Dan akhirnya, sebelum mbahas 10 bab tentang akhlaq mulia, kini kita sampai
di tulisan penutup bab2 tentang 10 akhlaq buruk yang berupa catatan-
catatan panjang dari Imam Ghozali.
Bahwa akhlaq buruk itu gak cuma 10 macam itu saja, tapi banyak banget.
Namun 10 macam akhlaq buruk yg udah kita bahas itu adalah yg banyak
terjadi dan penyebab utama rentetan akhlaq buruk lainnya.
Harus dipahami bahwa semua akhlaq buruk itu saling berkaitan dan saling
berkelindan. Misal bermula cinta dunia, bikin kita pelit, lalu jadi banyak
makan, lalu hatinya jadi riya', ujub, sombong lalu hasud dan rentetan akhlaq
buruk lainnya.
Logikanya kalo kita infeksi parah, maka butuh paracetamol buat penurun
panas, asam mefenamat buat obat nyeri, vitamin untuk imun, antibiotik
untuk membunuh kuman dan lain-lain. Dan semua obat itu harus diminum
serentak dengan dosis tertentu dgn kontrol seorang dokter, agar tidak terjadi
sakit turunan yg jadi rentetannya. Dengan begitu, bisa diharapkan tubuh
bebas penyakit.
Walau kesehatan qolbu itu gak lepas dari pertolongan Gusti Allah, kita tetap
harus berusaha secara amaliyah lahir batin sebagai upaya menjaga anugerah
Gusti Allah berupa qolbu, sebagai wujud takut dan syukur kita pada Gusti
Allah. Kanjeng Nabi Muhammad SAW sendiri juga terus menjaga hatinya
lewat berbagai amal lahir batin.
فمن بقى على حاله فال يتركن سنته، والكسب سنته،التوكل حال النبي
"Tawakal itu watak Kanjeng Nabi, dan kasab (melakukan usaha) adalah
sunnah (adat, kebiasaan) Kanjeng Nabi, siapa saja yang ingin menetapi watak
Kanjeng Nabi, maka wajib baginya melakukan sunnahnya tersebut
(melakukan usaha)"
Semua manusia itu dibekali Akhlaq yang terbagi jadi dua, Kholq dan
Khuluq. Kholq adalah jasad kasar dan Khuluq adalah batin yang halus.
Kholq bisa dilihat dengan bashor (pandangan bola mata), Khuluq hanya bisa
dirasakan dengan bashiroh (mata batin).
Maka, tidak masuk akal kita berharap terjaga kesehatan lahir batin tanpa
ada upaya menjaga kebaikan anugerah dari Gusti Allah berupa akhlaq
tersebut. Gusti Allah selalu melihat kesungguhan upaya kita dalam menjaga
lahir batin demi terjaganya kebaikan akhlaq. Dan hal itu yg nantinya jadi
pertimbangan di mahkamah Gusti Allah di akhirat.
Maka, selain berharap pertolongan Gusti Allah, kita juga harus berusaha
lewat amal sebagai tanda takut dan syukur pada Gusti Allah. Di sanalah ada
agama yang hakiki.
(Bersambung
Karena khuluq atau jasad halus atau roh atau jiwa manusia adalah inti
penggerak kholq atau jasad kasar yg diibaratkan wadah. Bahkan Gusti Allah
sendiri dalam Al Qur'an selalu menyatakan jiwa dan ruh adalah urusan-Nya
langsung.
Sementara jasad kasar atau badan itu dalam Al Qur'an selalu dikaitkan
sesuatu yg rendah seperti sperma dan tanah, karena bakalan hancur.
Ketika jiwa itu kembali pada pemilik-Nya, kita sebagai yg dititipi, harus
mengembalikannya dengan keadaan yg paling bagus. Paling gak, gak bolong-
bolong banget lah, biar gak malu-maluin.
Logikanya kalo kita dipinjemi barang, ya jangan sampai rusak. Ntar kalo ada
rusak dan cacat pas pengembalian, tentunya ada perhitungannya. Nah, kita
nanti juga akan mempertanggung jawabkan keadaan jiwa kita saat jiwa kita
kembali ke pemiliknya ruh.
Ruh itu dibekali 4 mesin sebagai alat produksi untuk menghasilkan akhlaq yg
baik atau buruk. Antara lain :
Kalo akhlaq itu diibaratkan seperti sebuah sajian kuliner, marah dan
syahwat merupakan bumbu yg menjadikan kita nyaman terhadap sesuatu.
Quwwatul 'adl yang berfungsi mengatur keduanya.
Cara kerjanya begini menurut Imam Ghozali. Contoh kasus kita tertarik oleh
seorang wanita, syahwat merespon ingin memiliki, amarah merespon ingin
menyingkirkan semua penghalang. Lalu akal sehat menangkap informasi,
berbicara realitanya dan mengukur kemampuan kita. Ilmu memberi catatan
peringatan konsekuensi jika terlalu menuruti syahwat dan amarah. Ilmu jg
memberi solusi yg bisa ditempuh secara syariat, bisa nikah atau menahannya
dgn segala konsekuensinya. Maka segala keputusan mau zina, nikah atau
puasa aja, berada di tangan Quwwatul 'Adl yg menjadi pengatur keputusan
terakhir.
Semua perangkat jiwa ini harus bekerja dengan baik sehingga menghasilkan
akhlaq yg baik. Setiap hasil racikan bumbu dari perangkat jiwa itulah yg
nanti akan menghasilkan akhlaq itu bagus atau tidak.
Segala keputusan kita tentu tidak selalu berdampak baik atau buruk saja.
Selalu ada efek samping entah baik atau buruk juga. Maka dari itu, kita kudu
selalu mengupayakan semua perangkat ruh itu bekerja dengan baik dengan
maintenance berupa ibadah lahir dan tazkiyatun nafs. Agar semakin tajam
dan peka sehingga segala keputusan itu bisa dipertanggung jawabkan di
hadapan Gusti Allah. Terutama tentang bagaimana kita mengontrol amarah
dan syahwat kita.
(Bersambung)
Kalo kita lepas dalam mengontrol amarah, kita disebut ngawur, brutal,
sombong, ujub.
Kalo terlalu mengecilkan setelan amarah, kita disebut pengecut, culun, tidak
berwibawa, sembrono, gak punya semangat dan cita2, lemah dan gak punya
harapan.
Kalo kita lepas kontrol terhadap syahwat kita bakal punya sifat rakus, kasar,
tidak sopan, pelit, cabul, riya', gak tau malu, hasud, moral bejat, raja tega,
penjilat, meremehkan dan lain sebagainya.
Kalo terlalu kecil setelan syahwat, kita bakal disebut tak punya perasaan,
malas, kurang percaya diri, minder, gampang putus asa dan galau.
Kalo kita terlalu berpegang pada informasi yg dikumpulkan dan diolah akal
sehat, maka yang terjadi kita punya pikiran jahat, jadi penipu, tukang hoax,
tukang silat lidah, korup, tukang protes dan provokator.
Kalo kita mengabaikan akal sehat, maka kita akan jadi bodoh, dungu, kudet,
terbelakang, ndeso dan mudah ditipu.
Semua elemen itu kalo setelannya gak pas atau gak imbang, satu elemen saja,
maka gak akan menghasilkan akhlaq yang baik. Jadi, akhlaq baik adalah
terpeliharanya keseimbangan semua elemen mesin yang berada di khuluq.
(Bersambung)
Imam Ghozali dawuh, gak ada cara lain, jalan satu-satunya memperbaiki
akhlaq kita adalah dengan mujahadah dan riyadhoh. Menurut Imam
Ghozali, mujahadah di sini definisinya adalah usaha sungguh-sungguh untuk
menyematkan sifat-sifat yang sangat berbeda dari sifat-sifat kesehariannya yg
dulu, sehingga amal yg dilakukan pun berlawanan dgn yg dulu.
Misal dulu suka makan sekarang berusaha diet, dulu pelit sekarang berusaha
sedekah, dulu suka males sholat sekarang usaha rajin sholat.
Kalo kita bawa masa sekarang, mirip istilah kekinian "hijrah". Istilah bagus
tapi kini jadi salah kaprah. Karena istilah "hijrah" kekinian pada
prakteknya sering salah proses dan salah tempat. Perubahan yang terjadi
terlalu ekstrim dan terlalu cepat. Sehingga pelakunya malah jadi sombong
dan ujub. Ini saya bukan mengkritik "hijrah", tapi misuhi pelakunya.
Maksud dari mujahadah di sini, misal kita biasanya pelit maka kita gak
sampai langsung jadi sembarangan berderma hingga membebani kita.
Melainkan bertahap pelan2 hingga meningkat hingga amal sedekah itu
mendarah daging dalam diri. Sehingga akhirnya sedekah itu teraplikasikan
secara menyeluruh sesuai dengan definisi yang diinginkan syariat.
Misal lagi, kita biasa berhemat, dengan mujahadah maka jatuhnya bukan
jadi pelit, namun jadi berhemat di saat yang tepat. Biasanya husnudzon,
dengan mujahadah maka bisa berhusnudzon pada tempatnya.
Maka, tujuan mujahadah adalah tumbuhnya rasa tawadhu' atau sadar diri
dan adanya kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya dalam jiwa
hingga mendarah daging menjadi satu naluri di jiwa kita. Namun kalo
perubahan itu dipaksakan secara ekstrim hingga diri kita gak bisa
bertawadhu', itu bukan mujahadah, namanya terpaksa dan malah jadi
beban.
Misal kalo kita sering bersedekah tapi justru membebani keuangan kita,
maka itu bukan tawadhu'. Lalu kita sering sholat dhuha, tapi pekerjaan
terbengkalai, itu semua bukan tawadhu'.
Karena mujahadah itu sasarannya khuluq atau jiwa yg sifatnya halus. Seperti
membentuk ukiran indah di satu media yg rapuh seperti tanah liat yg basah,
maka perubahan harus dilakukan bertahap, kontinyu, pelan-pelan, teliti dan
hati-hati sehingga hasilnya indah, bukan asal jadi karena perubahan yg
terlalu cepat akibat ada rasa terpaksa dan cuma jadi beban .
Misal mengobati malas dalam beramal, kita gak bisa langsung secara ekstrim
dan secara cepat mengekang nafsu untuk malas. Itu sangat tidak mungkin.
Kalo pun berhasil, kita malah ujub dan sombong. Maka mujahadahnya lewat
amal secara istiqomah sambil menambah ilmu dan merenungi amal2 yg
diistiqomahi. Lama2 malas itu hilang dan amal istiqomah itu pun mendarah
daging jadi watak kita. Beramal bukan lagi jadi satu keterpaksaan dan beban
tapi sudah jadi naluri.
Kalo amal itu udah jadi kebiasaan, adat dan naluri kita, kita gak peduli mau
dipuji atau dihina. Kita pun bisa paham bagaimana menempatkan amal itu
secara benar dan tepat, paham hakikat diri dan hakikat amal itu sendiri.
Sehingga gak ada yg perlu disombongkan lagi. Dengan munculnya naluri
seperti itu, baru kita disebut tawadhu'.
Sekali kita itu gak tawadhu', baik lahir maupun batin, kita disebut sakit jiwa.
Namun bukan manusia namanya kalo gak pernah sakit jiwa, mbah. Cuma
Kanjeng Nabi Muhammad SAW yg senantiasa sehat jiwanya.
Yg penting bagi kita yg bukan nabi ini, sakit jiwanya gak keseringan kumat.
Dibanyakin warasnya biar melampaui sakitnya. Karena mendekati
kewarasan itu lebih baik daripada mendekati penyakit. Dan kalo terus-
terusan sakit jiwanya, dikhawatirkan kehilangan kebaikan, baik di dunia
maupun di akhirat.
(Bersambung)
Mugi manfaat.
Maka yang perlu kita perhatikan agar kita jadi tawadhu', kita jangan pernah
merasa aman dan lebih baik dari orang lain. Ini peringatan bagi orang yang
sedang proses berubah menuju sholeh, lebih-lebih yg sudah dikenal orang
dengan kesholehannya.
Misal karena dulu kita berakhlaq buruk, lalu berusaha berubah dan mau
beramal sholeh secara rutin, kita jadi merasa sudah mencapai akhlaq sholeh.
Padahal saat kita merasa sholeh, tandanya kita masih berakhlaq buruk
karena punya sombong. Artinya kita sedang tertipu karena merasa diri kita
baik, itu sifat setan yang sombong. Bisa dibilang, saat kita menganggap diri
kita sholeh, kita kerasukan sifat setan.
Begitu juga saat kita mengatakan seseorang itu berakhlaq buruk, maka gak
diragukan lagi, kita berakhlaq buruk. Karena yang namanya akhlaq itu
selalu berkaitan dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Jadi
kalo kita berperilaku buruk pada orang lain, apapun alasannya, itu tandanya
kita berakhlaq buruk karena merasa lebih baik dari orang lain. Artinya
perilaku itu juga bentuk tipuan.
Begitu juga saat kita merasa jadi wakil Tuhan. Misal saat kita marah pada
orang, lalu kita bilang bahwa marah kita karena Allah. Saat kita
memamerkan ibadah, lalu kita bilang itu syiar agama. Saat kita seakan emoh
dengan dunia, lalu kita bilang kita melakukannya karena ada ilmu Allah.
Namun jika dibedah, dalam hati kita ada keinginan menggebu untuk dipuji,
dikasihani dan dihargai orang lain. Maka itu juga termasuk tipuan, karena
itu riya' khufi.
Maka yang benar, seperti falsafah orang Jawa, "isoko ngroso ojo rumongso
isok". Artinya kita harus bisa sadar diri, merasakan derajat kehambaan diri,
peka pada lingkungan dan tepo seliro pada manusia, bukan malah merasa
punya kelebihan dari orang lain.
Ini persis dawuh Mbah Anwar Manshur Lirboyo, "Ojo ngroso gumede, aku
sing paling apik. Kudu rumongso ora iso opo-opo, ora nduwe opo-opo, tapi yo
kudu tetep sregep olehe berusaha".
Artinya, jangan merasa sombong dan berkata "aku yang paling bagus".
Harus merasa tidak bisa apa-apa dan tidak punya apa-apa, tapi tetap punya
keyakinan harus terus rajin berusaha.
(Bersambung)
Kalo kita menghancurkan keburukan diri sekejap itu juga, secara ekstrim,
kita bakalan kaget dan janggal. Janggal dan kaget karena kita gak terbiasa
dengan semua bentuk kebaikan yg sangat banyak, sementara hati kita belum
siap menerima semuanya. Kalo dipaksakan, akibatnya bisa cepat bosan
sehingga balik lagi pada keburukan. Kalaupun berhasil, hasilnya muncul
sombong dengan amal dan hatinya jadi keras.
Logikanya seperti kita merobohkan rumah usang. Yang bener, kita robohkan
perbagian rumah sedikit demi sedikit, sambil menata puing-puingnya satu
persatu. Sehingga saat ingin membangun lagi, kita gak kesusahan
membersihkan tumpukan bekas puing-puing, debu akibat pembongkaran
dan resiko lainnya pun bisa diminimalisir.
Kalo kita merobohkan rumah usang sekejap itu juga, resiko debu yg
berbahaya, resiko reruntuhan menimpa kepala hingga resiko kesulitan
membersihkan puing-puing reruntuhan, jadi susah diatasi.
Misal kita ingin ke suatu tempat, kita bisa sabar menempuh sekian jarak
dengan sesekali terganggu kemacetan atau gonta-ganti angkutan. Kenapa kita
gak sabar dalam meniti jalan mujahadah menuju kebaikan yg hakiki dan
malah ingin yg instan?
Kalo kita suka semua serba instan, hingga kesholehan instan, itu seperti
mendirikan bangunan di atas tumpukan puing2 reruntuhan rumah yg
menggunung. Tentu hasilnya jadi rapuh karena pondasi bangunan gak
mencapai tanah. Digoyang dikit, ambruk lagi.
Selama niat kita berproses dikit demi sedikit agar kebiasaan baik itu melekat
kuat pada kita itu tetap ada, kita jangan takut apapun termasuk kematian.
Kematian itu pasti terjadi, gak usah takut. Namun yg belum pasti adalah saat
hidup, sejauh mana ilmu dan amal yg kita lakukan itu sudah menumbuhkan
rasa tawadhu' sebagai bekal kematian?
Memang penting untuk selalu husnudzon pada Gusti Allah, bahwa saat kita
diberi kemauan dan kemampuan untuk beramal sholeh, Gusti Allah sedang
membuka pintu cinta-Nya pada kita. Tapi salah juga jika kita hanya
menggantungkan diri pada sifat pengampun Gusti Allah sehingga kita tetap
sombong, gak ada upaya tawadhu', malah terus larut dlm kesombongan.
Kalo kita tetap memelihara kesombongan atas amal di alam dunia akan
mampu menyelamatkan kita di alam akhirat, maka jelas kita tertipu.
Bukankah Tuhan Semesta Alam itu satu?
(Bersambung)
Jenis kedua dan ketiga ini dihuni oleh para auliya'. Keadaan mereka
diperlihatkan dan jadi keutamaan mereka. Dan kadang keutamaan mereka
tidak diduga, misal di dunia kelihatan hina tapi harum di akhirat. Ini
membuktikan kehidupan di dunia tidak selalu menggambarkan
kehidupannya di akhirat.
4. Jenis orang ini tidak dilihat dari keadaan yg bersifat ilahiyah seperti 3 jenis
di atas, namun menurut analisa lahiriyah dari diagnosa dokter, tabib dan
pengamatan kasat mata ulama yg bukan dari golongan ahlu bashiroh atau
ahlu kasyaf.
Kita bisa menolak analisa mereka karena mereka tidak memahami ruh yg
hakiki di mana akal budi berada, mereka hanya paham ruh jasmani yaitu ruh
yg menggerakkan jasad.
Kalo kita bukan aparat penegak hukum dan peraturan, kita harus bersikeras
untuk husnudzon ketika melihat seseorang. Agar tidak kena penyakit jiwa
berupa sombong, cinta dunia, hasud dan lain2. Karena bila husnudzon kita
itu salah, kita gak rugi. Kalo husnudzon kita benar, yg salah orang lain
berpraduga jelek.
Kita melihat orang atheis dan agnostik. Mereka berprinsip bahwa keburukan
itu tidak perlu berdasarkan hal ghaib seperti akhirat. Cukup melihat fakta
bahwa akhlaq buruk itu merugikan kemanusiaan, sudah jadi pedoman
kesadaran membangun prinsip kebaikan. Mempercayai akhirat sebagai
pedoman memberantas akhlaq buruk justru membangun egoisme manusia.
Semua itu sekilas masuk akal. Namun orang atheis tidak paham, tidak
percaya adanya kehidupan akhirat setelah kematian juga termasuk akhlaq
buruk yang memicu akhlaq buruk lainnya.
Tidak percaya hari akhir berarti tidak percaya adanya Tuhan yang
mengabarkan adanya akhirat. Tidak percaya Tuhan berarti menyalahi naluri
kemanusiaan yang punya naluri untuk berharap di luar dirinya. Menyalahi
naluri kemanusiaan itu menyalahi akal. Menyalahi akal itu mengikuti hawa
nafsu yang ujungnya akhlaq buruk.
Setelah punya uang, orang atheis akan berderma lalu dia bisa memilih
sombong pada orang lain karena bisa berderma lalu memperlakukan
manusia seenaknya karena terbiasa cari uang seenaknya. Naluri hawa nafsu,
bila merasa tidak terawasi akan menjadi korup, ini jadi awal kebrutalan
hawa nafsu yang lain.
Begitu juga kita orang beragama tapi jadi sombong dan menuruti hawa
nafsunya setelah beramal, dia bisa jadi mirip orang tidak kenal Tuhan.
Karena mereka gak merasa diawasi oleh Tuhan ketika melakukan
kejahatannya. Inilah yang disebut Imam Ghozali, tipuan akibat kurang yakin
adanya akhirat dan kurang yakin keburukan dunia.
Maka, mau gak mau, kita harus berdamai dengan diri, melepaskan beban
kesombongan dan mulai percaya dan menghamba pada Gusti Allah. Agar
setidaknya, kita bisa menikmati hidup dan tidak takut menghadapi kematian
yg pasti datang.
(Tamat)