Nurni Wahyu Wuryandari
Nurni Wahyu Wuryandari
Abstrak
Naskah Nusantara adalah naskah yang berbicara atau berisi informasi tentang Nusantara atau
Indonesia. Naskah bisa saja berasal dari Indonesia sendiri atau berasal dari negara-negara lain
yang melakukan pencatatan tentang Indonesia. Makalah ini akan membahas naskah yang
mencatat tentang Jawa yang diambil dari naskah resmi Sejarah Dinasti Yuan dan Daoyi Zhilue
(Catatan Ringkas Penduduk Pulau-pulau Barbar) yang dicatat oleh Wang Dayuan, pengelana
Cina yang pernah datang ke Jawa. Fokus pembahasan terletak pada aspek perlunya pemahaman
bahasa sebagai pengungkap informasi, naskah sebagai pembanding atas pencatatan dari sumber
lain, dan informasi yang bisa didapat dari naskah Cina. Dengan pendekatan filologis dan
toponomi dalam membedah naskah, diharapkan temuan atas informasi dalam teks dapat
membantu melengkapi data sejarah Indonesia.
Kata kunci: naskah klasik Cina, pemahaman bahasa, informasi, pembanding, manfaat
1. Pendahuluan
Membaca kata “Naskah Nusantara” terbersit dua pertanyaan. Pertama, kata “Naskah
Nusantara” apakah sesungguhnya mengacu pada semua naskah yang berisi informasi tentang
kehidupan di Nusantara yang berasal dari Nusantara, yang ditulis dengan berbagai bahasa yang
ada di pelosok Nusantara? Kedua, bagaimana bila sebuah naskah juga berisi informasi tentang
Nusantara, namun tidak ditulis dalam bahasa-bahasa yang hidup di Nusantara? Apakah tetap bisa
disebut sebagai naskah Nusantara? Semua naskah yang mencatat berbagai hal tentang kehidupan
di Nusantara tentu memiliki makna penting, membutuhkan penguasaan bahasa yang berkaitan
dengan naskah, dan membutuhkan ketelitian dalam menerjemahkan dan memaknai isinya.
Berkaitan dengan hal di atas, saya mencoba mengangkat hal yang kedua, yaitu naskah yang
cukup kaya mencatat tentang berbagai hal di Nusantara yang telah dilakukan secara sistematis
oleh para pencatat atau utusan dari negeri tetangga, yaitu Cina, semenjak tahun 131 Masehi.
Meskipun bukan merupakan nakah asli dari Nusantara, dan juga tidak ditulis oleh orang
Nusantara sendiri, naskah dari Cina ini sangat kaya dengan informasi. Dari banyaknya informasi
tentang Nusantara, artikel ini akan membatasi pembahasan pada naskah-naskah Cina yang
mencatat Jawa. Catatan tentang Jawa merupakan catatan yang paling lengkap yang ditulis oleh
para pencatat Cina. Tantangan terbesar dalam membaca dan memahami naskah-naskah tua dari
Cina tersebut terletak pada bahasa yang digunakan, yaitu wenyan (文言bahasa klasik), yang
berbeda dengan bahasa putonghua 普通話, yaitu bahasa Mandarin yang digunakan sekarang ini.
Orang Cina pada masa lalu mencatat Jawa dengan nama yang berbeda-beda. Nama kerajaan
dan nama raja-raja di Jawa nyaris tidak pernah muncul dalam catatan mereka. Penyebutan dan
penulisan nama-nama raja dan kerajaan-kerajaan di Jawa bukanlah hal yang mudah dilakukan
oleh para pencatat Cina. Mereka terbiasa menggunakan kata dan nama yang umumnya terdiri
dari satu atau dua suku kata saja, dan seringkali maksimal tiga suku kata sehingga pencatatan
Laboratorium Filologi
Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 230
atas nama-nama seringkali dibuat sesuai apa yang mereka dengar dan dituliskan dalam huruf
kanji yang bunyinya mendekati bunyi yang mereka dengar.
Sebagai materi utama pembahasan dalam makalah ini, akan saya gunakan dua naskah klasik
pada masa dinasti Yuan Dinasti (berkuasa pada tahun 1206—1368). Naskah yang pertama adalah
catatan sejarah resmi kedinastian, Yuan Shi (Sejarah Dinasti Yuan), sementara yang lainnya
adalah catatan individual seorang pengelana masa Yuan yang pernah melakukan pelayaran ke
Jawa, yaitu Daoyi Zhilue (Catatan Ringkas Penduduk Pulau-pulau Barbar). Naskah pendamping
lain juga akan digunakan sebagai pendukung paparan yang diperlukan.
Laboratorium Filologi
Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 231
2. Hasil dan Pembahasan
2.1 Nama Jawa dan Cara Pencatatannya
Dahulu kala Jawa memiliki kerajaan seperti Tarumanegara, Kediri, Singhasari, Banten,
Mataram dan lainnya, namun sejarawan Cina nyaris tidak pernah mencatat menggunakan nama-
nama kerajaan tersebut. Mereka mencatat umumnya hanya menggunakan kata “Jawa” atau nama
suatu tempat yang mereka datangi. Jawa dalam naskah Cina tidak hanya dituliskan dalam satu
atau dua sebutan saja, melainkan dengan beberapa sebutan berbeda. Penyebutan “Jawa” seperti
yang kita kenal sekarang ini, baru digunakan dalam Yuan Shi (Sejarah Dinasti Yuan).
Catatan mengenai Jawa pertama kali muncul pada tahun 131, kala itu Jawa disebut dengan
nama “Yediao” dalam Hou Han Shu. Penulisan kata “Yediao” berasal dari “Javadvipa” (empat
suku kata) yang diringkas menjadi dua suku kata (Liang, 2012:29). Feng Chengjun juga
menyatakan bahwa Yediao adalah Jawa, sedangkan Ferrand menunjuk bahwa Yediao memang
adalah Jawa yang ada pada masa sekarang ini.
Sebutan kedua untuk Jawa muncul pada tahun 414 dalam Foguo Ji (Catatan Negara-negara
Budhis) dengan sebutan “Yepoti”. Nama Yepoti juga berasal dari pelafalan kata Yavadvipa.
Foguo Ji mencatat bahwa biksu bernama Fa Xian (Fa Hien) terdampar di Pulau Jawa saat ia
kembali dari India dan ikut dalam kapal dagang India. Setelah dua nama sebutan pertama ini,
selanjutnya sebutan untuk Jawa mengalami enam kali perubahan di masa berbeda. Pencatatan
atas nama Jawa juga kadang bercampur dengan nama tempat dan kerajaan yang ada di Jawa.
Berikut adalah nama-nama lain Jawa dan naskah sumber yang menyebutkan,
Jiu Tang Shu (Kitab Sejarah 197 Heling (Holing) Padanan bunyi dari kata
Tang Lama) “Kalingga”
Xin Tang Shu (Kitab Sejarah 222 Heling/ Shepo/ Selain menyebut Shepo
Tang Baru) Bagian Zhepo atau Zhepo sebagai
kedua padanan dari Jawa, kata
Shepo, atau Zhepo
dianggap sebagai padanan
dari kata “Jepara”.
Song Shi (Sejarah Dinasti 489 Zhepo juga
Song) disebut Pujialong
Bagian Pujialong adalah padanan
Zhufan Zhi (Catatan Negara- pertama bunyi dari Pekalongan
negara Barbar)
Yuan Shi (Sejarah Dinasti 210 Zhaowa Jawa
Yuan)
Berangkat dari data nama-nama Jawa seperti di atas, barulah pintu masuk memahami berbagai
hal tentang Jawa bisa digali. Ciri khas dari catatan mereka adalah, umumnya dimulai dengan
Laboratorium Filologi
Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 232
narasi posisi geografis tempat yang dicatat, lalu diikuti dengan narasi hubungan bilateral,
kehidupan sosial, dan kekayaan alam.
Jawa terletak di seberang lautan dan lebih jauh (dari) Champa. Jika berangkat dari
Quanzhou dan berlayar ke selatan, akan sampai di Champa dan selanjutnya tiba di
negeri ini.
Kebiasaan dan produksi negeri ini tidak banyak diketahui. Pada umumnya,
negara-negara barbar di seberang lautan menghasilkan benda-benda langka dan
bernilai yang memiliki harga tinggi di Tiongkok. Penduduknya jelek dan aneh. Sifat
alami dan ucapan mereka tidak bisa dipahami orang Tiongkok.
Ketika Kaisar Shizu (Wubilie atau Kublai) menaklukkan orang-orang barbar di
keempat penjuru dunia dan mengirimkan para perwira ke berbagai negeri di seberang
lautan, Jawa adalah satu-satunya negeri yang harus diserang dengan sebuah angkatan
besar.
Dari narasi di atas, terbetik dua pertanyaan. Pertama, apa yang mendasari kebijakan kerajaan
Yuan untuk menyerang Jawa pada masa itu? Kita cukup mengetahui dalam beberapa sumber
sejarah disebutkan bahwa penyebab serangan Yuan ke Jawa adalah akibat tindakan raja Jawa
masa itu, yaitu Kartanegara, yang telah melukai wajah utusan mereka. Narasi dalam naskah
Sejarah Dinasti Yuan juga menyatakan hal yang kurang lebih sama.
Laboratorium Filologi
Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 233
… Kaisar berkata, “Setibanya di Jawa, kalian harus menyatakan dengan jelas kepada
tentara dan penduduk negeri itu bahwa Pemerintahan Kekaisaran sebelumnya telah
melakukan kontak dengan Jawa melalui para utusan dari kedua belah pihak. Hubungan
ini telah berjalan dengan baik. (tapi) Baru-baru ini mereka telah melukai wajah utusan
kaisar yang bernama Meng Youcheng (Meng Qi), dan kalian (harus) datang untuk
menghukum mereka akibat perbuatan itu.”
Pertanyaan kedua adalah, mengapa Kertanagara sampai melakukan tindakan yang pasti
diketahuinya akan berdampak buruk pada hubungan dua negara? Kitab Sejarah Nasional
Indonesia II yang dihimpun oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto
(1984) menyebutkan bahwa Utusan Khubilai Khan mulai datang ke Jawa pada tahun 1280 dan
1281. Mereka menuntut agar Jawa mengirim seorang pangeran ke Cina sebagai tanda tunduk
kepada kekaisaran Yuan. Karena hal inilah Kertanagara mulai melancarkan strategi untuk
memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke luar Pulau Jawa. Ia mempersiapkan diri secara
fisik dan spiritual untuk menghadapi ancaman Khubilai Khan. Setelah dirinya merasa cukup kuat,
ketika utusan Khubilai Khan, yaitu Meng Ch’i datang pada tahun 1289 untuk meminta pengakuan
tunduk dari Jawa, Kertanagara menolaknya dan melukai wajah utusan tersebut (Poesponegoro
dan Notosusanto, 1984:414, 417).
Paparan permintaan pengiriman utusan sebagai tanda tunduk Jawa kepada Cina yang dimuat
dalam kitab sejarah Indonesia di atas tentu saja tidak disebutkan dalam Sejarah Dinasti Yuan.
Menurut hemat saya, ada alasan menarik lain yang perlu disimak. Selain permintaan pengiriman
pangeran Jawa ke Cina sebagai tanda tunduknya Jawa, sesungguhnya Khubilai juga menuntut Jawa
melaksanakan beberapa hal, yang kemungkinan besar menyulut amarah Kertanagara yang berakibat
pada penolakannya terhadap utusan yang datang pada saat itu.
Untuk mendapatkan sedikit gambaran tentang Jawa di abad ke-12 dan apa tujuan pengiriman
utusan Kerajaan Yuan di bawah Khubilai Khan ke Jawa, saya akan menggunakan naskah lain di
luar Sejarah Dinasti Yuan yang bukan merupakan catatan sejarah resmi kerajaan, yaitu Daoyi Zhilue
島夷志略 (Catatan Ringkas Penduduk Pulau-pulau Barbar). Naskah yang juga ditulis pada masa
dinasti Yuan ini merupakan catatan pribadi yang dihimpun oleh Wang Dayuan. Ia mencatat Jawa
dalam bab khusus tentang “Jawa”. Naskah yang ditulis oleh Wang ini tidak dijadikan sebagai buku
referensi yang digunakan oleh Groeneveldt dalam terjemahan. Sebagaimana yang ia sebutkan
sendiri pada bagian akhir Pendahuluan buku Nusantara dalam Catatan Tionghoa saat ia
mengerjakan buku terjemahannya, ia tidak berhasil menemukan naskah tersebut (Groeneveldt,
2009: xxiii).
Wang Dayuan pernah dua kali, yaitu di tahun 1330 dan 1337, turut berlayar mengunjungi
beberapa negeri di laut Selatan dan laut Barat. Di dalam naskahnya ia mencatat berbagai hal,
terutama hal yang berkaitan dengan kondisi alam dan hasil bumi tempat-tempat yang ia kunjungi,
termasuk Jawa. Berikut ini adalah petikan dari narasi dari bab “Jawa” dalam Daoyi Zhilue, yang
isinya nyaris tidak pernah diketahui pembaca Indonesia:
Jawa dulu pernah disebut dengan Zhepo…. Tanahnya luas dan penduduknya padat.
Jawa adalah negeri nomor satu di antara negeri-negeri di lautan timur… sawah
Laboratorium Filologi
Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 234
ladang mereka subur, tanahnya datar, padinya bagus dan melimpah, berkali lipat
dibandingkan negeri lain… Kaisar Dade (1297—1307) pernah mengutus Yihei Mishi,
Shi Bi, dan Gao Xing pergi ke tanah Jawa. Ia memerintahkan bawahannya ini untuk
menarik pajak dan upeti, membuat kantor pemerintahan, mendorong sistem hukum
dan tatanan sosial, membuka (pos) tentara untuk menyampaikan dokumen resmi,
menjalankan pengawasan hukuman, menekankan regulasi (atas) garam, penggunaan
uang tembaga. Kebiasaan orang Jawa adalah mengecor campuran logam perak,
timah, tembaga yang dibentuk seperti keong yang ukurannya sebesar tempurung
kerang dan memberinya nama “uang perak”, uang ini lebih disukai ketimbang uang
tembaga. Jawa menghasilkan garam yang diperoleh dengan cara menjemur. Lada
setiap kali panen mencapai puluhan ribu jin (1 jin = 500 gr), ……
Dari petikan catatan yang dibuat oleh Wang Dayuan di atas, dapat terlihat bahwa
Kerajaan Yuan telah menuntut Jawa melakukan cukup banyak hal, antara lain, membayar
pajak, menyerahkan upeti kepada mereka, menggunakan uang tembaga dan beberapa hal lain
yang sesuai dengan standar peraturan yang berlaku di Tiongkok kala itu. Kemungkinan besar
tuntutan-tuntutan semacam inilah yang menyulut kemarahan Raja Kertanegara hingga ia
menggores wajah Meng Qi (Meng Youcheng) dan mengusirnya keluar dari Jawa. Dari narasi
tersebut, juga terbaca bahwa mata uang yang umum digunakan orang Jawa sesungguhnya
adalah uang perak dan jenis uang inilah yang lebih disukai ketimbang uang tembaga yang
umum digunakan di Tiongkok. Hasil bumi Jawa selalu menjadi bagian yang menarik
perhatian orang Tiongkok. Dari catatan sejarah sebelum Dinasti Yuan telah didapat informasi
bahwa lada memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan dalam beberapa catatan lain juga ada
catatan tentang garam di Jawa, namun baru dalam dokumen inilah diperoleh gambaran bahwa
urusan garam telah menyita perhatian Kerajaan Yuan sehingga kaisar merasa perlu
memberlakukan regulasi atas garam di Jawa.
Laboratorium Filologi
Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 235
三十年正月, 至构欄山議方略。… 大軍繼進於吉利門, 弼、興進至爪哇之
杜並足, 與亦黑迷失等議, 分軍下岸, 水陸並進。… 水軍, 自杜並足由戎牙路港
口至八節澗。… 馬步軍, 自杜並足陸行。
Pada bulan kesebelas, seluruh prajurit dari Propinsi Fujian, Jiangxi dan Huguang
telah berkumpul di Quanzhou. Pada bulan kedua belas, ekspedisi ini memulai
pelayarannya. Pada bulan pertama tahun 1293, mereka tiba di Pulau Goulan dan
merencanakan penyerangan mereka dengan seksama… Pasukan utama (pasukan
besar) selanjutnya berlayar ke Jilimen, dan kemudian Shi Bi dan Gao Xing masuk ke
sebuah tempat di Jawa yang disebut Dubing (zu), dan kembali berembuk dengan Yihei
Misi (Ike Mese) untuk membagi pasukan saat menepi di pantai, mereka akan masuk ke
Jawa melalui (jalur) air dan darat …. , pasukan jalur air dari Tuban menuju sungai
kecil bernama Bajie melalui pelabuhan Rong Ya Lu; …. Sementara pasukan berkuda
mengambil jalan darat dari Tuban..
Pada petikan narasi naskah Yuan Shi di atas, disebutkan 3 nama provinsi atau wilayah di Cina
tempat para prajurit Yuan berasal, yaitu Fujian, Jiangxi, dan Huguang. Mereka semua kemudian
bertemu dan berkumpul di Quanzhou sebagai tempat bertolak menuju Jawa. Selanjutnya, sebelum
tiba di Jawa, mereka melintasi Goulan dan Jilimen. Setelah meninggalkan Jilimen, para prajurit
Yuan masuk ke Jawa melalui Dubingzu, kemudian pasukan dibagi menjadi dua untuk menempuh
jalur darat dan air. Pasukan jalur air dari Dubingzu harus menuju Rong Ya Lu lebih dulu untuk
menuju Singhasari melalui sungai kecil yang bernama Bajie. Jadi, kalau disimpulkan, inilah jalur
pelayaran Tiongkok ke Jawa yang terekam dari narasi Yuan Shi, bab 210:
Setidak-tidaknya, ada lima nama tempat di luar Cina yang perlu diurai. Apa nama kelima tempat itu
dalam bahasa Indonesia yang umum kita kenal, dan di mana kiranya letak kelima tempat itu berada?
Untuk mengkaji hal ini saya akan merujuk pada dua buku sebagai pegangan, yaitu Nusantara dalam
Catatan Tionghoa oleh Groeneveldt (2009), dan buku Feng Chengjun (1976) yang berjudul
Zhongguo Nanyang Jiaotongshi (Sejarah Hubungan Cina dengan Negara-negara Laut Selatan) yang
membahas bagian dari naskah Yuan Shi.
Ketika Groeneveldt menerjemahkan bagian dari teks ini, ia menyatakan bahwa Goulan ini
kemungkinan adalah Pulau Belitung, namun ia juga memberi catatakan kaki di bukunya yang
menyatakan bahwa Goulan (Goulan shan atau Pulau Goulan) ini sesungguhnya belum bisa
diidentifikasi dengan pasti (hlm. 32). Feng Chengjun mengidentifikasi Pulau Goulan ini sebagai
Pulau Gelam (hlm: 90). Bila melihat peta Indonesia, kedua pulau ini sesungguhnya berdekatan
lokasinya, namun Belitung lebih luas ketimbang Pulau Gelam. Tempat tujuan selanjutnya adalah
Jilimen, yang diidentifikasi oleh Groeneveldt sebagai Karimon (Karimun Jawa). Penyebutan
Jilimen sebagai Karimun Jawa cukup bisa diterima sebab lokasi Karimun Jawa memang berada di
utara Jawa, tepatnya di utara Jepara.
Tempat pertama pasukan Yuan mendarat di Jawa adalah Dubing(zu). Tempat ini menurut
Groeneveldt adalah Tuban, Feng juga menyatakan hal yang sama, namun menurut Feng
penambahan kata “zu” dalam penulisan nama “dubing-zu” membingungkan. Bila merunut dari
bunyi, nama Dubing lebih dekat dengan penyebutan Tuban. Selanjutnya, ada wilayah yang bernama
Rong Ya Lu yang disebut dengan Sungai Sugalu atau Sedayu oleh Groeneveldt, sementara Feng
menyebut tempat ini sebagai nama sebuah pelabuhan. Sungai Sedayu sesungguhnya berada di Jawa
Tengah. Perkiraan Groeneveldt bahwa Rong Ya Lu adalah sungai Sedayu kemungkinan agak
meleset dalam hal ini sebab Tuban berada di Jawa Timur dan kerajaan tujuan yang akan diserang
adalah Singhasari yang berada di Jawa Timur juga. Nama pelabuhan yang dimaksud oleh Feng, bila
Laboratorium Filologi
Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 236
dikaji dari namanya, saya perkirakan sebagai berikut: kata “Rong” dalam Rong Ya Lu, seringkali
juga disebut dan ditulis “Jung”. Dengan demikian, kata “Jung Ya lu” bisa disimpulkan mengarah
pada bunyi Jung Galuh atau Hujung Galuh. Pelabuhan Hujung Galuh diperkirakan ada di wilayah
Surabaya.
Nama tempat terakhir yang disebutkan adalah Sungai Bajie atau Bajie Jian. Feng menyatakan
bahwa ini adalah Pachekan, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Groeneveldt menerjemahkan
Bajie Jian sebagai Sungai Bajie yang ia beri arti lainnya dalam tanda kurung (Kali Mas). Saya lebih
condong pada pendapat Groeneveldt karena kata Bajie mirip sekali dengan sebutan untuk kata
Surabaya dalam bahasa Madura, yaitu Sor-ba-je. Sulitnya melafalkan tiga suku kata untuk nama
Indonesia membuat suku kata pertama “sor” diabaikan, apalagi kata ini tidak mudah diucapkan
bunyinya dalam bahasa Cina. Sementara itu, kata “ba-je “sulit dicarikan padanan untuk kata “je”
sehingga lebih mudah bila disebutkan dengan kata “jie” sebagai padanan katanya. Kali atau Sungai
Surabaya tak lain adalah sungai yang umum disebut dengan Kali Mas.
Dengan analisis kata di atas, jalur pelayaran Tiongkok ke Jawa menjadi sebagai berikut.
Quanzhou → Pulau Gelam → Karimun Jawa → Tuban, dan Hujung Galuh → Kali Mas
3. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemaparan dan analisis yang telah dikerjakan di atas, terlihat bahwa
mengungkap sebuah naskah mengenai Nusantara bukanlah hal yang sederhana. Ini bisa dilihat
dari pembacaan atas naskah, memaknai, dan juga mengurai data yang tertera dalam naskah.
Diperlukan pengetahuan bahasa klasik yang memadai untuk mengungkap tidak hanya nama-
nama tempat, nama tanaman yang menjadi kekayaan tanah Jawa, mata uang dan lainnya, namun
juga memerlukan pemaknaan atas isi naskah. Dalam pengerjaan analisis, diperlukan juga buku-
buku dan kamus berbahasa Cina klasik yang menjadi pendukung penjelasan. Kerja pembedahan
atas dua naskah dinasti Yuan dapat memperlihatkan hal ini.
Informasi yang disajikan oleh dua naskah yang menjadi contoh pada bagian pembahasan,
yang berisi fragmen hubungan bilateral antara Jawa (Singhasari) dan Dinasti Yuan (Mongol) di
atas diharapkan dapat memberi pengetahuan baru, yang mungkin belum diketahui oleh banyak
orang Indonesia, dan bisa bermanfaat memperkaya dan melengkapi catatan sejarah yang telah
dicatat dan dihimpun oleh para sejarawan Indonesia.
Daftar Pustaka
A. Sumber Primer
B. Sumber Pendukung
Chen, Jiarong, Xie Fang, Lu Jinling (2002). Gudai Nanhai Diming Huishi (古代南海地名汇
释). Beijing: Zhonghua Shuju
Falang (Ferrand), Feng Chengjun (transl) (1965). Kunlun ji Nanhai Gudai Hanghangkao. (崑
Laboratorium Filologi
Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 237
崙及南海古代航行考). Taipei: Taiwan Shangwu Yinshuguan
Feng, Chengjun (1976). Zhongguo Nanyang Jiaotongshi, (中國南洋交通史). Taipei:
ShangwuYinshuguan
Groeneveldt (2009). Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu
Liang Liji (2012). Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Munandar, Agus Aris (2008), Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian, Jakarta:
Komunitas Bambu
Poesponegoro, Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto (1984), Sejarah Nasional Indonesia
II, Jakarta: Balai Pustaka
Rais, Jacub, Multamia Lauder, dkk, (2008). Toponimi Indonesia: Sejarah Budaya Bangsa
yang Panjang dari Permukiman Manusia dan Tertib Administrasi, Jakarta: PT Pradnya
Paramita
Zhang, Yishan, (1994) Dongnanyashi Yanjiu Lunji (東南亞史研究論集). Taipei: Taiwan
Xuesheng Shuju.
Laboratorium Filologi
Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 238