Anda di halaman 1dari 3

3.

Ling lang ling lung sinambi angabdi, saking datan amawi sa bala, kabeka dene nafsune,
marmannya datan kerup, dennya amrih wekasing urip, dadya napsu ingobat, kabanjur kalantur, eca
dhahar lawan nendra, saking tyas awon perang lan nepsu neki, sumendhe kersaning Hyang.
Ling lang ling lung (hati bimbang piker bingung) masih tetap mengabdi, walaupun tanpa ada
yang membantu, selalu tergoda oleh nafsunya, karena tidak mampu mengatasinya, berbagai usaha
ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi / mengobati nafsunya, jangan sampai terlanjur
terlatur, puas makan dan tidur, sebab hatinya kalah perang dengan nafsunya, hanya Allah tempat
berserah diri.

Dalam kebingungan Sunan Kalijaga terus berjuang untuk berada dalam ketaatan kepada Allah namun
demikian dia merasa belum memiliki seorang guru pembimbing atau mursyid yang membuat dirinya
merasa berjalan sendiri tanpa ada yang membantu untuk mengarahkannya. Dalam kondisi tersebut
kadang masih tergoda oleh keinginan nafsu yang terus membujuk untuk keluar dari jalan Allah.

Nafsu adalah sesuatu yang sangat akrab dengan diri kita karena berada dalam diri kita, dia bagaikan api
yang setiap saat bisa saja membakar tubuh kita bila tak terkendali dan akan menjadi sesuatu yang
sangat penting ketika kita bisa mengendalikannya.

Sunan Kalijaga terus berupaya untuk menemukan obat/cara untuk mengendalikan nafsunya “dadya
napsu ingobat, kabanjur kalantur, eca dhahar lawan nendra, saking tyas awon perang lan nepsu
neki” Inilah yang menurut istilah imam Ghazali disebut sebagai Tazkiyatunnafs yang merupakan satu
usaha seseorang agar bisa meleraikan serta melumpuhkan penyakit-penyakit jiwa serta membersihkan
dirinya dari sifat-sifat buruk atau pun sifat- sifat yang tercela sehingga hatinya dapat dibebaskan
daripada segala sesuatu yang tidak baik. Sunan Kalijaga tidak ingin nafsu terus membujuk dan
mengalahkannya hingga dirinya terbuai oleh keinginan nafsu dan kalah dalam memerangi hawa nafsu.

Perlu difahami bahwa nafsu sering kali dipahami sebagai bentuk kemarahan, keinginan buruk, syahwat,
dan lainnya. Kita juga diperintahkan memerangi (mujahadah) dan melawannya.

Penggunaan makna semacam ini yang lumrah (ghalib) digunakan oleh mayoritas ahli tasawuf, sebab
mereka memaknai kata nafsu dengan suatu hal yang mencakup sifat-sifat tercela atau kekuatan jahat
yang timbul dari diri seorang manusia.

Tetapi tidak dengan al-Ghazali,—mengatakan, tidak semua nafsu harus dilawan.

Sebab tidak semua nafsu itu mengandung sifat-sifat tercela sebagaimana dipahami oleh mayoritas ahli
tasawuf. Ia memaknai nafsu sebagai sesuatu yang lembut (lathifah) yang merupakan dzat atau hakikat
manusia itu tersendiri. Lebih jauh lagi, ia menjabarkan nafsu dalam pengertian ini dibagi menjadi tiga
macam.

1. Nafsu muthmainnah.

Yaitu nafsu yang tenang dan berada dalam kendali manusia itu sendiri serta terhindar dari kekacauan
dalam jiwa, sebab nafsu yang seperti ini sudah dapat menentang syahwat atau keinginan-keinginan
buruk yang timbul dari diri manusia.
Nafsu dalam pengertian ini tidak memberikan pemaknaan negatif, akan tetapi merupakan hal yang
terpuji atau dalam bahasa al-Ghazali dikatakan al-mahmudah. Nafsu dalam pengertian ini dapat kita
jumpai dalam al-Qur’an surah al-Fajr [89]: 27-28:

‫) اْر ِج ِع ي ِإَلى َر ِّبِك َر اِض َيًة َم ْر ِض َّيًة‬27( ‫َياَأَّيُتَها الَّنْفُس اْلُم ْطَم ِئَّنُة‬.

“Wahai jiwa yang tenang !. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya”. (QS.
Al-Fajr: 27-28).

Nah, seandainya kata nafsu dimaknai sebagaimana pengertian mayoritas ahli tasawuf yang telah
disinggung di awal tulisan ini, maka pengertian nafsu yang terdapat dalam al-Qur’an surah al-Fajr di atas
tidak akan mungkin dapat digambarkan bagaimana nafsu itu dapat kembali kepada Allah Swt., karena
kata nafsu dalam pengertian itu (sifat tercela) sangat jauh dari Allah Swt. dan merupakan aura jahat dari
syaitan.

2. Nafsu lawwamah.

Yaitu nafsu yang tidak mencapai derajat tenang sebagaimana nafsu muthmainnah, akan tetapi nafsu itu
tetap dapat melawan dan menentang keinginan-keinginan buruk syahwat.

Kata lawwamah sendiri bermakna suka mengkritik atau mencela, karena memang nafsu semacam ini
sering kali mencela pemiliknya (manusia) ketika ia lengah dalam beribadah kepada Tuhannya. Nafsu
dalam pengertian ini dapat kita jumpai dalam al-Qur’an surah al-Qiyamah [75]: 2:

‫َو اَل ُأْقِس ُم ِبالَّنْفِس الَّلَّو اَم ِة‬.


“Dan aku bersumpah, demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri)”. (QS. Al-Qiyamah: 2).

3. Nafsu ammarah bi as-suu’.

Yaitu nafsu yang sudah tidak ada lagi pemberontakan dalam jiwa manusia untuk melawan keinginan-
keinginan syahwat dan kekuatan-kekuatan jahat dari setan, bahkan nafsu itu sudah tunduk dan patuh
terhadap apa yang diperintahkan oleh syahwat dan aura-aura jahat setan.

Kata ammarah bi as-suu’ sendiri merupakan kata berbahasa Arab yang bermakna suatu hal yang selalu
memerintahkan kepada keburukan. Nafsu dalam pengertian ini dapat kita jumpai dalam al-Qur’an surah
Yusuf [12]: 53:
‫َو َم ا ُأَبِّر ُئ َنْفِس ي ِإَّن الَّنْفَس َأَلَّم اَر ٌة ِبالُّسوِء ِإاَّل َم ا َرِح َم َر ِّبي ِإَّن َر ِّبي َغ ُفوٌر‬
‫َر ِح يٌم‬.
“Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku
Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. Yusuf: 53).

Barang kali macam nafsu ketiga ini adalah makna nafsu yang dimaksudkan oleh mayoritas ahli tasawuf
yang wajib untuk dilawan dan diperangi. Dan makna semacam ini pula yang dimaksudkan dalam hadis
Nabi yang berbunyi :

‫َاْع َد ى َع ُد ِّو َك َنْفُسَك اَّلِتي َبْيَن َج ْنَبْيَك‬.


“Musuhmu yang paling dahsyat adalah nafsumu yang berada di antara dua lambungmu”. (HR. Al-
Baihaqi).

Dengan demikian dapat ambil kesimpulan bahwa nafsu itu terklasifikasi menjadi dua macam. Pertama,
nafsu tercela (madzmumah). Nafsu inilah yang wajib diperangi dan dipatahkan.

Sementara yang kedua adalah nafsu terpuji (mahmudah). Nafsu dalam pengertian ini yang dapat
mengetahui dan kembali kepada Tuhannya sebagaimana yang telah disinggung dalam surah al-Fajr : 27-
28 di atas, dan dapat mengetahui segala bentuk pengetahuan-pengetahuan yang ada.

Sunan Kalijaga terus berupaya mengalahkan hawa nafsu, namun demikian dia menyadari bahwa segala
sesuatu berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan mengakhiri bagian ini dengan kata-
kata “sumendhe kersaning Hyang” yang berarti menyerahkan diri atau pasrah kepada Allah SWT

Anda mungkin juga menyukai