Dalam bahasa Indonesia, hawa nafsu bermakna keinginan atau dorongan hati yang kuat untuk
melakukan perkara yang tidak baik, seperti syahwat dan sejenisnya. Makna ini mirip dengan asal
kata pembentukannya dalam bahasa Arab karena hawa adalah keinginan dan nafs adalah jiwa.
Sesungguhnya manusia diciptakan dengan potensi keinginan yang baik (takwa) dan keinginan
buruk (nafsu atau fujur). Kedua keinginan tersebut menunjukkan sifat keseimbangan (at-
tawazun) dan kemanusiaan (al-basyariah) dalam diri manusia. Oleh karena itu, nafsu adalah
fitrah manusia, sebagaimana takwa juga adalah fitrah. Hal ini yang ditegaskan dalam Alquran,
yang artinya, "Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya." (QS asy-Syams: 7-8).
Sebagai bagian dari ujian Allah SWT, setiap jiwa manusia cenderung untuk berbuat dosa dan
maksiat. Jika manusia dihadapkan pada pilihan yang baik atau pilihan yang buruk, ia lebih
tertarik melakukan pilihan yang buruk.
Contohnya, jika ada pilihan, bekerja keras ataupun istirahat, pilihan istirahat lebih menarik. Jika
ada pilihan, shalat Tahajud atau istirahat, jiwa manusia cenderung memilih istirahat. Hal ini
sesuai dengan penegasan Alquran, yang artinya, "Karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang." (QS Yusuf: 53).
Nafsu tersebut jika dibiarkan atau tidak dikendalikan, setiap perilaku manusia akan tidak baik.
Berkata tidak jujur, berbuat fitnah, mengadu domba, adalah sebagian kecil dari praktik
memperturutkan nafsu.
Bisa dibayangkan, jika nafsu tersebut dibiarkan tanpa kendali, sosok manusia yang diciptakan
dengan sempurna itu—akan menjadi beringas, bahkan digambarkan dalam Alquran, manusia
menjadi buas seperti hewan. "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
digunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS al-A'raf: 79).
Sebaliknya, jika nafsu itu dikendalikan dan dikelola, akan melahirkan manusia yang berakhlak
mulia. Seperti sifat marah, jika dibiarkan, bisa mengakibatkan talak (perceraian rumah tangga),
pertengkaran, bahkan pembunuhan. Namun, jika sifat marah dikendalikan, akan menjadi
ketegasan dalam kebaikan.
Pengendalian sebagaimana yang dimaksud tersebut itulah yang ingin dibangun dari ibadah
puasa, sesuai dengan tujuan inti puasa, yaitu al-imsak yang berarti menahan diri atau
mengendalikan hawa nafsu.
Jadi, dengan berpuasa, diharapkan lahir kemampuan menahan diri dan kemampuan mengelola
nafsu pada diri setiap orang yang berpuasa agar yang lahir adalah kebaikan dan akhlaknya yang
mulia.