksida. Antioksidan melindungi kulit dari stres

oksidatif dengan berturut-turut mendonorkan elektron untuk menetralkan radikal

bebas. ROS dapat memicu reaksi berantai atau kaskade yang merusak sel. Efek

berbahaya dari ROS bermanifestasi sebagai perubahan kimiawi langsung pada

DNA sel, membran sel, dan protein sel, termasuk kolagen. Stres oksidatif juga

memicu kejadian seluler tertentu yang dimediasi oleh faktor transkripsi,

Upregulasi B. ROS dari faktor transkripsi-1 protein aktivator-1 (AP-1) dapat

meningkatkan produksi matrix metalloproteinase (MMP) dan mengakibatkan

degradasi kolagen. Stres oksidatif menginduksi faktor transkripsi nuklir kappa B

(NFkB). Menghasilkan beberapa mediator yang menyebabkan peradangan dan

penuaan pada kulit. (PK 2009). ROS juga meningkatkan kadar mRNA elastin

pada fibroblas kulit. Ini bisa menjelaskan perubahan elastisitas yang diamati pada

kulit yang menua. Antioksidan diperlukan untuk menetralkan senyawa ROS yang

dihasilkan oleh paparan sinar UV (Lingappan 2018). Photoaging dapat dicegah

dengan mencegah kemerahan yang disebabkan oleh radiasi UV, mencegah

pembentukan sel yang terbakar sinar matahari dan mendorong perbaikan kolagen.

Untuk mengoptimalkan perlindungan UV, penting untuk menggunakan tabir

surya bersama dengan antioksidan topikal (Lingappan 2018).


Vitamin C sangat penting untuk biosintesis kolagen. Vitamin C

mempengaruhi sintesis kolagen secara kuantitatif, selain merangsang perubahan

kualitatif pada molekul kolagen. Vitamin C bertindak sebagai kofaktor untuk

enzim prolysyl dan lysyl hidroksilase, enzim yang bertanggung jawab untuk

menstabilkan dan mengikat molekul kolagen secara bersamaan (Woodby et al.

2020). Mekanisme lain dimana vitamin C mempengaruhi sintesis kolagen adalah

dengan merangsang peroksidasi lipid, dan produk dari proses ini,

malondialdehida, pada gilirannya merangsang ekspresi gen kolagen. Vitamin C

juga secara langsung mengaktifkan transkripsi sintesis kolagen dan menstabilkan

mRNA prokolagen, sehingga mengatur sintesis kolagen (Woodby et al. 2020).

Studi klinis telah menunjukkan bahwa aplikasi topikal vitamin C meningkatkan

produksi kolagen pada kulit muda dan tua (Boo 2022). Oleh sebab itu

berdasarkan hasil penelitian dan kandungannya krim ekstra umbi bit merah

memiliki potensi untuk menjadi krim topikal untuk menghambat penurunan

produksi kolagen pada kulit sehingga menghindari kerusakan akibat paparan sinar

UV-B.

6.4. Keterbatasan Penelitian

1. Peneliti mempunyai keterbatasan selama proses penelitian, diantaranya

peneliti belum dapat mengetahui secara pasti dosis yang aman pemberian

krim ekstrak umbi bit merah pada tikus (Rattus Norvegicus) galur wistar

yang dipapar sinar UV-B.


2. Penelitian ini hanya menggunakan 1 dosis pemberian krim ekstrak umbi

bit merah sehingga tidak ada pembanding untuk mengetahui dosis terbaik.

3. Penelitian ini hanya mengamati efek pemberian krim ekstrak umbi bit

merah terhadap ekspresi MMP-1 dan jumlah kolagen tanpa melihat efek

samping yang mungkin terjadi.


BAB VII

KESIMPULAN

7.1 Simpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan sesuai dengan tujuan penelitian

diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemberian krim ekstrak Umbi bit merah (Beta vulgaris) Secara

topikal, dapat menghambat peningkatan ekspresi MMP-1 pada kulit

tikus Wistar yang terpapar sinar UV-B, seperti yang ditunjukkan

oleh perbedaan rata-rata serta intensitas korelasi yang kuat.

2. Pemberian krim ekstrak Umbi bit merah (Beta vulgaris) Secara

topikal, dapat menghambat pengurangan kandungan kolagen pada

kulit tikus Wistar yang terpapar sinar UV-B, terbukti dengan

perbedaan rata-rata serta kekuatan korelasi yang kuat.

7.2 Saran

Merujuk masalah yang diuraikan dalam pembahasan, maka penulis

menyarankan:

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa intervensi beberapa dosis

pemberian untuk mengetahui tingkat dosis pemberian krim ekstrak

umbi bit merah yang aman dan efektif.


64

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa mengamati efek samping

pemberian krim ekstrak umbi bit merah terhadap ekspresi MMP-1

dan jumlah kolagen.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa uji coba lebih lanjut

untuk mengetahui pengaruh pemberian krim ekstrak umbi bit merah

yang berasal dari berbagai sumber daerah penghasil terhadap

ekspresi MMP-1 dan jumlah kolagen.

64
65

Anda mungkin juga menyukai